Share

The Wild Boss
The Wild Boss
Penulis: Ayaya Malila

The Beginning

Empire State Building, New York.

Kedatangan pria itu sukses membuat semua sorot mata manusia di lobby gedung mengarah padanya. Langkahnya terlihat gagah, badannya yang tinggi dan tegap, tertutup kemeja putih sedikit ketat, dengan dasi hitam dan celana berwarna senada.

Percaya diri, dia memasuki lift, berdiri paling depan dan memencet angka 16, lantai tempat kantornya berada. Pintu lift hampir tertutup saat satu tangan menghadang lajunya, membuat pintu kembali terbuka. Seorang wanita berambut pirang, berusia sekitar 30 tahun terlihat masuk sambil menyeret bocah laki-laki.

“Ingat, nanti begitu masuk, jangan lupa berterima kasih pada Daddy!” cerocos wanita itu. Anaknya hanya mengangguk-angguk. Entah bocah itu akan paham atau tidak. Pria itu diam-diam menyunggingkan senyum. Bocah itu, mengingatkannya akan dirinya di masa kecil. Anak laki-laki ceria yang selalu merasa kehidupannya indah dan bahagia, sebelum tragedi itu menyapa.

Angan pria itu kembali pada sebelas tahun lalu. Di sebuah kompleks perumahan menengah ke atas yang berada di pinggiran Jakarta.

Quentin Arsyanendra, begitu sang ayah memberi nama. Dia masih ingat ketika sang ayah memamerkannya pada teman-temannya. Quentin yang saat itu duduk di bangku TK, menggelayut manja di gendongan ayahnya. Sedangkan Kalingga, kakaknya, saat itu berusia 15 tahun, berdiri gagah di samping sang Ayah, menerima jabat tangan dari teman-teman ayah sembari dagu terangkat dan tersenyum penuh wibawa.

"Quentin ini anak yang ramah. Sepertinya dia akan jadi orang yang mudah bergaul," Bramantya, sang ayah, mengangkat Quentin dan meletakkannya di pundak.

"Womanizer juga sepertinya, haha!" timpal salah seorang teman Bram sambil terbahak.

"Kalau Kalingga, dia yang akan kupersiapkan menjadi penggantiku, dibantu Quentin tentunya," ujar Bramantya sambil menepuk pundak Kalingga. "Karakternya sudah oke! Tinggal memoles lainnya," lanjutnya.

Sempurna rasanya hidup Quentin saat itu. Ayah yang benar-benar penyayang dan perhatian. Kakak yang baik dan selalu melindungi. Rasa-rasanya tak ada yang bisa menghilangkan kebahagiaan ini.

Namun semua salah, keceriaan dan segala keindahan hidup yang Quentin miliki, hanya berlangsung selama 3 tahun lamanya.

Hari itu, seharusnya menjadi hari ulang tahun ke-18 untuk Kalingga. Seluruh anggota keluarga heboh menyiapkan pesta kejutan untuk sang pangeran. Terutama Agni, ibunya. Beliau tegas menginstruksikan pada para pembantunya untuk melakukan ini dan itu, "Cepetan, mbok! Ini sudah mau jam 12 malam!" serunya cemas. "Sedikit lagi, Nyonya!" sahut si Mbok. Badan lebarnya terlihat menata sajian di atas meja makan.

Bram pun terlihat hilir mudik ke lantai atas untuk kemudian kembali turun. "Sudah siap, bapak!" pekik si Mbok sambil mengacungkan dua jempolnya.

Bramantya mengangguk dan mulai mengetuk pintu kamar Kalingga. Awalnya pelan, namun Kalingga tak kunjung membuka pintunya.

"Ngapain sih ni anak? Biasanya dia gampang banget dibangunin," gumamnya pada sang istri.

Kali ini, Bram mengetuk pintu kamarnya lebih keras, "Ngga! Bangun, Ngga! Papa mau ngomong!"

Hening. Sama sekali tak ada jawaban.

Tangan sang istri mulai pegal memegang kue tart. "Udah, dobrak aja kenapa sih, Pa!" sungutnya.

Bram menggedor-gedor pintu kamar Kalingga. "Kamu nyembunyiin cewek ya, Ngga! Jawab!" Bram mulai berpikiran negatif. "Papa dobrak, ya! Satu.. Dua.."

BRAKK!

Kaki besar Bram menjebol pegangan pintu. Pintu itupun didorongnya hingga terbuka lebar. Hampir saja sang istri menyanyikan lagu ulang tahun, saat dia melihat pemandangan mengerikan yang tersaji di depan matanya. Kue tart yang ia buat sepenuh hati bersama si Mbok, harus ia relakan terjatuh di lantai, demi tangannya yang tak lagi punya kuasa untuk menahan apapun. Bram hanya sanggup ternganga. Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya bahwa dia akan mengalami hal seperti ini.

Pelan, diarahkan kakinya menuju pembaringan Kalingga. Ditatapnya wajah putra kesayangan. Ketampanan yang selama ini menghiasi wajah itu sudah menghilang. Digantikan dengan raut yang pucat, kaku, mata yang melotot dan mulut berbusa. Sejenak, Bram tak sanggup berpikir, kosong sekali kepalanya, tak tahu harus berbuat apa. Sedetik kemudian, terdengar tubuh ambruk seseorang, yang ia tahu itu adalah istrinya. Baru lah kesadarannya kembali. "Telepon ambulans, cepat!" teriak Bram dengan mata nyalang.

Quentin yang terlelap di kamarnya, terbangun mendengar keributan. Bocah itu mengerjapkan mata, lalu berjalan membuka pintu. Banyak orang lalu lalang di depan kamarnya. Semua terlihat panik. Mbok Yem, Mang Didin dan dua orang berseragam putih mendorong brankar memasuki kamar Kalingga, yang terletak tepat di samping kamarnya. Sebelum sempat melongok ke kamar kakaknya, gendang telinganya menangkap adiknya yang masih bayi menangis kencang. Urung mencari tahu penyebab kehebohan, Quentin berlari menuju kamar bayi. Diraihnya bayi mungil nan cantik yang baru berumur tiga bulan itu, lalu digendongnya hati-hati.

"Cup, cup, adek.. diem yaa, kita panggil mama, yaa.." hiburnya, berharap adiknya bisa kembali tenang. Namun, ternyata malah semakin kencang tangis si kecil.

"Aduh, cup Diandra.. Tangan kakak capek, hiks." Quentin mulai meringis saat tangan kirinya mulai kesemutan.

"Mama ... Adek nangis, Mama!" teriak Quentin. Tubuh kurus itu keluar dari kamar bayi mencari sang mama, sementara tangannya sibuk mengayun-ayunkan Diandra di gendongan.

Langkah kaki Quentin terhenti di depan tangga, ketika sebuah brankar lewat di depannya, membawa seseorang yang tertutup kain putih. Satu tangan menyembul keluar, menggantung di sisi brankar. "Kakak?" bisiknya lirih. Tak salah lagi, itu tangan Kalingga, Quentin mengenali jam tangan yang melekat di pergelangan.

Tangis Diandra makin kencang, begitu pula Quentin. Entah apa yang ditangisinya. Otak kecilnya memang tak mampu menangkap gambaran nyata yang masuk melalui matanya. Tapi hatinya begitu teriris mengingat tangan yang seakan tak bernyawa itu, terkulai lemas melewatinya.

"Tintin ...." Lirih suara sang ibu memanggilnya. Panggilan kesayangan untuk Quentin. "Adik bawa kesini. Gendong mama sini." Nada suara ibunya bergetar, terseok berjalan menghampiri bocah yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-8 seminggu lalu.

Sedikit takut, ia menghampiri ibunya yang tampak begitu pucat, bibir yang biasanya kemerahan itu bergetar hebat seakan menahan tangis. "Diandra haus, ya?" ucap sang ibu seraya membuka kancing dasternya, kemudian bersiap mengASIhi sang bayi.

"Mama ...." Ragu Quentin memanggil. "Kakak ... kakak kenapa?" Mata kecilnya menyipit memandang Agni. Namun, bukan jawaban yang didapat, melainkan raungan keras yang memekakkan telinga.

Quentin terkejut dan memundurkan badan. Dia tak menyangka ibunya akan bereaksi seperti itu. "Papa!" tak putus asa dalam mendapatkan jawaban, dia berlari mencari sang ayah. Quentin menemukannya bersujud di lantai kamar Kalingga. "Pa?" panggilnya lagi. Bram menoleh ke arah Quentin dengan wajah sayu.

"Kakak kenapa, Pa? Kakak dibawa kemana?" Quentin mendekati Bramantya dan menangkupkan kedua tangan mungilnya ke wajah Bram.

"Kakakmu pergi... Pergi ke surga.." jawab sang ayah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status