Share

Minuman Beraroma Bunga

“Kau kesiangan, dia habis mengamuk tadi,” bisik Meea. “Kau dari mana?”

“Dari rumah. Apa dia juga mempermasalahkan adonan? Aku tidak cukup fokus tadi malam.”

“Kakimu sakit, pasti kau kesulitan bekerja. Terima kasih untuk tadi malam, ya. Aku janji akan membawa senter, tidak akan merepotkanmu lagi,” bisik Meea dengan wajah sendu. “Kau sudah sarapan?”

Ia mengangguk sambil tersenyum sebagai respons. “Kau sendiri sudah sarapan?”

“Seperti biasa, sembunyi-sembunyi.” Mencomot lagi bagian kue yang sudah tidak utuh, dimasukannya ke dalam mulut yang tertutup masker. Mengunyahnya harus pelan-pelan agar tidak ketahuan.

“Sebentar lagi bel istirahat untuk pejuang kantor! Bersiaplah!”

Sambil tersenyum kecil, ia mengangguk singkat. Toko roti ini bukanlah satu-satunya, namun karena letaknya cukup dekat dengan area penyeberangan dan market kecil, banyak karyawan yang lebih memilih ke sini. Pilihan lain bisa kok ke warung-warung besar yang menyajikan makanan berat berkuah, makanan pedas, atau olahan mi. Semua tergantung selera. Memakan roti dengan sayur mentah dan susu adalah pilihan sebagian saja. Jika soal harga, tentu lebih mahal, tidak sekenyang ketika makan nasi. 

Lonceng toko dibunyikan paksa karena pintu terbuka, diam sesaat lalu berbunyi lagi, begitu selama beberapa kali. Lambat laun kursi pun terisi oleh pinggul-pinggul yang merasa lelah. Mereka menghempaskan tubuh dengan raut penuh rasa syukur, iris matanya sampai bersembunyi ke atas kelopak, menyisakan putihnya saja. Khanara meringis, 'Apakah selelah itu? Bukankah hanya mengetik seperti di warnet tadi dan berhitung saja? Tidak mencuci piring, kan? Tidak mengepel, kan? Tidak tersedak tepung, kan? Tidak membuang sisa bahan roti yang berbau bus—'

“Na!”

Ia menoleh cepat.

“Ke sini!”

Ia berlalu ke belakang tanpa berlari—takut menimbulkan kegaduhan bagi orang-orang yang tengah melahap makan siang. Di sana, Meea memperlihatkan beberapa pesanan di nota. 

“Ada yang memesan minuman dari bunga Akasia. Bunga yang wanginya seperti sperma sehat, katanya sih.”

Khanara melotot sebentar, “Bunga ini? Kenapa bunga dijadikan minuman ...?”

Tiba-tiba Meea menggeram dan berteriak frustrasi, sampai terjungkat dibuatnya. Gadis itu memberikan penjelasan bahwa migrain-nya tengah kumat, tentu saja harus beristirahat. Untunglah semua pesanan sudah siap, tinggal satu itu saja.

“Biar aku yang mengurus ini.” Selanjutnya, ia harus mengecek diri di cermin, jangan sampai penampilannya menjijikkan sehingga membuat para pengunjung memuntahkan roti. Mengamati secara khidmat semua orang di kursi, ia malah lupa menanyakan meja nomor berapa, namun, pasti terlihat. Ciri utama adalah tidak ada minuman di atas meja orang tersebut. 

“Nah ... itu dia,” serunya kecil. Orang itu menunduk seperti tengah membaca buku, mungkin itu dilakukannya untuk mengisi waktu menunggu makanannya siap. Khanara berdeham pelan, “Selamat siang, Tuan. Saya ingin mengatakan bahwa di sini tidak minuman dari bunga akasia,” ... 'Yang baunya seperti sperma bagus.'

“Sweet Alyssum?”

Khanara yang masih menertawakan sesuatu di pikirannya jadi terperanjat, “Bu ... bunga apa?”

“Sweet Alyssum.” Kali ini, buku di telapak tangan orang itu telah ditutup dengan sekali tepuk. Dagunya terangkat, membuat netra yang sedari tadi tidak menatap lawan bicaranya itu kemudian terdongak. “Kau tidak pernah mendengar nama bunga yang punya struktur rapi itu?”

Khanara menggeleng spontan. “Tuan, di sini tidak ada jenis minuman dari bunga atau beraroma bunga. Teh melati ada sih, tapi hanya itu saja.”

“Kalau begitu tidak usah, ganti dengan yang lain.”

“Ganti ... apa, Tuan?”

“Terserah kau saja.” Matanya naik lagi, membuatnya menatap ke area yang sama. “Bawakan yang menurutmu enak, Nona.”

Khanara beranjak setelah lebih dulu membungkuk hormat. Di perjalanan, ia terus bergumam, pastilah tentang nama-nama bunga yang membuatnya terheran setelah cukup lama bekerja di toko roti itu. Meea tidak ada di dapur, tempat sampah yang kosong menjadi penjawab sedang ke mana gadis itu. 

Melihat-lihat stoples beserta isinya, ia menunjuk salah satu, “Aku sampai lupa, ini juga bunga, kan?” Ia mengambil bunga rosella kering. Teh ini berwarna merah yang merupakan hasil dari ekstrak daun, kelopak, dan pucuk bunga rosella itu sendiri. “Kenapa aku tidak terpikirkan sejak tadi ...? Oh Tuhan, aku sudah mengecewakan Tuan itu.” Ratapannya memang bentuk ketakutan setulus hati. Madame-nya akan mengoceh seharian jika sampai mengetahui kejadian tersebut.

Langkah kakinya tidak boleh gontai meski tengah dilanda kegundahan. Orang tadi, ah maksudnya laki-laki muda tadi, masih tampak menunggu, namun tidak dengan membaca buku, melainkan dengan ...

Khanara meneguk ludah. Apa dia orang asli negara ini? Wajahnya lebih ke Asia Timur.

“Ini milikku?”

Ia berkedip sesaat, tidak sadar bahwa ternyata tubuhnya sudah sampai di meja laki-laki tersebut. “I-iya, ini ... saya buatkan Teh Rosella hangat.”

“Kenapa kau memilih ini?”

“Uh eh? K-karena ... karena rosella termasuk bunga, Tuan.”

Laki-laki itu hanya membalas dengan senyuman kecil yang terletak di sudut bibir. Kecil sekali, bahkan hanya bisa tertangkap oleh detik. Meski Khanara masih berada di sana dengan nampan yang menutupi bagian perut, laki-laki itu tetap meminum minumannya dengan nyaman. Suara ‘srut srut slurt’ pun menjadi terdengar saat menguras dahaga. Khanara harus meneguk ludah lagi sebelum pergi.

Apakah kepergiannya didahului oleh salam? Tidak. Apakah laki-laki itu juga berterima kasih? Tidak juga. Mereka sangat kompak, namun yang patut merasa di ambang kematian adalah Khanara, sebab posisinya adalah sebagai pekerja. 

Untuk menutupi rasa malunya itu karena tidak mengucap salam juga malah berdiri seperti patung—memperhatikan dengan tidak sopan kepada pelanggan yang tengah menyeruput teh—meski orangnya tidak protes. Ia harus segera sampai di dapur, andaikan seseorang tidak melambai ke arahnya.

Tap!

Orang itu ... spontan saja Khanara memperhatikan bibir merah merona di seberang sana, tidak jauh darinya. Sesaat kemudian, sorot mata orang tersebut seperti penuh arti, tetapi sangat sukar dieja. Khanara memilih pergi, ia sudah bertekad ingin melupakan kejadian semalam. 

Apa dia Kekasihmu?" 

"B-bukan, Tuan. Kami hanya ... kami hanya ... kami hanya ...."

"Belum berpacaran, ya, tapi sikapmu barusan seperti dia telah mencuri ciuman pertamamu."

Hanya menggigiti bibir adalah yang bisa hanya bisa ia lakukan sekarang. Tidak mungkin juga menampar Tuan barusan karena telah melakukan hal lancang; menuduhnya macam-macam.

"Menuduh seperti tadi belum belum seberapa, lancang itu jika mencium secara paksa di gang gelap," imbuh Tuan tersebut.

Lagi pula, kenapa Khanara masih berdiri di sana? Sangat susah untuk memajukan langkah. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status