Jonathan memutuskan panggilan. Ia menoleh ke belakang, keningnya mengernyit, "Kenapa berdiri di situ? Kemarilah!" serunya tajam kepada Hana.
Suara Jonathan terdengar nyaring! Semua orang memerhatikan mereka. Lebih tepatnya ke arah Hana. Tatapan para wanita-wanita di sekeliling seolah-olah mengatakan, 'Siapakah wanita dekil itu? Kenapa ia bisa berada dekat dengan pria tampan itu?' seolah memandang rendah padanya.
Hana menundukkan kepalanya lalu melangkah maju mendekati Jonathan.
"Jangan jauh-jauh! Bagaimana kalau kamu tiba-tiba diculik? Saya kan belum puas ..." Ucapan Jonathan terhenti. Bola matanya bergerak kesana dan kemari. Ia menyadari semua telinga yang ada di sekitar mendengarnya. Ia lalu terkekeh, "Belum puas mengenalmu lebih jauh," bohongnya sambil tersenyum lalu merangkul bahu Hana.
Para orang tua tertawa mendengar ucapan Jonathan barusan sementara wanita-wanita muda lainnya saling berbisik.
"Astaga, wanita itu beruntung sekali mendapatkan pria tampan dan romantis seperti dia."
"Iya, padahal wajah wanitanya biasa-biasa saja."
"Kalau aku jadi pria itu, aku pasti akan mencari wanita yang lebih cantik dari itu."
"Palingan pria itu sudah diguna-guna,"
"Ish. Miris sekali."
Begitulah kira-kira ucapan yang di tangkap oleh indra pendengar Hana. Ia sedih sekaligus malu. Malu terhadap penampilannya.
Jonathan melepaskan rangkulannya lalu memegang tangan Hana. "Ayo masuk," ajaknya kemudian membawa Hana masuk ke dalam taksi. Sebenarnya ia juga tidak tahan mendengar perkataan para wanita-wanita sok cantik itu. Apa mereka tidak bisa berkaca? Hana bahkan lebih cantik dan imut dibandingkan mereka. Apa hanya ia yang melihatnya seperti itu?
Jonathan ingin membalas ucapan mereka tetapi rasa gengsinya terlalu tinggi. Bagaimana kalau Hana berpikir bahwa ia membelanya? Wanita itu pasti akan terbawa perasaan. Dan Jonathan tidak menginginkan hal itu.
"Jalan, Pak," perintah Jonathan. Sopir tersebut mengangguk lalu melajukan mobilnya keluar dari wilayah bandara, membelah jalanan padat ibu kota pada malam hari.
Setelah beberapa jam terjebak macet, akhirnya sampailah mereka di tempat tujuan. Hana melirik ke luar. Penampakan rumah di hadapannya sekarang tidak terlihat dengan jelas karena terhalang gelapnya malam. Namun jika dilihat dari halamannya saja, Hana yakin ukuran rumah itu bukan main besarnya.
"Ini rumah Bapak?" tanya Hana.
"Hm." gumam Jonathan. Ia membayar ongkos taksi sejenak lalu beranjak keluar dari mobil.
"Wah, besar sekali," puji Hana kagum. Ia bergegas turun dari mobil lalu menyusul Jonathan. Setelah sampai di depan pintu, Jonathan menekan bel berulang-ulang hingga akhirnya pintu terbuka menampilkan seorang pria tampan blasteran dengan hanya mengenakan celana training panjang dan tanpa atasan, menampakkan perut kotak-kotaknya.
"Hey, dude! What are you doin here?" ucap pria itu sambil memegang segelas cocktail.
Jonathan mendengkus, "Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan di rumahku, Bill?!"
Pria yang diketahui bernama Billy tersebut tertawa lalu memeluk Jonathan, mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan Jonathan barusan. "I miss you so much, brother!" ucapnya.
Jonathan memasang wajah kusut. Ia mengurai pelukan dalam sekali hentakan hingga minuman Billy jatuh berceceran di lantai. Jonathan membuang napas kasar. "Aku yakin kedatanganmu ke sini pasti ada alasannya. Apa semua wanita-wanitamu itu sudah tidak mau menampungmu lagi, huh?"
"Bukannya mereka tidak mau menampungku lagi, mereka hanya ..." Billy menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia bingung akan menjawab apa. Karena faktanya ia memang telah diusir oleh semua wanita-wanita malamnya karena ketahuan selingkuh. Billy tidak tahu siapakan gerangan yang memberitahu semua wanita-wanita itu hingga serempak mengusirnya. "Mereka hanya— Oh, Hey! Siapa ini?" Billy beralih karena menyadari keberadaan Hana.
Hana yang sedari tadi hanya diam dan mendengar, kini tersenyum. Ia mengulurkan sebelah tangannya. "Ha—"
"Jangan pegang-pegang!" Belum selesai Hana menyapa, Jonathan tiba-tiba berdecak dan menepis tangan Hana dengan melayangkan tatapan tajamnya pada Billy
Billy memutar matanya. "Oh,.ayolah! Kami hanya akan berkenalan bukannya tidur seranjang," protes Billy. Ia mengulurkan tangannya sekali lagi.
Lagi-lagi Jonathan menepis tangan Billy. Ia mendelik. "Biar aku saja yang mengenalkan kalian. "Ini Hana," beri tahu Jonathan singkat dan tak ikhlas kepada Billy. Billy ingin memprotes namun Jonathan langsung melirik Hana, dan berkata, "Kenalkan. Pria jelek ini bernama Billy. Dia adalah adik kandungku tapi sayangnya aku tidak pernah menganggapnya sebagai adik. Jangan coba-coba untuk mendekatinya. Dia playboy cap kuda," jelas Jonathan penuh peringatan.
"Tidak heran lagi, dia memang seperti kuda. Menyemprotkan spermanya ke sembarang lubang. Jadi berhati-hatilah selama dia di rumah ini. Lagipula miliknya tidak lebih ganas dibandingkan milikku. Aku yakin kamu tidak akan tertarik," tambah Jonathan dengan sangat sarkas
Billy tergelak sambil memegang perutnya, "Astaga … memangnya dia tahu seberapa ganas milikmu?" tanya Billy.
Jonathan terkekeh, "Tentu saja dia tahu." Ia melirik Hana, "aku yang pertama kali tidur dengannya."
Ucapan Jonathan barusan sontak membuat Billy seketika menghentikan tawanya. "Dia ..." Billy melirik Hana sejenak lalu kembali bertatapan dengan Jonathan, "..sudah tidak perawan?"
Hana tidak tuli. Ia mendengar ucapan Billy. Entahlah, Hana sakit hati namun memang begitulah faktanya. Sudahlah, Hana ikhlas. Biarkan saja dunia mengetahui tentangnya.
Jonathan tidak menjawab dan lebih memilih tertawa kecil. Ia merangkul pinggang Hana posesif lalu membawanya masuk ke rumah, meninggalkan Billy yang tampak terdiam seribu bahasa.
***
Hana yang sedang tertidur merasa terganggu saat mendengar suara bisik-bisik di sekitarnya.
"Apa dia sudah bangun?"
"Sstt ...jangan keras-keras. Pak Jonathan akan marah jika dia terbangun karena kita. Kita harus menunggunya."
"Baiklah. Tapi dia tidur lama sekali."
"Biarkan saja. Semalam ia harus melayani nafsu pak Jonathan yang gila akan seks itu. Dia pasti lelah sekali."
"Ssttt!!! Jangan berbicara seperti itu. Bagaimana kalau Pak Jonathan mendengarnya?"
"Diamlah kalian berdua!"
"Oh, dia bangun, dia bangun!"
Hana membuka matanya saat mendengar suara berisik itu lagi Penglihatannya masih buram, ia mengucek-ngucek matanya dengan kedua tangan dan mengedipkan matanya berulang-ulang hingga penglihatannya kembali normal.
"SELAMAT PAGI!!!!"
Hana tersentak kaget. "Siapa kalian?" ucapnya sambil menarik selimut hingga ke batas leher untuk menutupi tubuh polosnya. Terdapat tiga orang wanita dengan pakaian ala-ala pelayan istana, tengah berdiri di samping kasur sambil menatapnya.
"Oh, no no no no! Jangan khawatir - jangan khawatir. Kami disini hanyalah pembantu biasa, bukan penyihir. Jadi Nona tidak perlu setakut itu," sahut seorang pelayan sambil memamerkan deretan giginya yang rapi. Pelayan yang satu ini terlihat lebih ceria dibandingkan dua orang sampingnya. Ia juga terlihat paling muda.
"Luna! Jangan berkata seperti itu. Kamu akan membuatnya risih," sahut seorang pelayan yang wajahnya kelihatan lebih tua. Ia memakai kacamata minus. Penampilannya terkesan manis dan dewasa.
"Biarkan kami memperkenalkan diri, Nona. Apa Nona tidak keberatan?" tanya pelayan yang terakhir. Penampilannya tampak seksi dan berani. Hana yang masih dalam keadaan terkejut, hanya menganggukkan kepala sekenanya.
Ketiga pelayan itu mulai memperkenalkan diri satu persatu. Dimulai dari yang wajahnya terlihat muda tadi. "Saya Luna, diantara kami bertiga, saya adalah maknae disini. Saya penggemar beratnya BTS. Member favorit saya itu Jeon JungKook! Dia itu unyu sekaligus tampan. Dia juga member terkuat diantara para Hyung-hyung nya. Selain itu saya juga suka sama RM. Cara dia memimpin timnya itu luar biasa sekali. Oh iya, Kemarin saya sempat ke konsernya BTS loh," cengir pembantu bernama Luna tersebut.
Hana mengernyitkan kening, tidak paham sama sekali dengan ucapan Luna. Pelayan selanjutnya pun maju. "Selamat pagi, Nona. Perkenalkan nama saya Melisa." Pelayan satu ini bersuara dengan nada rendah dan sensual. "Jika nona bertanya siapakah wanita terseksi ulalah di dunia ini, maka jawabannya adalah MELISA MONTANA. Selain cantik dan seksi, saya juga bisa melakukan apapun yang diperintahkan. Memasak, mencuci, memandikan, memakaikan baju, mendandani, dan lain lain. Semua itu ada dalam bakat saya." Melisa menutup perkenalannya dengan menunduk hormat ala-ala putri Eropa.
Setelah itu, pelayan yang tertua-pun mulai memperkenalkan diri, sebelum itu ia terlebih dahulu tersenyum. "Selamat pagi, Nona. Perkenalkan nama saya Marlina. Saya adalah pelayan tertua sekaligus penasihat utama semua pembantu disini. Nona bisa memanggil saya kapanpun anda membutuhkan saya," ucap Marlina seraya mengulas senyum.
Hana menggaruk kepalanya, "Saya Hana ... Kalian tidak usah memanggil saya nona. Cukup panggil Hana saja. Dan untuk apa kalian disini?" tanya Hana masih terheran-heran.
"Kami diperintah pak Jonathan untuk mengubah penampilan Nona pagi ini."
Hana mengernyit. "Mengubah? Maksud kalian?"
Ketiga pembantu itu serempak tersenyum misterius. Dan selanjutnya...
"Aaaa ... Mau dibawa kemana saya? Kenapa kalian mengangkat saya?" teriak Hana sambil mencengkram kuat selimutnya agar tidak melorot dari tubuhnya yang tidak mengenakan apa-apa. Oh, tidak! Dia akan dibawa ke kamar mandi!
***
Hana keluar dari rumah dengan risih. Ia harap gaun yang ia kenakan tidak terlalu pendek. Ia juga kesusahan berjalan karena tidak biasa memakai hak sepatu. Padahal tinggi hak sepatu tersebut tidak terlalu tinggi. Hana ingin menggantinya dengan sendal biasa saja tapi ketiga wanita itu memaksanya untuk tetap memakai sepatu ini.
Hana menghentikan langkahnya seketika dan hanya berdiri di ambang pintu saat menyaksikan penampakan di hadapannya sekarang. Jonathan tengah bersender di mobil mewah miliknya dengan kedua tangan bersedekap di dada. Pria itu tampak tersenyum puas menyaksikan penampilan Hana.
Hana menggigit bibir merahnya. Ia melangkah dengan pelan dan ragu. Dadanya tiba-tiba berdebar kencang menyaksikan senyuman tampan Jonathan. Kemanakah ia akan membawanya pergi? pikir Hana.
Jonathan menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Hana kini sudah berdiri di sampingnya. "Are you ready?" tanya Jonathan dengan bahasa inggris kental.
Hana terdiam, Tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Jonathan barusan.
Jonathan tertawa kecil. Ia mengacak-acak rambut Hana pelan agar tidak berantakan. "Astaga, begitu saja tidak mengerti. Ayo." Jonathan membukakan pintu mobil untuk Hana agar segera masuk.
Jonathan membawa Hana ke salah satu mall terbesar di kota. Ia cukup berani menggandeng Hana di sampingnya karena penampilan wanita itu sudah tidak terlihat kampungan lagi setelah dipermak tiga pelayan ajaibnya. Setidaknya Jonathan tidak akan malu jika berdiri di sisinya. Mata Hana mulai berpendar kesana dan kemari, menjelajah sekelilingnya dimana orang-orang berlalu-lalang dan sibuk melakukan kegiatannya masing-masing."Kamu belum pernah ke tempat seperti ini?" tanya Jonathan.Hana menggeleng pelan."Serius tidak pernah?" Jonathan memastikan lagi.Hana mengangguk.Jonathan menghela napas. "Semoga saja kamu tidak melakukan hal yang memalukan nantinya."Hana mengulas senyum kecil, "Tidak akan."Jonathan menatap Hana lalu mengangkat sebelah alisnya, "Yakin?" firasatnya mulai tidak enak.Hana mengangguk. "Saya janji."Jonathan mengangguk seraya tertawa kecil. "Ya, ya, ya ... Saya percaya kamu itu pemalu dan kalem. Cuma kalau
Billy menatap aneh pada kakaknya yang sedang menikmati rujak di atas meja. "Hey, bung. Apa rasanya enak?" tanya Billy sambil bertopang dagu.Mengabaikan pertanyaan Billy, Jonathan mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun masih dengan semangat Empat - Lima, ia kembali menusuk mangga-mangga yang sudah dibaluri bumbu pedas itu dan melahapnya habis."Sudah tahu pedas masih saja dimakan." Billy bergidik lalu beranjak mengambil sesuatu dari kulkas. Ia kembali pada Jonathan dengan membawa sebotol wine."Daripada memakan makanan yang tidak jelas itu, lebih baik kita menikmati anggur ini saja," gumam Billy sambil membuka tutup botol tersebut menggunakan giginya.Jonathan mendongak, matanya mulai mengeluarkan cairan karena rasa pedas yang menjalar di lidah hingga ke telinganya. "Bill! Minum, minum! Cepat berikan minuman untukku!" perintah Jonathan tidak sabaran menahan pedas.Billy terkekeh dan men
Suara baling-baling helikopter yang sudah menggebu-gebu di depan sana semakin membuat perut Hana terasa mual. Rambutnya beterbangan tidak beraturan karena jaraknya yang sangat dengan kendaraan asing itu."Kamu senang?" Jonathan bertanya agak nyaring.Hana menggeleng. "Benda itu terlihat menakutkan, Pak," balas Hana dengan suara yang nyaring pula."Seharusnya kamu menangis terharu bahkan melompat-lompat karena senang. Seperti yang dilakukan Anastasia Steele di film Fifty Shades of Grey," ucap Jonathan asal. Hana mengernyit tidak paham maksud Jonathan. Jonathan tertawa. "Ah, iya. Kamu tidak tahu film itu. Aku lupa kalau kamu itu kampungan," kekeh Jonathan. "Nanti kita akan menontonnya setelah kembali dari desa. Setuju?"Hana hanya mengangguk sekenanya karena rasa takut lebih menguasai dirinya sekarang. Jonathan tersenyum geli melihat raut ketakutan yang terpancar dari wajah Hana. Segera, ia meraih tangan Hana dan menggeng
Kalimat itu berhasil membuat bulu kuduk Hana semakin gamang. Hawa di sekitar berubah menjadi dingin dan mencekam. Ketakutan Hana menjadi dua kali lipat. Selain karena wanita tua di depannya itu tetapi juga takut akan jawaban yang akan terlontar dari mulut Jonathan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Hana juga penasaran akan hal itu dan menantikannya. Jonathan menelan salivanya susah payah. Ia gelagapan. Ekor matanya melirik Hana sejenak lalu kembali bertatapan dengan sang ibu. "Dia ..." Baik Hana dan ibu Jonathan sama-sama saling menantikan kelanjutan dari kalimat Jonathan. "Dian ..." Jonathan semakin kalut dan bingung. Tidak mungkin kan jika dia mengatakan,'Dia pelacurku, Mom.Atau.. Dia pemuas nafsuku, Mom.Apalagidia partnerku di atas ranjang, Mom. Hell! Gila saja jika sampai ia berani mengatakan hal seperti itu. "Dia pacarku,Mom." Hana membulatkan
Hana membuka matanya saat mendengar suara ribut dari toilet kamarnya. "Hoek.." “Arghh ... sial! Kenapa aku harus seperti ini setiap pagi?!" Hana menyingkap selimutnya dan segera berlari ke toilet, menyusul suara yang sedang tersiksa itu. Sesampainya di toilet, Hana dapat melihat Jonathan sudah berlutut di lantai dengan wajah menghadap ke dalam kloset duduk. Dilihat dari wajahnya yang sudah merah dan berkeringat saja, Hana sudah tahu bahwa Jonathan sangat tersiksa. "Pak Jonathan? Apa bapak sedang sakit?" tanya Hana panik sembari mengelus punggung Jonathan. Jonathan menggeleng, "Tidak. Dokter Leo mengatakan bahwa tubuhku baik-baik saja. Mungkin karena faktor salah makan." "Oh begitu." Ia kembali mengelus punggung Jonathan dengan lembut, seperti yang pernah ibunya lakukan kepadanya saat ia mual-mual beberapa minggu yang lalu. Usai membantu Jonathan di toilet, Hana membawa Jonathan berbaring di kasur. Ia
Seminggu pun berlalu, Hana sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang. Siang hari ia akan melakukan aktivitas seperti membaca, menonton acara komedi di Tv, membantu membersihkan rumah, dan lain-lain. Kebanyakan semua aktivitas siang dilakukan di dalam rumah karena Jonathan selalu membatasi kebebasan Hana dan melarangnya keluar rumah tanpa Jonathan. Dan pada malam harinya, Hana harus melayani nafsu tuannya yang gila itu.Hana menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan Jonathan setelah percintaan yang panas semalam. Akhir-akhir ini Jonathan selalu tertidur di kamar Hana setelah melakukan pergumulan yang panjang. Hal ini cukup mengganggu Hana karena ia merasa tidak enak dengan orang-orang di rumah. Tapi ia juga tidak bisa mengusir Jonathan pergi dari kamarnya karena ini adalah rumah Jonathan. Meski Hana merasa risih, tetap saja ia tidak bisa untuk tidak menyukai situasi ini. Ia menikmati kedekatannya dengan Jonathan di atas ranjang. Terlebih saat Jonathan
Hana tersentak. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seperti tersengat listrik, tubuhnya langsung menegang, tak bisa bergerak. Kedua tangan yang mulanya bertengger di bahu Jonathan dengan sedikit remasan— kini kehilangan kekuatannya.Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya terasa kosong sesaat lalu perlahan dipenuhi dengan ucapan yang terlontar dari mulut Jonathan barusan. Membuatnya darahnya pun berdesir hebat.Hana tidak pernah menduga Jonathan akan mengingat hari ulang tahunnya dan melakukan hal seperti ini. Hana semakin berdebar saat Jonathan mengeratkan pelukannya di pinggang sembari menatap dalam manik-manik matanya. Menandakan kalimat yang diucapkannya barusan adalah tulus."Selamat ulang tahun, Hana." bisik Jonathan mesra. Dan ketika pria itu tiba-tiba tersenyum tipis, hati Hana langsung mencelos dan kakinya terasa lemas. Ia tidak bisa menahan gejolak bahagia di dalam dadanya. Ia terharu hingga ingin menangis."Terima kasih.
Hana memandangi wajahnya di cermin. Di sampingnya terlihat Catherine yang sudah tersenyum puas melihat hasil polesannya di wajah Hana. Baru kali ini Hana terpukau pada wajahnya sendiri. Catherine benar-benar berbakat. Selain cerdas ia juga pandai mendandani dirinya sendiri dan juga orang lain. "Cantik, bukan?" tanya Catherine bangga sembari menyedekapkan kedua lengannya di dada. Hana mengangguk kecil sambil tersenyum. "Kakak hebat sekali. Warna lipstiknya sangat cocok dengan warna kulitku. Kakak belajar dari mana?" tanya Hana kagum. "Ah, jangan memanggilku kakak. Usiaku masih dua puluh dua tahun. Panggil saja seperti yang lainnya sering memanggilku. Cath atau Catherine," balas Catherine sembari mengulas senyum. Hana menganggukkan kepalanya kaku. Catherine tersenyum, "Di Amerika kamu harus pandai bergaya. Kalau tidak kamu akan dikucilkan dan tidak mempunyai teman. Aku belajar make up sendiri. Bereksperimen sendiri di rumah deng