Kuseret dia dan kutunjukkan semua gambar-gambar kami dan betapa kini semua keceriaan kami kini pudar oleh kedatangannya.
"Kau lihat itu, kau lihat semua photo-photo kami berbahagia dan kini kau hadir di sela-sela kebahagiaan itu, kau berpikir tidak," kataku padanya.
Raut wajahnya terlihat takut dan ia menatap Mas Ikbal dengan matanya mengembun, berharap jika suaminya akan menolongnya.
"Jannah, kumohon, ada apa denganmu? Ini masih pagi?" Sela Mas Ikbal.
"Yang Ada apa, adalah dengan kalian? Kenapa kalian harus mengumbar bulan madu kalian di rumah ini, masih banyak tempat lain kan? Di hotel, atau bahkan belikan saja dia rumah baru, kenapa harus di rumahku!" teriakku.
"Jannah! Ini rumah kita semua!"
"Oh ya, berarti kini tidak ada ruang lagi untuk diriku karena semuanya harus dibagi?! Betul begitu?" Aku menatapnya nanar dan kedua manusia di hadapanku ini terdiam.
"Apa ... Kenapa diam, apakah kurang penderitaan yang kalian berikan."
"Kami tidak berbuat apa-apa Jannah, bukankah aku sudah janji padamu," katanya dengan suara yang setengah ia pelankan sambil meraih lenganku. Kutepis cepat tangannya sambil memundurkan diri.
Sok suci.
"Omong kosong! Tidak mungkin! Mana aku tahu kalo kamu menyentuhnya atau tidak, Mas," teriakku.
Wanita yang kumaksud dalam ucapaanku sontak menggeleng cepat.
"Jangan bersandiwara, aku muak, dan ya, kau pikir setelah menikah dan jadi istri kedua kehidupanmu akan layak dan nyaman seperti ratu? Jangan mimpi,kalian berdua sudah membangunkan singa lapar!" Aku meradang bukan kepalang.
"Jannah ini bukan dirimu, istighfar jannah," kata Mas Ikbal sambil merangkul pundakku.
"Lepaskan! Kamu yang membuatku seperti ini, lagi pula ada pepatah yang mengatakan jika kau ingin melihat sisi lain seorang wanita, maka buat dia cemburu, dan kau sudah melakukannya, Mas."
"Bunda, Ayah mohon, lihat anak kita, kasihan dia, dia hanya melongo melihat orang tuanya ribut." Ia membujukku sambil meraih Raisa dari belakangku.
"Ini gara-gara kamu, Mas, aku benci kamu," kataku sambil merebut Raisa darinya dan membawanya keluar rumah.
Astagfirullah, pagi pagi mereka membuat diriku berdosa dengan marah dan berteriak-teriak, sungguh melihat kedua pasangan berbahagia itu membuat emosiku mendidih, cemburuku bergejolak dan rasa benciku semakin memuncak. Aku kehilangan kendali.
Kubawa Raisa keluar dari rumah yang penuh keributan itu, ke rumah tetangga dengan maksud mengantarnya bermain pada teman sebayanya.
"Mbak Jannah, ada apa sih, kok saya dengar ribut-ribut," kata Mbak Mira tetanggaku, putrinya memiliki anak sebaya dengan anakku.
"Gak apa-apa Mbak," kataku sambil menyeka air mataku yang meluncur tanpa mampu kutahan.
"Kalo ada masalah ngomong saja sama aku Mbak," katanya.
"Ga ada mbak, makasih ya, saya titip Raisa main sama mini," kataku berpura-pura.
"Kemarin saya lihat, pas jemur baju ada wanita cantik yang pakai baju pengantin? Itu siapa ya," lanjutnya.
Aku terdiam, aku tak tahu harus menjawab apa mungkin ia menangkap dari gesturku yang tidak nyaman, akhirnya dia berkata, "ya udah Mbak Jannah lanjut saja, nanti saya jaga Raisanya."
"Makasih Mbak."
*
Aku segera kembali ke rumah dan melanjutkan aksiku, membereskan rumah kuambil serbet dan sapu panjang untuk membersihkan langit-langit, suamiku yang tadinya duduk di meja makan bersama istrinya terlihat terkejut dan langsung bangun dari duduknya.
"Kamu gak pergi kerja, Mas."
"Aku gak nemuin baju," jawabnya.
"Subhanallah, baju pun harus dicarikan, apakah kini dua orang istri kurang melayanimu?'
"Bukan begitu Jannah, pakaianku ada di kamarmu semua." Ia memberi alasan sedang si wanita hanya berdiri menunduk sambil meremas jemarinya seperti biasa.
"Oh, aku lupa," kataku sinis.
Kuambil setengah dari isi lemari dan kuletakkan begitu saja di atas sofa ruang keluarga.
"Aku lupa bahwa kini pakaianmu pun harus dibagi dua, tidak hanya hatimu," kataku.
"Jannah kumohon ... aku mau berangkat kerja, mau mencari nafkah, jangan ada keributan lagi."
"Terserah kau saja." Aku mulai menjolok bingkai bingkai dengan sapu panjang, bingkai yang kudorong dengan sapu karena tempatnya tinggi akhirnya jatuh membentur lantai dan pecah berkeping keping, tak kusisakan semuanya hingga habis berjatuhan dan membuat ruang TV berantakan.
Mas Ikbal yang sedang mengenakan pakaiannya langsung berlari dan melihat kegiatanku di ruang keluarga ia terkesiap melihat semua bingkai di dinding sudah jatuh, patah, dan pecah berserakan.
"Jannah, apa ini?"
.
"Aku memindahkan dan akan kubuang semuanya, karena kurasa ini sudah tidak perlu."
"Kamu jangan membuatku marah, Jannah," ancamnya.
"Kamu yang sudah membuatku marah, Mas. Dan kini kamu mau menunjukkan dominasimu dalam rumah ini? Lalu wanita itu akan tertawa melihat kita bertengkar."
"Aku juga gak mau mbak Jannah dan mas Ikbal bertengkar, Itu bukan keinginanku, Mbak." Ia menimpali pembicaraan kami.
"Hei, Soraya, Sejak pagi hingga saat ini kegiatanku hanya berdiri dan berdiri saja, apa kau tidak ingin membereskan rumah? Kamu pikir aku pembantumu!"
.
"Cukup Jannah!" Mas Ikbal berteriak padaku.
Aku cukup terkesima melihat tingkahnya yang juga berubah, dulu suamiku amat lembut dan penuh kasih, kini ia sepertinya lebih condong pada istri mudanya.
"Jangan menguji kesabaranku, kalian istriku semuanya sama saja, sebagai istri tua harusnya kau memberi contoh, kita saling menghargai dan menjaga hati."
"Aku tertawa getir mendengarnya, "Apa? kini mas menceramahiku soal perkara menjaga hati orang lain, sedangkan Mas sendiri tidak menjaga perasaanku."
"Jannah, aku memilih Soraya sebagai adik madumu agar rumah kita menjadi 'jannah' yang sesungguhnya, surga untuk kita semua ...."
"Hentikan membicarakan surga, kalau mas sudah menghadirkan neraka. Kalian bahagia dan aku terluka."
"Aku melakukan sesuai aturan agama dan tidak melanggar, apa kamu yang ingin menentang syariat."
Prang!
Kutendang pigura yang ada di hadapanku hingga nyaris mengenai kakinya lalu beranjak menjauh,
"Bicara tentang syariat, bicara tentang ilmu, namun, di atas semua itu, seharusnya Mas mendahulukan adab, Mas ingin menjalankan Sunnah namun lupa bahwa sunah pun punya tata cara agar semuanya bisa dijalani dengan ikhlas dan bernilai ibadah."
Aku mendengkus pada mas Ikbal lalu aku berkata pada wanita yang berdiri tak jauh dariku ini,
"Soraya bereskan semua itu, dan ya, karena aku sudah mengosongkan dindingnya baik aku atau kamu tak ada seorang pun yang boleh menggantung photo.
"Mengapa sulit sekali berbicara padamu Jannah?" kata Mas Ikbal sambil mengacak rambutnya.
"Bahkan Ali bin Abi Thalib.ra, dia tidak pernah berpoligami karena Fatimah Az-Zahra tidak ridho dan mengadu pada ayahnya, dan karena itu, demi menjaga hati istrinya ia tidak melakukan hal yang membuat Fatimah menderita."
Suamiku mendengar itu hanya terdiam mungkin tercenung, sedangkan aku,
sambil berlalu kuambil semua buket bunga dan hiasan, serta lukisan yang bertema pemandangan indah, kutumpuk jadi satu lalu akan kuangkat ke gudang.
"Rumah ini sudah bukan lagi taman untukku jadi aku tak mau melihat ada bunga atau hiasan lagi, biarkan hanya dinding dan perabot saja. Dan ya, Soraya, aku tidak mau lagi melihatmu berkeliaran di waktu luangku, aku tak ingin terus menerus berdebat dengan mas Ikbal gara-gara kamu."
Kutinggalkan dua manusia tak tahu malu di hadapanku itu. Mungkin benar saat ini, reaksiku berlebihan, mungkin benar aku telah gila, mungkin benar aku berubah jahat, tapi sebelum menghakimi, cobalah rasakan jadi aku sehari saja, hanya sehari.
Rasakan semua luka dan sakit yang kian menusuk akibat kebohongan dan pengkhianatanya, kini ditambah lagi mereka tak segan-segan untuk memamerkan kebersamaan di depan matamu, apa yang akan kau lakukan.
.
"Kabar buruk apa?"tanyaku heran."Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pikiran dan semua kerinduanku tapi tetap saja, perasaan bersalah dan rasa ingin memperbaiki keadaan timbul di dalam hatiku," ucapnya sambil memandang mataku dengan penuh makna."Aku tak paham ....""Aku masih berharap kita bersama lagi. Demi anak anak, demi aku, demi harapan yang pernah kita bangun.""apa kau lupa tentang perlakuanmu dan apa saja yang sudah terjadi dalam hidup kita masing masing.""Ya, aku bersalah menikahi angel secara diam diam, aku mengulangi kesalahan suamimu yang fatal. tapi ...""Sudah, jangan dilanjutkan," cegahku. "aku tak mau mengenang apapun tentang masa lalu.""Aku hampir kehilangan dirimu dan semangat hidupku saat kau bersama dengan wira. Tapi, setelah bertemu dengannya dan mengetahui hal sebenarnya harapanku tumbuh kembali. Aku harap kita bisa ....""apa?""rujuk lagi," jawabnya sambil menatap mataku."Jadi itu kabar buruknya?""ya, bahwa aku sulit move on dan hidup tanpamu. Maukah
"Sebaiknya segera tentukan pilihanmu Nak, Ibu juga tidak ingin kamu terus-menerus sendiri seperti itu, karena penilaian orang lain tentang status janda sangat merugikan posisimu," ujar Ibu ketika aku menelponnya."Iya Bu, aku tahu tapi aku belum menentukan pilihanku, aku belum siap untuk naik ke jenjang berikutnya.""Ada dua pria yang begitu tulus dan menyayangimu, Nduk, kamu tinggal memilihnya," ujar Ibu."Bagaimanapun itu adalah pilihan yang sulit, Bu," gumamku pelan."Raisa menyukai salah satu dari pria itu?" tanya Ibu lagi."Raisa ingin aku kembali kepada Mas Raffiq.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?""Entahlah... masih bingung," jawab ku sambil menghela nafas pelan."Lalu apa yang terjadi tentang Soraya?""Dia masih ditahan di rumahnya, Bu, polisi belum memiliki cukup bukti untuk bisa menjebloskan dia ke penjaara.""Jelas-jelas dia yang menyerang wira dengan air keras," ujar Ibu sedikit ingin marah."Tapi keluarga dan pengacaranya memiliki pengaruh besar, Bu. Mereka mati-m
"Jangan dipikirkan apa yang dikatakan Mama dia memang seperti itu," bisik Wira kepadaku ketika Mamanya ke kamar mandi."Aku tak mempermasalahkannya," jawabku pelan sambil menyuapinya."Mbak ... aku berterimakasih atas semua perhatianmu, tapi sebaiknya Mbak tidak usah menjengukku lagi." Aku mencoba menelisik maksud dari ucapannya, mengapa dia harus mengatakan hal semacam itu."Apa yang kau katakan, aku tidak mengerti," ujarku."Aku sudah ikhlas melepaskan Mbak Jannah dengan Mas Rafiq." Sorot matanya yang sendu membuatku terenyuh."Jangan melantur seperti ini sebaiknya kamu istirahat saja." Aku membenahi selimut yang menutupi tubuhnya."Aku sungguh-sungguh, Mbak. Aku sadar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Aku tahu, meski kita berteman tidak serta merta membuat hal itu menjadi cinta untukmu aku menyadari semua itu dan aku menyesali sikap bodohku untuk memaksakan dirimu menikahiku, Mbak," ujarnya sambil tersenyum getir."Tidak masalah aku memahami perasaanmu, aku bisa memaklumi sem
Sejujurnya aku lelah dengan semua ini, dengan takdir berliku liku yang mewarnai hidupku. Andai bisa, aku ingin lari dan mengamankan diri ini dari dunia yang begitu kejam.Baru saja aku dan kedua anakku mengecap ketenangan, dan menikmati hidup kami, kini ujian menghantam silih berganti, membuatku sangat ingin menyerah dari semua ini, andai aku bisa, sejenak lepas dari semua kesulitan yang membelit ini. Sungguh, aku letih.Masih segar dalam ingatan, bagaimana ketika Wira merintih di ranjangnya, sementara keluarganya terus mendesakku agar mau menerima lamaran bankir kaya itu, tiba-tiba Mas Rafiq datang dan berteriak dengan tatapan melotot penuh amarah bahwa dia menolak semua cara mereka menekanku untuk menikahi anggota keluarga mereka."Apakah musibah ini akan kalian gunakan untuk menekan Jannah?""Hei, apa maksudmu! Anakku terluka gara-gara dia, tidak tahu apa yang akan terjadi kepada putraku kedepannya, apakah dia masih seperti semula atau malah cacat," ujar Jeng Zahrina sambil terdu
Aku kembali ke rumah dengan tubuh dan pikiran yang sudah lelah kubuka pintu utama lalu menuju kursi tamu meletakkan tasku lalu membaringkan diri dengan lunglai di sana.Pikiranku melayang pada rentetan kejadian yang begitu mengejutkan hari ini, setelah didesak untuk "mau menerima" mengambil hati Wira, akhirnya Jeng Zahrina mau tenang dan menguatkan hatinya untuk tidak menangis lagi.Besok mereka akan melakukan operasi untuk memperbaiki kulit punggung dan wajah Wira yang rusak akibat siraman air keras. Ah, kembali pikiranku melayang kepada mantan maduku itu, entah di mana dia berada dan apa yang sedang dia lakukan, kemungkinan saat ini dia sedang bersembunyi di suatu tempat atau mungkin juga duduk santai di rumah orang tuanya.Tring ... Ponsel berbunyi.Kuraih benda itu dengan setengah lesu lalu membaca nama siapa yang sedang menelpon, dan ternyata itu adalah Rina."Halo Rin ada kabar terbaru?""Laporan sudah kami selesaikan, besok polisi akan menuju tempat kejadian untuk mengamankan
Sesegera mungkin aku meluncur membawa wira ke rumah sakit bersama kedua asistenku, tak lupa aku hubungi nomor Mama Wira yang memang sudah tersimpan di ponselku karena dia adalah pelanggan tetap toko kami."Halo assalamualaikum Jeng Zahrina," sapaku."Waalaikumsalam ada apa kamu menelpon saya," tanya Nyonya Zahrina dengan nada sedikit tidak suka."Maaf karena aku harus memberitahukan hal penting, tapi mohon tenangkan diri Jeng ya," ujarku."Katakan saja apa yang sedang terjadi?""Tadinya Wira datang ke tokoku dan duduk sebentar lalu pergi, namun tak lama kemudian Soraya datang dan berniat menyiramkan air keras kepadaku, namun tanpa diduga-duga Wira datang lagi dan terkena siraman air keras," tuturku hati-hati."Apa?!""Iya, saat ini aku dalam perjalanan membawanya ke rumah sakit.""Kalo terjadi apa-apa dengan anak saya kamu harus bertanggung jawab." Ucapan Mama Wira membuat pikiranku kacau."Kemana kamu akan membawa anakku!" pekiknya lagi."Ke Rumah Sakit Budi Kusuma Jeng," jawabku.