Share

Bab 3

Di dunia ini, banyak hal yang tidak kita ketahui. Hampir semua yang ada disekeliling berkaitan dengan berbagai hal yang juga tidak semua kita ketahui. Karena itulah, tanpa ilmu seseorang tidak akan mampu mengatasi suatu masalah dengan tepat. Tidak pernah ada salahnya membaca buku yang tidak ada sangkut pautnya dengan keilmuan yang digeluti. Keadaan. Awalnya keadaan yang memaksa begitu. Karena realitas kenyataan mengharuskan seseorang menghadapinya dengan ilmu.

            Secarik kertas menyembul disela-sela sebuah buku yang tersusun terbalik, nampak sebelumnya kertas itu diletakkan buru-buru di salah satu halaman buku. Buku Diagnosis gangguan kejiwaan. Kertas itu, ujung jari Arin menyentuhnya, bergetar hebat, tapi lengannya terus mendorong jemari itu mendekat.

Tok…tok…tok…

Spontan jari Arin berhenti, getaran ditangannya juga hilang. Dia menoleh pada pintu kecil arah barat daya. Suara ketukan menghilang beberapa detik, menunggu jawaban dari  dalam ruangan. Arin diam, ditatapnya pintu itu, pikirnya pasti setelah itu akan ada suara.

“Neng Arin? Ini Bu Surti?” Suara khas batak memecah kesunyian. Arin berdiri dan berjalan gontai menuju pintu.

Krekk…

Pintu terbuka menampakkan wajah kusut Bu Surti yang memaksa untuk tersenyum.

“Neng libur hari ini?” tanyanya memelas.

“Ada apa Bu? Ada yang bisa Arin bantu?” Bu Surti menjentikkan jarinya di depan wajah Arin, meninggalkan angin kecil disana. Arin mengernyitkan dahi, dilepasnya gagang pintu, spontan.

“Neng Arin tahu aja. Punya indra ketujuh yah Neng?” mata sipit Bu Surti terbuka sukarela, menampakkan suasana hati pemiliknya, dia tampak seperti orang yang ketiban pohon duit. Dia menarik nafas pelan dan meniup keras kerudung yang menutup alis dan juga bagian atas matanya. Sepertinya penting sekali urusannya kali ini, hingga penampilan yang biasa menjadi berada pada urutan nomor satu dikorbankannya menjadi paling akhir.

“Mey hari ini pulang. Lebih cepat dari jadwal yang sudah ia rencanakan. Akibatnya Neng tahu? Yah, kayak gini. Jadwal ibu yang keteteran. Pagi ini ibu harus ke Balai Desa, merapikan berkas-berkas warga yang hilang karena diobrak-abrik maling malam kemarin. Siang nanti jadwal ibu arisan, ibu harus buat kue untuk dibawa kesana. Mau beli? Tidak ada kue seenak buatan ibu. Itu kata teman arisan ibu sih! Kau tahulah Neng? jadwal ibu ini padatnya seperti istri Pak Gubernur saja!” jelas Bu Surti bersemangat. Dibiarkannya saja kerudung yang menghalangi matanya. Arin mengangguk pelan. Sedikit saja ia paham maksud bu Surti. Bu Surti diam sejenak kemudian menelan angin, memaksa tenggorokannya untuk berbicara.

“Jadi Neng, maksud Ibu kemari, tolong jemputin Mey di Stasiun jam 9 nanti. Gimana Neng Rin?” lagi Bu Surti meniup keras kerudung yang menutup mata dan mengganggu penglihatannya. Menanti respon yang ia tunggu dari Arin. Angin seperti berhenti berhembus. Kedua bibirnya terkatup rapat, seperti sedang menunggu ayam bertelur.

“Kunci?” Arin menengadahkan tangannya. Bu Surti tersenyum penuh kemenangan, berhasil dia membujuk wanita yang dingin sekutub es itu. Dirogohnya kantong daster merah yang dipenuhi bunga-bunga. Sudah dipersiapkannya. Kemungkinan memang 80% keberhasilan. Dia sedikit tahu watak Arin. Meskipun sikapnya dikatakan sedingin es di kutub sana, tidak dapat ditutupi, jiwa sosialnya mampu mencairkan gunung es sekalipun.

“Ini, Neng. Sekalian belikan bensin. Full yah Neng?” Arin menerima kunci dengan gantungan boneka bebek seukuran genggaman tangan. Diambilnya pula lembaran uang ratusan ribu.

“Ada lagi?”

“Oh, tidak Neng. Silahkan masuk, ibu juga mau pergi!” Arin masih berdiri ditempatnya, menunggu Bu Surti pergi terlebih dulu.

“Baiklah, ibu pergi yah Neng. Terimakasih BUAAANYAK.” Bu Surti menekan setiap huruf yang ia ucapkan. Arin hanya mengangguk, wajahnya datar seperti mayat hidup. Bu Surti pergi dengan hati berbunga-bunga, meskipun mulutnya komat kamit semenjak beralih pergi dari kamar Arin. “Jantungku seperti menghilang.” ucapnya pelan, lantas menoleh lagi melihat Arin masih berada di sana.

"Duh, mulut...mulut." Bu Surti memukul gemas mulutnya yang keceplosan.

***

            Pukul 08.30 kerudung merah telah rapi menutupi kepala Arin, menjuntai panjang membentuk segitiga dari belakang. Ia perhatikan sosok yang berdiri di depan cermin yang menampakkan separuh tubuhnya dari atas. Disentuhnya wajah yang kasar oleh kerasnya hari yang dilaluinya, meninggalkan gurat-gurat lelah. Di bawah kedua matanya menyimpan dua bulatan hitam, meski hanya kecil tetap terlihat jelas. Bergegas ia ke kamar kecil menyiram kembali wajahnya, mungkin kesan kasar dan lusuh agak berkurang. Tidak hanya wajah, dia menyempurnakan siramannya dengan berwudhu. Sejuk, setiap air yang menyentuh tubuhnya seakan menyiram dahaga kaktus yang telah lama menunggu hujan.

            Jam di dinding kamar Arin tepat di atas pintu tidak terdengar lagi detaknya. Digantikan suara-suara lain di sekitar kamarnya. Ada sepuluh kamar dalam satu deret gedung berbentuk bangsalan itu dan sederet lagi membuat deret panjang nampak seperti huruf L dengan adanya 5 kamar. Gedung itu bertingkat 2. Meskipun setiap kamar tidak cukup luas, di dalamnya sudah dilengkapi kamar mandi dan tempat untuk memasak. Penghuni kost mayoritas mahasiswi, tapi ada beberapa kamar yang dihuni oleh wanita yang sedang bekerja sebagai karyawan di kantor atau sebagai sales di beberapa mall kota Yogyakarta.

Banyak aktivitas yang dilakukan warga kost dipagi itu. Ada yang bersiap berangkat ke kampus. Ada yang mengerjakan tugas kampus yang masih betumpuk, ada yang menyiram bunga di depan kamar yang terpapar sinar mentari pagi langsung dengan sinar cerahnya meskipun ditutupi awan tipis. Arin menuruni anak tangga. Kamarnya berada di jajaran 5 kamar, lantai 2, paling ujung, tepat menghadap matahari terbit. Tas kecil berwarna hitam ia sampirkan menyilang, diperikasanya kembali tas kecil itu, memastikan tidak ada yang tertinggal. Hp, dompet, SIM, kunci kamar, kunci kendaraan, sapu tangan, tisu, buku catatan kecil. Semua sudah siap.

Arin melanjutkan langkahnya. Dilihatnya Bu Surti keluar dari rumah yang berjarak 15 meter darinya membawa kotak-kotak besar. Dia sibuk mengomeli pembantunya yang lamban membawakan barang-barang keperluannya. Dia melihat Arin, dilambaikan tangannya.

“Hati-hati di jalan!” ucapan itu hanya didengar pembantu bu Surti dan beberapa penghuni kost yang sedang berada di taman depan bangsal. Arin tersenyum simpul mengangkat salah satu tangannya sambil mengayunkan kunci, mengisyaratkan untuk pergi sesegera mungkin, tidak untuk mendengar cerita pengantar tidur ala bu Surti.

Arin memasang sabuk pengaman, dan mengambil semprotan di bawah kakinya. Mobil itu dipenuhi barang-barang yang tidak tahu dibutuhkan apa tidak. Tisu berserakan, kertas-kertas tidak lagi menyatu dalam sebuah map atau sampulnya. Bungkus makanan camilan dalam sebuah plastik berhambur kesegala arah, sepertinya plastik itu tempat sampah sementara yang direncanakan untuk dibuang. Tapi nyatanya membuat sesak nyamuk-nyamuk bernafas apalagi manusia. Arin menghela nafas panjang, sudah ia duga. Maka, dapat dipastikan ia menghabiskan banyak waktu hanya untuk membersihkan mobil. Fiuhhh.

***

Suara kereta menguing-nguing memecah telinga. Ramai orang berdiri disepanjang stasiun, untuk banyak alasan. Bepergian ke luar kota, menjemput sanak saudara, menjajakan makanan, koran, minuman atau menjual buku-buku bekas yang tidak terpakai. Pemandangan itu sudah biasa mengisi hari stasiun kereta. Arin melangkah cepat setelah turun dari mobil. Dia berkali-kali menutup mulutnya karena terbatuk-batuk kecil, usahanya tidak begitu membuahkan hasil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status