Share

Bab 8

Penulis: Detia Wahyuni
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-28 08:23:14

1 minggu berlalu, Zea, Adrian dan Daren mengemudikan speed boat, entah ke mana speed boat akan membawa mereka, karena sejauh mata memandang hanya ada lautan tanpa batas. Perbekalan Zea menipis karena harus dibagi dengan kedua temannya, wajah mereka sendiri sudah kehilangan semangat hidup. Untunglah di speed boat itu tersedia bahan bakar lumayan banyak, sepertinya si pemilik sengaja ingin bepergian jauh menggunakan speed boat.

"Ze, gue sama Adrian mau coba menyelam ke bawah, siapa tahu ada makanan." Ucap Daren.

"Memang sekarang kita masih di perkotaan?" Tanya Zea.

"Entahlah, tapi semoga keberuntungan ada di pihak kita," jawab Daren.

Bagaimanapun Daren lebih tua, dia harus lebih tegar dan menyemangati kedua remaja yang sudah menolongnya itu.

Setelah melepas kaos, Daren dan Adrian menyelam ke bawah dan berpencar mencari makanan. Terlihat puing-puing bangunan dan masih ada bangunan yang berdiri kokoh di bawah, sesekali mereka kembali ke atas untuk menghirup udara. Sementara Zea menstabilkan Speed boat supaya tidak terombang-ambing oleh ombak.

Adrian berenang cepat ke sebuah bangunan rumah yang utuh, pintunya sudah tidak ada, Adrian mencoba peruntungan masuk ke dalam. Syukurlah ada beberapa makanan ringan di dalamnya, segera Adrian memasukkan ke dalam kantong plastik yang ia bawa kemudian berenang kembali ke atas.

"Ze, ini ada beberapa snack, gue ke bawah lagi ya siapa tahu dapat makanan lagi." Ucap Adrian.

Zea mengambil kantong plastik itu dan mengambil snack-snack kemudian mengembalikan kantong plastik yang kosong ke Adrian, Adrian kembali menyelam ke bawah.

Tak lama Daren muncul dengan sekantong penuh snack.

"Banyak banget," ucap Zea.

"Iya, lumayan buat beberapa hari, Adrian belum ke sini?"

"Tadi udah, cuma nyelam lagi."

Daren naik ke atas speed boat, berjalan ke arah dekat kemudi untuk berganti baju. Tak lama Adrian pun naik dan mereka kembali melanjutkan perjalanan.

"Kita harus ketemu daratan secepatnya, air minum gue tinggal 1 botol lagi." Ucap Zea lirih.

Dulu Zea begitu yakin dengan kemampuan bertahan hidupnya, tapi sekarang rasanya Zea ingin menyerah, pikirannya kacau setiap hari terombang-ambing di lautan terus.

"Ya, air laut ini asin enggak bisa diminum," keluh Adrian.

"Gini aja, besok gue renang ke bawah, tapi kalian tetap kemudian speed boat perlahan." Usul Daren.

"Emang lo enggak apa-apa Bang?" Tanya Adrian tak enak.

"Ya enggak apa-apa, pas semua ini terjadi gue pingsan terombang-ambing kedinginan dan masih hidup, daya tahan tubuh gue lumayan bagus." Jawab Daren.

"Ya udah Bang, semoga kita nemu bekas supermarket." Ucap Zea.

"Kita bakal nemu daratan enggak ya?" Tanya Zea merenung.

"Pasti Ze, lo yang yakinin gue buat jangan patah semangat. Jadi lo sendiri harus terus optimis." Ucap Adrian.

Mereka masing-masing kehilangan kepercayaan diri akan sampai ke daratan, tapi berusaha saling menguatkan satu sama lain. Karena kalau salah satu dari mereka ingin menyerah, selesai semua.

"Bokap gue pasti lagi cari cara buat nyelamatin gue 'kan Ad?" Ucap Zea lirih.

"Pasti, lo sendiri yang bilang kalau bokap lo kerja di pemerintah apalagi lo anak satu-satunya." Jawab Adrian cepat.

Setiap harinya mereka melakukan aktivitas yang sama, gantian mengemudikan speed boat, renang ke bawah mencari makanan, dan tidur di malam hari.

----

Entah hari ke berapa, Daren menemukan bekas Supermarket. Adrian ikut menyelam dan membawa plastik besar. Mata mereka berbinar melihat banyak botol air dan makanan kemasan, tak ingin membuang waktu langsung saja mengumpulkan semua makanan dan minuman, sesekali kembali ke atas untuk bernafas kemudian menyelam kembali. Speed boat itu kini penuh dengan makanan dan juga botol minuman berbagai merk.

Adrian dan Daren bolak-balik mengangkut barang, Zea langsung merapikannya di pinggir, sebagian dimasukkan ke dalam tas. Dan, ada banyak mie instan!

Akhirnya mereka akan makan makanan berkuah setelah berhari-hari makan snack yang membuat tenggorokan kering.

Daren dan Adrian mengosongkan Supermarket itu, butuh waktu sekitar 1 jam karena sesekali istirahat dulu. Mereka terengah rebahan di speed boat, sementara Zea mengemudikan speed boat lurus terus.

"Ternyata kita masih di Indonesia ya," ucap Adrian melihat makanan-makanan yang dikenalnya.

"Ya, tapi syukur ada banyak makanan. Setidaknya kita bisa bertahan hidup," ucap Daren.

"Kenapa enggak surut-surut ya Bang airnya," ucap Adrian.

Ini bukan banjir, entah apa yang terjadi, sudah seminggu berlalu tapi air masih sama tingginya. Bahkan saat siang hari, mereka merasa matahari berada tepat di bawah mereka saking panasnya.

"Semoga kita ketemu daratan secepatnya, gue juga takut jadi gila terus-menerus lihat laut sepanjang perjalanan," ucap Daren pelan.

"Iya Bang, tidur pun rasanya enggak nyaman." Balas Adrian.

"Rasanya hanya tinggal kita bertiga doang yang hidup di lautan ini, orang-orang mungkin pada mengungsi." Ucap Daren.

"Iya Bang, kayak mereka janjian berangkat bareng sedangkan kita ditinggalin gitu aja. Kalau enggak ada Zea, gue bakal ngira mereka sengaja ninggalin gue. Tapi lihat dia, ayahnya cukup berpengaruh tapi enggak bisa menyelamatkan anak satu-satunya." Ucap Adrian pelan.

Daren mengangguk setuju, "apalagi gue Ad, lagi tidur tiba-tiba ke seret air, lari ke kamar teman-teman gue tapi ternyata mereka enggak ada sama sekali. Sekarang gue cuma punya kalian berdua."

"Seperti kata Zea, kita enggak berhak marah sama keegoisan mereka." Ucap Adrian.

"Ya setidaknya gue jadi kenal kalian berdua," balas Daren tersenyum kecil.

Setengah jam kemudian, Adrian mengemudikan speed boat dan Zea duduk menyender di pinggir. Raut wajahnya tak lagi seceria dulu, meskipun masih sama cantiknya, Zea tak memperhatikan penampilannya yang kusut. Masih waras pun merupakan sebuah keajaiban.

Zea menatap layar handphone nya, harinya mengetik pesan meskipun tahu tak akan sampai.

'Pah, Zea enggak harus sampai ke Papah 'kan? Zea enggak tahu bakal terus kuat atau enggak, Zea udah capek Pah, bahkan Zea enggak tahu sekarang ada di mana. Zea bersama Adrian dan Bang Daren.'

'Mah, jangan ngerasa bersalah udah ninggalin Zea, Zea senang kalau Mamah bisa selamat karena Zea pun belum tentu bisa lindungin Mamah. Zea enggak sendirian kok, ada Adrian dan Bang Daren yang jagain Zea.'

'Lin, gue enggak tahu bakal kuat atau enggak, karena ternyata gue enggak sekuat itu, gue enggak sehebat itu. Rasanya aneh, kayak mimpi buruk dan setiap harinya gue harus bangun ngeliat lautan lagi dan lagi. Gue udah muak Lin. Ternyata gue terlalu naif, berpikir diri gue mampu ngelewatin semua ini, nyatanya tiap hari gue bohongin diri gue sendiri. Tiap hari gue, Adrian, sama Bang Daren nyemangatin diri sendiri, padahal aslinya kita sama-sama putus asa.'

Zea menyimpan kembali handphone nya ke dalam tas, sedikit lebih lega bisa mencurahkan hatinya meskipun entah kapan akan terkirim.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • The World is Sinking   Bab 22

    Zea menatap langit senja dengan senyum manis, kini ia bisa menatap senja sambil makan makanan enak, kini senja memancarkan keindahan yang berbeda dan terlihat jauh lebih indah. Rayhan terpaku menatap senyum manis di wajah Zea, keindahan senja itu sekarang kalah telak oleh senyumnya yang memikat. "Terima kasih ya Kak udah ajak ke sini," ucap Zea membuat Rayhan tersentak kaget. Rayhan tersenyum canggung, "sama-sama"Mereka menikmati senja dalam diam. Setelah senja tak lagi terlihat, keduanya kembali ke penginapan dengan berjalan kaki. Setibanya di lobi, Gara yang baru saja masuk langsung menatap Zea dan Rayhan penuh selidik. "Kalian dari mana?" Tanya Gara. "Gue enggak sengaja ketemu Kakak lo di jalan," jawab Zea langsung. Gara menyipitkan matanya penuh rasa curiga, matanya menatap bergantian wajah Rayhan dan Zea yang terlihat tenang, seakan ucapan Zea memang benar. "Ya udah, ayo bang ke Kamar gue mau cerita," ajak Ga

  • The World is Sinking   Bab 21

    Setelah 2 hari tinggal di perkampungan, Leon mengajak para remaja itu untuk turun gunung melewati tangga berjumlah ratusan. Di sepanjang perjalanan mereka saling bercerita dan tertawa sampai tak terasa sudah tiba di bawah. "Ayo kita ke salon dulu," ajak Leon. Para lelaki akan mencukur rambut di barbershop yang kebetulan salon khusus wanita ada di seberangnya, jadi Zea berpisah dan masuk ke dalam salon seorang diri. Zea masuk ke salon mengandalkan translate google, untunglah pelayan salon itu mengerti dan bersikap ramah. Adrian, Gara, dan Daren sudah selesai di cukur, rambut mereka kini terlihat lebih rapi, tak ada lagi rambut gondrong tak terurus. Sambil menunggu Zea selesai, mereka pergi ke toko swalayan untuk membeli cemilan dan lainnya. Begitu Zea selesai, para lelaki itu sudah menenteng kantong belanja berisi cemilan dan makanan lainnya. "Kita tinggal di mana Pah?" tanya Zea. "Untuk sekarang tinggal di penginapan dulu,"

  • The World is Sinking   Bab 20

    Pagi-pagi sekali Zea sudah terbangun dan duduk di tepi tebing, matanya berdecak kagum melihat matahari yang baru muncul, melukiskan warna orange di langit dengan kemegahannya. Zea memejamkan mata, merasakan semilir angin menerbangkan rambut panjangnya yang tak ia ikat. Udara pagi ini membuat Zea puas dan tak henti-hentinya bersyukur atas kuasa Tuhan yang senantiasa memberinya keselamatan. Meski sempat menyalahkan takdir, Zea kini sadar kalau dia jauh lebih kuat dari yang di bayangkan, mungkin itu sebabnya Tuhan mengujinya, memisahkannya dari orang tuanya dan berjuang di lautan dengan teman-temannya yang baru ia temui. Semua kesulitan itu telah berlalu, kini saatnya Zea memulai hidup baru yang lebih baik."Zea ..." Panggilan lembut itu seakan menyatu dengan angin, begitu halus dan membuat jantung berdebar. Zea menoleh dan baru tersadar ada orang yang duduk di dekatnya. "Kak Rayhan?" Ucap Zea canggung. Meskipun Rayhan kakaknya Gara, kemarin malam Zea tak mengobrol dengannya jadi se

  • The World is Sinking   Bab 19

    Setelah malam berlalu, Zea, Gara, Adrian dan Daren kembali melanjutkan perjalanan. Mereka hanya berjalan lurus saja mengikuti jalur, karena kanan kiri adalah jurang. Adrian berjalan di depan membuka jalur yang terkadang penuh rumput yang sudah meninggi. Saat tengah hari, mereka kembali beristirahat untuk makan siang. Dengan iseng Zea membuka handphone, matanya membola kaget menatap pesan dari ayahnya. 💌 PapahZe, Papah udah di China. Aktifin data selular kamu ya. 💌 PapahPapah sudah ada di perkampungan yang berada di atas gunung. Kata tour guide nya, kalau kamu selamat dan berhasil naik ke atas tebing, kamu akan menemukan kampung ini karena kampung ini adalah jalan satu-satunya buat kamu turun. Jaga keselamatan kamu Ze. "Gue dapat pesan dari Papah," ucap Zea antusias. "Apa katanya?" tanya Adrian tak kalau antusias. "Nih baca sendiri," Zea menyodorkan handphone nya dan di baca bergantian oleh mereka. "Ber

  • The World is Sinking   Bab 18

    Matahari kembali menampakkan sinarnya pertanda pagi telah datang. Zea orang pertama yang membuka mata, dia mengerjapkan matanya karena silau dengan cahaya matahari. Setelah nyawanya terkumpul sempurna, Zea bangun dan menatap sekeliling, mereka masih ada di atas tebing. "Ad, Gar, Bang Daren, bangun." Ucap Zea sambil menggoyang-goyangkan badan mereka satu persatu. Ketiga lelaki itu terbangun dengan kaget, mereka ingat setelah sampai ke atas mereka langsung berbaring begitu saja dan tertidur lelap. Tanpa mendirikan tenda maupun makan. "Udah pagi aja?" Ucap Adrian sambil melihat sekeliling. "Ayo makan," ajak Zea yang perutnya sudah berbunyi nyaring. Gara mengeluarkan cemilan dari tas dan membagikannya satu persatu. Mereka makan dengan lahap sambil mata menatap sekeliling. "Kita belum sampai ya? Kok enggak ada rumah-rumah." Ucap Gara. Setelah menghabiskan makanannya, Zea berdiri ke dekat pinggir tebing yang diberi pemb

  • The World is Sinking   Bab 17

    Zea berulang kali merangkak sendirian untuk melilitkan tali ke batu, dan ketiga orang lainnya merangkak setelah tali siap di gunakan. Sebagai lelaki mereka merasa malu karena selalu mengandalkan Zea yang seorang perempuan, tapi keadaan sekarang berbeda. Dibutuhkan keberanian dan tekad kuat untuk bisa melaluinya, jelas Zea lebih unggul dalam hal ini. Beberapa kali Zea berteriak menyemangati, meski ia sendiri lelah tapi Zea tak ingin menyerah begitu saja. Zea ingin berkumpul kembali dengan orang tuanya. Ingin melakukan aktivitas layaknya remaja, mengejar impian dan cita-cita. "Istirahat dulu," ucap Zea. Matanya menatap langit sore, semilir angin menerbangkan helaian rambutnya yang sudah acak-acakan. Zea tak peduli dengan tubuhnya yang lengket oleh keringat, tak peduli dengan wajahnya yang kotor penuh debu. Adrian yang berada di belakangnya tak sengaja menatap tangan Zea yang penuh luka. Matanya menatap cemas, dia tak sadar Zea mengorbankan dirinya merangk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status