Share

PART 2

Dalam keheningan, air mata Hana jatuh mengalir membasahi pipi mulusnya. Dia menangis tanpa mengeluarkan suara. Tidak ingin mengganggu ibu dan adiknya yang sedang terlelap di dalam kamar. Ini sudah jam empat subuh. Tadi, ia berjalan kaki dari tempat Jonathan hingga ke rumahnya yang berjarak sekitar dua kilometer. Ia tidak berani membangunkan Jonathan untuk mengantarnya pulang. Pria itu langsung tertidur setelah mereka selesai 'bermain'.

Hana mendaratkan tubuhnya di lantai dengan kaki tertekuk. Punggungnya menyender pada dinding dan tangannya menggenggam sebuah amplop putih berisikan uang pemberian Jonathan setelah mereka selesai berhubungan. Hana menatap uang itu dengan putus asa. Dulu, ia sangat membenci bibinya –adik almarhum ayahnya– yang rela menjual diri kepada penagih hutang agar dapat mempertahankan warung sembakonya. Dan sekarang Hana telah resmi menjadi seorang pelacur. Menjual diri demi sehektar tanah. Seperti menjilat ludah sendiri, Hana membenci dirinya! Apalah bedanya ia dengan sang bibi? Jika bibinya tahu akan hal ini, mungkin dia akan balik menertawakan Hana.

Hana meringis kesakitan saat rasa sakit di area tubuh bagian bawahnya kembali terasa. Keringat yang mengucur di dahi dan wajah putih pucatnya menandakan bagaimana rasa sakit itu menyerangnya. "Ayah, tolong.. aku sudah tidak sanggup lagi," rintihnya serak.

***

"Hana, bangun, Nak." Hana membuka matanya saat merasakan guncangan Fatma di bahunya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Fatma khawatir.

Hana menggelengkan kepalanya dan segera bangun. "Aku tidak apa-apa. Dimana Windy?"

"Sudah berangkat ke sekolah," jawab Fatma dengan kedua mata berkaca-kaca.

Hana terdiam sejenak. Tentu saja ia sudah mengerti pikiran Fatma. Ia menatap ibunya itu dan berkata, "Ibu tenang saja. Windy tetap akan sekolah sampai dia lulus. Jika dia hamil nanti, aku akan berbicara baik-baik dengan pihak sekolah."

Tak dapat membendung tangisannya lagi, Fatma langsung memeluk Hana dan menangis tersedu-sedu. "Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak becus menjaga kalian. Ibu adalah orang tua yang buruk. Maafkan ibu, Nak," isak Fatma. Hana memeluk Fatma erat dan ikut larut dalam kesedihan.

***

Sore hari itu, Hana memarkirkan sepeda ontelnya pada dinding rumah mereka yang terlihat kumuh. Ia segera masuk ke rumah sambil menenteng sebuah kresek hitam. Tadi ia habis ke warung sembako untuk membeli telur ayam. Hana mulai memanaskan wajan penggorengan di atas kompor, kemudian mengambil beberapa butir telur untuk kemudian diolah.

Saat sedang sibuk mengaduk-ngaduk telur, tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perutnya. Aroma maskulinnya sampai mengalahkan bau minyak goreng yang sudah panas. Napas hangat beraroma mint mulai terasa di ceruk leher Hana. "Kamu wangi sekali." dari suaranya saja Hana sudah dapat menebak bahwa pria yang tengah memeluknya dari belakang itu adalah Jonathan.

"Ke-kenapa Bapak datang lagi?" tanya Hana gugup. Ia pikir kegiatan semalam adalah yang terakhir kali dan tidak akan ada lagi setelah itu, karena Hana yakin Jonathan akan membuangnya.

"Kamu pikir kita hanya akan melakukannya sekali? Kamu pemuas nafsuku. Aku berhak melakukannya berkali-kali padamu." Jonathan semakin menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Hana.

Hana hampir melenguh pelan saat tangan Jonathan menyelinap masuk ke dalam kausnya tanpa permisi. Tangan Jonathan mengusap-usap perut Hana, lidah pria itu mulai menari-nari pada permukaan kulit lehernya. Jonathan membalikkan tubuh Hana dalam sekali sentak. Ia menatap wajah Hana yang mulai berkeringat.

"Cepat mandi. Aku sudah tidak sabar untuk menyentuhmu lagi."

Hana memalingkan wajahnya dan menatap wajan yang sudah panas. Ia kembali menatap Jonathan, "Maaf, tapi bisakah saya makan sebentar?" Hana memegang perutnya yang sedari tadi meraung-raung minta diisi. "Saya lapar," ucapnya sambil menundukkan kepalanya.

Jonathan tampak menimang-nimang. Ia lalu menganggukkan kepalanya. "Hm, makan saja dulu." Lalu ikut memegang perutnya. "Kebetulan saya juga lapar. Kamu sedang masak apa?"

"Te- telur goreng," jawab Hana kikuk.

Jonathan mengendikkan bahunya. "It's okay. Saya tidak masalah," ucapnya cuek lalu beranjak dari dapur. Sepeninggal Jonathan, Hana hanya dapat menghembuskan napas lega. Ia kembali memikirkan ucapan Jonathan.

"Kamu pikir kita hanya akan melakukannya sekali? Kamu pemuas nafsuku. Aku berhak melakukannya berkali-kali padamu."

Membayangi rasa sakit yang menimpa tubuhnya semalam benar-benar membuatnya trauma.

***

Tangan kanan Hana membawa sepiring nasi dengan telur goreng di atasnya. Sedangkan tangan kirinya membawa secangkir air minum. Ia berjalan menghampiri Jonathan yang sedang duduk di ruang tamu minimalis. Hana meletakkan piring dan cangkir di atas meja. "Maaf, hanya ini yang bisa saya masak."

Jonathan menganggukkan kepalanya. Ia meraih piring di atas meja dan mulai memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah, Jonathan terus menatap Hana yang dari tadi hanya berdiri sambil menautkan jari-jarinya gelisah.

Jonathan tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Lumayan."

Hana mengangkat kepalanya. Ia bernapas lega. Syukurlah, ucapnya dalam hati. Meski ia membenci Jonathan, ia selalu senang saat orang lain menyukai masakannya. Hana membalikkan tubuhnya, hendak kembali ke dapur. Namun langkahnya terhenti saat Jonathan berkata, "Mau kemana?"

Hana memutar tubuhnya, "Saya mau mau makan di dapur."

Jonathan menepuk tempat duduk di sampingnya. "Makan disini saja. Temani saya."

Hana memejamkan matanya, ia ingin menolak karena risih, tapi ia tahu Jonathan akan membenci itu. Ia lalu menganggukkan kepalanya, pasrah.

Setelah mengambil makanan di dapur, Hana mendudukkan bokongnya tepat di samping Jonathan. Tanpa menggunakan sendok, Hana mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya menggunakan tangan yang telah dicuci sebelumnya.

Hana yang terlalu rakus melahap sampai tidak sadar, dari tadi Jonathan terus menatapnya tanpa berkedip. Ia memperhatikan bagaimana tangan mungil itu memasuki mulut dan melepaskan makanan lalu keluar dengan gerakan yang sensual menurut pandangan Jonathan. Jonathan mengerang pelan, ia membayangkan bahwa tangan itu adalah... Arghhh!! Ini semua membuatnya gerah.

"Dimana ibu dan adikmu?" tanya Jonathan tiba-tiba.

"Mereka sedang ke Puskesmas di desa sebelah," jawab Hana jujur. Fatma dan Windy memang pergi ke Puskesmas untuk memeriksa dan mengobati luka yang mereka dapatkan kemarin hari.

"Kapan mereka akan kembali?"

"Mungkin jam enam."

Jarak dari puskesmas di desa sebelah lumayan jauh dari desa tempat Hana tinggal, hingga membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk pergi. Sama halnya dengan waktu untuk kembali.

Jonathan melirik arlojinya lalu menyeringai. "Kita masih punya waktu sekitar 15 menit lagi untuk bermain-main."

Hana membelalak, "Tapi kita sedang makan," sanggahnya. Bukankah gila melakukan itu saat perutnya masih dalam kondisi lapar?

Jonathan membuka ikat pinggangnya seakan tidak peduli dengan ucapan Hana. "Aku akan memberimu makan nanti. Sekarang, kamu harus memberi makan yang satu ini dulu."

"Tapi saya masih lapar ..."  Hana berusaha meminta pengertian

Jonathan berdecak dan melirik Hana tajam. "Bukankah kita sudah membuat kesepakatan sebelumnya? Kamu sudah setuju untuk melayaniku. Nyawa ibu dan adikmu tergantung pada caramu melayani dan memuaskanku. Kamu mengerti?" tegas Jonathan.

Hana menghela napas pasrah. Ia meletakkan piring makanan di atas meja lalu bergegas ke dapur untuk mencuci tangan lalu dengan cepat kembali lagi. Jonathan memberi kode kepada Hana untuk duduk di pangkuannya. Pria itu sudah tidak memakai bawahan lagi, menampilkan miliknya yang sudah mengeras. Membuat tubuh Hana bergetar karena takut.

"Kita akan melakukannya disini?"

"Ck, memangnya siapa yang akan melihat?"

"Orang-orang sering mengantar baju kemari untuk dijahit. Saya takut—"

"Biarkan saja! Kalau pun mereka melihat kita, mereka tidak mungkin akan memarahi kita dan menyebarkan apa yang mereka lihat kepada warga lainnya. Siapa yang tidak tahu saya? Mereka tidak akan berani," sela Jonathan dengan wajah sombong.

"Ta- tapi—"

"Cepat duduk di pangkuanku atau kamu akan tahu akibatnya nanti! Kamu tahu sendiri kan resiko apa yang keluargamu dapatkan jika sampai hal itu terjadi?" ancam Jonathan dengan nada membentak. Tentu saja ia kesal, dari tadi Hana terus mengulur waktu.

Hana menganggukkan kepalanya takut. Ia langsung menutup dan mengunci pintu rumah yang terbuka lebar sedari tadi lalu berjalan menghampiri Jonathan dan segera duduk di pangkuan pria itu. Astaga, Hana dapat merasakan sesuatu yang keras di bawahnya.

“Jika aku menciummu, tolong jangan menyusahkanku. Ikuti saja alurnya. Mengerti?" perintah Jonathan.

Hana menganggukkan kepalanya. Jonathan mendekatkan wajahnya dan mulai mencium Hana. Dan benar saja, Hana langsung membuka mulutnya saat lidah Jonathan berusaha masuk ke mulutnya. Hana mengerang nikmat saat lidah Jonathan menjelajah mulutnya dan kedua tangan pria itu bergerak bebas di bawah sana.

Ciuman Jonathan turun ke leher Hana. Menambah jejak ungu kemerah-merahan yang ia berikan semalam. Hana mengangkat kepalanya dan memejamkan mata. Semuanya terasa nikmat baginya. Tentu saja perbuatan Hana itu membuat Jonathan lebih leluasa mencecap dan menjilat kulit leher dan tulang selangka wanita itu.

Jonathan mengangkat baju Hana setengah. Hanya di atas payudaranya saja. Tangannya menangkup payudara mungil yang masih ditutupi bra itu. Ia mengangkat bra milik Hana tanpa membuka kaitannya terlebih dahulu. Mulutnya dengan cepat menyambar payudara kanan, sebelah tangannya bermain-main di payudara kiri. Dan salah satu tangannya lagi mulai meraba yang di bawah sana.

Hana mendesah pelan. Ia membenci sentuhan Jonathan, tapi ia tak sanggup untuk menolaknya. Dan mendengar desahan Hana membuat Jonathan semakin gencar untuk menyentuh wanita itu.

Tok tok tok!

Jonathan menghentikan aksinya saat mendengar suara ketukan pintu.

Tok tok tok!

"Kak Hana? Kenapa pintunya dikunci?" Hana membulatkan matanya. Itu suara Windy.

Jonathan menghela napas kasar. Ia menatap tajam pada Hana. "Kamu mengatakan mereka akan tiba jam enam," protesnya.

"Maaf," sela Hana pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status