Share

Kembali ke rumah ayah

Mas Ikbal terlihat keluar dari pintu utama dengan setelan kemeja warna biru dasi hitam dan celana yang pas di badan dan membentuk tubuh atletisnya.

Ia lalu mendekat pada Raisa mencium keningnya dan   berpamitan padaku yang sedang berada di gazebo depan menikmati kolam ikan dan suara gemericik air mancur bersama Raisa.

"Mas berangkat dulu," ucapnya.

Aku tak menggapinya dengan tindakan atau ucapan, tetap sibuk bersikap dingin sambil memberi makan ikan  seolah tidak mendengar apapun.

"Jannah demi diriku, kumohon untuk tidak bertengkar lagi."

Kuangkat pandanganku lalu kutatap ia dengan seksama menelisik semua hak yang ingin kutebak dari ucapan dan roman wajahnya.

 

"Aku akan tetap di sini hingga kau pulang agar kau bisa memastikan bahwa aku tidak bertemu atau bicara pada istri barumu, Mas." 

"Astagfirullah Jannah, bukan itu maksudku, aku hanya ...."

"Sudahlah, Mas mau berangkat kerja atau akan terus memberi ceramah?"

"Kamu membuat segalanya menjadi sulit, Jannah," desahnya pelan.

"Mas pikir ini mudah bagiku, sebagai istri pertama aku berada di posisi yang amat menyulitkan dan hampir tidak beruntung sama sekali. Menolak berat, menerima pun sakit,.  Mas.  Mas kira poligami itu mudah, Mas kira tidak akan ada pertentangan atau perselisihan, dan Mas ingin menjaga hatinya tapi sekali lagi Mas lupa menjaga hatiku," rutukku kecewa.

"Aku berangkat dulu, udah siang," jawabnya sambil bergegas menuju mobil.

Aku tahu ia tak suka dengan ucapanku, aku tahu dia tersinggung, egonya tertampar dan wibawanya terdampar. Namun apa yang bisa kulakukan untuk mengobati rasa sakit yang kian perih ini? Selain melampiaskan semuanya.

**

 Setelah mobilnya meninggalkan halaman rumah segera kubawa putriku masuk dan Menganti pakaiannya, kulihat wanita itu sedang sibuk membersihkan pecahan kaca dan menyapu ruang keluarga.

Ia bertemu pandang denganku, ketika kutatap ia dengan tajam, Soraya  langsung menunduk segan dan meneruskan tugasnya.

Kuganti pakaian anakku dan kuraih tas dan memesan taksi online di gawaiku. Tak lama berselang taksi datang dan langsung meluncur membawaku 23 km ke arah timur ke rumah orang tuaku.

Sesampainya di sana, kubuka gerbang rumah Ibu dengan pelan, kugandeng tangan putriku memasuki rumah kakek dan neneknya.

Melihat kedatangan kami Ibu dan Bapak terlihat begitu gembira dengan sumringah  mereka menyambut anakku, menggendongnya dan membawanya memetik buah segar di halaman belakang.

"Tumben sendirian, Nduk," kata Ibu.

Aku tak menjawabnya namun ia sudah menangkap raut kesedihan yang kupancarkan dari mataku. Dihampirinya diri ini yang membenamkan wajah di meja makan tempat dia  sedang memotong sayuran, dengan lembut menghampiri dan  memberiku  sentuhan  di kepala.

"Ada apa Nduk, kok kelihatan lesu dan sedih?"

"Bu, aku memang sedang mengalami ujian berat,  Bu."

"Ujian apa? Cerita sama Ibu," jawabnya pelan sambil membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya yang lembut.

"Suamiku Bu, ...." Kupeluk pinggang ibu dan aku menangis tersedu-sedu seperti bocah yang kehilangan mainan.

"Ada apa suamimu, apa yang dilakukan Ikbal padamu?" lanjut ibu.

"Mas ikbal menikah lagi, Bu, tiba-tiba ia membawa pengantin nya ke rumah," jawabku.

"Apa?!" Suara bariton di belakangku tiba-tiba mengagetkan diri ini.

Tanpa kusadari ternyata Bapak berdiri di belakangku sambil menggendong Raisa. Ia menatapku dengan tatapan tajam.

"Bapak ...." Aku mengadu padanya tergugu pilu.

"Astagfirullah ...." Bapak hanya mampu bergumam sambil menekan dadanya.

"Bapak," kuhampiri bapak yang mengambil tempat duduk di sofa  tak jauh dari meja makan, " Bapak, tolong aku gak kuat Pak, aku mau pulang sama Bapak aja," keluhku sedih.

"Mana suamimu sekarang?"

"Di kantornya, Pak."

"Telpon dia, biar aku yang bicara."

Kurogoh tas dan kuambil gawaiku, kutekan dial pada nomor Mas Ikbal dan tak lama kemudian sambungan di angkat Mas ikbal.

"Halo, Bunda," sapanya yang kudengar dari speaker ponsel.

.

"Ikbal, ini Bapak." Bapak menyapanya dengan serius.

"Kamu mampir dulu sore ini ke rumah saya, saya mau bicara," pinta Bapak.

"Ba-baik, pak."

**

Sore hari 

Waktu menunjukkan pukul empat lewat lima menit ketika  mobil mas Ikbal memasuki pekarangan rumah Bapak.

"Assalamualaikum, Pak." Bapak menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan tajam 

"Walaikum salam, " jawab bapak.

Mas Ikbal masuk dan menyalami Bapak dan ibu dengan hormat. Lalu ia mengambil tempat duduk yang tak jauh dari mereka dan aku duduk di sebelah kanan Bapak.

"Benarkah, kabar yang saya dengar?"

"Ehmm ... Saya ...."

"Ikbal ..." Bapak menghela napasnya berat, "Dulu, ketika meminang anak gadis saya, kamu  berjanji akan menjaga dan membahagiakannya, lalu kini, lihat apa yang terjadi."

Bapak  menatapnya dengan penuh ketegasan.

"Maafkan saya Pak, saya terpaksa melakukan itu demi janji saya pada Ustadz," jawabnya.

"Saya tahu, anak saya sudah memberi tahu saya, jika bagimu janji adalah amanat yang harus ditepati, lalu bagaimana janjimu dengan saya?"

Mas Ikbal terdiam sambil menundukkan wajahnya.

"Anak saya adalah buah hati dan kesayangan jiwa saya, bagaimana kamu tega menyakitinya? sebagai bapaknya, saya tidak ridho pada apapun hal yang membuat anak saya sengsara."

"Saya minta maaf, saya janji Saya akan tetap menjaga amanat Bapak, saya janji , Pak." Mas Ikbal berkata dengan nada dan raut bersungguh-sungguh.

"Kalo kamu tidak lagi mencintainya, maka kembalikan pada saya, saya tidak  akan menolak untuk membuka kedua tangan untuknya, saya akan merawatnya," ujar Bapak dengan suara bergetar sambil melepas kacamatanya dan mengusap kelopak matanya yang mengembun.

Aku yang berada di sisi Bapak tak sanggup menahan air mata, karena sungguh ini adalah situasi paling emosional dalam hidupku.

"Saya mencintainya, Pak, apalagi kami telah memiliki anak ...."

"Kalo kamu sungguh mencintainya, apakah kamu tega menduakan dia? Coba kamu berada di posisinya tidakkah kamu terluka?"

"Maaf ...." Suara suamiku nyaris tenggelam.

"Kami bisa memilih sekarang, pisahkan kedua istrimu, atau ceraikan saja anak saya!"

Suamiku sontak mendongak dan menggeleng cepat.

"Ja-jangan Pak. Saya gak sanggup pisah dengan mereka," tolak Mas Ikbal.

"Kamu tahu kan, konseksuensi dari perbuatan poligami, kamu harus mengatur segalanya dan mengkondisikan agar tidak pernah ada yang tersakiti."

"Insyaalllah saya bisa, saya janji saya akan berusaha. Bolehkah saya membawa anak istri saya pulang?"

"Bagaimana, Jannah," tanya Bapak.

Aku bergeming mendengar bapak dalam kebimbanganku. Aku ingin bersama Mas Ikbal karena aku mencintainya dan kusadari anakku membutuhkan Ayahnya. Namun mengingat perbuatannya dan melihat Soraya berada di rumah, aku sungguh berat sekali untuk kembali.

"Aku gak mau selama wanita itu di rumah itu, Pak," balasku

"Dengar jannah, selama suamimu tidak berbuat zhalim dan aniaya, kewajibanmu adalah mengikuti dan mentaatinya, kecuali kamu sudah tak mau bersamanya lagi," imbuh Bapak.

"Bunda ... Ayo pulang," ajak putriku.

Mau tak mau aku pun meyerah pada keinginan anakku yang begitu merengek ingin pulang dan memainkan mainan kesayangannya.

Ketika berpamitan kucium tangan Ibu dan kupeluk erat wanita tercintaku itu, kutumpahkan sekali lagi sesak yang menusuk dadaku.

"Sabar Nduk, insyaallah, Allah akan tunjukkan jalan terbaik."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status