Arin mengayuh sepedanya menuju kampus. Hari ini ia memiliki jadwal konsultasi skripsi. Itu artinya ia akan kembali berjumpa dengan Khan, dosen pembimbingnya. Arin hanya memakai bedak tipis di wajah kusamnya. Tidak ada perawatan yang berarti di wajah Arin. Membiarkan wajah itu bertemu sapa setiap hari dengan terik mentari yang seakan hendak membakar kulit ketika panasnya tepat berada di atas ubun-ubun kepala. Tapi sebelum itu, Arin singgah ke TK. Arin memiliki jadwal bertemu dengan orangtua Sovie, Laudia. Kedatangan Laudia ke TK adalah bertemu dengan Jane dan Arin demi membahas perkembangan belajar Sovie. Dari kejauhan TK itu sudah terlihat. Arin mempercepat kayuhan sepedanya. Terlihat anak-anak mulai ramai bermain di sekitar TK. Ada yang bermain jungkat jungkit, bermain ayunan, memanjat tebing kecil, meniti tali dan berbagai permainan yang biasanya ada di TK.
Arin mendorong pagar kayu dengan cat berwarna-warni setinggi pinggang orang dewasa. Sontak saja ketika melihat Arin da
Hari pertama mengajar les di rumah Laudia. Arin tersenyum samar ketika mentari pagi menyiram wajahnya yang gelap. Perlahan kakinya melangkah menuruni anak tangga. Terlihat satu dua penghuni kos sedang sibuk berolahraga. Akhir pekan adalah waktu yang sangat tepat untuk mengisi hari dengan segala aktivitas yang mungkin tertunda di hari-hari sibuk.Arin memutuskan membawa sepedanya, melewati jalur yang biasa ia lewati. Pemandangan hijau oleh sawah yang mulai berbuah menambah indah perjalanan Arin dengan mengayuh sepeda hijaunya. Rencananya sepeda itu akan ia titipkan di sekitar jalan besar. Di mana Arin dapat menemukan angkutan umum. Arin sudah mengantongi alamat Laudia, ibu Sovie.Arin mengenakan baju berwarna hijau tua dengan warna kerudung yang senada. Di pinggir jalan Arin sedang menunggu angkutan umum. Lima menit lalu dia sudah menitipkan sepedanya hingga tengah hari nanti. Tentu saja, Arin harus membayar beberapa rupiah karena telah menitipkan sepedanya di sebuah tempat baru. Siapa
Entah mengapa? Bagaimana bisa? Aku? Atau ini hanya pikiranku saja? Aku merasa antara kita tidak benar-benar berakhir. Entahlah, bagaimana bisa aku berpikir begitu sedangkan takdir yang tertulis pada goresan kenyataan justru kau melangkah jauh dariku. Sangat jauh dariku. Aku masih di tempatku berpijak. Memandang kepergianmu. Entah mengapa? Aku tetap merasakan hal yang sama. Apakah begini akhirnya? Aku merasa kita tidak benar-benar berakhir seperti ini.Tapi, aku harus bagaimana? Kau semakin jauh, walaupun melangkah ke arahmu. Tidak dapat aku lakukan bukan karena aku tidak ingin tapi tabir di antara kita, kau tahu? Kau yang menutupnya begitu rapat. Tapi kenapa hatiku begitu keras. Aku dengan kehampaan yang kurasakan menyambut tangan yang terulur padaku. Apa kau tahu? Bagaimana bisa aku terlepas dari banyaknya cinta yang ia berikan padaku. Perlahan tanpa ku pinta hatiku belajar mengenalnya, mengkhawatirkan keadaannya. Lebih dari sekedar peduli. Aku! apakah mungkin telah menghapu
“Kau memiliki hati yang lembut Arin, aku tahu itu! Bahkan sejak pertama kali aku melihatmu.” Aku tak menanggapi, bukan karena tak tertarik tapi aku sama sekali tidak ingin membahasnya. Aku, hanya mampu menepuk-nepuk lembut bahu Laudia. Wanita ini baru saja menasehatiku, seakan ia begitu kuat namun ternyata semua tersimpan rapi dalam kenangan luka yang membuatnya terus menahan airmata. Rasa bersalah, benci pada diri sendiri mengendap lama dalam dirinya. Aku mengerti, bahwa nasehat yang barusan ia sampaikan tidak sepenuhnya diberikan untukku. Nasehat itu lebih tepatnya ditujukan untuk dirinya sendiri, ibu yang sedang berusaha menjadi wanita terbaik bagi anak dan suaminya.“Sekarang dia di mana?”“Di rumah, bersama ayahnya.” Singkat. Laudia hanya menjawab singkat dengan senyum kecil yang masih terus ia pertahankan berada di sudut bibirnya. Aku ikut tersenyum samar, mungkin jika dilihat langsung aku hanya memasang wajah tanpa ekspresi. B
Di dunia ini, banyak hal yang tidak kita ketahui. Hampir semua yang ada disekeliling berkaitan dengan berbagai hal yang juga tidak semua kita ketahui. Karena itulah, tanpa ilmu seseorang tidak akan mampu mengatasi suatu masalah dengan tepat. Tidak pernah ada salahnya membaca buku yang tidak ada sangkut pautnya dengan keilmuan yang digeluti. Keadaan. Awalnya keadaan yang memaksa begitu. Karena realitas kenyataan mengharuskan seseorang menghadapinya dengan ilmu. Secarik kertas menyembul disela-sela sebuah buku yang tersusun terbalik, nampak sebelumnya kertas itu diletakkan buru-buru di salah satu halaman buku. Buku Diagnosis gangguan kejiwaan. Kertas itu, ujung jari Arin menyentuhnya, bergetar hebat, tapi lengannya terus mendorong jemari itu mendekat.Tok…tok…tok…Spontan jari Arin berhenti, getaran ditangannya juga hilang. Dia menoleh pada pintu kecil arah barat daya. Suara ke
Bergegas ia melihat hamparan manusia yang berjubel di depan pintu kereta. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi meskipun ia sering mengucapkan “permisi” atau “maaf” karena menerobos masuk di antara orang-orang yang berlalu lalang“Kenapa hari ini stasiun begitu ramai?” ia membatin.Jrett…jreet…Getaran handphone mengalihkan pandangan Arin. Dia sudah melihat Mey memegang handphone 20 meter dari posisinya. Arin sempatkan mengambil handphone hitam berukuran kecil dari saku bajunya. Handphone yang sangat ketinggalan zaman. Sapu tangan birunya ikut keluar, jatuh mulus ke lantai stasiun. Seseorang mengambilnya, berteriak tertahan di tengah orang-orang yang berjubel. Berharap pemiliknya menoleh.“Wa’alaykumussalam, iya Bu?” Arin berhenti melangkah. Salah satu tangan menutup telinganya. Ia tidak bisa mendengar dengan jelas, pembicaraan seseorang di seberang sana.“Bagaimana?&rdq
“A...apa yang kau lakukan? Kau akan dalam kesulitan jika membuangnya. Ambil cepat. Ambil!” kakek itu berseru-seru.“Kenapa kakek memperdulikan sebuah kartu? Itu hanya sebuah kartu, Kek! Tidak cukup berarti dibanding nyawa. Bukan karena kartu itu saya berada dalam kesulitan. Tapi sepenuhnya berada di dalam diri saya sendiri. Ketika saya berpikir sulit maka kehidupan akan membuat saya kesulitan, namun ketika saya melihat harapan di antara kesulitan maka selalu ada jalan keluar. Apakah pikiran saya salah, Kek?” kakek menggeleng lemah, seperti ayunan daun yang tertiup angin.“Tapi tetap saja, kau membutuhkan kartu itu. Cepat ambil kartumu!” kakek berseru-seru dengan suara rentanya“Asal kakek berjanji mau aku obati!”“Anak ini!” kakek itu mengancam Arin dengan gertakan kakinya yang luka dan matanya yang memerah.“Aku tidak akan pergi kemanapun sebelum tugasku selesai.”&ldqu
Udara pagi masuk melalui ventilasi jendela kamar. Sinar mentari telah memasuki ruang yang gelap berganti cahaya yang menebarkan senyum bunga yang merekah indah di taman. Seperti sapuan hujan pada gersangnya tanah yang tandus, seketika memberi harapan pada kehidupan yang berjalan tanpa setitik jejak yang menunjukkan akan kemana sebuah kisah akan bermula.Matahari masih malu-malu keluar dari peraduannya, tapi ayam terus berkokok, mengusik jiwa yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Sudah menjadi tradisi di sekitar kota Yogya, masyarakatnya disibukkan bekerja di pagi-pagi buta. Ada yang bersiap berangkat ke ladang, sawah, berolahraga, memotong rumput, memberi makan ternak, memasak, membaca koran, membuka toko hingga memperbaiki antena TV di atas genteng.Sebuah sepeda hijau menemani pemiliknya mengarungi jalan-jalan kecil menuju pasar. Di depan sepeda itu ada keranjang berukuran sedang, cukup meletakkan beberapa barang di dalamnya, dan sisanya diikat pada tem
Pertemuan usai setelah 2 jam berlalu. Adam dan Khan menuju pasar kembali. Khan yang mengajak Adam.“Kau harus mengikutiku kali ini Dam, kau tidak akan menyesal.” Khan bersemangat. Wajah khas arab-indianya tampak berseru-seru setelah melihat yang dia tunggu-tunggu selama 2 hari kembali ada di depan mata.“Baru datang Bu?” tangan Khan memegang bungkusan makanan yang bergantung di depan warung.“Iya, Nak Khan. Ibu sudah simpankan milikmu, tunggu sebentar!” Adam tidak begitu tertarik dengan ucapan Khan sepanjang perjalanan karena sibuk memotret sekitar pasar. Tapi dia sedikit terusik dengan keakraban Khan dengan ibu itu. Sepertinya Khan sering datang kemari.“Apakah seperti dia tipemu?” Adam berbisik menggoda. Bu Minah dengan terseok-seok berdiri bersama tubuhnya yang cukup bongsor. Dia tak mendengar percakapan dua pria di depan warungnya yang menjalar kemana-mana. Khan menyentil pelipis Adam, kesal dia dengan g