Home / Romansa / Tiba-Tiba Dimadu / Benci menjadi jadi

Share

Benci menjadi jadi

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2021-08-18 11:27:43

Mas Ikbal terlihat keluar dari pintu utama dengan setelan kemeja warna biru dasi hitam dan celana yang pas di badan dan membentuk tubuh atletisnya.

Ia lalu mendekat pada Raisa mencium keningnya dan   berpamitan padaku yang sedang berada di gazebo depan menikmati kolam ikan dan suara gemericik air mancur bersama Raisa.

"Mas berangkat dulu," ucapnya.

Aku tak menggapinya dengan tindakan atau ucapan, tetap sibuk bersikap dingin sambil memberi makan ikan  seolah tidak mendengar apapun.

"Jannah demi diriku, kumohon untuk tidak bertengkar lagi."

Kuangkat pandanganku lalu kutatap ia dengan seksama menelisik semua hak yang ingin kutebak dari ucapan dan roman wajahnya.

 

"Aku akan tetap di sini hingga kau pulang agar kau bisa memastikan bahwa aku tidak bertemu atau bicara pada istri barumu, Mas." 

"Astagfirullah Jannah, bukan itu maksudku, aku hanya ...."

"Sudahlah, Mas mau berangkat kerja atau akan terus memberi ceramah?"

"Kamu membuat segalanya menjadi sulit, Jannah," desahnya pelan.

"Mas pikir ini mudah bagiku, sebagai istri pertama aku berada di posisi yang amat menyulitkan dan hampir tidak beruntung sama sekali. Menolak berat, menerima pun sakit,.  Mas.  Mas kira poligami itu mudah, Mas kira tidak akan ada pertentangan atau perselisihan, dan Mas ingin menjaga hatinya tapi sekali lagi Mas lupa menjaga hatiku," rutukku kecewa.

"Aku berangkat dulu, udah siang," jawabnya sambil bergegas menuju mobil.

Aku tahu ia tak suka dengan ucapanku, aku tahu dia tersinggung, egonya tertampar dan wibawanya terdampar. Namun apa yang bisa kulakukan untuk mengobati rasa sakit yang kian perih ini? Selain melampiaskan semuanya.

**

 Setelah mobilnya meninggalkan halaman rumah segera kubawa putriku masuk dan Menganti pakaiannya, kulihat wanita itu sedang sibuk membersihkan pecahan kaca dan menyapu ruang keluarga.

Ia bertemu pandang denganku, ketika kutatap ia dengan tajam, Soraya  langsung menunduk segan dan meneruskan tugasnya.

Kuganti pakaian anakku dan kuraih tas dan memesan taksi online di gawaiku. Tak lama berselang taksi datang dan langsung meluncur membawaku 23 km ke arah timur ke rumah orang tuaku.

Sesampainya di sana, kubuka gerbang rumah Ibu dengan pelan, kugandeng tangan putriku memasuki rumah kakek dan neneknya.

Melihat kedatangan kami Ibu dan Bapak terlihat begitu gembira dengan sumringah  mereka menyambut anakku, menggendongnya dan membawanya memetik buah segar di halaman belakang.

"Tumben sendirian, Nduk," kata Ibu.

Aku tak menjawabnya namun ia sudah menangkap raut kesedihan yang kupancarkan dari mataku. Dihampirinya diri ini yang membenamkan wajah di meja makan tempat dia  sedang memotong sayuran, dengan lembut menghampiri dan  memberiku  sentuhan  di kepala.

"Ada apa Nduk, kok kelihatan lesu dan sedih?"

"Bu, aku memang sedang mengalami ujian berat,  Bu."

"Ujian apa? Cerita sama Ibu," jawabnya pelan sambil membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya yang lembut.

"Suamiku Bu, ...." Kupeluk pinggang ibu dan aku menangis tersedu-sedu seperti bocah yang kehilangan mainan.

"Ada apa suamimu, apa yang dilakukan Ikbal padamu?" lanjut ibu.

"Mas ikbal menikah lagi, Bu, tiba-tiba ia membawa pengantin nya ke rumah," jawabku.

"Apa?!" Suara bariton di belakangku tiba-tiba mengagetkan diri ini.

Tanpa kusadari ternyata Bapak berdiri di belakangku sambil menggendong Raisa. Ia menatapku dengan tatapan tajam.

"Bapak ...." Aku mengadu padanya tergugu pilu.

"Astagfirullah ...." Bapak hanya mampu bergumam sambil menekan dadanya.

"Bapak," kuhampiri bapak yang mengambil tempat duduk di sofa  tak jauh dari meja makan, " Bapak, tolong aku gak kuat Pak, aku mau pulang sama Bapak aja," keluhku sedih.

"Mana suamimu sekarang?"

"Di kantornya, Pak."

"Telpon dia, biar aku yang bicara."

Kurogoh tas dan kuambil gawaiku, kutekan dial pada nomor Mas Ikbal dan tak lama kemudian sambungan di angkat Mas ikbal.

"Halo, Bunda," sapanya yang kudengar dari speaker ponsel.

.

"Ikbal, ini Bapak." Bapak menyapanya dengan serius.

"Kamu mampir dulu sore ini ke rumah saya, saya mau bicara," pinta Bapak.

"Ba-baik, pak."

**

Sore hari 

Waktu menunjukkan pukul empat lewat lima menit ketika  mobil mas Ikbal memasuki pekarangan rumah Bapak.

"Assalamualaikum, Pak." Bapak menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan tajam 

"Walaikum salam, " jawab bapak.

Mas Ikbal masuk dan menyalami Bapak dan ibu dengan hormat. Lalu ia mengambil tempat duduk yang tak jauh dari mereka dan aku duduk di sebelah kanan Bapak.

"Benarkah, kabar yang saya dengar?"

"Ehmm ... Saya ...."

"Ikbal ..." Bapak menghela napasnya berat, "Dulu, ketika meminang anak gadis saya, kamu  berjanji akan menjaga dan membahagiakannya, lalu kini, lihat apa yang terjadi."

Bapak  menatapnya dengan penuh ketegasan.

"Maafkan saya Pak, saya terpaksa melakukan itu demi janji saya pada Ustadz," jawabnya.

"Saya tahu, anak saya sudah memberi tahu saya, jika bagimu janji adalah amanat yang harus ditepati, lalu bagaimana janjimu dengan saya?"

Mas Ikbal terdiam sambil menundukkan wajahnya.

"Anak saya adalah buah hati dan kesayangan jiwa saya, bagaimana kamu tega menyakitinya? sebagai bapaknya, saya tidak ridho pada apapun hal yang membuat anak saya sengsara."

"Saya minta maaf, saya janji Saya akan tetap menjaga amanat Bapak, saya janji , Pak." Mas Ikbal berkata dengan nada dan raut bersungguh-sungguh.

"Kalo kamu tidak lagi mencintainya, maka kembalikan pada saya, saya tidak  akan menolak untuk membuka kedua tangan untuknya, saya akan merawatnya," ujar Bapak dengan suara bergetar sambil melepas kacamatanya dan mengusap kelopak matanya yang mengembun.

Aku yang berada di sisi Bapak tak sanggup menahan air mata, karena sungguh ini adalah situasi paling emosional dalam hidupku.

"Saya mencintainya, Pak, apalagi kami telah memiliki anak ...."

"Kalo kamu sungguh mencintainya, apakah kamu tega menduakan dia? Coba kamu berada di posisinya tidakkah kamu terluka?"

"Maaf ...." Suara suamiku nyaris tenggelam.

"Kami bisa memilih sekarang, pisahkan kedua istrimu, atau ceraikan saja anak saya!"

Suamiku sontak mendongak dan menggeleng cepat.

"Ja-jangan Pak. Saya gak sanggup pisah dengan mereka," tolak Mas Ikbal.

"Kamu tahu kan, konseksuensi dari perbuatan poligami, kamu harus mengatur segalanya dan mengkondisikan agar tidak pernah ada yang tersakiti."

"Insyaalllah saya bisa, saya janji saya akan berusaha. Bolehkah saya membawa anak istri saya pulang?"

"Bagaimana, Jannah," tanya Bapak.

Aku bergeming mendengar bapak dalam kebimbanganku. Aku ingin bersama Mas Ikbal karena aku mencintainya dan kusadari anakku membutuhkan Ayahnya. Namun mengingat perbuatannya dan melihat Soraya berada di rumah, aku sungguh berat sekali untuk kembali.

"Aku gak mau selama wanita itu di rumah itu, Pak," balasku

"Dengar jannah, selama suamimu tidak berbuat zhalim dan aniaya, kewajibanmu adalah mengikuti dan mentaatinya, kecuali kamu sudah tak mau bersamanya lagi," imbuh Bapak.

"Bunda ... Ayo pulang," ajak putriku.

Mau tak mau aku pun meyerah pada keinginan anakku yang begitu merengek ingin pulang dan memainkan mainan kesayangannya.

Ketika berpamitan kucium tangan Ibu dan kupeluk erat wanita tercintaku itu, kutumpahkan sekali lagi sesak yang menusuk dadaku.

"Sabar Nduk, insyaallah, Allah akan tunjukkan jalan terbaik."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Pudji Shidarwati
kok di ulang
goodnovel comment avatar
Renurdi Suntzu
kok diulang-ulang sih?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Tiba-Tiba Dimadu   kabar buruk apa?

    "Kabar buruk apa?"tanyaku heran."Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pikiran dan semua kerinduanku tapi tetap saja, perasaan bersalah dan rasa ingin memperbaiki keadaan timbul di dalam hatiku," ucapnya sambil memandang mataku dengan penuh makna."Aku tak paham ....""Aku masih berharap kita bersama lagi. Demi anak anak, demi aku, demi harapan yang pernah kita bangun.""apa kau lupa tentang perlakuanmu dan apa saja yang sudah terjadi dalam hidup kita masing masing.""Ya, aku bersalah menikahi angel secara diam diam, aku mengulangi kesalahan suamimu yang fatal. tapi ...""Sudah, jangan dilanjutkan," cegahku. "aku tak mau mengenang apapun tentang masa lalu.""Aku hampir kehilangan dirimu dan semangat hidupku saat kau bersama dengan wira. Tapi, setelah bertemu dengannya dan mengetahui hal sebenarnya harapanku tumbuh kembali. Aku harap kita bisa ....""apa?""rujuk lagi," jawabnya sambil menatap mataku."Jadi itu kabar buruknya?""ya, bahwa aku sulit move on dan hidup tanpamu. Maukah

  • Tiba-Tiba Dimadu   menerima

    "Sebaiknya segera tentukan pilihanmu Nak, Ibu juga tidak ingin kamu terus-menerus sendiri seperti itu, karena penilaian orang lain tentang status janda sangat merugikan posisimu," ujar Ibu ketika aku menelponnya."Iya Bu, aku tahu tapi aku belum menentukan pilihanku, aku belum siap untuk naik ke jenjang berikutnya.""Ada dua pria yang begitu tulus dan menyayangimu, Nduk, kamu tinggal memilihnya," ujar Ibu."Bagaimanapun itu adalah pilihan yang sulit, Bu," gumamku pelan."Raisa menyukai salah satu dari pria itu?" tanya Ibu lagi."Raisa ingin aku kembali kepada Mas Raffiq.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?""Entahlah... masih bingung," jawab ku sambil menghela nafas pelan."Lalu apa yang terjadi tentang Soraya?""Dia masih ditahan di rumahnya, Bu, polisi belum memiliki cukup bukti untuk bisa menjebloskan dia ke penjaara.""Jelas-jelas dia yang menyerang wira dengan air keras," ujar Ibu sedikit ingin marah."Tapi keluarga dan pengacaranya memiliki pengaruh besar, Bu. Mereka mati-m

  • Tiba-Tiba Dimadu   pergilah

    "Jangan dipikirkan apa yang dikatakan Mama dia memang seperti itu," bisik Wira kepadaku ketika Mamanya ke kamar mandi."Aku tak mempermasalahkannya," jawabku pelan sambil menyuapinya."Mbak ... aku berterimakasih atas semua perhatianmu, tapi sebaiknya Mbak tidak usah menjengukku lagi." Aku mencoba menelisik maksud dari ucapannya, mengapa dia harus mengatakan hal semacam itu."Apa yang kau katakan, aku tidak mengerti," ujarku."Aku sudah ikhlas melepaskan Mbak Jannah dengan Mas Rafiq." Sorot matanya yang sendu membuatku terenyuh."Jangan melantur seperti ini sebaiknya kamu istirahat saja." Aku membenahi selimut yang menutupi tubuhnya."Aku sungguh-sungguh, Mbak. Aku sadar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Aku tahu, meski kita berteman tidak serta merta membuat hal itu menjadi cinta untukmu aku menyadari semua itu dan aku menyesali sikap bodohku untuk memaksakan dirimu menikahiku, Mbak," ujarnya sambil tersenyum getir."Tidak masalah aku memahami perasaanmu, aku bisa memaklumi sem

  • Tiba-Tiba Dimadu   Wira dan dia

    Sejujurnya aku lelah dengan semua ini, dengan takdir berliku liku yang mewarnai hidupku. Andai bisa, aku ingin lari dan mengamankan diri ini dari dunia yang begitu kejam.Baru saja aku dan kedua anakku mengecap ketenangan, dan menikmati hidup kami, kini ujian menghantam silih berganti, membuatku sangat ingin menyerah dari semua ini, andai aku bisa, sejenak lepas dari semua kesulitan yang membelit ini. Sungguh, aku letih.Masih segar dalam ingatan, bagaimana ketika Wira merintih di ranjangnya, sementara keluarganya terus mendesakku agar mau menerima lamaran bankir kaya itu, tiba-tiba Mas Rafiq datang dan berteriak dengan tatapan melotot penuh amarah bahwa dia menolak semua cara mereka menekanku untuk menikahi anggota keluarga mereka."Apakah musibah ini akan kalian gunakan untuk menekan Jannah?""Hei, apa maksudmu! Anakku terluka gara-gara dia, tidak tahu apa yang akan terjadi kepada putraku kedepannya, apakah dia masih seperti semula atau malah cacat," ujar Jeng Zahrina sambil terdu

  • Tiba-Tiba Dimadu   kantor polisi

    Aku kembali ke rumah dengan tubuh dan pikiran yang sudah lelah kubuka pintu utama lalu menuju kursi tamu meletakkan tasku lalu membaringkan diri dengan lunglai di sana.Pikiranku melayang pada rentetan kejadian yang begitu mengejutkan hari ini, setelah didesak untuk "mau menerima" mengambil hati Wira, akhirnya Jeng Zahrina mau tenang dan menguatkan hatinya untuk tidak menangis lagi.Besok mereka akan melakukan operasi untuk memperbaiki kulit punggung dan wajah Wira yang rusak akibat siraman air keras. Ah, kembali pikiranku melayang kepada mantan maduku itu, entah di mana dia berada dan apa yang sedang dia lakukan, kemungkinan saat ini dia sedang bersembunyi di suatu tempat atau mungkin juga duduk santai di rumah orang tuanya.Tring ... Ponsel berbunyi.Kuraih benda itu dengan setengah lesu lalu membaca nama siapa yang sedang menelpon, dan ternyata itu adalah Rina."Halo Rin ada kabar terbaru?""Laporan sudah kami selesaikan, besok polisi akan menuju tempat kejadian untuk mengamankan

  • Tiba-Tiba Dimadu   menanggung kemarahan

    Sesegera mungkin aku meluncur membawa wira ke rumah sakit bersama kedua asistenku, tak lupa aku hubungi nomor Mama Wira yang memang sudah tersimpan di ponselku karena dia adalah pelanggan tetap toko kami."Halo assalamualaikum Jeng Zahrina," sapaku."Waalaikumsalam ada apa kamu menelpon saya," tanya Nyonya Zahrina dengan nada sedikit tidak suka."Maaf karena aku harus memberitahukan hal penting, tapi mohon tenangkan diri Jeng ya," ujarku."Katakan saja apa yang sedang terjadi?""Tadinya Wira datang ke tokoku dan duduk sebentar lalu pergi, namun tak lama kemudian Soraya datang dan berniat menyiramkan air keras kepadaku, namun tanpa diduga-duga Wira datang lagi dan terkena siraman air keras," tuturku hati-hati."Apa?!""Iya, saat ini aku dalam perjalanan membawanya ke rumah sakit.""Kalo terjadi apa-apa dengan anak saya kamu harus bertanggung jawab." Ucapan Mama Wira membuat pikiranku kacau."Kemana kamu akan membawa anakku!" pekiknya lagi."Ke Rumah Sakit Budi Kusuma Jeng," jawabku.

  • Tiba-Tiba Dimadu   musibah apa ini

    *Pemuda itu, datang lagi ke toko sore menjelang aku menutup gerai pakaian dan barang milikku itu.Ia melangkah santai lalu menarik kursi yang ada di depan meja kerja dan mendudukkan dirinya sambil tersenyum."Mbak Jannah, belum mau pulang?" tanyanya."Belum, masih sibuk," jawabku."Uhm, aku akan menunggu,", jawabnya."Kau sadar apa yang kau lakukan sekarang?"tanyaku dengan tatapan tajam. "Aku sudah cukup memberimu ruang, Wira.""Apa maksudnya Mbak, Mbak terlihat marah," ucapnya pelan."Aku sudah cukup baik kepadamu dengan tidak bersikap kasar dan frontal, aku harap kau mengerti kalau aku tidak nyaman dengan semua sikap ini.""Aku tidak tahu cara terbaik untuk bisa merebut hatimu Mbak," jawabnya pelan."Kamu tidak perlu bersusah payah karena aku belum membuka hati untuk siapapun Wira," ucapku dengan tetap menatap lekat padanya."Aku tahu kalau tidak denganku, Mbak Jannah pasti akan kembali lagi dengan dokter Rafiq, iya kan?" cecarnya sok tahu.Aku hanya tertawa getir mendengar ucapan

  • Tiba-Tiba Dimadu   aduh

    Ting tong ...Pagi pagi bel rumah sudah berdenting dan entah siapa berkunjung di pagi buta seperti ini. Sesaat aku sempat bertanya-tanya sekaligus kesal, denting yang terus menerus mengganggu telingaku."Siapa di luar?" tanyaku."Aku," jawab suara yang familiar kudengar itu."Kamu ngapain pagi-pagi gini, bahkan embun pun belum kering di pucuk daun," ujarku."Biarkan embun, yang penting aku menatapmu di awal hari sudah cukup membuatku seolah memiliki semua kebahagiaan.""Hentikan gombalan recehmu!" teriakku di pengeras suara yang tersambung ke gerbang."Jangan marah pagi-pagi aku datang ke sini membawa sesuatu untuk Raisa dan Rayan,". ujarnya santai."Tidak usah bawakan apapun anak-anakku baik-baik saja," jawabku ketus."Tapi Raisa menyukaiku kok. Buktinya ia senang menerima sepaket boneka LoL yang aku belikan," lanjutnya sambil tertawa kecil, " Raisa Sapa Bunda," suruhnya."Bunda ...." Tiba tiba suara anakku timbul dari depan gerbang sana."Raisa kamu ngapaian di gerbang pagi-pagi, k

  • Tiba-Tiba Dimadu   saingan

    "Ini makanan banyak banget siapa yang beli makanan sebanyak ini?""itu dari pemuda tampan yang pagi-pagi sudah datang ke sini dan membawa semobil makanan," jawab asistenku Rina."Apa? Siapa?""Teman Mbak, yang berondong itu lho," jawab Rina setengah berbisik."Ya ampun," desahku."Kenapa Mbak, kan bagus mbak dapat banyak perhatian," jawabnya sambil berkedip aneh."Ish ...mendapat perhatian dari orang yang kita suka itu bagus, tapi kalo gak suka, bikin ilfil kan?""Emangnya mbak sekarang lagi ilfil?" timpal Rudi supirku."Iya, karena aku gak mau didekati pria itu." Aku menghempas diri di sofa sambil melempar pandangan ke tumpukan kotak makanan di meja tamu.Kuhela napas berkali-kali untuk melegakan dadaku, namun kedua pegawaiku itu masih heran dengan sikapku itu. Mereka seperti menunggu adegan berikutnya."Apa lagi? Kenapa pada berdiri?""Makanan sebanyak itu Mbak Jannah bisa habiskan?""Siapa bilang aku akan memakannya?" jawabku sewot."Kasihan yang beli, Mbak," jawab Rina memelas."

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status