Share

PART 9

Billy menatap aneh pada kakaknya yang sedang menikmati rujak di atas meja. "Hey, bung. Apa rasanya enak?" tanya Billy sambil bertopang dagu.

Mengabaikan pertanyaan Billy, Jonathan mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangan. Keringat mulai mengucur membasahi wajahnya. Namun masih dengan semangat Empat - Lima, ia kembali menusuk mangga-mangga yang sudah dibaluri bumbu pedas itu dan melahapnya habis.

"Sudah tahu pedas masih saja dimakan." Billy bergidik lalu beranjak mengambil sesuatu dari kulkas. Ia kembali pada Jonathan dengan membawa sebotol wine.

"Daripada memakan makanan yang tidak jelas itu, lebih baik kita menikmati anggur ini saja," gumam Billy sambil membuka tutup botol tersebut menggunakan giginya.

Jonathan mendongak, matanya mulai mengeluarkan cairan karena rasa pedas yang menjalar di lidah hingga ke telinganya. "Bill! Minum, minum! Cepat berikan minuman untukku!" perintah Jonathan tidak sabaran menahan pedas.

Billy terkekeh dan menuangan alkohol di gelas kecil lalu menyerahkannya kepada Jonathan. Jonathan mengumpat. "Kamu ini bodoh atau apa?! Memangnya ada orang yang meminum alkohol setelah kepedasan?"

Billy berdecak. "Seharusnya katakan dari awal," ucapnya jengkel lalu bergerak mengambil air dingin di kulkas lalu memberikannya kepada Jonathan.

Jonathan meneguk minuman dinginnya hingga tak tersisa. "Hah…," serunya lega.

"Seperti wanita saja," ejek Billy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum meneguk habis anggurnya.

"Memangnya hanya wanita saja yang bisa memakan rujak?" kata Jonathan dongkol. Ia mengusap-usap perutnya karena kembali merasakan lapar. Tiba-tiba Jonathan berdiri dan berjalan menghampiri kulkas.

Mulut Billy tak bisa berhenti menganga melihat tingkah kakaknya itu.

"Snack?" Billy hampir tak percaya melihat Jonathan membawa macam-macam makanan ringan ke atas meja.

Jonathan mengangkat alisnya, "Memangnya kenapa?"

"Biasanya paling anti dengan MSG. Bukankah kamu pernah mengatakan kalau berat badanmu akan bertambah jika memakan makanan ringan?"

"Masa bodoh," jawab jonathan cuek lalu mulai membuka salah satu dari macam-macam makanan ringan itu dan melahapnya satu persatu. Billy membuka mulutnya lebar. Kakaknya banyak berubah semenjak pulang dari pekerjaannya di desa.

"Bagaimana dengan kuliahmu?" tanya Jonathan sembari mengunyah makanan di mulutnya.

"Seperti biasa. Tidak terlalu buruk, tidak juga terlalu baik. Hidupku tidak terlalu spesial, Bro. Begini-begini saja," sahut Billy.

Jonathan berdecak, "Jawaban macam apa itu," protesnya, "katakan berapa kali kamu membolos?"

"Aku tidak pernah membolos," jawab Billy santai. Jonathan tidak percaya.

Billy tertawa, "Ayolah, apa kamu tidak percaya dengan mukjizat? It's like.. Tuhan tiba-tiba menyadarkanku. Aku tobat, dan boom!"

Jonathan menggeleng - gelengkan kepalanya. Tetap saja, ia tidak percaya dengan Billy. Bocah itu tidak dapat dipercaya.

"Oh, iya ..." Billy menuangkan alkohol ke dalam gelas, "besok lusa Mom akan berkunjung ke sini,"

Jonathan membulatkan matanya, "Besok lusa?" Billy mengangguk membenarkan. Tiba-tiba Jonathan teringat akan Hana. Tidak. Ibunya tidak boleh bertemu dengan Hana. Berbahaya!

"Ada apa?" tanya Billy.

Jonathan menggeleng. "Tidak apa-apa."

"Oh, iya, dimana Hana?" tanya Billy lagi, "aku tidak melihatnya setelah kalian pulang dari jalan-jalan."

"Mungkin sedang di kamarnya," jawab Jonathan.

"Oh, itu dia!" Billy menunjuk Hana yang tiba-tiba muncul. Jonathan memutar kepalanya menghadap Hana. Kening Jonathan mengernyit. "Mau apa kamu ke sini?" Hana menggigit bibirnya, malu untuk mengatakan sesuatu.

"Oh, Sweetie,  jangan malu-malu. Katakan saja," seru Billy gemas. Sementara itu Jonathan sudah melayangkan tatapan membunuh.

"Cepat katakan dan jangan menggigit bibirmu seperti itu. Kamu tidak sadar apa, anjing jantan ini sudah terangsang hanya dengan melihatmu menggigit bibir," sindir Jonathan sambil melirik Billy.

Hana menundukkan kepala seraya memilin jari-jarinya. "Saya lapar, Pak," cicitnya malu.

Billy terkekeh. "Kamu lapar? Duduk sini." Billy menunjuk tempat duduk di sampingnya.

Jonathan melotot, "Tingkahmu seperti pemilik rumah saja. Di sini aku yang berkuasa!" seru Jonathan kepada Billy.

Billy memutar kedua matanya jengah. "Ayolah, Kak. Kamu hanya mengulur waktu saja. Kasihan, dia pasti sudah lapar sekali."

Jonathan berdecak lalu menatap Hana. "Duduk sini!" perintahnya sembari menunjuk kursi di sampingnya. Tanpa basa-basi, Hana langsung mengangguk patuh lalu duduk di samping Jonathan. Di seberang sana Billy sudah mendengkus, "Cih, dasar modus," cibir Billy. Jonathan membalas tatapan Billy dengan mengangkat alis sembari memasang wajah penuh kemenangan.

"Luna!" teriak Jonathan dan Billy bersamaan.

"Ne (Ya)." Luna berlari ke dapur setelah mendengar suara teriakan yang lantang. Napasnya terengah-engah. "Ada yang bisa saya kerjakan, Pak?" tanya Luna terputus-putus.

"Berikan makanan terenak bagi si cantik ini," titah Billy sambil melemparkan senyum ramahnya kepada Hana.

Jonathan berdecak, "Tidak usah yang terlalu enak-enak. Biasanya makanan seperti itu tidak sehat."

Luna menggaruk kepalanya, "Jadi yang mana yang harus saya buat?" 

Jonathan menatap Luna tajam. "Siapa yang memberi gaji untukmu?" tanyanya.

"Pak Jonathan," jawab Luna.

Jonathan tersenyum. "Bagus, jadi kamu sudah tahu kan ucapan siapa yang harus dituruti?"

"Ne, Pak." Luna mengangguk patuh lalu beranjak pergi untuk memasakkan makanan untuk Hana. Billy mendengkus tak suka. Jonathan selalu saja menang darinya.

***

Hana dan Jonathan duduk berdua di sofa. Keduanya sama-sama sedang menikmati es krim. Jonathan memegang perutnya. Sial! Kenapa ia terus saja merasa lapar? Kalau begini lama-kelamaan berat badannya akan bertambah drastis.

Sementara itu Hana terus menjilat es krim dengan wajah berbinar. Entahlah, Hana bahagia sekali sekarang jika mendapat sesuatu dari Jonathan. Contohnya seperti es krim ini. Jonathan memberikannya kepada Hana setelah selesai menyantap makan siang tadi. Itu terasa spesial bagi Hana.

Jonathan menatap Hana. Oh, tidak. Matanya tak bisa berhenti berkedip menyaksikan lidah Hana yang bergerak lihai membelai ujung es krim. Sesuatu yang di bawah mulai berdenyut.

"Hana," panggil Jonathan.

Hana berhenti menjilat lalu menatap Jonathan. Ekspresinya seolah mengisyaratkan, 'kenapa?'

Jonathan mengumpat. Saat Hana memasang wajah polos tak berdosa, Jonathan langsung ingin memakannya dengan rakus. Seperti sekarang ini. Jonathan menyingkirkan es krim Hana. Ia tersenyum. Ibu jarinya mulai membelai sudut bibir Hana, membersihkan sisa-sisa es krim yang berceceran di pinggiran bibirnya. Jonathan perlahan mendekatkan wajahnya.

Seperti sudah mengerti, Hana langsung memejamkan matanya. Bersiap menerima bibir Jonathan. Tak lama kemudian, bibir keduanya saling menempel. Jonathan melumat bibir Hana dengan rakus. Mereka tidak sadar, di belakang sana sudah berdiri dua orang yang tengah memperhatikan keduanya diam-diam.

"Astaga, astaga ... mereka berciuman!" pekik Luna.

"Ssstt.. pelankan suaramu," tegur Melisa. Ia mengambil ponselnya lalu memotret kejadian tersebut.

"Apa yang kamu lakukan?" bisik Luna.

Melisa terkekeh, "Tidak apa-apa. Hanya untuk menambah koleksiku saja."

***

Jonathan merebahkan tubuhnya di samping Hana. Ia menatap punggung wanita itu yang bergerak naik-turun karena kelelahan.

"Pak ..." Tiba-tiba Hana bersuara.

"Hm."

"Saya rindu ibu dan adik saya."

"Lalu?"

"Apa saya boleh bertemu mereka?"

"Saya akan memberikan ponsel kepadamu. Nanti kamu bisa menghubungi mereka."

"Mereka tidak punya ponsel. Saya mohon, Pak ... saya ingin bertemu dengan mereka secara langsung."

Jonathan mendengkus. "Kamu berpisah dengan mereka baru beberapa hari yang lalu. Tiga hari saja tidak sampai."

"Tapi saya sangat rindu sekali dengan mereka, Pak," rengek Hana. Sebenarnya ia juga tidak tahu dengan dirinya akhir-akhir ini. Tubuhnya seperti ingin dimanja-manjakan dan keinginannya ingin dituruti semua. Kalau tidak, perut Hana pasti akan bergejolak hebat.

Jonathan terdiam sejenak. Mempertimbangkan ucapan Hana barusan. Akhir-akhir ini ia juga tidak bisa untuk menolak permintaan Hana. Dirinya seperti diubah ke mode patuh sejak beberapa minggu terakhir ini. Ia juga tak paham dengan apa yang terjadi pada tubuhnya sekarang. Jonathan tahu Hana pasti akan merindukan ibu dan adiknya di desa. Tapi Jonathan … entahlah, semacam rasa tidak rela Hana pergi jauh-jauh darinya.

Jonathan meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas lalu menghubungi seseorang. "Halo," ucapnya rendah.

"Iya. Aku minta kalian siapkan Helikopter besok. Kita akan melakukan perjalanan pp."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status