Share

PART 6

Jonathan menaiki bukit dengan susah payah. "Kau sudah gila, Jonathan," rutuknya sambil memukul-mukul dadanya sendiri. Napasnya benar-benar menipis hanya karena anak bukit ini. Jonathan meneruskan langkahnya sampai tiba di atas. Ia mengatur napasnya yang tersengal agar kembali normal. Setelah itu, matanya mulai berpendar mencari sosok yang ia cari.

"Rupanya disitu." Jonathan menemukan pelacurnya. Ia menyipitkan matanya, ingin mengetahui apa yang dilakukan Hana. Tidak ada. Wanita itu hanya duduk bersender pada pohon besar di samping sambil menatap ke arah utara, dimana lokasi proyek Jonathan berada.

Jonathan berjalan mendekat, mungkin bunyi injakan kakinya yang terdengar agak nyaring, sehingga Hana secara refleks memutar kepalanya dan menatap Jonathan.

Hana membulatkan matanya, "Pak Jonathan?" Ia segera berdiri sambil membersihkan belakang roknya yang kotor.

Jonathan membuang napas kasar. "Susah sekali menemuimu. Kamu tahu perjuanganku dari pesawat sampai kemari bagaimana? Di dalam pesawat, aku harus bertengkar dengan para petugas karena memaksa ingin turun. Lalu dari bandara ke desa membutuhkan waktu lima jam. Dari desa ke rumahmu, aku harus menunggu ibumu pulang dari pasar agar mendapatkan informasi keberadaanmu. Ia memberitahuku bahwa kamu ada disini. Aku harus meminjam motor anak buahku demi menembus satu setengah jam perjalanan di jalan yang sempit itu agar bisa kemari. Lalu gilanya lagi, aku harus berjalan kaki selama tiga puluh menit agar bisa naik ke atas sini. Bukankah ini gila?"

Hana memasang wajah heran. Untuk apa Jonathan melakukan semua itu?

"Aku merasa sangat menyedihkan. Melakukan semua hal gila ini hanya demi seorang pelacur ingusan." Jonathan melempar wajahnya ke samping. Berharap waktu dapat diulang kembali. Seandainya ia tidak senekat ini, mungkin dua jam yang lalu ia sudah menginjakkan kakinya di Jakarta.

Tidak ada yang berbicara selanjutnya selain suara angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah keduanya dan rambut yang saling beterbangan karena tiupan angin.

Sambil berkacak pinggang, Jonathan kembali menatap Hana. "Ikutlah denganku ke kota," ajaknya yang kemudian menjadi rasa sesal lantaran malu. Jonathan ingin menelan kembali kata-katanya. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi dan ia sudah berbuat sejauh ini.

Hana membelalakkan matanya terkejut, "Ko- kota?"

***

"Hana, apa kamu yakin dengan keputusanmu ini?" Fatma meremas jemarinya. Satu jam yang lalu Hana kembali ke rumah bersama Jonathan. Tiada angin, tiada badai, Hana tiba-tiba mengatakan ingin pergi ke Kota.

Hana mengikat plastik merah itu lalu menghadap sang ibu. "Iya, Bu. Aku ingin mencari pengalaman di sana."

Fatma meringis, "Benarkah? Kamu tidak dipaksa oleh pak Jonathan, bukan?"

Hana membelalakkan matanya dan menutup mulut Fatma dengan jari telunjuk, "Ssstt ... Jangan keras-keras. Dia ada di depan. Bagaimana jika dia mendengar?" bisik Hana, "Aku tidak pergi karena dipaksa olehnya, Bu. Ibu tahu, kan? Setelah dari atas bukit aku pasti akan mendapatkan ilham.  Dan setelah dipikir-pikir, sepertinya aku harus pergi ke kota untuk mengadu nasib. Kebetulan Pak Jonathan akan ke sana, jadi aku pikir akan lebih baik untuk ikut pergi bersamanya."

"Tapi—"

"Aku akan berjuang disana, Ibu," potong Hana. Ia memeluk tubuh Fatma erat. Diam-diam air matanya mengalir keluar membasahi pipinya. Bohong. Semua ucapan Hana sebelumnya itu adalah bohong.

"Tapi, Pak ... saya tidak ... saya tidak bisa." Hana menggeleng.

Jonathan melotot dan menggeram, "Berani-beraninya kamu menolak saya?! Apa kamu tidak ingat? Hidup keluargamu berada di tangan saya. Saya bisa saja menyuruh anak buah saya untuk memporak-porandakan rumah kalian beserta seisinya."

Hana menggigit bawah bibirnya karena takut. Wajahnya langsung memucat, ia menggeleng. "Tidak, Pak, jangan ... baik saya akan ikut dengan Bapak."

Jonathan menyeringai. "Bagus. Sekarang cepat turun dari bukit ini dan kembali ke rumah. Lalu kemasi barang-barangmu. Saya akan memesan tiket sore ini."

Hana tidak ingin Fatma mengkhawatirkan dirinya. Jika Hana mengatakan kebenaran, Fatma pasti akan dilanda rasa bersalah karena merasa tidak berguna sebagai seorang ibu. Hana tidak ingin Fatma terbebani rasa menyakitkan itu. Biarkan saja ia yang menanggung semuanya. Bagi Hana, kebahagiaan ibu dan adiknya adalah prioritas utama baginya.

"Baiklah. Apapun keputusanmu, Ibu akan mendukungmu. Ingat, kamu bisa menghubungi Ibu kapanpun kamu membutuhkan Ibu. Ibu akan senantiasa mendengarkan keluh kesahmu." Seraya membalas pelukan Hana tak kalah erat.

Hana mengangguk lalu menyeka air matanya. "Aku pasti akan menghubungi Ibu. Aku pasti akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan mengirimi Ibu uang. Aku akan buat Ibu bangga.”

"Ibu percaya sama kamu. Ibu menyayangi kamu, Nak. Jaga kesehatanmu selama di sana."

"Aku juga sayang Ibu." Hana mengurai pelukannya lalu meraih kresek besar yang berisikan pakaian miliknya.

"Hana berangkat dulu, Bu. Tidak enak sama pak Jonathan di depan."

Fatma mengangguk. "Hati-hati ya, Nak."

Sesampainya di depan, Jonathan tampak menghela napas gusar. "Kenapa lama sekali?!" tanyanya jengkel.

"Maaf, Pak." Hana menundukkan kepala.

Jonathan berdecak lalu melirik arlojinya. "Cepat masuk ke mobil!" titahnya kemudian. Hana mengangguk patuh lalu berjalan menghampiri mobil.

"Eehhh …! Tunggu, tunggu, tunggu." Jonathan menghentikan langkah Hana. "Kamu tidak akan ke bandara dengan membawa itu, bukan?" Jonathan menunjuk plastik merah besar yang ditenteng Hana seperti sebuah sampah.

Hana melirik apa yang ditunjuk Jonathan. "Ini?" Mengangkat plastik tersebut. "Kami tidak punya tas besar lagi, Pak. Sudah habis dijual di pasar malam. Terpaksa saya harus membungkus pakaian saya dengan plastik ini."

Jonathan tersenyum miris. "Hell, yang benar saja. Kamu menyebutnya sebagai tempat menyimpan pakaian? Itu terlihat seperti sampah bagi saya. Cepat buang!" tukas Jonathan.

Hana membulatkan matanya, "Tapi, Pak ... saya akan pakai apa nanti di sana?"

"Kamu pikir uang saya tidak cukup untuk membeli pakaian untukmu?" Jonathan tertawa. "Jangankan pakaian luar. Pakaian dalam seperti kutang— maksud saya BH merek apapun yang kamu mau akan saya belikan,

juga termasuk celana dalam. Kamu mau yang kainnya hanya dua senti lebar di depan? Pasti akan saya belikan."

***

Hana menutup matanya erat saat pesawat mulai melaju di aspal yang mulus. Ia tidak sadar saat ini tengah meremas paha Jonathan untuk menghilangkan sensasi takutnya. Awalnya Jonathan hanya membiarkannya, karena cekalan Hana di pahanya malah terasa nikmat. Tapi setelah pesawat mulai naik, remasan wanita itu menjadi sangat kuat hingga Jonathan harus mengaduh sakit dan menepis tangan Hana.

"Ma- maaf, Pak. Saya takut." Hana masih setia memejamkan mata.

"Ck, kalau takut peluk saja saya. Jangan paha saya yang kamu remas," ucap Jonathan iseng. Dan benar saja, Hana langsung memeluk erat tubuh pria itu tanpa Jonathan duga.

Jonathan berdeham sejenak, memperhatikan sekeliling. Untung saja tidak ada pramugari, syukurnya dalam hati.

"Em, Hana?" panggil Jonathan, "kamu tahu kebiasaan orang-orang saat naik pesawat?"

Hana membuka matanya perlahan saat pesawat sudah mengudara. Ia lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu, Pak. Ini pertama kalinya saya naik pesawat."

Jonathan menyeringai. "Menonton video dewasa," bohongnya. Hana membulatkan matanya antara percaya dan tidak, tapi ini adalah pengalaman pertamanya menaiki pesawat. Apakah memang begitu?

Jonathan mengeluarkan ponselnya dan menghubungkannya dengan earphone  miliknya. "Dengan menonton ini, kamu tidak akan sadar bahwa kamu sudah sampai di tempat tujuan."

Hana melihat ke sekelilingnya. "Tapi Pak, bagaimana jika orang lain melihat kita?"

Jonathan mengendikkan bahunya acuh. "Biarkan saja, toh! mereka juga melakukan hal yang sama. Lagipula saya memesan tiket kelas pertama, bukan kelas ekonomi. Jadi orang-orang di sekitar kita palingan tidak seberapa." Jonathan memberikan sebelah earphone kepada Hana sementara satunya lagi ia pasangkan di telinganya.

Jonathan mulai memutar video-video yang telah ia unduh sebelumnya. Video pertama mulai berjalan. Jonathan dan Hana menontonnya dengan tegang. Meski awalnya Hana ragu dan tidak berselera untuk menonton, tapi lama-kelamaan ia ikut terhanyut dalam video tersebut.

Sudah lima menit video berjalan, dan Jonathan benar-benar berkeringat. Ia terasa sesak dengan hanya menonton. Ingin sekali ia menerkam Hana yang dengan polosnya menonton video tersebut tanpa mengeluarkan sesuatu seperti desahan atau erangan kecil. Jonathan melirik arlojinya. "Astaga, 45 menit lagi," gumamnya sambil menyeka keringat di dahi.

Hana melirik Jonathan. "Kenapa Bapak berkeringat? Padahal di sini dingin sekali."

Jonathan membulatkan matanya, "Dingin katamu?" Ia tertawa sumbang. "Wow, Hana. Tubuhmu tidak panas?" tanya Jonathan heran.

Hana menggeleng polos.

Jonathan mengelus dadanya, "Sabar ... sabar ... setengah jam lagi."

Sebenarnya Jonathan sudah tidak tahan ingin meniduri Hana. Apalagi saat melihat wajah polos wanita itu yang mengatakan bahwa tubuhnya tidak bereaksi apapun setelah menonton video itu. Wow, songong sekali! pikir Jonathan.

Beberapa menit pun berlalu. Pesawat sudah mendarat di bandara. Jonathan membangunkan Hana yang sedang tertidur di bahunya dan menunjuk keluar jendela pesawat, memperlihatkan langit malam Kota kepada Hana. Membuat wanita itu langsung terkagum-kagum dan tidak berhenti menyerukan kekagumannya.

"Kamu akan menarik kata 'indah' itu saat terjebak macet nanti. Sekarang lekas kita pergi."

Jonathan dan Hana akhirnya keluar dari bandara. Pria itu tampak menelepon seseorang, sementara ia sedang sibuk dengan ponselnya, terdengar bisikan para wanita-wanita di sekelilingnya. Mata mereka tak bisa berpaling dari Jonathan. Pria itu terlihat sangat tampan dengan airport fashion-nya.

Hana langsung merasa minder. Ia pikir sangat tidak cocok untuknya berdiri di samping Jonathan yang tampak cool dan tampan. Sementara dirinya terlihat seperti bebek lusuh. Akhirnya Hana melangkah mundur dan berdiri di belakang Jonathan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status