Bergegas ia melihat hamparan manusia yang berjubel di depan pintu kereta. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi meskipun ia sering mengucapkan “permisi” atau “maaf” karena menerobos masuk di antara orang-orang yang berlalu lalang
“Kenapa hari ini stasiun begitu ramai?” ia membatin.
Jrett…jreet…
Getaran handphone mengalihkan pandangan Arin. Dia sudah melihat Mey memegang handphone 20 meter dari posisinya. Arin sempatkan mengambil handphone hitam berukuran kecil dari saku bajunya. Handphone yang sangat ketinggalan zaman. Sapu tangan birunya ikut keluar, jatuh mulus ke lantai stasiun. Seseorang mengambilnya, berteriak tertahan di tengah orang-orang yang berjubel. Berharap pemiliknya menoleh.
“Wa’alaykumussalam, iya Bu?” Arin berhenti melangkah. Salah satu tangan menutup telinganya. Ia tidak bisa mendengar dengan jelas, pembicaraan seseorang di seberang sana.
“Bagaimana?” dia berhenti sejenak, raut wajahnya berubah.
“Tidak masalah Bu.” Dia mengangguk berkali-kali, menyimak ucapan orang di sebrang telepon sebaik mungkin.
“Iya. Pasti bisa, Bu!”
“Baik, Bu”
“Sama-sama Bu.” Arin menutup telepon, dilihatnya Mey dari kejauhan masih menggenggam handphone. Sebuah tas besar diam di sampingnya, ia mondar-mandir tidak tenang sambil berbicara dengan seseorang di seberang telepon, sesekali menggigit ujung kukunya. Sebal dia tidak dijemput langsung Bu Surti, ditambah lagi Arin datang terlambat menjemputnya.
Bu surti yang sedang sibuk menyusun berkas-berkas ikut gusar karena ulah putrinya. Karena pecah konsentrasinya hampir saja data-data warga yang masih hidup ia masukkan dalam arsip warga yang meninggal. Dibujuknya Mey selembut mungkin, masih dengan nada bataknya yang khas. Bu Surti tahu sekali watak putri semata wayangnya itu. Kerasnya hampir menyerupai gunung es Arin, meskipun baginya gunung es Mey lebih mudah mencair. Jika ia mengeluarkan jurus merayu tingkat dewa.
“Tunggulah sejenak Nak, sebentar lagi Arin datang, Kau…” belum selesai bu Surti berbicara, Mey sudah menutup teleponnya. Dipandanginya Arin dengan sorot mata elang yang sedang kelaparan.
Arin melangkah tanpa berkedip, dibalasnya tatapan Mey, tidak tajam pun juga tidak teduh, lebih tepatnya hampa, kosong. Mey yang memandang tepat pada manik mata Arin seakan terhipnoti. Tatapan tajam Mey justru meredup. Emosinya mereda. Ujung matanya mengikuti langkah Arin mengambil tas besar di samping posisinya berdiri. Mey mengambil kasar tas gendong yang dia letakkan di kursi. Masih kesal ia, tapi orang yang berada di hadapannya tidak dapat dengan mudah menjadi pelampiasan kekesalannya.
“Kenapa telat?”
“Mengurusi hal yang kau benci.” jawab Arin sambil melangkah pergi. Mey diam ditempatnya, mengepalkan tangan dan meninjukannya di belakang Arin. Sayang, tinjuan itu hanya menyentuh angin. Arin menoleh, Mey cepat-cepat menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Mau pulang ke rumah atau kembali masuk kereta?” Arin memiringkan sedikit kepalanya ke sebelah kanan menunggu jawaban, tentu saja dengan wajah tanpa bersalahnya. Mey melangkah gontai, diikutinya langkah wanita menyebalkan dihadapannya itu.
Arin melangkah kembali, dilewatinya seseorang yang sedari tadi mendengar percakapan mereka. Sapu tangan itu menghadang langkah Arin, seperti pagar, sekaligus sebuah tangan menghadang. Ditatapnya ketus seorang pria tepat di samping kanan ia berdiri. Menanyakan maksud tanpa berkata-kata.
“Ambillah!” ucap pria itu tanpa basa-basi.
“Untuk apa?”
“Kau membutuhkannya!”
“Kau saja ambil. Aku tidak butuh!” Arin menghindar dari tangan yang masih menghadangnya dan melangkah secepat mungkin. Hari ini, hari yang paling ia tunggu. Mengapa banyak hal yang memancing sesuatu yang mati dalam dirinya kembali hidup. Kenapa? Dia benci, benci pada dirinya sendiri.
***
Jalanan siang itu cukup macet. Jam menunjukkan pukul 10.00 pagi. Panas matahari tidak dapat mendinginkan mobil yang sudah full AC. Berkali-kali Mey mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan. Bunyi klakson membahana di tengah kota. Banyak hal yang ingin dilakukan, setiap orang punya tujuan masing-masing yang harus segera dilaksanakan dan yang terpenting adalah terbebas dari macet. Tidak seperti hari biasa, macet kembali mewarnai jalan.
Arin mengangkat sedikit kepalanya, melihat mobil membentuk barisan layaknya pasukan pengibar bendera. Dia menarik nafas berat. Berbalik arah tidak mungkin, karena di belakang sudah dihadang kendaraan lain. Hanya sepeda, atau motor yang dapat bergerak menyelip diantara kemacetan.
“Kau punya SIM bukan?”
“Baru sebulan yang lalu, kenapa? Jangan bilang…!” Mey menutup mulutnya tidak percaya. Arin sudah keluar mobil menuju sumber kemacetan.
“Hei…hei…tunggu! Hei…Dasar! Wanita aneh.” omel Mey, terpaksa merangkak berpindah ke tempat duduk Arin. Suara klakson beserta omelan di belakang mobilnya tak memberi kesempatan lebih lama untuk mengumpat Arin.
Bunyi klakson mobil terus membahana, sahut-menyahut di sepanjang jalan. Jauh di depan sana sebuah motor dan gerobak sampah beserta sampah-sampahnya berserakan di tengah jalan. Semua terjadi begitu cepat, sebuah pohon tua tumbang ke tengah jalan dan menghantam sebuah sepeda motor dan gerobak tukang sampah. Tidak ada polisi, masih dalam perjalanan menuju lokasi. Jadilah, warga sekitar yang memenuhi jalan dan membantu seadanya.
Tidak ada korban jiwa tapi satu motor hancur dan pengendaranya dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka yang cukup parah. Sedangkan pemilik gerobak sampah itu, nasibnya juga tidak begitu baik. Arin memperhatikan kerumunan orang. Tampak di tengah kerumunan seorang kakek yang kakinya sedang terluka, duduk dengan wajah pasrah. Dia menolak dibawa ke rumah sakit. Orang-orang sudah membujuknya tapi dia bersikeras tidak mau pergi ke rumah sakit. Diobati pun dia enggan.
Dimarahinya semua orang yang berusaha mendekat meski sekedar ingin melihat keadaannya. Mereka akhirnya menjaga jarak. Kaki kakek itu terluka cukup parah. Darah mengalir segar dilutut, dan kepalanya terbentur benda keras, mengalirkan darah kental di pelipis. Miris orang-orang melihatnya. Pakaiannya compang camping, bertambal sulam di mana-mana. Baju kaos putih tulang yang ia kenakan tak nampak lagi warna putihnya bercampur debu dan darah. Tangannya lecet dipenuhi luka goresan. Dia tetap bergeming, ditatapnya hampa gerobak sampah yang rusak parah, lebih parah baginya kerusakan gerobak itu daripada dirinya sendiri. Itulah sumber kehidupannya, bagaimana bisa ia mengobati dirinya sedang harapannya saja telah hancur di depan mata.
Arin yang sedari tadi berkeliling mencari warung untuk membeli air, perban, obat luka, sesegera mungkin menyelinap di antara kerumunan orang. Tepat dia berdiri di hadapan kakek memegang keresek dan minuman. Diaturnya dulu nafas yang tersengal-sengal. Kakek itu menatapnya tajam, bibirnya bergetar bersiap meluapkan amarah. Benci dia pada orang yang hanya berusaha menolongnya tapi tidak dengan gerobaknya. Arin membalas tatapan kakek, sama seperti sebelumnya. Tatapan kosong, hampa membuat bingung lawan yang menatapnya. Arin memperlihatkan sebuah kartu.
“Kakek lihat ini!” kakek menatap kartu dan wajah Arin bergantian, tidak mengerti maksud Arin.
“Saya menggunakan ini kemanapun saya pergi saat berkendara, tapi saat ini dan detik ini juga aku akan membuangnya!” Arin melempar SIMnya ke tengah jalan. SIM itu tergeletak di sana bersama gerobak tua yang setengah hancur. Bukan hanya kakek itu yang terperanjat, orang-orang di sekeliling mereka menatap aneh pada wanita asing di hadapan mereka.
Hari pertama mengajar les di rumah Laudia. Arin tersenyum samar ketika mentari pagi menyiram wajahnya yang gelap. Perlahan kakinya melangkah menuruni anak tangga. Terlihat satu dua penghuni kos sedang sibuk berolahraga. Akhir pekan adalah waktu yang sangat tepat untuk mengisi hari dengan segala aktivitas yang mungkin tertunda di hari-hari sibuk.Arin memutuskan membawa sepedanya, melewati jalur yang biasa ia lewati. Pemandangan hijau oleh sawah yang mulai berbuah menambah indah perjalanan Arin dengan mengayuh sepeda hijaunya. Rencananya sepeda itu akan ia titipkan di sekitar jalan besar. Di mana Arin dapat menemukan angkutan umum. Arin sudah mengantongi alamat Laudia, ibu Sovie.Arin mengenakan baju berwarna hijau tua dengan warna kerudung yang senada. Di pinggir jalan Arin sedang menunggu angkutan umum. Lima menit lalu dia sudah menitipkan sepedanya hingga tengah hari nanti. Tentu saja, Arin harus membayar beberapa rupiah karena telah menitipkan sepedanya di sebuah tempat baru. Siapa
Arin mengayuh sepedanya menuju kampus. Hari ini ia memiliki jadwal konsultasi skripsi. Itu artinya ia akan kembali berjumpa dengan Khan, dosen pembimbingnya. Arin hanya memakai bedak tipis di wajah kusamnya. Tidak ada perawatan yang berarti di wajah Arin. Membiarkan wajah itu bertemu sapa setiap hari dengan terik mentari yang seakan hendak membakar kulit ketika panasnya tepat berada di atas ubun-ubun kepala. Tapi sebelum itu, Arin singgah ke TK. Arin memiliki jadwal bertemu dengan orangtua Sovie, Laudia. Kedatangan Laudia ke TK adalah bertemu dengan Jane dan Arin demi membahas perkembangan belajar Sovie. Dari kejauhan TK itu sudah terlihat. Arin mempercepat kayuhan sepedanya. Terlihat anak-anak mulai ramai bermain di sekitar TK. Ada yang bermain jungkat jungkit, bermain ayunan, memanjat tebing kecil, meniti tali dan berbagai permainan yang biasanya ada di TK.Arin mendorong pagar kayu dengan cat berwarna-warni setinggi pinggang orang dewasa. Sontak saja ketika melihat Arin da
Lagi. Hujan mengguyur kota Yogya. Seketika tanah yang kering menjadi basah. Arin menengok jendela kaca, menatap langit yang gelap oleh awan hitam yang menutupi. Kaca terlihat berembun oleh hawa dingin yang mulai menjalari kulit hingga menusuk tulang. “Sepertinya hujannya akan lama.” Lirih Arin dengan pandangan masih lurus menembus kaca putih yang memperlihatkan tetes hujan yang terus menjatuhkan tubuhnya tanpa henti. “Iya Umi, hujannya pasti lama. Kita tidur di sini saja, Umi?” Sovie menanggapi ucapan Arin tanpa beralih sedikitpun dari crayon-crayonnya. Sovie, gadis kecil itu sibuk mewarnai buku bergambar yang belum diwarnai. Arin mendekati tubuh mungil itu. Menatapnya lembut, mengusap kepalanya. Arin tidak pernah menyangka secara perlahan Sovie mulai membuka diri pada Arin. Meski pun masih sulit berinteraksi dengan teman-teman seusianya, setidaknya Sovie telah menunjukkan sedikit kemajuan yang dapat membuatnya tetap bertahan di TK itu, di tempat Arin
Senja telah datang dari ufuk barat, menyembunyikan sinar mentari di kaki langit. Kepakan sayap burung datang berbondong-bondong hingga hanya sisa dua, tiga saja yang terlihat. Perlahan kepakan sayap itu seperti siluet saja di antara warna jingga langit. Kesunyian masuk kemudian menyelinap lembut bersama hembusan angin yang menenangkan juga menentramkan. “Baru pulang?” Arin menengok di sekelilingnya. Jelas sekali dia mendengar suara seseorang. Tapi, tak ada siapa pun di sekitarnya. Meninggalkan wajah Arin yang pias, meskipun dia berusaha tetap tenang. Langkahnya semakin cepat, khawatir dugaannya memang benar. Dia takut kejadian yang sama terulang kembali. Meskipun sudah cukup lama berlalu. Tetap saja, terkadang rasa takut itu menyelinap tanpa permisi. “Ka
Di sudut pulau sebelah selatan Sulawesi. Di sebuah kampung yang cukup jauh dari kota Makassar, Pak Rais memperbaiki jaringnya di teras rumah kayu. Sedang istrinya Mak Edah sibuk menjemur ikan hasil tangkapan kemarin. Ikan diberi es dan direndam dalam air garam. Jaring-jaring hitam terhampar di halaman depan rumah. Cukup luas. Sekitar 5×6 meter luas hamparan jaring hitam di depan halaman. Jaring itu dapat dipindahkan, karena ia berada pada tiang-tiang kayu berbentuk meja yang dapat di angkat pada tempat yang mendapat langsung cahaya matahari.Di kampung itu, rumah-rumah warga dibangun memanjang atau melebar. Saat kita baru tiba di sana, mata akan terbiasa melihat ruang tamu yang luas tanpa kursi, ataupun meja. Hanya ada hamparan tikar memanjang atau melebar. Suku di kampung itu mayoritas Bugis Mandar. Pekerjaan mereka, sebagai nelayan atau pengrajin rotan. Tidak banyak anak yang sekolah di sana, mereka sibuk membantu orangtua mereka melaut, atau masuk hutan mencari kayu
Matahari semakin terik. Keringat semakin lembap membasahi gamis Arin. kerudungnya pun ikut basah oleh keringat di wajah. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala, menyengat sekali. Sepeda hijau itu melaju di jalan yang sebelah kanan dan kirinya terhampar hijaunya sawah. Nampak para petani beristirahat di pondok mereka, melepas lelah mencangkul, membersihkan sekitar sawah, menggarap tanah baru yang siap ditanami bibit padi baru.Sejauh mata memandang di tengah hamparan terdapat satu, dua orang-orangan sawah yang sengaja dibuat untuk mengusir hama burung pipit yang meresahkan petani. Jika padi mulai memunculkan benih hijau ditangkainya mulailah hama-hama berdatangan. Belum sempat padi matang, burung-burung sudah memanen terlebih dulu. Hama-hama itu amat meresahkan para petani.Arin melambaikan tangannya saat melewati pondok. Ada Bu Saripah sedang menikmati makan siang bersama suaminya Pak Rasidi. Melihat pasangan petani itu Arin teringat Bapak dan Mamak di kampung.