Kuliah itu menyenangkan. Selain bagian harus duduk di dalam kelas dalam waktu dua jam untuk mendengarkan dosen mendongeng, aku suka kuliah. Kuliah bukan melulu tentang teori-teori yang para dosen terus jejalkan ke kepala mahasiswa. Yang namanya mahasiswa juga nggak selalu berurusan dengan politik dan strategi jitu untuk menumbangkan pemerintah. Ada banyak ilmu dan pengalaman baru yang bisa kita dapatkan selain dari dalam kelas.
Bagiku, mendapatkan banyak teman baru menjadi bagian favoritku. Sayangnya, bagian ini harus aku batasi demi menjaga perasaan satu manusia pencemburu, yang konyolnya, aku cintai.
Selain Jessica, aku nggak terlalu mengenal teman satu angkatan lainnya. Ini jelas mempersulitku yang menghabiskan waktu lebih banyak di kampus daripada di rumah atau sudut dunia mana pun.
Sayangnya, Jessica juga punya kehidupan yang nggak selamanya berhubungan denganku. Kami punya minat dan kebiasaan yang berbeda di kampus.Selain kuliah, Jessica juga mengikuti kegiatan fotografi. Dia memang suka mengabadikan setiap momen, lalu memamerkannya di media sosial. Akun instagramnya bahkan lebih banyak berisi pemandangan daripada foto wajahnya sendiri.
Nggak cuma urusan fotografi, Jessica juga punya Anan yang sering mengajak keluyuran berdua. Kalau mereka sudah berdua begitu, pasti aku akan terlupakan. Aku paham banget gimana rasanya jatuh cinta. Sama kayak aku, mereka juga pasti pengin punya waktu berkualitas untuk membahas apa pun berdua saja. Kalau aku ikut, jelas fungsi kehadiranku cuma sebagai tukang parkir minimarket, yang kehadirannya nggak pernah diharapkan.
Kalau Jessica sibuk dengan urusannya sendiri, aku jadi nggak punya teman. Yang kulakukan cuma bengong sendirian kayak anak korban penculikan. Aku nggak tahu harus menghabiskan waktu sambil ngapain biar nggak bosan. Biasanya, aku memilih membeli banyak makanan. Paling nggak, waktu bengongku nggak terlalu mengenaskan karena aku masih bisa makan.
Kantin menjadi tempat paling enak buat bengong. Selain banyak penjual makanan, aku bisa memperhatikan kelakuan konyol manusia-manusia yang berseliweran di sini.
Jam digital di hp-ku memamerkan deretan angka 16:36. Ini artinya masih ada waktu paling cepat setengah jam bagiku untuk melakukan analisa hubungan perilaku manusia dengan pilihan makanan yang dia beli (studi kasus kantin kampus Fakultas Hukum Universitas Merva 2022).
Jangan anggap remeh kegiatan yang kulakukan. Mungkin banyak orang yang mengira waktuku terbuang sia-sia. Tapi, nyatanya aku bisa menilai permasalahan setiap orang hanya dengan melihat makanan dan minuman yang dia beli. Ajaib, kan?
Coba lihat cewek bertubuh padat yang menggunakan midi dress hitam itu. Dari tadi dia mampir ke semua stand tanpa membeli apa pun. Aku berani taruhan kalau dia sebenarnya lapar, tapi takut lemaknya bertambah berat. Wajah kusutnya menjadi pertanda kalau hatinya sedang resah. Mungkin dia mendapatkan banyak cibiran karena tubuhnya lebih gendut daripada cewek lain. Standar kecantikan yang ada memang memasukkan faktor berat badan menjadi salah satu penentu orang layak masuk kategori cantik atau nggak.
Menurutku, ini salah satu pemikiran konyol. Berat dan bentuk badan itu ada pengaruh genetik. Jadi, nggak seharusnya kecantikan diukur dari jarum timbangan.
Harusnya dia nggak perlu bingung memilih makanan. Dia cuma butuh makan tanpa repot mikirin penilaian orang.
Aku terus mengunyah keripik singkong rasa lada hitam. Kali ini aku memindai ulang kantin biar mendapatkan fokus yang lebih menarik.
Mataku berpindah ke cewek lain yang membeli cilok tanpa saus dan sambal. Wajahnya semringah banget waktu menerima pesanannya itu. Dia terus memandangi plastik cilok di tangannya dengan mata berbinar. Langkahnya ringan keluar kantin.Aku mengangguk, yakin dengan teoriku tentangnya. Dia pasti punya masalah lambung. Kondisi lambungnya sudah terlalu lemah menerima serangan makanan pedas, tapi dia pengin makan cilok. Makanya, dia cuma membeli cilok tanpa tambahan bumbu apa pun.
Dia kasihan. Buat menikmati makanan favorit saja dia harus mengahadapi banyak halangan. Ternyata menjaga kesehatan itu perlu, walau rumit. Ngeri banget kalau aku nggak bisa makan karena organ-organ tubuhku sudah nggak mampu bekerja keras.
Dalam kondisi tubuh sehat saja, aku sudah kesulitan menikmati makanan favoritku. Gimana kalau kondisi tubuhku juga memburuk? Wah, aku bisa gila tanpa makan cilok dalam waktu satu bulan.
Aku meremas bungkus keripik singkong yang sudah kosong. Hanya membayangkan hidup tanpa cilok saja sudah membuat hatiku pedih, apalagi kalau benar-benar harus melaluinya.
"Kenapa bungkus nggak bersalah malah lo siksa, Gi?" Bang Hugo tiba-tiba duduk di hadapanku.
Kupandangi tanganku. Bungkus keripik singkong di tanganku membentuk bulatan kusut tanpa nyawa.
"Untung cuma bungkus jajan, bukan kulit durian. Coba tambah nusuk-nusuk pipi pakai senjata tajam, lo bisa bikin pertunjukan debus." Bang Hugo lanjut mengejekku.
Aku mencebik, lalu melempar bungkus tak berdosa yang menjadi kekejaman tanganku ke arah Bang Hugo. "Nyebelin banget, sih!" protesku.
Bang Hugo mengambil bungkus yang tergeletak lemah di lantai setelah memantul dari tubuhnya. Dia terus tertawa, nggak peduli aku sudah memasang wajah kusut.
"Kalau niatnya cuma mau ngejekin, mending Bang Hugo minggat yang jauh, deh. Sana ikut wisata ke mars. Siapa tahu Bang Hugo bisa ketemu jodoh. Alien sekarang cantik-cantik lho. Ada yang dibedakin dikit udah bisa bikin Bang Hugo kesengsem. Lumayan, kan, Bang Hugo bisa memperbaiki keturunan. Ya, tampang Bang Hugo memang nggak butuh perbaikan, sih, tapi akhlaknya mengkhawatirkan." Dengan lancar aku mengomelinya panjang-lebar.
Bang Hugo bengong mendengarkan omelanku. Matanya yang berkedip menandakan masih ada kehidupan dalam tubuhnya. Sisanya, tubuhnya mematung tanpa respons apa pun.
Diamnya Bang Hugo membuatku punya kesempatan untuk memperhatikan penampilannya. Bang Hugo memakai kaus putih berkerah yang pas di tubuh kecangnya. Otot lengannya menyembul karena nggak kuat menahan tekanan dari lengan kaus yang ketat. Penampilannya berubah setelah libur semesteran kemarin. Yang paling mencolok dari perubahan Bang Hugo adalah warna rambutnya.
"Rambut udah kayak aki-aki umur tujuh puluhan. Jantung masih aman, Kek? Kolesterol? Apa malah gula darah udah memprihatinkan? Makanya waktu muda itu jaga kesehatan, jangan suka nyakitin hati cewek. Sekarang udah tua, udah waktunya merasakan karma." Aku terang-terangan mengejek rambut Bang Hugo yang sekarang warnanya abu-abu ikan nila. Kurang efek sisik saja, Bang Hugo sudah menyerupai ikan yang enak kalau dimakan pakai nasi anget dan sambel terasi itu.
Oh, iya. Jangan lupa makannya pakai lalapan dan segelas es teh.
Bang Hugo menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan kanannya. Dagunya terangkat. Dia sengaja menggerakkan tangannya perlahan untuk memberi efek slow motion.
"Nggak usah sok ganteng! Sekarang pesona Bang Hugo nggak mempan bikin Gia jatuh cinta." Aku semakin kesal melihat tingkah senior paling menyebalkan ini.
Bang Hugo tertawa. "Yang penting gue pernah bikin lo sampai nangis berharap jadi pacar gue." Dia berseloroh dengan kedua alis naik-turun.
Aku melemparnya lagi, kali ini dengan sebungkus kuaci yang masih utuh. Bang Hugo sigap menangkapnya. Lemparanku kali ini terlalu mudah untuknya.
"Udah tahu anak orang ada yang suka, bukanya bales perasaannya, malah bikin sakit hati. Paling nggak Bang Hugo bisa kasih rambu-rambu sebelum Gia suka. Tulisin yang gede di jidat 'tidak untuk dicintai'. Kalau gitu, kan, enak. Gia nggak perlu patah hati." Aku melemparkan protes keras.
Sekarang hati dan jantungku nggak berdenyut ngilu setiap bertemu dengan Bang Hugo. Semua sudah berlalu. Dulu aku memang suka sama senior galak ini. Ternyata cintaku jatuh pada orang yang salah. Bang Hugo cuma mempermainkanku dan nggak pernah berniat untuk membalas cintaku.
Untungnya ada Om Restu. Cinta ternyata bisa muncul setelah aku memilih orang yang tepat. Om Restu berhasil membuatku bangkit dari patah hati. Dalam waktu singkat aku bisa pindah mencintai orang yang lain.
"Heh! Ngapain kalian berduaan?" Jessica menggebrak meja, Gebrakannya nggak terlalu keras, tapi berhasil mengagetkan aku dan Bang Hugo.
Bang Hugo memandang Jessica. Cengiran yang muncul di wajahnya malah membuatnya mirip maling yang sedang berusaha kabur setelah ketahuan. "Eh, Je. Dari mana?" tanyanya.
Jessica duduk di sampingku. Dia menatapku dan Bang Hugo tajam, seolah kami memang maling yang tertangkap basah mengambil kutang di jemuran.
"Lo lupa punya pacar yang cemburuan?" tanya Jessica kepadaku.
Aku mengembuskan napas berat setelah memahami Jessica yang datang dengan garang begini. Aku menggeleng lemah. "Jelas nggak. Pacar gue cuma satu, nggak mungkin ketuker sama pacar orang lain."
"Terus ngapain lo berduaan bareng Bang Hugo?" Jessica melirik Bang Hugo sinis.
Aku duduk menghadap Jessica. Kupegang lengannya kuat agar dia tahu kalau aku sedang serius. "Kenapa lo jadi ikutan lebai kayak Om Restu, sih?" sungutku.
Mata Jessica berkedip perlahan. Nggak ada tanda-tanda menyesal atau bersalah di wajahnya
"Lihat baik-baik kita lagi di mana." Aku merentangkan kedua tanganku layaknya duta perkantinan. "Ini kantin, Je. Ada banyak orang selain gue dan Bang Hugo. Lo itung sendiri ada berapa orang di sini. Kalau perlu, lo itung juga cicak, tikus, sama kecoak yang ngumpet di pojokan. Dah, tuh. Lo masih berani bilang gue berduaan sama Bang Hugo? Yang bener aja, Je. Kesannya kami ini udah melakukan dosa besar."
Mulut Jessica terbuka sampai menunjukkan deretan gigi yang putih dan rapi. "Lo aja yang ngitung. Gue capek."
Tanganku langsung bergerak mengusap wajah Jessica. Aku membacakan ayat kursi biar dia terbebas dari godaan setan yang terkutuk.
Jessica jelas memberontak. Aku yakin ini efek setan-setan yang menempel di tubuhnya mulai terbakar. Kayaknya aku butuh air rendaman daun bidara untuk memperlancar pembersihan diri Jessica.
Tawa Bang Hugo menghentikan ritualku. Jessica juga nggak meronta lagi. Kami kompak memandang satu-satunya cowok di meja ini.
"Kalian ini konyol banget. Coba kalian daftar ke pertunjukan sirkus Rusia. Siapa tahu kalian bisa terkenal dengan bakat konyol itu," kata Bang Hugo setelah puas tertawa.
Aku dan Jessica melempari Bang Hugo dengan jajanan di meja. "Kalau nyebelin, pergi aja, Bang!" seruku.
"Lo beneran pacaran sama om-om posesif, Gi? Yakin nggak mau tuker jadi pacar gue aja? Mumpung gue masih single ini." Bang Hugo memainkan kedua alisnya. Senyum miringnya menambah kesan menyebalkan.
Bisa-bisanya dia menawarkan hal konyol begitu. Tapi, kalau dia bisa menjadi pacar yang nggak posesif, mungkin aku akan mempertimbangkannya lagi.
Apa itu menikah? Menikah itu nggak terlalu penting, deh. Aku mendadak lupa arti dari menikah. Kayaknya ini efek aku mabuk milk tea, deh.Pergi ke mall ternyata memang bukan hal buruk. Selain kenyang, aku juga mendapatkan pelajaran baru dari orang asing. Alin dan orang tuanya memberikan pandangan baru tentang pernikahan dan keluarga."Yang paling rumit dari pernikahan bukan cuma masalah antar pasangan, tapi urusan anak. Kalau kamu memang pengin menikah muda, bicarakan lagi kapan kamu siap memiliki anak. Anak memang lucu dan menggemaskan, tapi mereka bisa berubah menjadi monster mengerikan dalam sekejap," kata mamanya Alin sebelum pergi. Suaminya sudah memanggil dan mereka harus segera pulang.Ternyata enak juga berbincang dengan orang yang sama sekali nggak aku kenal. Untungnya, aku bertemu dengan orang yang nggak usil mengusik kehidupan pribadiku. Tapi, bisa jadi mamanya Alin yang muak karena aku banyak bertanya tentang keluarga kecilnya.Sekarang aku merasa sedikit ringan. Ini bukan
Lagi-lagi pernyataan Om Restu tentang menikah denganku menjadi sumber masalah baru. Ayah yang nggak mau kehilangan anak perawan satu-satunya ini menentang keras."Kamu nggak perlu menjanjikan hal yang nggak bisa kamu wujudkan, Restu!" bentak Ayah. "Pernikahan ini bukan main-main. Kamu mengambil anak saya dan menggantikan peran saya untuk membahagiakan Gia. Kamu kira gampang?""Bukan mau menganggap ini mudah, tapi sudah menjadi kewajiban saya, sebagai suami Gia, untuk membahagiakannya," sahut Om Restu."Kamu bukan suami Gia dan nggak akan pernah jadi suami Gia!" Ayah semakin gerah. Wajahnya sudah merah dan hidungnya kembang-kempis. Dari kepalanya mulai keluar asap. Mungkin kutu dan bakteri yang tinggal di kepala Ayah sedang mengadakan pesta api unggun.Ini Om Restu juga kenapa cari perkara sama orang tua terus, sih? Sudah tahu Ayah menentang pernikahan kami. Eh, Om Restu malah ngaku sebagai suamiku. Kayaknya Om Restu merasa punya nyawa seribu, deh.“Yah, tenang dulu!" pinta Bunda sambil
Malam yang keterlaluan panjangnya. Aku sudah lelah banget, tapi masih harus melewati kekacauan ini.Pernyataan Om Restu yang akan segera menikahiku cukup membuatku syok. Aku nggak bisa menerima sikap sok pahlawan Om Restu ini. Bukannya menyelesaikan masalah, ini cuma menceburkanku dalam penderitaan yang baru.Dari dulu, banyak yang menganggap menikah sebagai jalan keluar segala masalah. Demi menutupi aib karena terlanjur hamil duluan, pasangan yang belum cukup umur harus menikah. Jangankan siap menjalani ribetnya pernikahan, KTP saja mereka belum punya.Korban rudapaksa pun banyak yang harus menikah dengan pelaku yang membuatnya trauma seumur hidup. Ini belum kasus lain dengan alasan beraneka ragam; memperbaiki keturunan, menyelamatkan perekonomian keluarga, termasuk alasan politik. Sekarang, aku harus menyelesaikan fitnah ini dengan cara segera menikah juga.Yang gila saja!Aku yang mendapatkan fitnah. Tapi, aku juga yang harus sengsara. Aku yang menjadi korban. Tapi, aku juga yang ha
"YA, ALLAH. NGAPAIN KALIAN MESUM DI SINI?" Bu Budi berdiri di depan rumahku. Tanpa berteriak pun suara Bu Budi bisa mengalahkan deru mesin motor dua tak yang menggunakan knalpon racing, apalagi sekarang.Lihat saja efeknya!Tetanggaku satu per satu mulai bermunculan. Mereka nyaris sama, panik dan penasaran. Mungkin dari dalam rumah, teriakan Bu Budi terdengar seperti orang ketakutan karena melihat setan atau malah Gozila yang menghancurkan apa pun. Mereka khawatir dan berusaha menyelamatkan diri. Buktinya, Bu Ajeng keluar rumah memakai piyama tipis dan menggendong anak balitanya yang masih tidur. Mata merah Bu Ajeng nggak bisa menutupi kepanikan yang ada dalam pikirannya.Nggak cuma para tetangga yang keluar. Ayah dan Bunda juga ikut keluar. "Ada apa, Bu?" tanya Ayah berusaha tenang. Matanya melotot padaku.Menyadari sinyal bahaya yang Ayah berikan, aku buru-buru melepaskan pelukan pada Om Restu. Perasaanku semakin nggak enak karena Bu Budi menunjukku."Lihat! Itu Gia ngapain? Dia mau
Suasananya mendukung. Malamnya cerah. Jarang banget aku bisa melihat sedikit bintang di malam hari. Polusi cahaya di kota besar membuat langit kehilangan pesona. Seringnya langit hanya hamparan hitam tanpa hiasan, nggak menarik sama sekali. Untungnya, malam ini aku bisa melihat satu-dua bintang.Cuaca malam ini juga tenang. Nggak ada angin ribut atau hujan badai. Masih ada embusan angin yang melenyapkan gerah, tapi nggak membuat menggigil.Abang tukang bakso yang berkeliling mencari mangsa memukul kentongan sambil mendorong gerobak. Suaranya beradu dengan gemericik air di kolam dan gonggongan anjing di gang belakang.Sebenarnya, ini nggak romantis sama sekali. Om Restu mengajakku duduk di lantai, bukan di kursi. Kaki panjangnya menjulur dan kedua tangannya menopang di belakang tubuh. Mungkin tubuhnya sudah terlalu lelah. Sejak subuh Om Restu harus bersiap dan hampir tengah malam baru sampai rumah. Pasti Om Restu kehabisan tenaga sekarang.Aku sudah mengambilkan air minum. Om Restu cum
Aku harus membicarakan pernikahanku dengan Om Restu hari ini juga. Ini masalah serius. Aku nggak mau menunda lagi. Kekhawatiran Bunda sudah memengaruhiku dan membuatku ikut panik.Aku sering membaca curhatan di media sosial tentang cewek-cewek yang sudah hamil sebelum menikah. Sebagian besar di antara mereka harus mengalami sakitnya kenyataan kalau cowoknya menolak bertanggung jawab. Si cowok bahkan meminta untuk menggugurkan saja janin di perut. Cowok-cowok yang begini memang nggak layak hidup, sih. Bisa-bisanya mereka tega melenyapkan darah daging mereka sendiri.Memang semua nggak cuma salah cowoknya. Terjadinya kehamilan di sini karena ada dua orang yang suka dan memang mau. Ini bukan pemaksaan yang salah satunya merupakan korban dan jelas-jelas mengalami kekerasan. Mereka sadar dalam melakukannya dengan dalih saling menyanyangi.Aku nggak mau berada dalam kondisi tersebut. Bukan nggak mungkin aku yang khilaf dan menyerahkan diriku untuk Om Restu. Duh, nempel dalam pelukan Om Rest