Share

PART 10

Suara baling-baling helikopter yang sudah menggebu-gebu di depan sana semakin membuat perut Hana terasa mual. Rambutnya beterbangan tidak beraturan karena jaraknya yang sangat dengan kendaraan asing itu.

"Kamu senang?" Jonathan bertanya agak nyaring.

Hana menggeleng. "Benda itu terlihat menakutkan, Pak," balas Hana dengan suara yang nyaring pula.

"Seharusnya kamu menangis terharu bahkan melompat-lompat karena senang. Seperti yang dilakukan Anastasia Steele di film Fifty Shades of Grey," ucap Jonathan asal. Hana mengernyit tidak paham maksud Jonathan. Jonathan tertawa. "Ah, iya. Kamu tidak tahu film itu. Aku lupa kalau kamu itu kampungan," kekeh Jonathan. "Nanti kita akan menontonnya setelah kembali dari desa. Setuju?"

Hana hanya mengangguk sekenanya karena rasa takut lebih menguasai dirinya sekarang. Jonathan tersenyum geli melihat raut ketakutan yang terpancar dari wajah Hana. Segera, ia meraih tangan Hana dan menggenggamnya erat.

"Jangan takut, ayo ikut aku," ajak Jonathan.

Hana gelagapan. Jantungnya tiba-tiba berdetak tidak karuan. Hana tidak tahu apa penyebab debaran jantungnya tersebut. Mungkinkah karena ia sebentar lagi akan menaiki benda tersebut atau efek dari tindakan Jonathan barusan-yang tiba-tiba menggenggam tangannya? Jonathan memang kerap kali melakukan hal itu tanpa meminta izin Hana terlebih dahulu. Tapi kali ini sentuhannya terasa ... berbeda.

Jonathan menuntun Hana masuk ke dalam helikopter. Hana membuka mulutnya saat baru saja menginjakkan kaki ke dalam helikopter. Pandangannya mengedar menjelajahi isi dari kendaraan ini. "Wah ..." Hana menutup mulutnya, kagum dengan apa yang disaksikan oleh matanya sekarang.

"Keren, bukan?" pamer Jonathan di belakang Hana. Hana menyahut dengan mengangguk-anggukkan kepala. Jonathan menutup pintu dan berjalan mendahului Hana. Jonathan mendaratkan bokongnya pada salah satu kursi empuk tersebut.

"Ini helikopter termahal yang pernah saya beli. Harganya mungkin sepuluh kali lipat lebih mahal dari harga dirimu," ucap Jonathan iseng menantikan reaksi Hana.

Pada detik berikutnya, Jonathan terkekeh melihat ekspresi Hana setelah mendengar ucapannya barusan. Wajah Hana mulai terlihat sendu. Bersiap akan menangis. "Ya, ampun. Kamu cengeng sekali. Tadi saya hanya bercanda saja. Kamu itu pelacur kecil yang berharga bagi saya. Duduk sini." Jonathan menepuk pahanya pelan. Memberitahu Hana agar duduk di pangkuannya. Ia terlihat seperti seorang ayah yang membujuk anak gadisnya sekarang.

Sambil berjalan, Hana menyeka air matanya dengan punggung tangannya. Tingkahnya seperti anak kecil. Dan itu membuat Jonathan gemas. Hana-pun duduk di pangkuan Jonathan, seperti yang disuruh oleh pria itu barusan.

Jonathan melingkarkan tangannya pada pinggang Hana.  "Kamu ini, badan sudah segede ini tapi tingkah masih seperti anak kecil. Terkadang saya merasa tidak enak saat kita sedang bercinta." Jonathan tertawa kecil. "Saya merasa seperti om-om pedofil."

"Pe- pedofil?" Hana mulai tidak paham dengan kata-kata yang baru ia dengar.

Jonathan berdecak. "Yang sering main di ranjang sama anak-anak dibawah umur." Jonathan menghela napas. "Syukurlah kamu sudah lebih dari 17 tahun. Jadi kamu tidak termasuk anak-anak lagi."

"Kalau saya bukan anak-anak, jadi saya ini apa?" tanya Hana dengan polosnya.

"Tentu saja tempat untuk memproduksi anak." Jonathan terkekeh.

Hana memegang pipinya yang sudah bersemu merah. Tentu saja ia paham dengan maksud Jonathan. Melihat semburat malu yang terpancar dari raut Hana membuat Jonathan tersenyum puas. Ia berhasil menggoda Hana. Hana berdeham sejenak, menghilangkan kegugupannya.

"Umm, Pak," panggil Hana tiba-tiba.

"Hm?"

"Kalau saya boleh tahu, usia bapak berapa?" tanya Hana dengan nada sangat sopan.

"28 tahun." Jonathan menantikan reaksi Hana.

Hana menganggukkan kepalanya, paham.

Jonathan mengernyit, "Kamu tidak kaget?" Dia pikir Hana akan berteriak kaget saat mengetahui usianya.

Hana menggeleng, "Dilihat dari wajah Bapak, saya sudah mengira kalau usia Bapak kira-kira akan segitu. Bahkan tadi saya pikir usia Bapak 30-an"

Jonathan melotot, "Sembarangan kalau bicara. Memangnya wajah saya setua itu?!" ucapnya kesal dan dibalas dengan kekehan kecil Hana.

Jonathan menghela napas. "Memang benar ya, pandangan orang kampung dan orang kota itu sangat berbeda. Nyatanya orang-orang di Jakarta selalu berpikir bahwa usia saya ini masih dibawah dua puluh lima tahun. Yah.. kira-kira masih cocoklah kalau pacaran sama remaja usia kamu."

Hana menggaruk kepalanya. Sepertinya orang-orang itu mengalami gangguan penglihatan.

"Hana," panggil Jonathan lembut.

"Hm?"

"Bisa tidak kamu tidak usah memanggil saya dengan sebutan Bapak? Saya kan bukan bapak-bapak. Belum beristri. Belum punya anak."

Hana mengerjapkan matanya. "Lalu saya harus panggil Bapak dengan sebutan apa?"

"Panggil biasa saja. Seperti orang lain sering memanggil saya."

"Jojo?" tanya Hana mengada-ngada.

Jonathan melotot. "Jojo?! Kamu pikir saya atlet bulu tangkis Indonesia? Panggil saja Jonathan."

"Oh, oke, Pak. Eh, Jo-na-than," jawab Hana ragu.

Jonathan tersenyum lalu mengusap lembut rambut hitam Hana. "Saya merasa lebih baik setelah mendengarnya."

"Pak." Tiba-tiba Hana menyadari sesuatu.

"Apa?"

"Kita sudah terbang?"

"Sudah."

"Hah?!" Hana membelalak, "sejak kapan?"

"Lima belas menit yang lalu," sahut Jonathan.

"Aaaaa!!" Hana berteriak takut lalu memeluk Jonathan dengan erat. Wajahnya ia benamkan pada dada bidang Jonathan. Sementara itu Jonathan tergelak di tempat melihat tingkah Hana yang sangat lucu dan menggemaskan baginya.

***

"Bapak tunggu di mobil?" tanya Hana saat mobil Jonathan sudah terparkir di pinggir jalan dengan jarak sekitar lima belas meter dari rumahnya.

Jonathan berdecak. "Bapak lagi, bapak lagi."

"Eh, Jo- Jonathan. Mau tunggu disini?"

Jonathan menggeram. "Apa terlalu susah mengatakan aku-kamu?" Dia memutar kedua matanya jengah.

"Eh?" Hana menggaruk tengkuknya.

"Sudahlah! Cepat temui ibumu. Waktumu tidak banyak," titah Jonathan disertai rasa jengkel. "Tiga puluh menit. Kamu hanya punya waktu setengah jam. Setelah itu langsung kembali, mengerti?"

"Iya, Pak." Hana sumringah lalu melangkah keluar dari mobil dan berlari menuju ke rumahnya.

"Ibu!" Hana berteriak begitu sampai di depan rumahnya. Fatma buru-buru keluar dari rumah ketika mendengar suara anak perempuannya. Hana langsung menghambur kepelukan Fatma yang berdiri di ambang pintu.

"Hana." Fatma membalas pelukan Hana sembari menangis terharu. "Bagaimana kamu bisa ke sini?" tanya Fatma.

"Itu tidak penting. Sekarang aku hanya ingin peluk ibu sepuas-puasnya. Aku kangen ibu," balas Hana manja.

"Ibu juga kangen sama kamu, Nak."

Hana melepaskan pelukan. "Dimana Windy?"

"Dia lagi di sekolah," jawab Fatma sembari menyeka cairan bening di sudut matanya karena momen mengharukan tadi. Hana menghela napas. Adiknya itu ternyata masih semangat untuk ke sekolah. Hana yakin tidak lama lagi perut Windy pasti akan membesar dalam hitungan beberapa bulan lagi. Argh, bagaimana cara Hana mengatasinya nanti?

“Ayo, masuk dulu, "ajak Fatma. "Ibu sedang merebus ubi. Kesukaan kamu."

Wajah Hana sontak berbinar. Ia segera berlari masuk ke dapur, mendahului Fatma.

"Kamu sudah dapat pekerjaan di sana?" tanya Fatma sambil melirik putrinya yang terlihat lahap menyantap makanan di meja.

Hana tersedak teh hangat yang baru saja ia minum. Ah, iya. Ia berbohong kepada ibunya dengan mengatakan alasan pergi ke Jakarta adalah untuk mencari pekerjaan. Hana merasa bersalah karena telah membohongi ibunya.

"Sudah, Bu." bohong Hana lagi.

Fatma membelalak senang, "Benarkah? Kamu bekerja apa di sana?"

Hana gelagapan. Tidak tahu mau menjawab apa. "Eh, itu … Aku … kerja di … di tempat penjahit! Iya, di tempat penjahit," jawabnya berusaha meyakinkan ibunya.

Fatma menghela napas lega. "Syukurlah, Ibu kira kamu akan menjadi pembantu, atau semacamnya itu. Kemarin ibu sempat menonton sinetron bersama ibu-ibu lainnya di tv umum depan sana. Banyak sekali majikan yang menyiksa pembantunya hanya karena hal sepele."

Hana terkekeh mendengar ucapan Fatma. "Ibu ada-ada saja. Tidak semua majikan itu jahat. Masih banyak yang mempunyai hati."

"Hm ... Ibu hanya khawatir saja, Nak. Ibu harap kehidupanmu di sana dapat berjalan dengan baik dan lancar."

"Amin," sahut Hana.

***

"Jadi, disini kamu sering menenangkan diri?" tanya Jonathan. Ia dan Hana sedang duduk berdua di bawah pohon besar sambil menghadap ke arah utara di mana proyek-proyek Jonathan sedang berjalan. Ya, setelah mengantar Hana ke rumah ibunya, wanita itu memohon kepada Jonathan agar membawanya ke bukit ini. Ke tempat favorit Hana.

"Hm…," sahut Hana tanpa mau mengalihkan pandangannya.

Jonathan mengehela napas. "Memangnya apa yang spesial dari tempat ini?" Susah susah perjalanan yang mereka lalui menuju ke sini dan hanya disuguhkan pemandangan yang tidak menarik seperti ini? Sungguh tidak adil. Protes Jonathan dalam hati.

"Dulu tempat ini tidak seperti ini," jawab Hana membuka suara.

Jonathan mengangkat alisnya, "Memangnya dulu tempat ini seperti apa?"

Hana menunjuk ke arah galian batu bara yang kian membesar itu. "Dulu, tempat itu masih datar. Macam-macam tanaman masih menghias di atasnya. Kalau dipandang dari atas sini terlihat sangat indah dan menyejukkan hati."

Jonathan memandangi objek yang dibicarakan oleh Hana barusan. Semuanya itu adalah hasil dari pekerjaannya.

Cukup lama Jonathan termenung dan berpikir, ia lalu menatap Hana. "Apa kamu sangat menyukai tempat ini?"

Dengan pandangan masih lurus ke depan, Hana mengikis senyuman di bibirnya. "Lebih dari sekedar menyukai, aku mencintai tempat ini."

"Untuk apa menyia-nyiakan hidup dengan hanya menikmati dan tidak memanfaatkan apa yang sudah tersedia selama ini? Bukankah tugas manusia memang untuk memanfaatkan apa yang telah diberikan alam?" tanya Jonathan heran.

"Benarkah?" Hana tersenyum tipis, "orang-orang mungkin berpikir begitu. Tapi bagiku.. alam adalah ujian dari Tuhan. Tuhan ingin tahu seberapa baiknya kita merawat alam, Tuhan ingin mengukur kesabaran dan nafsu manusia dalam memanfaatkan hasil alam. Tuhan ingin tahu seberapa pedulinya kita terhadap ciptaannya yang lain. Dan masih banyak lagi ujian dari Tuhan melalui alam untuk manusia."

Jonathan terdiam seribu bahasa. Mulutnya bungkam tak berani berbicara. Ia menatap wajah Hana dari samping.

Jonathan memegang dadanya yang berdegup kencang. "Apa yang sudah kamu perbuat terhadap hati saya?" gumam Jonathan pelan, cukup pelan namun masih bisa terdengar oleh telinga Hana.

Hana sontak menoleh. "Ya?"

Alih-alih menjawab, Jonathan malah menggeser tubuhnya hingga menjadi lebih dekat dengan Hana. Jonathan meraih dagu Hana. Matanya menatap sepasang netra coklat yang juga menatapnya itu.

"Kamu ini apa?" tanya Jonathan lembut.

"Apa?" Hana tidak paham dan balik bertanya dengan nada sangat lembut dan pelan.

"Kamu ini manusia asli kan? Bukan malaikat?" tanya Jonathan semakin mengikis jarak di antara keduanya. Hana memejamkan matanya pelan saat napas hangat Jonathan menerpa wajahnya. Ia tahu Jonathan pasti akan menciumnya segera.

Jonathan tersenyum. Ternyata Hana sudah mulai mengerti dengan keinginan Jonathan. Jonathan mencium bibir Hana lembut, sangat lembut hingga Hana langsung terbuai. Tangannya refleks menangkup rahang Jonathan.

Jonathan mendorong pelan tubuh Hana dan merebahkannya ke tanah dengan beralaskan dedaunan kering. Jonathan kembali mencium Hana dengan posisinya di atas tubuh Hana.

"Kamu tidak keberatan jika kita melakukannya di sini?" bisik Jonathan.

Tanpa menunggu waktu lebih lama, Hana langsung menganggukkan kepalanya, memberi izin kepada Jonathan. Jonathan tersenyum lalu kembali mencium dan memagut bibir Hana.

***

Jonathan dan Hana sampai di Jakarta pada malam hari. Jonathan membawa mobilnya masuk ke tempat parkir rumahnya. Jonathan mengernyit melihat sebuah mobil pajero sport berwarna putih sudah terparkir rapi di samping mobil-mobilnya yang lain.

"Ada apa, Pak? Eh, Jonathan?" tanya Hana saat melihat ekspresi heran Jonathan.

"Tidak apa-apa," sahut Jonathan.

Jonathan dan Hana-pun melangkah keluar dari mobil dan segera berjalan menuju ke rumah. Jonathan menekan bel berkali-kali.

"Apa tidak ada orang di rumah?" tanya Hana.

"Tidak mungkin mereka tidak ada. Semua pembantu pasti ada di dalam," sahut Jonathan.

Ia kembali menekan-nekan tombol bel untuk kesekian kalinya hingga terdengar derap langkah dari dalam rumah.

"Kenapa— Mommy?" Jonathan tersentak kala melihat seseorang yang baru saja membukakan pintu baginya. "Mom?"

"Dari mana saja? Kenapa seharian ini Mommy tidak melihatmu di rumah ini?" tanya wanita paruh baya itu.

"Ak– aku ... kerja, Mom," jawab Jonathan beralasan.

"Bekerja dengan membawa seorang wanita asing?!" Tiba-tiba mata elang wanita itu melirik sinis pada Hana. Hana tersentak. Ia yang tadinya takut akibat aura yang terpancar dari wanita tua itu, menjadi semakin takut. Bulu kuduk Hana langsung merinding saat bertatapan langsung dengan wanita itu. Tampangnya bahkan lebih menakutkan dari hantu.

"Katakan. Siapa wanita ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status