Fatma dan Windy langsung masuk ke dalam rumah begitu Hana membukakan pintu. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat Jonathan sedang duduk di kursi ruang tamu dengan wajah yang tak enak dipandang. Mereka tahu apa yang sedang Jonathan dan Hana lakukan di dalam rumah, karena penampilan Hana yang tampak acak-adul.
Fatma merasa sakit hati, ibu mana yang rela jika anaknya sendiri di perlakukan seperti itu oleh lelaki kejam seperti Jonathan? Tapi sekali lagi semuanya kembali pada kekuasaan duniawi. Fatma dan dua buah hatinya berada dibawah genggaman Jonathan.
"Maaf." Fatma menundukkan kepalanya sembari mengepalkan kedua tangannya erat. Hatinya terasa teriris saat mengucapkan kalimat barusan. Ia merasa seperti ibu yang tidak berguna, yang menjual anak gadisnya lalu memakai uang yang dihasilkan untuk berobat.
Jonathan menghela napas kasar lalu berdiri. Mengabaikan permintaan maaf Fatma, Jonathan lantas menatap Hana tajam. "Aku akan menunggumu di dalam mobil." Ia berjalan keluar dari rumah meninggalkan ketiga wanita yang sedang menundukkan kepalanya itu.
Sepeninggal Jonathan, Fatma langsung memeluk Hana. "Maafkan ibu, Nak. Maafkan ibu," isaknya pelan, takut didengar oleh Jonathan.
Hana membalas pelukan Fatma dan menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu meminta maaf, Bu. Aku akan menjalaninya dengan kuat." Windy ikut terlarut dalam kesedihan, ia memeluk Hana dan Fatma. Mereka bertiga saling berpelukan dan menguatkan diri di dalam ruangan tamu yang kecil itu.
***
Jonathan memandangi tubuh polos Hana dari belakang. Ia menyeringai puas menyaksikan tubuh menggigil Hana yang diguyur oleh air dari shower. "T- tolong ... saya sudah ti- tidak tahan...," cicit Hana lirih.
Ia memeluk tubuhnya sendiri. Jonathan menyuruhnya untuk tetap berdiri dan diam di bawah shower. Ini sudah hampir satu jam lebih sejak Hana menuruti perintah pria itu hingga tubuhnya menggigil dan bibirnya memucat.
"Sekali lagi kamu berbicara, akan saya tambah waktunya hingga dua jam," ancam Jonathan.
Hana menundukkan kepalanya pasrah. Kakinya sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Bibirnya bergetar. Hana merasa tersiksa. Ia hampir tumbang ke lantai jika saja tubuhnya tidak ditahan oleh Jonathan. Ia menggendong Hana hingga kaki wanita itu secara otomatis melingkari pinggangnya.
Jonathan membawa tubuh Hana hingga punggung wanita itu menyentuh dinding. Mulut pria itu langsung mengulum puting payudara Hana. Lidahnya bermain-main dengan kedua benda coklat yang sudah mengeras itu. Hana memejamkan mata dan menengadahkan kepalanya ke atas. kedua tangannya mencengkeram kuat bahu Jonathan. Ia membenci dirinya karena semudah ini menikmati sentuhan pria yang ia benci. Suhu tubuh Hana yang awalnya dingin menjadi hangat akibat sentuhan itu.
Ciuman Jonathan berpindah pada ceruk leher Hana. Di sana ia mencecap dan menghisap kuat kulit Hana hingga wanita itu mengerang pelan.
Jonathan mengangkat wajahnya yang telah dipenuhi oleh kabut gairah. "Oh, fuck!" geramnya lalu membawa Hana dan mendudukkan wanita itu ke kloset duduk yang tertutup. Jonathan membuka ikat pinggang dan celana kerjanya dengan tergesa-gesa hingga menyisakan boxer-nya yang sudah menggembung.
Jonathan membuka kain terakhir yang membungkus tubuh bagian bawahnya itu hingga menampilkan miliknya yang sudah siap. Jonathan segera mengarahkannya tepat di hadapan wajah Hana. Hana yang tak mengerti apa-apa hanya bisa melongo, tidak tahu harus berbuat apa.
"Tunggu apa lagi?!" bentak Jonathan tidak sabaran.
"Y- ya?" Hana masih tak paham.
"Ck, lakukan seperti saat aku mengulum tanganmu tadi!" seru Jonathan.
Hana menelan ludahnya susah. Tangannya mulai bergerak dan menyentuh benda itu. Jonathan mengerang nikmat. Ini gila! Padahal Hana hanya menyentuhnya, tapi kenapa langsung terasa nikmat bagi Jonathan?
Hana membuka mulutnya dan memasukkan benda itu ke dalamnya. Baru saja masuk, Hana ingin memuntahkannya tapi kepalanya sudah dulu ditahan oleh Jonathan. Jonathan menggeram, menunggu Hana untuk melakukan bagiannya terasa sangat menyiksa! Wanita itu benar-benar payah dan tidak bisa melakukan tugasnya dengan benar! Akhirnya, Jonathan-lah yang mengambil alih. Ia menahan kepala Hana dan mendorong miliknya masuk ke dalam mulut wanita itu. Melakukan gerakan maju-mundur berulang-ulang. Ritme gerakannya semakin lama semakin cepat. Ia tak peduli dengan kondisi Hana di bawah sana yang hampir tidak bisa bernapas. Jonathan mengerang, "Shit! Ini nikmat sekali!" Ia mencapai klimaksnya.
Jonathan membuka lebar paha Hana dan mengarahkan miliknya ke dalam tempat penyatuan. Ia menggerakkan pinggulnya pelan, dan kemudian mempercepat gerakannya. Desahan Hana terdengar memendek namun cepat setiap detiknya.
Mereka terbuai dalam kenikmatan. Jonathan maupun Hana tak bisa menghentikannya. Sekalipun Hana ingin berhenti, ia tak akan sanggup. Ia telah jatuh ke dalam dosa. Dosa yang membuat tubuhnya pasrah.
Jonathan tumbang di atas tubuh Hana setelah melepaskan penyatuannya. Sekarang sudah menunjukkan pukul empat subuh. Dan itu menandakan bahwa mereka harus mengakhiri pergumulannya sampai disini. Baik Jonathan dan Hana sama-sama bernapas tersengal.Jonathan mengecup bibir Hana lalu membaringkan tubuhnya di samping Hana yang sedang terkulai lemah. "Kamu benar-benar nikmat." Jonathan merubah posisinya menjadi miring. Ia menatap wajah Hana dari samping. Demi dewa Neptunus, Jonathan tidak bisa untuk tidak mengagumi setiap pahatan wajah Hana. Hidung yang mungil dan mancung, bulu mata lentik serta kelopaknya yang indah membuat wanita itu semakin terlihat menawan. Lalu bibir mungil dan tipis itu, bagian terfavorit Jonathan. Yang menjadi candunya untuk beberapa hari ini. Ah, lengkap sudah keindahan yang ada pada Hana.Pandangan Jonathan turun ke bawah. Ia menatap dada Hana yang sedang naik turun, menandakan bahwa wanita itu sedang mengambil napas setelah percintaan yang pan
Windy yang baru saja pulang dari sekolah langsung bergegas masuk ke kamarnya dan Hana begitu mendengar suara ribut yang dilakukan oleh Hana. Alangkah kagetnya Windy saat melihat isi lemarinya dan Hana telah berserakan di lantai."Apa yang kak Hana lakukan?" tanya Windy.Mendengar suara Windy, Hana langsung menoleh ke sumber suara. "Windy? Kamu sudah pulang?" tanyanya dengan wajah tak enak.Windy berjalan masuk dan menatap pakaian-pakaian itu. "Kak, kenapa kakak membongkar semua isi lemari kita?""Oh, ini?" Hana meringis. "Aku sedang mencari seragam sekolahku yang dulu. Kamu melihatnya?" tanya Hana.Windy menggeleng. "Memangnya apa yang akan kakak lakukan dengan seragam itu?"Hana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sesungguhnya ia juga tidak tahu maksud Jonathan memintanya untuk memakai seragam sekolah malam ini. "Aku juga tidak tahu. Ini permintaan pak Jonathan."Windy tersentak. "P- pak Jonathan?"Hana menganggukkan kepala
Jonathan menaiki bukit dengan susah payah. "Kau sudah gila, Jonathan," rutuknya sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Napasnya benar-benar menipis hanya karena anak bukit ini. Jonathan meneruskan langkahnya sampai tiba di atas. Ia mengatur napasnya yang tersengal agar kembali normal. Setelah itu, matanya mulai berpendar mencari sosok yang ia cari."Rupanya disitu." Jonathan menemukan pelacurnya. Ia menyipitkan matanya, ingin mengetahui apa yang dilakukan Hana. Tidak ada. Wanita itu hanya duduk bersender pada pohon besar di samping sambil menatap ke arah utara, dimana lokasi proyek Jonathan berada.Jonathan berjalan mendekat, mungkin bunyi injakan kakinya yang terdengar agak nyaring, sehingga Hana secara refleks memutar kepalanya dan menatap Jonathan.Hana membulatkan matanya, "Pak Jonathan?" Ia segera berdiri sambil membersihkan belakang roknya yang kotor.Jonathan membuang napas kasar. "Susah sekali menemuimu. Kamu tahu perjuanganku dari pesawat sampai k
Jonathan memutuskan panggilan. Ia menoleh ke belakang, keningnya mengernyit, "Kenapa berdiri di situ? Kemarilah!" serunya tajam kepada Hana.Suara Jonathan terdengar nyaring! Semua orang memerhatikan mereka. Lebih tepatnya ke arah Hana. Tatapan para wanita-wanita di sekeliling seolah-olah mengatakan, 'Siapakah wanita dekil itu? Kenapa ia bisa berada dekat dengan pria tampan itu?' seolah memandang rendah padanya.Hana menundukkan kepalanya lalu melangkah maju mendekati Jonathan."Jangan jauh-jauh! Bagaimana kalau kamu tiba-tiba diculik? Saya kan belum puas ..." Ucapan Jonathan terhenti. Bola matanya bergerak kesana dan kemari. Ia menyadari semua telinga yang ada di sekitar mendengarnya. Ia lalu terkekeh, "Belum puas mengenalmu lebih jauh," bohongnya sambil tersenyum lalu merangkul bahu Hana.Para orang tua tertawa mendengar ucapan Jonathan barusan sementara wanita-wanita muda lainnya saling
Jonathan membawa Hana ke salah satu mall terbesar di kota. Ia cukup berani menggandeng Hana di sampingnya karena penampilan wanita itu sudah tidak terlihat kampungan lagi setelah dipermak tiga pelayan ajaibnya. Setidaknya Jonathan tidak akan malu jika berdiri di sisinya. Mata Hana mulai berpendar kesana dan kemari, menjelajah sekelilingnya dimana orang-orang berlalu-lalang dan sibuk melakukan kegiatannya masing-masing."Kamu belum pernah ke tempat seperti ini?" tanya Jonathan.Hana menggeleng pelan."Serius tidak pernah?" Jonathan memastikan lagi.Hana mengangguk.Jonathan menghela napas. "Semoga saja kamu tidak melakukan hal yang memalukan nantinya."Hana mengulas senyum kecil, "Tidak akan."Jonathan menatap Hana lalu mengangkat sebelah alisnya, "Yakin?" firasatnya mulai tidak enak.Hana mengangguk. "Saya janji."Jonathan mengangguk seraya tertawa kecil. "Ya, ya, ya ... Saya percaya kamu itu pemalu dan kalem. Cuma kalau
Billy menatap aneh pada kakaknya yang sedang menikmati rujak di atas meja. "Hey, bung. Apa rasanya enak?" tanya Billy sambil bertopang dagu.Mengabaikan pertanyaan Billy, Jonathan mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun masih dengan semangat Empat - Lima, ia kembali menusuk mangga-mangga yang sudah dibaluri bumbu pedas itu dan melahapnya habis."Sudah tahu pedas masih saja dimakan." Billy bergidik lalu beranjak mengambil sesuatu dari kulkas. Ia kembali pada Jonathan dengan membawa sebotol wine."Daripada memakan makanan yang tidak jelas itu, lebih baik kita menikmati anggur ini saja," gumam Billy sambil membuka tutup botol tersebut menggunakan giginya.Jonathan mendongak, matanya mulai mengeluarkan cairan karena rasa pedas yang menjalar di lidah hingga ke telinganya. "Bill! Minum, minum! Cepat berikan minuman untukku!" perintah Jonathan tidak sabaran menahan pedas.Billy terkekeh dan men
Suara baling-baling helikopter yang sudah menggebu-gebu di depan sana semakin membuat perut Hana terasa mual. Rambutnya beterbangan tidak beraturan karena jaraknya yang sangat dengan kendaraan asing itu."Kamu senang?" Jonathan bertanya agak nyaring.Hana menggeleng. "Benda itu terlihat menakutkan, Pak," balas Hana dengan suara yang nyaring pula."Seharusnya kamu menangis terharu bahkan melompat-lompat karena senang. Seperti yang dilakukan Anastasia Steele di film Fifty Shades of Grey," ucap Jonathan asal. Hana mengernyit tidak paham maksud Jonathan. Jonathan tertawa. "Ah, iya. Kamu tidak tahu film itu. Aku lupa kalau kamu itu kampungan," kekeh Jonathan. "Nanti kita akan menontonnya setelah kembali dari desa. Setuju?"Hana hanya mengangguk sekenanya karena rasa takut lebih menguasai dirinya sekarang. Jonathan tersenyum geli melihat raut ketakutan yang terpancar dari wajah Hana. Segera, ia meraih tangan Hana dan menggeng
Kalimat itu berhasil membuat bulu kuduk Hana semakin gamang. Hawa di sekitar berubah menjadi dingin dan mencekam. Ketakutan Hana menjadi dua kali lipat. Selain karena wanita tua di depannya itu tetapi juga takut akan jawaban yang akan terlontar dari mulut Jonathan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Hana juga penasaran akan hal itu dan menantikannya. Jonathan menelan salivanya susah payah. Ia gelagapan. Ekor matanya melirik Hana sejenak lalu kembali bertatapan dengan sang ibu. "Dia ..." Baik Hana dan ibu Jonathan sama-sama saling menantikan kelanjutan dari kalimat Jonathan. "Dian ..." Jonathan semakin kalut dan bingung. Tidak mungkin kan jika dia mengatakan,'Dia pelacurku, Mom.Atau.. Dia pemuas nafsuku, Mom.Apalagidia partnerku di atas ranjang, Mom. Hell! Gila saja jika sampai ia berani mengatakan hal seperti itu. "Dia pacarku,Mom." Hana membulatkan