Jonathan membawa Hana ke salah satu mall terbesar di kota. Ia cukup berani menggandeng Hana di sampingnya karena penampilan wanita itu sudah tidak terlihat kampungan lagi setelah dipermak tiga pelayan ajaibnya. Setidaknya Jonathan tidak akan malu jika berdiri di sisinya. Mata Hana mulai berpendar kesana dan kemari, menjelajah sekelilingnya dimana orang-orang berlalu-lalang dan sibuk melakukan kegiatannya masing-masing.
"Kamu belum pernah ke tempat seperti ini?" tanya Jonathan.
Hana menggeleng pelan.
"Serius tidak pernah?" Jonathan memastikan lagi.
Hana mengangguk.
Jonathan menghela napas. "Semoga saja kamu tidak melakukan hal yang memalukan nantinya."
Hana mengulas senyum kecil, "Tidak akan."
Jonathan menatap Hana lalu mengangkat sebelah alisnya, "Yakin?" firasatnya mulai tidak enak.
Hana mengangguk. "Saya janji."
Jonathan mengangguk seraya tertawa kecil. "Ya, ya, ya ... Saya percaya kamu itu pemalu dan kalem. Cuma kalau sudah di atas ranjang, kamu tidak akan kalem lagi," candanya.
Hana membulatkan matanya, wajahnya sudah bersemu merah karena ucapan mesum Jonathan. Sementara pria itu hanya tertawa lepas melihat semburat malu yang terpancar dari wajah Hana. Jika ditanya hobinya sekarang apa, maka jawabannya adalah menggoda Hana. Jonathan menyukai setiap mata Hana membulat serta wajahnya yang memerah seperti tomat. Itu terlihat lucu dan menggemaskan bagi Jonathan.
Beberapa saat kemudian, Jonathan dan Hana sudah berdiri di depan eskalator. Jonathan melangkah duluan dan tubuhnya mulai bergerak naik. "Setelah ini kamu pasti tidak akan menyangka betapa baiknya saya," ucap Jonathan bangga. Ya, kali ini ia akan bermurah hati untuk membiarkan Hana membeli apapun yang ia suka.
"Sebagai gantinya nanti malam kamu harus berani memulai duluan kegiatan rutin kita. Aku sudah terlalu sering melakukannya. Oke?" tanya Jonathan sambil memandang lurus ke depan.
"Oke?" tanya Jonathan sekali lagi karena tidak mendengar suara Hana.
Sekali lagi tidak ada yang menimpal. Jonathan berdecak, ia melirik ke samping, "Ka— " Jonathan membulatkan matanya. Hana tidak ada di sampingnya. Ia menolehkan kepalanya ke belakang.
"Pak. SAYA KETINGGALAN!!" teriak Hana dari bawah. Ia melambaikan tangannya kepada Jonathan.
Jonathan membuka mulutnya lebar. Astaga, jadi dari tadi ia sedang berbicara sendiri? Jonathan segera berlari naik lalu turun kembali melalui eskalator yang mengarah ke bawah.
"Kenapa kamu malah berdiri di sini?" tanya Jonathan gemas kepada Hana. Namun ia meredam suaranya karena menyadari banyak manusia di sekitarnya.
Hana menunjuk eskalator yang bergerak naik itu. "Itu ... saya takut ... benda itu terus bergerak. Bagaimana saya bisa jalan kalau tidak berhenti?"
Jonathan menghela napas. Ia memijit pelipisnya. Sudah ia duga hal seperti ini akan terjadi. Hana pasti merasa asing dengan benda-benda modern itu.
Akhirnya, Jonathan terpaksa meraih tangan Hana dan memegangnya erat. "Jangan takut. Ikuti saja langkahku," terang Jonathan lalu dibalas anggukan kepala oleh Hana.
Jonathan memejamkan matanya. Sebenarnya ia merasa malu melakukan ini, tapi... ya sudahlah.
"Satu … dua … tiga!"
Pada hitungan ketiga Jonathan berhasil membuat Hana menginjakkan kakinya pada anak tangga yang terlihat menakutkan itu. Mereka layaknya ayah dan anak dimana Hana terus meremas ketakutan pada baju Jonathan.
Hana melirik ke belakang. Mereka mulai bergerak naik. "Wah, kita naik, Pak!" pekik Hana girang diiringi sensasi menegangkan, tanpa memedulikan pandangan aneh orang-orang yang sedang melihatnya.
Jonathan menutup wajahnya dengan telapak tangan. Sepertinya Hana baru saja melanggar janjinya untuk tidak mempermalukannya hari ini.
***
"Cantik sekali." Hana meraba rok katun panjang dengan warna hijau tua gelap.
Jonathan menghela napas. "Kamu sudah membeli sepuluh rok, Hana. Cari yang lain saja!" ujar Jonathan jengkel. Ia tidak habis pikir, wanita itu terus membelikan rok sejak tadi. Secinta inikah Hana dengan rok panjang? Apa istimewanya?
Lagi-lagi Hana memasang wajah memelas. Pupilnya membesar seperti anak anjing yang sedang membujuk majikannya agar menambahkan tulang untuk dimakannya.
Jonathan memutar kedua matanya jengah, "Sudahlah. Cari yang lain saja." Jonathan menarik paksa tangan Hana. Ia membawanya ke bagian dimana pakaian anak muda berada.
Jonathan mulai memilah-milah jeans yang sedang banyak digemari oleh kalangan muda. "Ini, kamu harus memakai yang seperti ini. Baru oke." Jonathan menunjukkan salah satu dari jeans tersebut di hadapan Hana.
Hana bergidik dan menatap aneh celana itu. "Tapi itu sobek, Pak." Hana tak habis pikir dengan model pakaian semacam itu. Sudah tahu itu sobek, bukannya dijahit malah diperjual-belikan.
"Ck, ini namanya Ripped Jeans! Kamu harus memakainya agar penampilanmu tidak seperti ibu-ibu," seru Jonathan. Dan Hana hanya bisa menghela napas, pasrah.
Setelah berbelanja pakaian dan bermain permainan di mall, Jonathan akhirnya lelah dan mengajak Hana pulang. Ia terlalu banyak menghabiskan energinya untuk permainan-permainan konyol itu. Awalnya Jonathan merasa keberatan dengan permintaan Hana yang tiba-tiba saja ingin bermain saat mereka melewati tempat yang dipenuhi anak-anak kecil itu. Namun, karena The power of kepolosan yang terpancar dari wajah Hana terlalu kuat, akhirnya ia mengizinkan Hana untuk bermain-main dan gilanya virus keceriaan Hana menyebar cepat pada Jonathan, ia langsung teringat akan masa lalunya saat kecil. Dan itu membuat jiwa anak kecil dalam diri Jonathan bangkit lalu tergerak untuk ikut bermain.
Selama di jalan, tidak ada yang bersuara. Hanya keheningan yang menyelimuti. "Terima kasih atas semuanya hari ini, Pak," ucap Hana memberanikan diri untuk memecahkan keheningan.
"Hm." Jonathan menyahut dengan gumaman.
Hana tidak menyangka Jonathan akan berbuat sejauh ini. Ia akan mengingat semua peristiwa langka yang ia lalui hari ini. Saat Jonathan menunggunya di samping mobil dengan senyuman tampannya, saat Jonathan menjelaskan dengan serius tentang gedung-gedung yang mereka lihat sepanjang perjalanan menuju mall, saat Jonathan memegang tangannya dan membantunya menaiki tangga berjalan itu, Hana tersenyum-senyum sendiri saat memikirkan yang satu itu. Membuat jantungnya berdegup kencang.
Hana merasa bahagia diperlakukan seperti itu. Apalagi saat Jonathan memilihkannya pakaian. Ia seperti seorang pacar yang peduli terhadap wanitanya. Seperti di sinetron-sinetron India yang sering Hana tonton di tv umum bersama ibu-ibu lainnya saat di desa.
"Saya tidak melakukannya karena saya peduli dengan kamu," ucap Jonathan tiba-tiba. Mimik wajah Hana sontak berubah 180 derajat. Ia merasa.. sedikit kecewa dengan ucapan Jonathan barusan.
"Saya hanya kasihan saja denganmu. Selama ini pasti kamu tidak pernah merasakan apa yang dirasakan remaja lainnya di usia sepertimu ini. Jadi jangan terbawa perasaan. Oke? " jelas Jonathan sambil fokus menyetir.
Hati Hana terasa mencelos. Ini aneh sekali. Hana tidak pernah merasakan perasaan kecewa seperti ini sebelumnya. Hana menggelengkan kepalanya. Tidak, perasaan seperti ini tidak boleh lagi ia rasakan. Ia tidak boleh berharap terlalu tinggi. Ia harus sadar, sadar akan siapa dirinya dan siapa itu Jonathan. Level mereka berbeda.
Saat Hana sedang asyik berperang dengan pikirannya, tiba-tiba Jonathan menghentikan mobil di tepi jalan. Hana melirik ke samping, keningnya mengernyit.
"Tunggu sebentar ..." Jonathan melepaskan sabuk pengamannya, "aku ingin membeli rujak."
Billy menatap aneh pada kakaknya yang sedang menikmati rujak di atas meja. "Hey, bung. Apa rasanya enak?" tanya Billy sambil bertopang dagu.Mengabaikan pertanyaan Billy, Jonathan mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun masih dengan semangat Empat - Lima, ia kembali menusuk mangga-mangga yang sudah dibaluri bumbu pedas itu dan melahapnya habis."Sudah tahu pedas masih saja dimakan." Billy bergidik lalu beranjak mengambil sesuatu dari kulkas. Ia kembali pada Jonathan dengan membawa sebotol wine."Daripada memakan makanan yang tidak jelas itu, lebih baik kita menikmati anggur ini saja," gumam Billy sambil membuka tutup botol tersebut menggunakan giginya.Jonathan mendongak, matanya mulai mengeluarkan cairan karena rasa pedas yang menjalar di lidah hingga ke telinganya. "Bill! Minum, minum! Cepat berikan minuman untukku!" perintah Jonathan tidak sabaran menahan pedas.Billy terkekeh dan men
Suara baling-baling helikopter yang sudah menggebu-gebu di depan sana semakin membuat perut Hana terasa mual. Rambutnya beterbangan tidak beraturan karena jaraknya yang sangat dengan kendaraan asing itu."Kamu senang?" Jonathan bertanya agak nyaring.Hana menggeleng. "Benda itu terlihat menakutkan, Pak," balas Hana dengan suara yang nyaring pula."Seharusnya kamu menangis terharu bahkan melompat-lompat karena senang. Seperti yang dilakukan Anastasia Steele di film Fifty Shades of Grey," ucap Jonathan asal. Hana mengernyit tidak paham maksud Jonathan. Jonathan tertawa. "Ah, iya. Kamu tidak tahu film itu. Aku lupa kalau kamu itu kampungan," kekeh Jonathan. "Nanti kita akan menontonnya setelah kembali dari desa. Setuju?"Hana hanya mengangguk sekenanya karena rasa takut lebih menguasai dirinya sekarang. Jonathan tersenyum geli melihat raut ketakutan yang terpancar dari wajah Hana. Segera, ia meraih tangan Hana dan menggeng
Kalimat itu berhasil membuat bulu kuduk Hana semakin gamang. Hawa di sekitar berubah menjadi dingin dan mencekam. Ketakutan Hana menjadi dua kali lipat. Selain karena wanita tua di depannya itu tetapi juga takut akan jawaban yang akan terlontar dari mulut Jonathan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Hana juga penasaran akan hal itu dan menantikannya. Jonathan menelan salivanya susah payah. Ia gelagapan. Ekor matanya melirik Hana sejenak lalu kembali bertatapan dengan sang ibu. "Dia ..." Baik Hana dan ibu Jonathan sama-sama saling menantikan kelanjutan dari kalimat Jonathan. "Dian ..." Jonathan semakin kalut dan bingung. Tidak mungkin kan jika dia mengatakan,'Dia pelacurku, Mom.Atau.. Dia pemuas nafsuku, Mom.Apalagidia partnerku di atas ranjang, Mom. Hell! Gila saja jika sampai ia berani mengatakan hal seperti itu. "Dia pacarku,Mom." Hana membulatkan
Hana membuka matanya saat mendengar suara ribut dari toilet kamarnya. "Hoek.." “Arghh ... sial! Kenapa aku harus seperti ini setiap pagi?!" Hana menyingkap selimutnya dan segera berlari ke toilet, menyusul suara yang sedang tersiksa itu. Sesampainya di toilet, Hana dapat melihat Jonathan sudah berlutut di lantai dengan wajah menghadap ke dalam kloset duduk. Dilihat dari wajahnya yang sudah merah dan berkeringat saja, Hana sudah tahu bahwa Jonathan sangat tersiksa. "Pak Jonathan? Apa bapak sedang sakit?" tanya Hana panik sembari mengelus punggung Jonathan. Jonathan menggeleng, "Tidak. Dokter Leo mengatakan bahwa tubuhku baik-baik saja. Mungkin karena faktor salah makan." "Oh begitu." Ia kembali mengelus punggung Jonathan dengan lembut, seperti yang pernah ibunya lakukan kepadanya saat ia mual-mual beberapa minggu yang lalu. Usai membantu Jonathan di toilet, Hana membawa Jonathan berbaring di kasur. Ia
Seminggu pun berlalu, Hana sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang. Siang hari ia akan melakukan aktivitas seperti membaca, menonton acara komedi di Tv, membantu membersihkan rumah, dan lain-lain. Kebanyakan semua aktivitas siang dilakukan di dalam rumah karena Jonathan selalu membatasi kebebasan Hana dan melarangnya keluar rumah tanpa Jonathan. Dan pada malam harinya, Hana harus melayani nafsu tuannya yang gila itu.Hana menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan Jonathan setelah percintaan yang panas semalam. Akhir-akhir ini Jonathan selalu tertidur di kamar Hana setelah melakukan pergumulan yang panjang. Hal ini cukup mengganggu Hana karena ia merasa tidak enak dengan orang-orang di rumah. Tapi ia juga tidak bisa mengusir Jonathan pergi dari kamarnya karena ini adalah rumah Jonathan. Meski Hana merasa risih, tetap saja ia tidak bisa untuk tidak menyukai situasi ini. Ia menikmati kedekatannya dengan Jonathan di atas ranjang. Terlebih saat Jonathan
Hana tersentak. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seperti tersengat listrik, tubuhnya langsung menegang, tak bisa bergerak. Kedua tangan yang mulanya bertengger di bahu Jonathan dengan sedikit remasan— kini kehilangan kekuatannya.Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya terasa kosong sesaat lalu perlahan dipenuhi dengan ucapan yang terlontar dari mulut Jonathan barusan. Membuatnya darahnya pun berdesir hebat.Hana tidak pernah menduga Jonathan akan mengingat hari ulang tahunnya dan melakukan hal seperti ini. Hana semakin berdebar saat Jonathan mengeratkan pelukannya di pinggang sembari menatap dalam manik-manik matanya. Menandakan kalimat yang diucapkannya barusan adalah tulus."Selamat ulang tahun, Hana." bisik Jonathan mesra. Dan ketika pria itu tiba-tiba tersenyum tipis, hati Hana langsung mencelos dan kakinya terasa lemas. Ia tidak bisa menahan gejolak bahagia di dalam dadanya. Ia terharu hingga ingin menangis."Terima kasih.
Hana memandangi wajahnya di cermin. Di sampingnya terlihat Catherine yang sudah tersenyum puas melihat hasil polesannya di wajah Hana. Baru kali ini Hana terpukau pada wajahnya sendiri. Catherine benar-benar berbakat. Selain cerdas ia juga pandai mendandani dirinya sendiri dan juga orang lain. "Cantik, bukan?" tanya Catherine bangga sembari menyedekapkan kedua lengannya di dada. Hana mengangguk kecil sambil tersenyum. "Kakak hebat sekali. Warna lipstiknya sangat cocok dengan warna kulitku. Kakak belajar dari mana?" tanya Hana kagum. "Ah, jangan memanggilku kakak. Usiaku masih dua puluh dua tahun. Panggil saja seperti yang lainnya sering memanggilku. Cath atau Catherine," balas Catherine sembari mengulas senyum. Hana menganggukkan kepalanya kaku. Catherine tersenyum, "Di Amerika kamu harus pandai bergaya. Kalau tidak kamu akan dikucilkan dan tidak mempunyai teman. Aku belajar make up sendiri. Bereksperimen sendiri di rumah deng
Jonathan berjalan mondar-mandir di depan UGD sembari meremas jari-jarinya. Wajahnya pucat karena dilanda panik luar biasa, menunggu kabar dari dokter dan petugas lainnya yang sedang menangani Hana di dalam sana. Jonathan ingin segera tahu keadaan Hana, namun tak ada tanda-tanda dokter atau perawat lainnya keluar dari ruangan.Jonathan mengusap wajahnya frustasi. Ia menunggu seperti orang gila. "Kumohon, jangan membuatku takut," pintanya.Ia khawatir sekaligus takut. Jonathan takut akan terjadi apa-apa dengan Hana. Membayangkan bagaimana darah itu terus mengalir di daerah wanita itu membuatnya hampir gila. Bahkan untuk bernapas setiap detik saja ia tak sanggup karena bayangan menakutkan itu terus menghantui kepalanya.Detik, menit, bahkan jam kian berlalu, namun dokter tak kunjung keluar dari ruangan. Jonathan hampir kehilangan akal sehatnya. Apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang itu di dalam? Apa mereka tidak mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik? Jo