Lamat-lamat kudengar putriku Raisa memanggil sambil menepuk kecil pipiku.
Aku menyadari bahwa diri ini sekarang terbaring lemah di pembaringan. Ketika akan berusaha bangkit kepalaku berdenyut semakin kuat.Kucoba mengingat peristiwa yang tadi terjadi hingga aku bisa terbaring di tempat ini. Ah, iya, suamiku membawa pengantinnya ke rumah kami. Kenyataan itu, membuat segenap tubuhku seolah nyaris tak bertulang, air mataku menetes lagi, aku kecewa, perasaan terluka dan rasa cintaku terkoyakkan.
Bagaimana ia bisa melakukan ini padaku? Apa dosaku? Aku yang selalu menjaga diri, anak, dan kehormatannya, setia menunggu di rumah, patuh pada perintah dan larangannya, apa balasannya untukku.
Entah apa hutang budi pada Ustadznya, hingga suamiku mau tak mau harus menikahi anak gadis Sang Guru? Apakah begitu besar nilai sebuah janji. Ah benar, janji itu adalah hutang dan suamiku mungkin merasa malu untuk ingkar, harga dirinya seolah dicoreng jika ia sampai mengecewakan sang guru. Terlebih lagi, suamiku juga pria yang mapan dan sehat.
"Ya Allah, sabarkanlah aku menghadapi ujian ini," bisikku sendiri sambil memeluk Raisa.
Tiba-tiba pintu diketuk lalu terbuka perlahan, Mas Ikbal muncul membawakan segelas air dari balik pintu. Tak sanggup lagi kutatap wajahnya, wajah yang dulu selalu aku rindukan, tubuhnya yang selalu kupeluk untuk melabuhkan rasa gundah, tatap matanya yang menjadi penentram dalam jiwaku. Kini musnah semuanya, rasa cinta dan segalanya.
"Kamu sudah sadar, Bunda?" tanya suamiku berhati-hati. Kalimatnya dulu seolah penyejuk jiwaku, kini hanya duri-duri yang tersisa menusuk tiap kali kudengar suara lembutnya.
Tak kujawab dia sedikitpun, menoleh padanya pun tidak.
"Ini airnya," katanya sambil meletakkan gelas itu di meja. Kemudian ia mengambil tempat duduk di sisi pembaringanku.
"Bunda, aku menikahinya demi memenuhi janjiku, aku sudah berjanji sepuluh tahun yang lalu, jika aku sudah mapan aku akan menjemput putrinya."
"Tapi apakah Pak ustadz tahu jika kamu sudah beristri?"
Suamiku mengangguk pelan dan kutanggapi anggukannya dengan tawa getir. "Bagaimana mungkin seorang ustadz tega berbuat seperti itu, menghancurkan hati wanita lain, demi membahagiakan putrinya," kataku.
"Aku yang memaksa dan meyakinkannya," kata suamiku.
"Berarti kamu yang centil dan tidak setia, Mas." Kalimatku sendiri terasa pahit di tenggorokan.
"Kondisi Abinya, sudah demikian lemah, sakit jantung dan ginjal, dia ingin menikahkan putrinya sebelum ia menutup mata, aku mengajukan diri menebus janjiku dan meyakinkannya." Ia menerangkan itu padaku dengan lugas dan tanpa nada ragu-ragu.
"Tidakkah kamu memikirkan perasaanku? aku terluka Mas ... Aku sakit, lagipula kemapanan yang kau sebutkan itu, bukankah karena telah menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga bersamaku, bukan dari awal semua kesuksesan ini, lihat apa yag kamu lakukan setelah kamu, sukses," ratapku lalu kembali tergugu pilu.
Saat ini perasaanku hampa pikiranku kosong dan satu satunya yang tersisa hanya rasa sesak dan putus asa.
Aku kehilangan impian dan semangat hidupku, kehilangan cinta dan harapan seolah membunuhku perlahan. Jujur aku ingin mati rasanya, detik ini juga.
"Aku gak sanggup dimadu, Mas, gak sanggup," ucapku sembari menjatuhkan diri di lututnya kupeluk kuat-kuat kakinya, "Ceraikan saja aku,. mas, aku gak sanggup dimadu, gak sanggup Mas, serumah dengan wanita itu ... ti-tidak bisa Mas ...."
Aku meratap pilu menangis dan memohon agar dia segera menjauhkaku darinya.
"Aku mau pulang ke rumah Bapakku, Mas, aku mau pulang, aku gak bisa di sini."
"Kumohon Jannah, aku mohon, Sayang... Semuanya akan baik-baik saja, aku tak akan menyentuhnya jika kamu tidak ridho, Jannah."
"Kamu yang akan baik-baik saja, tapi tidak denganku, gak sanggup aku melihat kedekatanmu, Mas, gak sanggup." Tenggorokanku terasa kering, bibirku juga seperti itu, sejak kedatangan wanita itu, tak sesuap nasi atau seteguk air pun yang mampu kucerna.
"Astagfirullah, Ya Allah." Berkali-kali, hanya kalimat itu yang mampu kuucapkan sambil menekan dada, meresapi sakitnya dimadu tanpa alasan.
"Maaf, Sayang. Aku tak akan mendekati Soraya jika kamu tidak ridho," katanya sambil menyentuh pucuk kepalaku.
"Tidak ridhonya diriku atas kebahagiaan Mas, adalah dosa besar." Air mataku kian deras hingga kurasakan mata ini pedih karena terlalu banyak mngucurkan buliran kepedihan.
"Tapi bagiku kamu tetap yang utama," jawabnya.
"Gak mungkin, seorang pria yang tidak adil dan cenderung pada satu istri di hari kiamat nanti akan bertemu Allah dalam keadaan tubuh yang miring sebelah (HR. Abu Dawud) apakah Mas mau itu terjadi?"
"Eng-enggak, Bunda. Maafin Ayah ya." Ia merangkulku namun kutepis segera.
"Aku gak bisa, Mas. Gak bisa sekarang, aku masih shock, aku belum menerima kenyataan ini, Mas."
Tok ... Tok ....
Pintu terketuk dan wanita itu timbul dari balik daun pintu. Mengenakan gamis berwarna putih dan jilbab merah muda, wajahnya terlihat segar dan anggun sekali, ketika manik matanya bersitatap dengan suamiku ada rona halus yang tergurat di pipinya, ia menunduk dengan penuh rasa cinta dan hormat pada imamku, suamiku, jujur hatiku perih, aku tak sanggup, aku membencinya. Walau ia tak pernah menzhalimiku, aku membenci keberadaannya."Ada apa, Soraya," tanya suamiku.
"Makan malam sudah siap, Mas." Nada suaranya begitu lembut.
"Baik, kamu makan saja duluan, aku aja menemani Bunda Raisa," jawab suamiku.
"Tidak apa, saya akan menunggu," jawabnya juga tak menyerah.
"Tidak usah menunggu, makan saja lebih dulu," kata suamiku dan dia wanita itu pun berlalu.
"Aku gak bisa, Mas. Aku gak bisa," desisku lagi, tangisku kembali pecah.
"Bunda ... Raisa lapar," kata putriku sambil menarik lenganku.
"Raisa makan sama ayah, ya," bujukku.
"Bunda kenapa nangis terus?"
"Gak apa sayang, makan sama ayah, ya."
Suamiku meraih Raisa lalu menggendongnya mengajaknya makan malam, sedangkan aku, aku sendiri tertinggal sedih di dalam rumah sendiri, aku merasa semua kebahagiaanku seketika menjadi kelam, hariku suram dan hidupku akan menderita.
Sungguh tak sanggup kuhadapi semua ini.
Kuambil air wudhu di kamar mandi lalu membentangkan sejadah, memohon, mengadu,menangis sejadi-jadinya.
Aku belum menerima semua kenyataan ini, aku menginterupsi keputusan Tuhan untuk menghadirkan wanita lain di rumah ini. Sejatinya cinta suci tak memiliki tempat bagi orang ketiga, namun semuanya terjadi tanpa kusadari, aku begitu bodoh dan polos tidak menyadari muslihat suamiku yang diam-diam menikah lagi.
"Aku tidak mau Tuhan, aku tidak siap, aku tidak sanggup,Ya Allah, meski Engkau bersabda bahwa sabar itu indah, sungguh aku tak sanggup menjalani keindahan menyakitkan ini."
"Mbak ini, makanannya," katanya mengangsurkan nampan berisi nasi putih, capcay dan ayam goreng ke hadapanku, wanita lemah yang masih bersimpuh di sajadah.
"Jangan berikan aku makanan, untuk apa? Kamu sudah menghancurkan segalanya," jawabku lirih.
"Aku minta, Maaf Mbak," ucapnya pelan.
"Kamu lihat air mataku, degup jantungku yang hancur oleh perbuatanmu, kamu jahat, Soraya."
"Maaf, Mbak." Airmatanya juga meleleh lalu ia bangkit meninggalkanku.
"Sampai kapan pun aku tidak merelakan apa yang kamu rebut dariku, Soraya, kamu akan dapatkan karmanya."
"Maaf mbak ...."
"Dengan merebut suamiku, kau menabuh genderang perang padaku," jawabku dengan hati membeku.
Ia membalikkan badan sekilas lalu meninggalkanku sendiri lagi.
Waktu telah menunjukkan pukul 00:13 malam, ketika putriku tertidur lelap di pembaringan sedangkan aku tak sedetik mampu memejamkan mata.Berjuta pikiran berkecamuk, beribu dugaan yang akan terjadi bergelayut dan kebanyakan dugaan tentang penderitaanku di hari esok semakin membuatku terbebani. Demi Tuhan, perkara memiliki madu bukan hal yang sepele. Sudah begitu banyak aku melihat contoh wanita-wanita yang kemudian tersiksa dan terabaikan karena tiba-tiba suaminya memiliki istri baru. Anak-anak mulai terlantar dan kehilangan kasih sayang karena sang ayah menduakan perasaannya.Meski suami memiliki uang yang cukup tak akan sama lagi keadaannya ketika semuanya serba di bagi, waktu, kasih sayang, dan perhatian semuanya akan dibagi.Kutatap putriku yang sedang pulas, air mataku menitik lagi. Betapa ia akan kehilangan banyak hal dari sang ayah. Aku bisa membayangkan jika wanita itu hamil, dan me
Hari mulai terang dengan bayang mentari di ufuk timur, kicau burung bernyanyi riang di antara udara sejuk yang menyegarkan. Perlahan sinar membias dari balik kaca dan menembus kain tirai yang menutupi jendela.Dulu, jika adzan pagi berkumandang aku akan segera bangun menunaikan ibadah lalu menyiapkan sarapan keluarga kecilku. Setelah beres dari dapur aku akan kembali ke kamar membangunkan suami dengan menempelkan tangan dingin bekas memegang air di matanya, ia akan menggeliat dan terbangun, terkadang Mas Ikbal merangkul tubuhku hingga aku terbenam dalam pelukannya atau dia akan merayuku hingga kami memadu cinta seperti keinginannya. Itu indah sekali, dan sebagai seorang istri memang aku tak pernah menolak untuk membahagiakannya.Namun kini, kenyataan pahit di hadapanku, kuhela napas kasar lalu bangkit menuikan shalat dan beralih ke dapur menyiapkan sarapan. Seusai sarapan kubenahi rumah dan kugiling cucian di mesin cuci.Entah mengapa setelah shalat
Kuseret dia dan kutunjukkan semua gambar-gambar kami dan betapa kini semua keceriaan kami kini pudar oleh kedatangannya."Kau lihat itu, kau lihat semua photo-photo kami berbahagia dan kini kau hadir di sela-sela kebahagiaan itu, kau berpikir tidak," kataku padanya.Raut wajahnya terlihat takut dan ia menatap Mas Ikbal dengan matanya mengembun, berharap jika suaminya akan menolongnya."Jannah, kumohon, ada apa denganmu? Ini masih pagi?" Sela Mas Ikbal."Yang Ada apa, adalah dengan kalian? Kenapa kalian harus mengumbar bulan madu kalian di rumah ini, masih banyak tempat lain kan? Di hotel, atau bahkan belikan saja dia rumah baru, kenapa harus di rumahku!" teriakku."Jannah! Ini rumah kita semua!""Oh ya, berarti kini tidak ada ruang lagi untuk diriku karena semuanya harus dibagi?! Betul begitu?" Aku menatapnya nanar dan kedua manusia di hadapanku ini terdiam.
Mas Ikbal terlihat keluar dari pintu utama dengan setelan kemeja warna biru dasi hitam dan celana yang pas di badan dan membentuk tubuh atletisnya.Ia lalu mendekat pada Raisa mencium keningnya dan berpamitan padaku yang sedang berada di gazebo depan menikmati kolam ikan dan suara gemericik air mancur bersama Raisa."Mas berangkat dulu," ucapnya.Aku tak menggapinya dengan tindakan atau ucapan, tetap sibuk bersikap dingin sambil memberi makan ikan seolah tidak mendengar apapun."Jannah demi diriku, kumohon untuk tidak bertengkar lagi."Kuangkat pandanganku lalu kutatap ia dengan seksama menelisik semua hak yang ingin kutebak dari ucapan dan roman wajahnya."Aku akan tetap di sini hingga kau pulang agar kau bisa memastikan bahwa aku tidak bertemu atau bicara pada istri barumu, Mas.""Astagfirullah Jannah, bukan itu maksudku, aku hanya ....""Sudahlah, Mas mau berangka
Mas Ikbal terlihat keluar dari pintu utama dengan setelan kemeja warna biru dasi hitam dan celana yang pas di badan dan membentuk tubuh atletisnya.Ia lalu mendekat pada Raisa mencium keningnya dan berpamitan padaku yang sedang berada di gazebo depan menikmati kolam ikan dan suara gemericik air mancur bersama Raisa."Mas berangkat dulu," ucapnya.Aku tak menggapinya dengan tindakan atau ucapan, tetap sibuk bersikap dingin sambil memberi makan ikan seolah tidak mendengar apapun."Jannah demi diriku, kumohon untuk tidak bertengkar lagi."Kuangkat pandanganku lalu kutatap ia dengan seksama menelisik semua hak yang ingin kutebak dari ucapan dan roman wajahnya."Aku akan tetap di sini hingga kau pulang agar kau bisa memastikan bahwa aku tidak bertemu atau bicara pada istri barumu, Mas.""Astagfirullah Jannah, bukan itu maksudku, aku hanya ....""Sudahlah, Mas mau berangka
Makanan sudah siap dan mengepulkan aroma yang begitu menggugah selera, di meja makan semuanya sudah tertata rapi, ada masakanku dengan cita rasa oriental dan masakan Soraya.Kuminta Raisa untuk memanggil ayahnya untuk makan, aku telah menunggu di meja."Ayo makan, Yah," terdengar Raisa menggandeng tangan ayahnya dan Mas Ikbal mengikutinya dengan senyuman"Banyak sekali ini makanannya," ucap Mas Ikbal."Ya, 'kan, ada dua tukang masak di rumah ini," balasku sambil menyendokkan nasi ke piringnya."Soraya mana, kenapa enggak dipanggil."Gubrak!Kulepas alat makan di meja makan dengan kasar, Mas ikbal terkesiap kemudian menatapku lama."Ada apa?""Aku tak pernah tak menghargai dan menghormatimu, Mas. Namun kau ingin mengumpulkanku dengan wanita itu satu meja, yang benar aja, Mas? Bahkan jika pun wanita i
Bismillah.Jangan lupa tinggalkan votenya yang sayangku ❤️❤️❤️**Kurebahkan diri di pembaringan sunyi di mana dulu ada begitu banyak kehangatan cinta dan kasih sayang. Kupeluk diriku sendiri, meringkuk dalam dingin dan kesendirian, air mata ini meleleh lagi, mengingat betapa malangnya diri ini, aku sendiri di kamar ini an suamiku bersama istrinya di kamar tamu."Tuhan, sampai kapan ujian ini," gumamku sambil menyeka air mata.Kutarik selimut perlahan dan kubenamkan diriku di dalamnya, ada aroma suamiku yang tertinggal di bed cover ini sehingga kerinduan ini kian bertambah. Aku semakin terisak membayangkan suamiku memberi perlakuan romantis yang sama pada wanita lain, sungguh aku cemburu dan tidak terima.Tapi apa dayaku, Soraya istrinya, secara agama dia sah istrinya.Ada beragam pikiran yang saling bertentangan dalam otakku, beragam ide gila ya
Kutinggalkan mereka dan berlari ke dapur, saat sampai di sana, mataku kembali terbelalak melihat dapur kesayanganku yang sudah sangat berantakan dan kotor. Meja makan penuh piring kotor bekas mereka sarapan subuh tadi, sebagian makanan tumpah tanpa di tutup dan mengundang lalat.Lantai dapur ditumpahi susu dan lengket di kakiku, entah siapa yang menumpahkannya, mengapa ia tak berinisiatif mengelapnya, lalu pintu kulkas tidak ditutup rapat, kuraba piranti di dalamnya sudah tidak dingin, mungkin sejak semalam kulkas ini dibiarkan seperti ini sehingga makanan mulai layu dan berbau.Lemari-lemari dapur terbuka begitu saja dan tidak ditutup kembali ketika mengambil piring, sedang ceruk wastafel di penuhi panci kotor hitam penuh celomok, komporku seperti kompor yang dimuntahi dan dibiarkan begitu saja sampai kering bekas makanan makanan yang meluber ke permukaan stainlessnya."Astagfirullah, sabarkanlah aku dengan emosi yang semakin memuncak ...." Aku berg