Beranda / Romansa / The Wedding Fuss / 7. Nosy Neighbor

Share

7. Nosy Neighbor

Penulis: Franciarie
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-08 11:47:30

Orang asing nggak selamanya menjadi orang asing. Ada nggak orang yang memperkirakan aku bakal kenal sama Om Restu sebelumnya? Nggak cuma kenal, bahkan sekarang aku dan Om Restu malah terlibat dalam simbiosis mutualisme. Kami adalah dua makhluk hidup berlainan jenis kelamin yang mempunyai hubungan saling menguntungkan. Ya, kecuali bagian Om Restu posesif, yang jelas merugikan buat aku, sih.

Aku dan Om Restu itu kayak hidup di dimensi yang berbeda. Waktu Om Restu pertama kali menghirup polusi udara dan beban kehidupan, aku masih menunggu antrian untuk lahir. Boro-boro lahir, Ayah dan Bunda bahkan belum bertemu. Bunda masih sibuk main Berbie yang terbuat dari tangkai daun singkong, sedangkan Ayah pusing memikirkan strategi untuk mengalahkan gundu teman mainnya. Kalau dilihat dari jarak umur Ayah-Bunda dan Om Restu, yang cuma sepuluh tahun, mereka lebih cocok menjadi adik dan kakak bukannya malah mertua dan menantu.

Selain perbedaan umur yang nyata, aku dan Om Restu juga berbeda selera. Dalam masalah makan saja, kami bisa berdebat panjang untuk menentukan mau makan apa. Walau Om Restu bisa masak, dia nggak doyan makan sayur. Lihat saja kelakuannya sekarang yang sedang menyingkirkan potongan wortel ke pinggir piring.

"Om, itu sudah gede. Eh, bukan. Om itu sudah tua. Masa perkara makanan aja kudu dikasih tahu? Om tahu empat sehat lima sempurna nggak? Iya, sih, emang susu sebagai penyempurna sudah dihapuskan, tapi sayur masih wajib dimakan, Om." Aku bosan berkali-kali mengomel begini terus, tapi Om Restu tetap bandel.

Bukannya tahu diri, Om Restu cuma cengar-cengir kayak nggak ada dosa. Dulu Ibu mimpi apa, ya, waktu hamil Om Restu? Bisa-bisanya Ibu punya anak susah banget dikasih tahu. Aku harus berguru sama Ibu buat menghadapi anaknya yang menyebalkan ini.

Aku melirik Gavin. Dia melahap makanannya dengan anteng tanpa protes sedikit pun.

Tanganku mengarah ke bocah yang sebentar lagi umurnya sebelas tahun itu. "Lihat, Om! Gavin lebih pinter dari papanya."

Gavin yang kaget namanya kusebut, menoleh. Sendok berisi nasi dan sop ayam berhenti di depan mulutnya yang terbuka lebar. Matanya berkedip perlahan menatapku.

Aku meringis. Dua jempol ramping kuacungkan spesial untuknya. "Gavin hebat!" pujiku.

Masih dalam suasana perang dingin, Gavin nggak menanggapi pujianku. Dia melanjutkan makan dan mengabaikanku. Nggak ada mata berbinar yang girang memintaku bercerita lagi. Mata itu kehilangan semangatnya kembali. Dia menjadi Gavin yang pertama aku temui dulu. Aura dingin dan suramnya memancar hebat.

Kepedihan Gavin jelas membuatku resah. Aku bahkan nggak bisa konsentrasi selama kuliah berlangsung. Pikiranku tersangkut ke wajah kusut Gavin terus.

Berbeda denganku, Om Restu justru menghadapi sikap dingin anaknya dengan lebih santai. Berkali-kali Om Restu memintaku tenang. Tapi, gimana aku bisa tenang kalau calon anak tiriku memusuhiku?

Sekarang aku satu level sama emak tirinya Snow White. Mungkin besok aku harus mengirim Gavin ke hutan biar ada tujuh kurcaci yang mengurusnya. Nanti pulang-pulang dia bawa putri cantik berkuda putih. Aku, sih, nggak apa-apa Gavin bawa putri berkuda atau berkambing, yang penting solehah dan rajin menabung saja.

"Om, nanti mampir minimarket dulu, ya. Gia pengin beliin Gavin es krim. Udah lama Gia nggak makan es krim sama Gavin. Siapa tahu kalau dibeliin es krim, Gavin jadi lumer lagi sama Gia." Aku memohon ke Om Restu dalam perjalanan pulang. Masih jelas dalam ingatanku gimana Gavin dulu mulai akrab sama aku. Es krim adalah senjata pemersatu kami.

Om Restu tersenyum tanpa menoleh padaku. Jalanan yang ramai memaksa Om Restu fokus ke depan. Ini termasuk jam rawan. Para pekerja yang lelah dan sudah muak dengan tugas dari atasan pengin segera sampai rumah demi melepas lelah. Buru-buru dan lelah menjadi kombinasi berbahaya di jalanan. Tanpa konsentrasi yang terjaga pada setiap pengendara, bisa terjadi kecelakaan.

"Baiklah. Saya yang akan membelikan kalian es krim," sahut Om Restu masih tanpa memandangku.

Aku menggeleng. "Nggak. Ini misinya Gia. Jadi, Gia yang harus bayar es krimnya. Om Restu nggak perlu ikut campur. Nanti kalau Om juga pengin es krim, Gia beliin. Tapi, inget, Om. Jangan milih yang mahal. Budget buat Om Restu itu es krim yang harganya tiga ribuan aja. Om-om nggak boleh kebanyakan makan manis. Inget umur, Om. Udahlah susah makan sayur, Om masih sering konsumsi gula. Apa nggak ngeri gula dan darah tinggi?"

Kali ini Om Restu melirikku sebentar, lalu kembali fokus ke depan. "Terima kasih, Gi," katanya.

"Terima kasih buat apa, Om? Buat es krim tiga ribuan? Ah, enteng. Kalau cuma segitu, Gia masih mampu jajanin Om Restu. Kalau lebih mahal, tunggu dulu, ya. Gia nabung dulu. Kuliah Gia lagi banyak tugas, banyak butuh beli pulsa sama fotocopy, nih. Gini amat jadi mahasiswi cakep, tugas numpuk tiada akhir." Aku memijit kepala yang mendadak berat.

Suara tawa Om Restu mengusikku. Susah memang bergaul sama om-om; dikit-dikit ketawa, tapi besoknya marah karena cemburu. Kalau aku nggak punya sabar ekstra, bisa keluar tanduk di kepalaku.

"Saya suka semangat kamu ini, Gi. Kamu tidak pernah menyerah meluluhkan hati Gavin. Saya minta maaf atas kelakuan anak saya itu. Sampai sekarang Gavin masih bungkam. Dia sama sekali menolak memberitahu alasan sudah menentang pernikahan kita."

Aku menangkap kepedihan dari suara Om Restu. Sebagai pacar yang baik, tugasku memberikan semangat untuknya. Kuusap punggung Om Restu. Otot-otot Om Restu yang tegang sedikit mengendur setelah tanganku menyentuhnya, lalu meraba naik-turun.

"Gia nggak akan menyerah. Makanya, Om biarin Gia beliin Gavin es krim kali ini, ya." Aku berusaha meyakinkan Om Restu walau sebenarnya cukup khawatir dengan kondisi ini. Tapi, nggak ada salahnya kondisinya berkebalikan gini.

Ada kalanya aku yang harus menjadi penyemangat, seringkali Om Restu yang bawel menyuruh semangat. Ini gunanya pasangan, kan?

Nggak ada penolakan lagi dari Om Restu. Nggak tahu kenapa tadi Om Restu sempat ragu membiarkanku mengeluarkan uang, tapi sekarang justru menerima es krim tiga ribuan warna-warni dengan senang. Nggak apa, yang penting om-om ini nggak mengomel aja di minimarket.

Kami langsung pulang setelah membeli es krim. Gavin yang sudah menunggu di rumahku pasti senang sama es krim cokelat ini. Aku nggak sabar makan es krim bareng Gavin sambil cerita tentang nabi-nabi.

Begitu mobil Om Restu berhenti di depan rumahku, aku langsung turun tanpa menunggu Om Restu. Nggak ada adegan romantis Om Restu membukakan pintu untukku. Kalau cuma buka pintu, aku bisa sendiri. Jangankan buka pintu mobil, buka pintu hatinya Om Restu saja aku berhasil, kok.

Di teras, Bunda sedang mengobrol bareng Bu Budi. Suara menggelegar Bu Budi menggema di setiap sudut rumahku. Aku melirik kolam ikan, khawatir ikan-ikan kesayanganku panik mendengar emak-emak bergibah.

Benar saja, ikan-ikanku sudah bergerombol di sudut terjauh dari teras. Aku yakin Barbara sudah mengomel sekarang. Kalau punya kaki, Justin pasti sudah menghampiri Bu Budi dan menghajarnya sampai nggak bisa bicara lagi.

Bu Budi memang terkenal dengan suaranya yang menggelegar. Sekarang Bu Budi sedang diskusi sama Bunda di rumah, tapi suaranya bisa sampai dua blok ke belakang. Kayaknya waktu bayi Bu Budi doyan ngemil speaker masjid, deh.

"Eh, Gia. Barusan pulang kamu? Kuliah apa sampai malam gini?" Bu Budi memberondongku dengan pertanyaan waktu menyadari kehadiranku.

Aku meringis, malas menjawab basa-basinya. Bu Budi itu suka banget ngobrol. Kalau sudah ngobrol sama Bu Budi, apa pun bisa dibahas; mulai harga cabai sampai harga kapling tanah di planet Mars. Demi menyelamatkan diri, aku berusaha kabur ke dalam. Lebih baik aku melihat Gavin yang diam daripada mendengar ocehan Bu Budi. Paling nggak, dinginnya Gavin masih bikin sejuk.

"Lho? Gia pulang sama Restu?" Pertanyaan Bu Budi berhasil menahan langkahku.

Om Restu tersenyum hangat pada Bunda dan Bu Budi. "Selamat malam," sapanya ramah. Om Restu nggak tahu ada bahaya yang menantinya. Dia salah memilih beramah-tamah dengan tetangga paling berisik di kompleks ini.

"Saya sering lihat kamu sama Gia. Setiap pagi kalian pergi bareng, ya? Kamu anter-jemput Gia setiap hari?" tanya Bu Budi masih dengan suara kerasnya.

Masih mencoba bersikap ramah, Om Restu menjawab, "Iya, benar. Saya dan Gia sering berangkat bersama."

"Lho memangnya kenapa kalian bareng? Ada hubungan apa kalian? Setahu saya, bapaknya Gia itu nggak gampang biarin orang anter-jemput anaknya lho." Bu Budi semakin penasaran.

Aku menggeleng pada Om Restu yang melirikku. Sebagai pendukung gelenganku, aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. Plastik berisi es krim di tangan kananku bergerak berisik. Bunda dan Bu Budi kompak menoleh ke arahku. Untuk menutupi rasa malu, aku melompat sambil menggoyangkan tangan.

"Ini besok ada ujian senam." Aku meringis sambil terus bergerak. Lompatanku bahkan semakin tinggi. "Satu, dua, tiga." Aku mengihitung gerakan yang kuulang-ulang.

"Kamu ini aneh-aneh aja," komentar Bunda sambil menggelengkan kepala.

Berbeda dengan Bunda, Bu Budi masih penasaran dengan Om Restu. Daripada memandangku yang melakukan senam dadakan, Bu Budi justru mengamati Om Restu. Rambut Om Restu yang masih rapi efek minyak rambut membuatnya tetap terlihat ganteng. Kemeja biru muda yang dipakainya sedikit kusut. Om Restu sudah menggulung lengan kemejanya. Dasi dan jas yang tadi pagi dipakai sudah berpindah ke lengan. Aku lebih senang melihat Om Restu agak kacau begini. Ini bukti Om Restu sudah bekerja keras dan justru membuatnya terlihat laki banget.

Sekarang Bu Budi bergantian memandangku dan Om Restu. Ada yang salah dengan matanya yang menyipit dengan kerutan di dahi. "Kamu suka sama Restu, Gi?" Pertanyaan itu menyambar telingaku.

Harusnya ini pertanyaan biasa saja. Aku tinggal mengakui hubungan kami, lalu selesai. Tapi, efek berdenyut di dadaku menjadi sinyal buruk dari pertanyaan Bu Budi.

"Nggak salah kamu jatuh cinta sama duda? Restu udah punya anak lho. Kamu mau jadi emak tiri?" Bu Budi melanjutkan serangannya tanpa menanti jawabanku.

Aku berhenti melompat. Tanganku kaku di depan dada. Plastik berisi es krim bergoyang semakin pelan.

"Memangnya kenapa kalau jatuh cinta sama duda?" Aku nggak menyangka bisa bersuara lantang pada orang yang lebih tua.

Terlihat tersinggung, Bu Budi berdiri. "Kamu dikasih tahu orang tua malah marah. Kalau memang kamu suka sama duda, jangan kelamaan pacaran. Duda itu butuh istri bukan cuma pacar. Ini saya masih peduli sama kamu, ya. Coba kalau orang lain lihat anak perawan deket sama duda, habis kamu. Emangnya kamu bisa nahan gibahan orang?"

Aku terdiam. Semua kata-kata yang Bu Budi ucapkan berlarian masuk ke telingaku, lalu meledakkan jantungku.

Bu Budi pamit dengan terus mengomel. Bunda yang kebingungan meminta kami masuk ke rumah.

"Sudah, tidak perlu dimasukkan ke hati ucapan ibu tadi. Kita yang paham benar seperti apa hubungan ini." Om Restu berbisik menenangkan.

Selain penolakan Gavin, harusnya semua berjalan baik-baik saja. Tapi, nyatanya ada yang berubah di sini.

"Kamu beneran serius sama Restu?" tanya Bunda di hari Minggu yang seharusnya tenang.

"Kenapa, Bun?" tanyaku penasaran.

Bunda tersenyum kaku, lalu duduk di depanku yang sedang melahap keripik kentang. "Kalau serius, lebih baik kalian segera menikah, Gi. Nggak enak sama omongan tetangga."

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan nggak melayani pengaduan kekerasan yang terjadi pada perempuan yang terus mendapatkan tuntutan segera menikahkah?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The Wedding Fuss   34. Quality Time

    Apa itu menikah? Menikah itu nggak terlalu penting, deh. Aku mendadak lupa arti dari menikah. Kayaknya ini efek aku mabuk milk tea, deh.Pergi ke mall ternyata memang bukan hal buruk. Selain kenyang, aku juga mendapatkan pelajaran baru dari orang asing. Alin dan orang tuanya memberikan pandangan baru tentang pernikahan dan keluarga."Yang paling rumit dari pernikahan bukan cuma masalah antar pasangan, tapi urusan anak. Kalau kamu memang pengin menikah muda, bicarakan lagi kapan kamu siap memiliki anak. Anak memang lucu dan menggemaskan, tapi mereka bisa berubah menjadi monster mengerikan dalam sekejap," kata mamanya Alin sebelum pergi. Suaminya sudah memanggil dan mereka harus segera pulang.Ternyata enak juga berbincang dengan orang yang sama sekali nggak aku kenal. Untungnya, aku bertemu dengan orang yang nggak usil mengusik kehidupan pribadiku. Tapi, bisa jadi mamanya Alin yang muak karena aku banyak bertanya tentang keluarga kecilnya.Sekarang aku merasa sedikit ringan. Ini bukan

  • The Wedding Fuss   33. At The Right Time

    Lagi-lagi pernyataan Om Restu tentang menikah denganku menjadi sumber masalah baru. Ayah yang nggak mau kehilangan anak perawan satu-satunya ini menentang keras."Kamu nggak perlu menjanjikan hal yang nggak bisa kamu wujudkan, Restu!" bentak Ayah. "Pernikahan ini bukan main-main. Kamu mengambil anak saya dan menggantikan peran saya untuk membahagiakan Gia. Kamu kira gampang?""Bukan mau menganggap ini mudah, tapi sudah menjadi kewajiban saya, sebagai suami Gia, untuk membahagiakannya," sahut Om Restu."Kamu bukan suami Gia dan nggak akan pernah jadi suami Gia!" Ayah semakin gerah. Wajahnya sudah merah dan hidungnya kembang-kempis. Dari kepalanya mulai keluar asap. Mungkin kutu dan bakteri yang tinggal di kepala Ayah sedang mengadakan pesta api unggun.Ini Om Restu juga kenapa cari perkara sama orang tua terus, sih? Sudah tahu Ayah menentang pernikahan kami. Eh, Om Restu malah ngaku sebagai suamiku. Kayaknya Om Restu merasa punya nyawa seribu, deh.“Yah, tenang dulu!" pinta Bunda sambil

  • The Wedding Fuss   32. Turn Into Hydra

    Malam yang keterlaluan panjangnya. Aku sudah lelah banget, tapi masih harus melewati kekacauan ini.Pernyataan Om Restu yang akan segera menikahiku cukup membuatku syok. Aku nggak bisa menerima sikap sok pahlawan Om Restu ini. Bukannya menyelesaikan masalah, ini cuma menceburkanku dalam penderitaan yang baru.Dari dulu, banyak yang menganggap menikah sebagai jalan keluar segala masalah. Demi menutupi aib karena terlanjur hamil duluan, pasangan yang belum cukup umur harus menikah. Jangankan siap menjalani ribetnya pernikahan, KTP saja mereka belum punya.Korban rudapaksa pun banyak yang harus menikah dengan pelaku yang membuatnya trauma seumur hidup. Ini belum kasus lain dengan alasan beraneka ragam; memperbaiki keturunan, menyelamatkan perekonomian keluarga, termasuk alasan politik. Sekarang, aku harus menyelesaikan fitnah ini dengan cara segera menikah juga.Yang gila saja!Aku yang mendapatkan fitnah. Tapi, aku juga yang harus sengsara. Aku yang menjadi korban. Tapi, aku juga yang ha

  • The Wedding Fuss   31. Slander

    "YA, ALLAH. NGAPAIN KALIAN MESUM DI SINI?" Bu Budi berdiri di depan rumahku. Tanpa berteriak pun suara Bu Budi bisa mengalahkan deru mesin motor dua tak yang menggunakan knalpon racing, apalagi sekarang.Lihat saja efeknya!Tetanggaku satu per satu mulai bermunculan. Mereka nyaris sama, panik dan penasaran. Mungkin dari dalam rumah, teriakan Bu Budi terdengar seperti orang ketakutan karena melihat setan atau malah Gozila yang menghancurkan apa pun. Mereka khawatir dan berusaha menyelamatkan diri. Buktinya, Bu Ajeng keluar rumah memakai piyama tipis dan menggendong anak balitanya yang masih tidur. Mata merah Bu Ajeng nggak bisa menutupi kepanikan yang ada dalam pikirannya.Nggak cuma para tetangga yang keluar. Ayah dan Bunda juga ikut keluar. "Ada apa, Bu?" tanya Ayah berusaha tenang. Matanya melotot padaku.Menyadari sinyal bahaya yang Ayah berikan, aku buru-buru melepaskan pelukan pada Om Restu. Perasaanku semakin nggak enak karena Bu Budi menunjukku."Lihat! Itu Gia ngapain? Dia mau

  • The Wedding Fuss   30. Satisfied

    Suasananya mendukung. Malamnya cerah. Jarang banget aku bisa melihat sedikit bintang di malam hari. Polusi cahaya di kota besar membuat langit kehilangan pesona. Seringnya langit hanya hamparan hitam tanpa hiasan, nggak menarik sama sekali. Untungnya, malam ini aku bisa melihat satu-dua bintang.Cuaca malam ini juga tenang. Nggak ada angin ribut atau hujan badai. Masih ada embusan angin yang melenyapkan gerah, tapi nggak membuat menggigil.Abang tukang bakso yang berkeliling mencari mangsa memukul kentongan sambil mendorong gerobak. Suaranya beradu dengan gemericik air di kolam dan gonggongan anjing di gang belakang.Sebenarnya, ini nggak romantis sama sekali. Om Restu mengajakku duduk di lantai, bukan di kursi. Kaki panjangnya menjulur dan kedua tangannya menopang di belakang tubuh. Mungkin tubuhnya sudah terlalu lelah. Sejak subuh Om Restu harus bersiap dan hampir tengah malam baru sampai rumah. Pasti Om Restu kehabisan tenaga sekarang.Aku sudah mengambilkan air minum. Om Restu cum

  • The Wedding Fuss   29. Ignorant

    Aku harus membicarakan pernikahanku dengan Om Restu hari ini juga. Ini masalah serius. Aku nggak mau menunda lagi. Kekhawatiran Bunda sudah memengaruhiku dan membuatku ikut panik.Aku sering membaca curhatan di media sosial tentang cewek-cewek yang sudah hamil sebelum menikah. Sebagian besar di antara mereka harus mengalami sakitnya kenyataan kalau cowoknya menolak bertanggung jawab. Si cowok bahkan meminta untuk menggugurkan saja janin di perut. Cowok-cowok yang begini memang nggak layak hidup, sih. Bisa-bisanya mereka tega melenyapkan darah daging mereka sendiri.Memang semua nggak cuma salah cowoknya. Terjadinya kehamilan di sini karena ada dua orang yang suka dan memang mau. Ini bukan pemaksaan yang salah satunya merupakan korban dan jelas-jelas mengalami kekerasan. Mereka sadar dalam melakukannya dengan dalih saling menyanyangi.Aku nggak mau berada dalam kondisi tersebut. Bukan nggak mungkin aku yang khilaf dan menyerahkan diriku untuk Om Restu. Duh, nempel dalam pelukan Om Rest

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status