MIKA LODGE POV
"Jancuk!" teriak Anggun di tengah-tengah keramaian acara wisuda.
"Kamu ini gimana toh, kita lulus"
"Ya ini bentukanku kalo seneng" balas Anggun berkacak pinggang dan membusungkan dadanya.
"Edan"
"Habis ini bikin atraksi ah"
"Ojo! Anggun, ini ramai banget lho" bertahun-tahun menjadi kawannya adalah cobaan terberatku. Setiap ada hal yang membuatnya antusias membuat otak Anggun yang limit akan materi pelajaran menjelma menjadi manusia super duper cerdas untuk membuat ide selebrasinya yang gila.
"Jancuk!" Suara anggun menggema sampai ke sudut-dudut gedung wisuda yang dipenuhi ratusan wisudawan beserta keluarga, kerabat dan kawan karib mereka.
"Goblok"
"Akhirnya kita semua lulus lur" Anggun mengajak bicara dengan pria tua asing yang berdiri di sebelahnya.
Bapak-bapak itu tertegun dan agak kesal.
"Kita rayakan bersama sedulur" Jerit Anggun. Tangannya yang kurus mengangkat segelas es teh ke udara.
Beberapa orang tercenung melihat makhluk berotak miring itu.
"Tos!" teriakan seorang pria yang muncul entah dari mana mengalihkan keheningan yang agak canggung itu.
Diikuti seisi tamu beserta panitia penyelenggara bersorak beriringan.
"Edan kamu"
"Edan gini, aku bisa lulus barengan sama kamu" dadanya semakin maju, baju toga yang ia kenakan berkibar-kibar terkena kipas angin.
Meskipun bentukannya yang agak abstrak, Anggun tetap cantik meski sekali polesan lipstik saja.
Mungkin dia adalah satu-satunya manusia yang dengan percaya diri mengenakan sepatu boot, berdandan ala bintang rock dan rambut yang dicepol sekenanya.
Baju toga dan sepatu boot adalah perpaduan unik, mengingatkanku pada orang-orangan sawah.
"Aku kira kamu bakal menua di kampus ini, nggun" ledekku.
"Jancuk" balas Anggun diikuti tawanya yang besar.
Cukup satu tahun menunda kuliahku, aku ingin mandiri secara finansial. Kembali ke Jogjakarta dan memulai karier di tempat aku dibesarkan.
***
Mataku berbinar setelah dinyatakan lulus. Bayangan tentang pekerjaan di perusahaan membuat jantungku tak henti berdebar.
Selepas mengirim banyak surel melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan yang aku minati. tak sedikit surel balasan yang mampir dengan menyuguhkan kata penolakan. Kebosananku menggebu-gebu lantaran merindukan kampung halamanku serta kenangannya.
Tapi yang aku dapat hanyalah keadaan yang membuatku terjebak di kota yang riweh ini. Suasana yang kerap ramai.
Teriakan emak-emak yang siap menulikan pendengaran. Kerumunan ibu-ibu yang haus cerita dan tempat untuk menggunjing. Aku pernah menegur Tukang sayur yang kerap nangkring di depan halaman rumahku. Bukan apa-apa hanya saja aku tidak suka mendengar orang saling membicarakan aib mereka satu sama lain.
Aku tidak pernah diajarkan seperti itu.
"Neng Mika udah bangun apa belom. Ini nih ikannya seger-seger. Cabainya merah kayak bibirnya neng Mika. Kangkungnya apalagi cakep kayak eneng" cerocos Bu Wati tetangga sebelah. Bu Wati ini adalah kawan seangkatan Mami ketika masih SMA. Entah apa yang dirasakan Mami memiliki kawan seperti dia.
Suaranya melengking sampai ke kamar mandi ketika aku masih sibuk menumpahkan sampo ke rambutku yang panjang.
Bukankah aku sudah memberitahu Bu Wati bahkan sejak hari pertama aku tinggal disini bahwa aku tidak mau membeli sayur sebab aku lebih suka yang sudah cepat saji.
"Ndak bu. Saya sudah beli nasi pecel di warungnya Bu Maisa" kataku setengah menjerit.
Selain suaranya yang keras, Bu Wati ini juga sedikit budeg.
"Pecel mulu neng, makan daging neng. Eh eneng kan dagingnya banyak"
Aku mendengus, terserah mau bilang apa. Aku ingin segera pulang ke rumah orang tuaku.
Tak berhenti disitu aku juga melamar bekerja sebagai buruh pabrik sembari menunggu panggilan kerja. Apa boleh buat, uangku benar-benar tipis, setipis tubuh Anggun.
Berbicara tentang Anggun, tepat setelah wisuda aku sudah tidak bekerja lagi bersama Anggun. Bukan karena aku mengundurkan diri, lebih tepatnya dipecat karena restoran tersebut terpaksa gulung tikar karena pemiliknya harus pindah ke kampung halaman mereka.
Seperti pemilik restoran itu, Anggun terlebih dulu pulang ke Jogja lantaran harus mengurus adiknya. Ia sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan di Jogjakarta.
Sebulan kemudian setelah kegabutan yang membuat tubuhku makin melar, kiriman surel dari perusahaan ternama, perusahaan yang bergelut pada bidang kuliner memberi kabar baik kepadaku untuk segera bekerja disana mulai hari senin.
Mendadak aku melompat-lompat di atas kasurku, berguling-guling saking senangnya.
Untuk kali pertama untukku, hari senin terasa cerah dan sejuk. Ku pijakkan sepatu ku melangkah maju menuju gedung berlantai 40 tersebut. Perusahaan yang dimiliki oleh keluarga terkaya se-Indonesia, keluarga Dylan. Sekarang diwariskan kepada anaknya yang “katanya” the most handsome man in the world.
Persetan dengan THE MOST HANDSOME MAN IN THE WORLD!
Aku terlalu sibuk ternganga melihat-lihat tempat megah itu.
Saking sibuknya melongo di depan gedung besar itu. Aku sampai lupa waktu.
Syukurlah lift masih terbuka, aku sudah terlambat.
Aku merutuki diriku yang dengan santai bangun di jam yang mepet, seolah lupa dengan keadaan Jakarta yang macet.
Aku lari tunggang-langgang mencegah pintu lift tertutup.
“Hei mas, mas tolong jangan ditutup” teriakku kepada penghuni lift disana.
“Jancuk” makiku selepas lift tertutup.
Namun, tiba-tiba lift terbuka kembali. Sepasang bola mata berwarna biru menatapku sambil terkekeuh.
Pipiku memerah akibat malu karena mengumpat.
“Baru disini?” tanya pria itu melelehkan kecanggungan
“Iya” jawabku cepat
“Kenalin, aku Alex Andrew” katanya sambil menjulurkan tangan
“Aku Mi-mika, Mika anu Mika” balasku sembari membalas jabatan tangannya
"Mika apa? Mika Mouse?" ledek pria berwajah sendu dan bertubuh tinggi itu.
"Mika Lodge, mas" balasku dingin.
“Oke, kalau begitu selamat ya”
“Hah, kok selamat?” jawabku masih bingung dengan ucapannya
“Selamat menjadi anggota karyawan baru yang telat”
Kami tertimbun dalam tawa akibat guyonan receh Alex.
***
Belum dua kali dua puluh empat jam. Aku dan Alex sudah akur seperti sahabat lama. Kami duduk di kafetaria yang disediakan kantor di rooftop. Pemandangan semrawut di bawah kami tak lagi kami pusingkan sebab amunisi dagelan receh Alex tidak ada limit-nya.
“Ih jorok kamu” protesku melihat caranya makan seperti orang-orang yang berunjuk rasa. Ramai sekali.
“Ih apaan juga aku kamu!”
“Lha aku ndak tahu caranya ngomong lu gue” jawabku asal dengan logat medok yag masih lekat
“Nah tu bisa”
“Ya nanti mbok ya diajarin”
“Yowis nanti akang mas ajarin ya dik” balas Alex dengan gaya sok medok, sekali lagi berhasil membuat perutku yang kekeyangan sehabis makan sepiring nasi sayur asem dan lauk-pauknya jadi kesakitan.
“Mules aku gara-gara dibikin ketawa”
“Ketawa lu keras banget, serius dah. Tuh lihat orang-orang ngeliat kita kek ngeliat orang cakep. Padahal kan gue emang cakep”
Ucapannya membuatku geli.
“Eh ngomong-ngomong nih, tadi pas di lift elu ngumpat kan kalo ga salah” ucap Alex meski mulutnya masih sibuk melumat sesuap nasi padang.
Jorok!
“Ndak kok, kagak ada ngumpat dah” balasku dengan logat betawi yang sedikit dipaksa.
“Ngaku lu, gue ada temen orang Jawa juga. Gue faham walaupun masih masih di level cetek” suaranya menggelegar meski mulutnya penuh dengan makanan.
Beberapa jam mengenal pria yang masih asing ini membuat perasaanku seolah telah mengenalnya sejak lama. Alex yang bermata biru, bertubuh tinggi tegap. Wajahnya lumayan bule, tapi aku sedikit tidak yakin. Wajah yang sempurna bagi manusia urban seperti orang-orang di sekeliling kami. Tapi, Alex tidak akan membuatmu menyakini bahwa ia cocok dan memenuhi standarisasi jika kau tahu apa yang ia lakukan di hadapanku ini.
Tusuk gigi yang dilumatnya sembari satu atau dua kali mencongkel giginya untuk mencari sisa makanan yang kemudian di telan lagi. Huwekkk! Ingin sekali ku tampar wajahnya yang tampan.
“Woi” sentakannya membuatku semakin kesal
“Awakmu iku lho jorok” kataku meringis melihat nya meludah ke arah sembarangan.
“Nah itu jancuk, baru inget gue”
“Iya, kamu itu bener-bener jancuk!” kataku malah membuatnya tertawa semakin keras
Orang ini bear-benar edan! batinku melihat wajahnya yang menyebalkan namun di sisi lain wajahnya membuat hatinya nyaman dan sejuk.
“Aku tahu kamu suka ketawa, tapi matamu ndak bilang gitu. Matamu seakan bilang kalau kamu sedang terjebak”
mendengar pernyataanku, tawanya seketika musnah ditelan kerongkongan lagi.
MARISSA LOURDSuara ngorok membuatku terbangun. Dengan keadaan tubuh tanpa sehelai kainpun aku terkapar di atas karpet yang berada tak jauh dari ranjang. Saking capeknya sepulang kerja ditambah perjalanan yang cukup jauh membuat mataku langsung terkatup dengan mudahnya.“Kita pulang yuk ke vila, disana lebih hangat dan indah”Suara yang belum sempurna dicerna olehku yang masih setengah tidur. Sepasang tangan mengangkat ku dengan lembut menuju mobil. Mataku seakan dibebani puluhan batu sulit terbuka.“Mar, bangun woi”Suara cempreng Alex yang agak serak dan maskulin sukses membikinku terperanjat. Aku terkejut melihat jam digital yang duduk di atas meja samping ranjang king size yang kutiduri.Dimana gue? Bukannya tadi di motel ranjangnya ga semewah ini?Pikiran tentang dimana aku sekarang sekejap pudar mengingat matahari sudah nyelonong masuk melalui cela
AUTHOR POV“Apaan sih lu” Marissa masih kaget melihat gelagat manusia yang terkenal aneh untuk dirinya.Tapi, alasan ia mengeraskan suaranya supaya suara detak jantungnya tak terdengar ke telinga Alex.Alex yang masih berusaha agar tak tergagap – kebiasaan lamanya ketika gugup.Fakta itu membuatnya makin gugup dan gelisah. Hingga sesuatu yang basah mulai mengguyur tubuh mereka. Bandung yang dikelilingi bukit dan pohon semakin dingin ketika dibasahi hujan.Jaket kulit milik Alex yang digunakan untuk menutup rambut Marissa bahkan tak mampu mengurangi volume air yang membasahi tubuh mereka. Kedinginan mulai menusuk sampai ke tulang.“Bibir lu gemeter, lu gapapa?” Alex yang melihat tubuh basah kuyup Marissa segera mendekapnya tanpa permisi. Tak seperti biasanya rasa gugup semakin mengikat mereka berdua. Mereka yang sudah menjadi “Friend with benefit” di at
ALEX ANDREW POVMataku seperti dibakar api di perapian yang ada di villa milik keluarga ku. Muka ku kusut dan bau, sudah dari kemarin malam tubuh ku tak terkena air selain air mataku sendiri. Tanganku memar akibat terlalu banyak memukul tembok.Brengsek! Aku meraih handphone dengan malas memencet dengan kasar sebuah kontak yang bertuliskan Marissa – si jalang.Dari seberang suara sesenggukan memenuhi isi telingaku. Suara yang akhirnya meluluhkan amaraku terhadap Marissa.Setidaknya Marissalah yang cukup memahami situasi yang aku alami.Mungkin kita tengah berada pada fase teralihkan akibat perasaan jemu dan kesepian yang menggiring kita merasakan perasaan yang mungkin hanya berlaku untuk sementara.“Lu dimana?” Baru kali ini aku melihat dia seterpuruk ini. Seorang Marissa sangatlah anti mewek-mewek club. Ia sangat benci ketika terlihat lemah di depan ora
MIKA LODGE POV“Aku mencintaimu Mika,meski tubuhku terjerat dan tidak leluasa memilihmu sebagai satu-satunya” bisik Noah di lekuk leherku.Aku terisak mendengar kalimatnya.Tapi manusia seperti diriku tidak cukup untuknya. Tidak akan pernah.Bukan hanya itu saja, aku pun akan menyakitinya lagi dan lagi seperti yang sudah sudah. Kita akan menjadi lingkaran setan dan saling menyakiti.Entah sejak kapan aku menjadi manusia yang rakus dan melupakan diriku. Atau apakah inilah wujud diriku yang sesungguhnya.Yang pasti, ungkapannya di sela ketidaksadarannya membuat hatiku terasa lebih hampa.Perasaan bersalah menggerayangi tubuhku.Aku menggeser layarku dengan buru-buru, beberapa dering kemudian.“Selamat malam pak, ada sebuah kecelakaan di jalan depan perpustakaan Timba Ilmu”Selamat tinggal Noah.Ku kecup bibirnya yang kering dan
NOAH DYLAN POVBelum sempat aku merebahkan diri setelah kejadian semalam. Badanku yang masih kaku sudah berada di atas kursi kebesaran keluarga Dylan.Belum ada kabar dari Mika. Apakah semalam hanyalah delusi?Tapi aku ingat betul, ketika aku berbicara dengannya di telepon.Tubuhku pun masih terkenang akan tubuhnya yang duduk di atas pahaku.Tubuhku tidak bisa ditipu ketika dipuaskan.Bayangan wajahnya membuatku tidak bisa berpikir jernih.Apakah ia kembali bersama Alex? Jelas aku ingat semalam aku berterus terang perihal keadaanku yang jauh dari kata normal.Pikiranku saling memaki dan bertengkar.Kepalaku semakin berdenyut.“Permisi pak, ada kiriman khusus untuk anda” kata Marissa melangkah menuju mejaku.Wanita ini benar-benar memiliki nyali yang besar. Atau lebih tepatnya tidak punya urat malu. Bagaimana tidak, setelah kelakuannya yang
32 Panggilan Terjawab dari Wanda.“Lex, maafin Mika, kalau udah denger pesan ini. Telpon Mika ya”Pesan suara dari Mika mengalir ke seluruh ruang apartemen Alex yang sepi.Maafin Mika, serius jangan tinggalin Mika ya Lex.suara isakan Mika membuat hati Alex semakin perih.Sejak malam mengerikan itu, Alex tak sempat memejamkan matanya. Gelagatnya seperti orang yang sedang keranjingan. Mukanya kusut, otaknya tak berhenti memutar dan memikirkan perempuan itu.Kamarnya sudah berantakan akibat amukan Alex yang kerasukan iblis tampan.“Alex”Suara familiar diiringi bunyi bel dari pintu apartemen membuatnya berhenti.Penampakan Marissa yang amburadul. Matanya setengah menyeramkan lantaran maskara yang luntur, rambutnya benar-benar kusut bahkan bajunya robek di bagian pahanya. Tidak sekalipun Alex melihat penampilan sahabat—mantan sahabatnya acak-acakan se