Dalam keheningan, air mata Hana jatuh mengalir membasahi pipi mulusnya. Dia menangis tanpa mengeluarkan suara. Tidak ingin mengganggu ibu dan adiknya yang sedang terlelap di dalam kamar. Ini sudah jam empat subuh. Tadi, ia berjalan kaki dari tempat Jonathan hingga ke rumahnya yang berjarak sekitar dua kilometer. Ia tidak berani membangunkan Jonathan untuk mengantarnya pulang. Pria itu langsung tertidur setelah mereka selesai 'bermain'.
Hana mendaratkan tubuhnya di lantai dengan kaki tertekuk. Punggungnya menyender pada dinding dan tangannya menggenggam sebuah amplop putih berisikan uang pemberian Jonathan setelah mereka selesai berhubungan. Hana menatap uang itu dengan putus asa. Dulu, ia sangat membenci bibinya –adik almarhum ayahnya– yang rela menjual diri kepada penagih hutang agar dapat mempertahankan warung sembakonya. Dan sekarang Hana telah resmi menjadi seorang pelacur. Menjual diri demi sehektar tanah. Seperti menjilat ludah sendiri, Hana membenci dirinya! Apalah bedanya ia dengan sang bibi? Jika bibinya tahu akan hal ini, mungkin dia akan balik menertawakan Hana.
Hana meringis kesakitan saat rasa sakit di area tubuh bagian bawahnya kembali terasa. Keringat yang mengucur di dahi dan wajah putih pucatnya menandakan bagaimana rasa sakit itu menyerangnya. "Ayah, tolong.. aku sudah tidak sanggup lagi," rintihnya serak.
***
"Hana, bangun, Nak." Hana membuka matanya saat merasakan guncangan Fatma di bahunya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Fatma khawatir.
Hana menggelengkan kepalanya dan segera bangun. "Aku tidak apa-apa. Dimana Windy?"
"Sudah berangkat ke sekolah," jawab Fatma dengan kedua mata berkaca-kaca.
Hana terdiam sejenak. Tentu saja ia sudah mengerti pikiran Fatma. Ia menatap ibunya itu dan berkata, "Ibu tenang saja. Windy tetap akan sekolah sampai dia lulus. Jika dia hamil nanti, aku akan berbicara baik-baik dengan pihak sekolah."
Tak dapat membendung tangisannya lagi, Fatma langsung memeluk Hana dan menangis tersedu-sedu. "Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak becus menjaga kalian. Ibu adalah orang tua yang buruk. Maafkan ibu, Nak," isak Fatma. Hana memeluk Fatma erat dan ikut larut dalam kesedihan.
***
Sore hari itu, Hana memarkirkan sepeda ontelnya pada dinding rumah mereka yang terlihat kumuh. Ia segera masuk ke rumah sambil menenteng sebuah kresek hitam. Tadi ia habis ke warung sembako untuk membeli telur ayam. Hana mulai memanaskan wajan penggorengan di atas kompor, kemudian mengambil beberapa butir telur untuk kemudian diolah.
Saat sedang sibuk mengaduk-ngaduk telur, tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perutnya. Aroma maskulinnya sampai mengalahkan bau minyak goreng yang sudah panas. Napas hangat beraroma mint mulai terasa di ceruk leher Hana. "Kamu wangi sekali." dari suaranya saja Hana sudah dapat menebak bahwa pria yang tengah memeluknya dari belakang itu adalah Jonathan.
"Ke-kenapa Bapak datang lagi?" tanya Hana gugup. Ia pikir kegiatan semalam adalah yang terakhir kali dan tidak akan ada lagi setelah itu, karena Hana yakin Jonathan akan membuangnya.
"Kamu pikir kita hanya akan melakukannya sekali? Kamu pemuas nafsuku. Aku berhak melakukannya berkali-kali padamu." Jonathan semakin menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Hana.
Hana hampir melenguh pelan saat tangan Jonathan menyelinap masuk ke dalam kausnya tanpa permisi. Tangan Jonathan mengusap-usap perut Hana, lidah pria itu mulai menari-nari pada permukaan kulit lehernya. Jonathan membalikkan tubuh Hana dalam sekali sentak. Ia menatap wajah Hana yang mulai berkeringat.
"Cepat mandi. Aku sudah tidak sabar untuk menyentuhmu lagi."
Hana memalingkan wajahnya dan menatap wajan yang sudah panas. Ia kembali menatap Jonathan, "Maaf, tapi bisakah saya makan sebentar?" Hana memegang perutnya yang sedari tadi meraung-raung minta diisi. "Saya lapar," ucapnya sambil menundukkan kepalanya.
Jonathan tampak menimang-nimang. Ia lalu menganggukkan kepalanya. "Hm, makan saja dulu." Lalu ikut memegang perutnya. "Kebetulan saya juga lapar. Kamu sedang masak apa?"
"Te- telur goreng," jawab Hana kikuk.
Jonathan mengendikkan bahunya. "It's okay. Saya tidak masalah," ucapnya cuek lalu beranjak dari dapur. Sepeninggal Jonathan, Hana hanya dapat menghembuskan napas lega. Ia kembali memikirkan ucapan Jonathan.
"Kamu pikir kita hanya akan melakukannya sekali? Kamu pemuas nafsuku. Aku berhak melakukannya berkali-kali padamu."
Membayangi rasa sakit yang menimpa tubuhnya semalam benar-benar membuatnya trauma.
***
Tangan kanan Hana membawa sepiring nasi dengan telur goreng di atasnya. Sedangkan tangan kirinya membawa secangkir air minum. Ia berjalan menghampiri Jonathan yang sedang duduk di ruang tamu minimalis. Hana meletakkan piring dan cangkir di atas meja. "Maaf, hanya ini yang bisa saya masak."
Jonathan menganggukkan kepalanya. Ia meraih piring di atas meja dan mulai memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah, Jonathan terus menatap Hana yang dari tadi hanya berdiri sambil menautkan jari-jarinya gelisah.
Jonathan tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Lumayan."
Hana mengangkat kepalanya. Ia bernapas lega. Syukurlah, ucapnya dalam hati. Meski ia membenci Jonathan, ia selalu senang saat orang lain menyukai masakannya. Hana membalikkan tubuhnya, hendak kembali ke dapur. Namun langkahnya terhenti saat Jonathan berkata, "Mau kemana?"
Hana memutar tubuhnya, "Saya mau mau makan di dapur."
Jonathan menepuk tempat duduk di sampingnya. "Makan disini saja. Temani saya."
Hana memejamkan matanya, ia ingin menolak karena risih, tapi ia tahu Jonathan akan membenci itu. Ia lalu menganggukkan kepalanya, pasrah.
Setelah mengambil makanan di dapur, Hana mendudukkan bokongnya tepat di samping Jonathan. Tanpa menggunakan sendok, Hana mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya menggunakan tangan yang telah dicuci sebelumnya.
Hana yang terlalu rakus melahap sampai tidak sadar, dari tadi Jonathan terus menatapnya tanpa berkedip. Ia memperhatikan bagaimana tangan mungil itu memasuki mulut dan melepaskan makanan lalu keluar dengan gerakan yang sensual menurut pandangan Jonathan. Jonathan mengerang pelan, ia membayangkan bahwa tangan itu adalah... Arghhh!! Ini semua membuatnya gerah.
"Dimana ibu dan adikmu?" tanya Jonathan tiba-tiba.
"Mereka sedang ke Puskesmas di desa sebelah," jawab Hana jujur. Fatma dan Windy memang pergi ke Puskesmas untuk memeriksa dan mengobati luka yang mereka dapatkan kemarin hari.
"Kapan mereka akan kembali?"
"Mungkin jam enam."
Jarak dari puskesmas di desa sebelah lumayan jauh dari desa tempat Hana tinggal, hingga membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk pergi. Sama halnya dengan waktu untuk kembali.
Jonathan melirik arlojinya lalu menyeringai. "Kita masih punya waktu sekitar 15 menit lagi untuk bermain-main."
Hana membelalak, "Tapi kita sedang makan," sanggahnya. Bukankah gila melakukan itu saat perutnya masih dalam kondisi lapar?
Jonathan membuka ikat pinggangnya seakan tidak peduli dengan ucapan Hana. "Aku akan memberimu makan nanti. Sekarang, kamu harus memberi makan yang satu ini dulu."
"Tapi saya masih lapar ..." Hana berusaha meminta pengertian
Jonathan berdecak dan melirik Hana tajam. "Bukankah kita sudah membuat kesepakatan sebelumnya? Kamu sudah setuju untuk melayaniku. Nyawa ibu dan adikmu tergantung pada caramu melayani dan memuaskanku. Kamu mengerti?" tegas Jonathan.
Hana menghela napas pasrah. Ia meletakkan piring makanan di atas meja lalu bergegas ke dapur untuk mencuci tangan lalu dengan cepat kembali lagi. Jonathan memberi kode kepada Hana untuk duduk di pangkuannya. Pria itu sudah tidak memakai bawahan lagi, menampilkan miliknya yang sudah mengeras. Membuat tubuh Hana bergetar karena takut.
"Kita akan melakukannya disini?"
"Ck, memangnya siapa yang akan melihat?"
"Orang-orang sering mengantar baju kemari untuk dijahit. Saya takut—"
"Biarkan saja! Kalau pun mereka melihat kita, mereka tidak mungkin akan memarahi kita dan menyebarkan apa yang mereka lihat kepada warga lainnya. Siapa yang tidak tahu saya? Mereka tidak akan berani," sela Jonathan dengan wajah sombong.
"Ta- tapi—"
"Cepat duduk di pangkuanku atau kamu akan tahu akibatnya nanti! Kamu tahu sendiri kan resiko apa yang keluargamu dapatkan jika sampai hal itu terjadi?" ancam Jonathan dengan nada membentak. Tentu saja ia kesal, dari tadi Hana terus mengulur waktu.
Hana menganggukkan kepalanya takut. Ia langsung menutup dan mengunci pintu rumah yang terbuka lebar sedari tadi lalu berjalan menghampiri Jonathan dan segera duduk di pangkuan pria itu. Astaga, Hana dapat merasakan sesuatu yang keras di bawahnya.
“Jika aku menciummu, tolong jangan menyusahkanku. Ikuti saja alurnya. Mengerti?" perintah Jonathan.
Hana menganggukkan kepalanya. Jonathan mendekatkan wajahnya dan mulai mencium Hana. Dan benar saja, Hana langsung membuka mulutnya saat lidah Jonathan berusaha masuk ke mulutnya. Hana mengerang nikmat saat lidah Jonathan menjelajah mulutnya dan kedua tangan pria itu bergerak bebas di bawah sana.
Ciuman Jonathan turun ke leher Hana. Menambah jejak ungu kemerah-merahan yang ia berikan semalam. Hana mengangkat kepalanya dan memejamkan mata. Semuanya terasa nikmat baginya. Tentu saja perbuatan Hana itu membuat Jonathan lebih leluasa mencecap dan menjilat kulit leher dan tulang selangka wanita itu.
Jonathan mengangkat baju Hana setengah. Hanya di atas payudaranya saja. Tangannya menangkup payudara mungil yang masih ditutupi bra itu. Ia mengangkat bra milik Hana tanpa membuka kaitannya terlebih dahulu. Mulutnya dengan cepat menyambar payudara kanan, sebelah tangannya bermain-main di payudara kiri. Dan salah satu tangannya lagi mulai meraba yang di bawah sana.
Hana mendesah pelan. Ia membenci sentuhan Jonathan, tapi ia tak sanggup untuk menolaknya. Dan mendengar desahan Hana membuat Jonathan semakin gencar untuk menyentuh wanita itu.
Tok tok tok!
Jonathan menghentikan aksinya saat mendengar suara ketukan pintu.
Tok tok tok!
"Kak Hana? Kenapa pintunya dikunci?" Hana membulatkan matanya. Itu suara Windy.
Jonathan menghela napas kasar. Ia menatap tajam pada Hana. "Kamu mengatakan mereka akan tiba jam enam," protesnya.
"Maaf," sela Hana pelan.
Fatma dan Windy langsung masuk ke dalam rumah begitu Hana membukakan pintu. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat Jonathan sedang duduk di kursi ruang tamu dengan wajah yang tak enak dipandang. Mereka tahu apa yang sedang Jonathan dan Hana lakukan di dalam rumah, karena penampilan Hana yang tampak acak-adul.Fatma merasa sakit hati, ibu mana yang rela jika anaknya sendiri di perlakukan seperti itu oleh lelaki kejam seperti Jonathan? Tapi sekali lagi semuanya kembali pada kekuasaan duniawi. Fatma dan dua buah hatinya berada dibawah genggaman Jonathan."Maaf." Fatma menundukkan kepalanya sembari mengepalkan kedua tangannya erat. Hatinya terasa teriris saat mengucapkan kalimat barusan. Ia merasa seperti ibu yang tidak berguna, yang menjual anak gadisnya lalu memakai uang yang dihasilkan untuk berobat.Jonathan menghela napas kasar lalu berdiri. Mengabaikan permintaan maaf Fatma, Jonathan lantas menatap Hana tajam. "Aku akan menunggumu di dalam mobil." Ia berjala
Jonathan tumbang di atas tubuh Hana setelah melepaskan penyatuannya. Sekarang sudah menunjukkan pukul empat subuh. Dan itu menandakan bahwa mereka harus mengakhiri pergumulannya sampai disini. Baik Jonathan dan Hana sama-sama bernapas tersengal.Jonathan mengecup bibir Hana lalu membaringkan tubuhnya di samping Hana yang sedang terkulai lemah. "Kamu benar-benar nikmat." Jonathan merubah posisinya menjadi miring. Ia menatap wajah Hana dari samping. Demi dewa Neptunus, Jonathan tidak bisa untuk tidak mengagumi setiap pahatan wajah Hana. Hidung yang mungil dan mancung, bulu mata lentik serta kelopaknya yang indah membuat wanita itu semakin terlihat menawan. Lalu bibir mungil dan tipis itu, bagian terfavorit Jonathan. Yang menjadi candunya untuk beberapa hari ini. Ah, lengkap sudah keindahan yang ada pada Hana.Pandangan Jonathan turun ke bawah. Ia menatap dada Hana yang sedang naik turun, menandakan bahwa wanita itu sedang mengambil napas setelah percintaan yang pan
Windy yang baru saja pulang dari sekolah langsung bergegas masuk ke kamarnya dan Hana begitu mendengar suara ribut yang dilakukan oleh Hana. Alangkah kagetnya Windy saat melihat isi lemarinya dan Hana telah berserakan di lantai."Apa yang kak Hana lakukan?" tanya Windy.Mendengar suara Windy, Hana langsung menoleh ke sumber suara. "Windy? Kamu sudah pulang?" tanyanya dengan wajah tak enak.Windy berjalan masuk dan menatap pakaian-pakaian itu. "Kak, kenapa kakak membongkar semua isi lemari kita?""Oh, ini?" Hana meringis. "Aku sedang mencari seragam sekolahku yang dulu. Kamu melihatnya?" tanya Hana.Windy menggeleng. "Memangnya apa yang akan kakak lakukan dengan seragam itu?"Hana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sesungguhnya ia juga tidak tahu maksud Jonathan memintanya untuk memakai seragam sekolah malam ini. "Aku juga tidak tahu. Ini permintaan pak Jonathan."Windy tersentak. "P- pak Jonathan?"Hana menganggukkan kepala
Jonathan menaiki bukit dengan susah payah. "Kau sudah gila, Jonathan," rutuknya sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Napasnya benar-benar menipis hanya karena anak bukit ini. Jonathan meneruskan langkahnya sampai tiba di atas. Ia mengatur napasnya yang tersengal agar kembali normal. Setelah itu, matanya mulai berpendar mencari sosok yang ia cari."Rupanya disitu." Jonathan menemukan pelacurnya. Ia menyipitkan matanya, ingin mengetahui apa yang dilakukan Hana. Tidak ada. Wanita itu hanya duduk bersender pada pohon besar di samping sambil menatap ke arah utara, dimana lokasi proyek Jonathan berada.Jonathan berjalan mendekat, mungkin bunyi injakan kakinya yang terdengar agak nyaring, sehingga Hana secara refleks memutar kepalanya dan menatap Jonathan.Hana membulatkan matanya, "Pak Jonathan?" Ia segera berdiri sambil membersihkan belakang roknya yang kotor.Jonathan membuang napas kasar. "Susah sekali menemuimu. Kamu tahu perjuanganku dari pesawat sampai k
Jonathan memutuskan panggilan. Ia menoleh ke belakang, keningnya mengernyit, "Kenapa berdiri di situ? Kemarilah!" serunya tajam kepada Hana.Suara Jonathan terdengar nyaring! Semua orang memerhatikan mereka. Lebih tepatnya ke arah Hana. Tatapan para wanita-wanita di sekeliling seolah-olah mengatakan, 'Siapakah wanita dekil itu? Kenapa ia bisa berada dekat dengan pria tampan itu?' seolah memandang rendah padanya.Hana menundukkan kepalanya lalu melangkah maju mendekati Jonathan."Jangan jauh-jauh! Bagaimana kalau kamu tiba-tiba diculik? Saya kan belum puas ..." Ucapan Jonathan terhenti. Bola matanya bergerak kesana dan kemari. Ia menyadari semua telinga yang ada di sekitar mendengarnya. Ia lalu terkekeh, "Belum puas mengenalmu lebih jauh," bohongnya sambil tersenyum lalu merangkul bahu Hana.Para orang tua tertawa mendengar ucapan Jonathan barusan sementara wanita-wanita muda lainnya saling
Jonathan membawa Hana ke salah satu mall terbesar di kota. Ia cukup berani menggandeng Hana di sampingnya karena penampilan wanita itu sudah tidak terlihat kampungan lagi setelah dipermak tiga pelayan ajaibnya. Setidaknya Jonathan tidak akan malu jika berdiri di sisinya. Mata Hana mulai berpendar kesana dan kemari, menjelajah sekelilingnya dimana orang-orang berlalu-lalang dan sibuk melakukan kegiatannya masing-masing."Kamu belum pernah ke tempat seperti ini?" tanya Jonathan.Hana menggeleng pelan."Serius tidak pernah?" Jonathan memastikan lagi.Hana mengangguk.Jonathan menghela napas. "Semoga saja kamu tidak melakukan hal yang memalukan nantinya."Hana mengulas senyum kecil, "Tidak akan."Jonathan menatap Hana lalu mengangkat sebelah alisnya, "Yakin?" firasatnya mulai tidak enak.Hana mengangguk. "Saya janji."Jonathan mengangguk seraya tertawa kecil. "Ya, ya, ya ... Saya percaya kamu itu pemalu dan kalem. Cuma kalau
Billy menatap aneh pada kakaknya yang sedang menikmati rujak di atas meja. "Hey, bung. Apa rasanya enak?" tanya Billy sambil bertopang dagu.Mengabaikan pertanyaan Billy, Jonathan mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun masih dengan semangat Empat - Lima, ia kembali menusuk mangga-mangga yang sudah dibaluri bumbu pedas itu dan melahapnya habis."Sudah tahu pedas masih saja dimakan." Billy bergidik lalu beranjak mengambil sesuatu dari kulkas. Ia kembali pada Jonathan dengan membawa sebotol wine."Daripada memakan makanan yang tidak jelas itu, lebih baik kita menikmati anggur ini saja," gumam Billy sambil membuka tutup botol tersebut menggunakan giginya.Jonathan mendongak, matanya mulai mengeluarkan cairan karena rasa pedas yang menjalar di lidah hingga ke telinganya. "Bill! Minum, minum! Cepat berikan minuman untukku!" perintah Jonathan tidak sabaran menahan pedas.Billy terkekeh dan men
Suara baling-baling helikopter yang sudah menggebu-gebu di depan sana semakin membuat perut Hana terasa mual. Rambutnya beterbangan tidak beraturan karena jaraknya yang sangat dengan kendaraan asing itu."Kamu senang?" Jonathan bertanya agak nyaring.Hana menggeleng. "Benda itu terlihat menakutkan, Pak," balas Hana dengan suara yang nyaring pula."Seharusnya kamu menangis terharu bahkan melompat-lompat karena senang. Seperti yang dilakukan Anastasia Steele di film Fifty Shades of Grey," ucap Jonathan asal. Hana mengernyit tidak paham maksud Jonathan. Jonathan tertawa. "Ah, iya. Kamu tidak tahu film itu. Aku lupa kalau kamu itu kampungan," kekeh Jonathan. "Nanti kita akan menontonnya setelah kembali dari desa. Setuju?"Hana hanya mengangguk sekenanya karena rasa takut lebih menguasai dirinya sekarang. Jonathan tersenyum geli melihat raut ketakutan yang terpancar dari wajah Hana. Segera, ia meraih tangan Hana dan menggeng