LOGIN"Kenapa kamu berani menginjakkan kaki ke sini? Apakah kamu sudah sangat siap pangkatmu dicopot?" Jenderal Saga menatap Aldev remeh.
Aldev berdiri tegap, wajahnya yang keras itu tak sedikit pun memperlihatkan senyuman manis yang nyaman dipandang. Perlahan dia berjalan mendekat kepada Jenderal Saga, meletakkan sebuah foto di atas meja. "Apa ini?" tanya jenderal. Jenderal Saga membuka foto tersebut, kemudian senyuman kecil bertengger di bibirnya. "Berapa bayaran yang kamu berikan, Dev? Perempuan secantik dan semanis ini mau menikah denganmu yang kaku begini?" "Kenapa ayah menganggap aku begitu? Ayah salah besar! Aku tampan dan anak seorang jenderal. Perempuan mana yang tidak ingin menjadi istriku. Mencari perempuan itu sangatlah mudah bagiku, Yah. Hanya saja akunya yang belum ingin menikah selama ini." Jenderal mendengkus kasar mendengar kesombongan anak semata wayangnya itu. "Itulah yang membuat perempuan enggan, Dev. Sikapmu begitu sombong dan arogan. Tidak mengapa, yang terpenting kamu harus secepatnya membawa perempuan itu ke hadapanku. Biar aku yang langsung menanyakan padanya tentang keputusannya, apakah dia yakin akan menikahi lelaki yang mungkin akan membuatnya kesepian dan menderita." Sudah menjadi hal biasa diremehkan oleh seorang ayah bagi Aldev. Bahkan, didikan yang diberikan padanya sejak kecil pun sangat keras. "Baik, Besok Aldev akan bawa dia ke hadapan ayah. Aldev pamit menjalankan tugas...Laporan selesai!" Aldev beranjak dari rumah jenderal. Ia bergegas menuju bataylon—satuan militer yang biasanya terdiri dari sekitar 500 hingga 1000 prajurit yang dibagi menjadi beberapa kompi. Aldev bertugas sebagai Danyon tentunya memiliki peran penting dalam memberikan arahan, komando, strategi serta administrasi. Dalam menjalankan tugas, Aldev tak main-main. Dia dikenal dengan perwira tegas dan tidak pernah terikat satu kesalahan apa pun. "Bagaimana di lapangan?" tanya Aldev. "Siap laporan!" Salam hormat dari Rigen—wakil komandan bataylon(Wadan Yon). "Aman terkendali komandan. Laporan selesai!" "Bagus!" _Goodnovel_ "Cari tau detil tentang perempuan itu! Aku perlu untuk malam ini juga!" titah Aldev pada Serda Suho. "Siap laksanakan, Letkol!" Aldev berdiam di Bachelor Officers Quarters(BOQ)—asrama yang ditempati oleh perwira atau bintara yang belum berstatus menikah. Ketika mereka menikah, mereka akan tinggal di perumahan dinas yang berada di kompleks perumahan yang disediakan militer. "Jadi, mereka tinggal di suatu desa kecil. Sepertinya, aku harus ke sana!" Aldev memegangi dagunya dengan jari telunjuknya, sembari membaca informasi yang baru saja ia dapatkan. "Zalra Ayuzahra... Bagaimana pun aku harus melenyapkan jalan menuju bukti." Keadaan malam sunyi karena memang semua anggota hidup sangat disiplin. Aldev sibuk untuk menyusun rencana, melenyapkan bukti yang merujuk atas kesalahan yang diperbuat olehnya—menghilangkan nyawa warga sipil yang tidak mempunyai kesalahan apa pun. Pagi harinya, Aldev memasuki ruang makan perwira. Pemandangan yang tersusun rapi dan penuh dengan kedisiplinan. Tak ada suara gesekan sendok dengan piring atau pun ricuhnya perencanaan antara anggota sebelum makan. Selsai sarapan, Aldev segera menuju markas rumah sakit utama untuk menemui Zalra yang masih dirawat di sana. Aldev membawa sebuah kertas yang siap untuk dibubuhi tanda tangan di atas materai pada pojok bagian bawah kertasnya. "Ini, tanda tangani cepat!" ucap Aldev segera. Zalra, jemarinya sibuk mengikat rambut panjangnya menggunakan jepitan rambut. "Kalau masuk ruangan orang minimal ketuk pintu dulu!" ucapnya kesal. "Maaf, siap salah!" jawab Aldev tegas. "Euhh... Untung aku orang baik. Sini, biar aku baca dulu!" Meraih kertas bermaterai yang berisi perjanjian nikah kontrak antara mereka berdua. "Besok kamu harus ikut aku ke rumah Jenderal!" Zalra hanya mengangguk, kedua bola mata Zalra bergerak menyusuri tiap kata yang tertera, mulutnya ikut komat kamit namun tak mengeluarkan suara. Tiba saat di mana matanya terdiam, melihat titik yang membuat bola matanya hampir keluar. "Apa, dua ratus juta?" "Kenapa, kurang?" Mulut Zalra masih menganga. Segera kepalanya menggeleng. "Bukan itu..." "Meski pun tidak mengingat apa pun. Jiwa miskin akan tetap melekat." Aldev menyilangkan tangan ke dada. Zalra memiringkan bibirnya. "Mulai lagi," ucapnya. "Tunggu apalagi? Tanda tangani cepat!" "Sebentar! Tapi, apa maksud dari kata-kata ini!" Menunjuk ke suatu kalimat dari surat perjanjian. "Oh itu. Maksudnya adalah: Uang kesepakatan akan diberikan setelah kontrak selesai, yakni selama satu tahun. Jika kesepakatan putus di tengah jalan entah apa pun alasanya, artinya uang hangus. Paham!" "OMG... Hello!!" Zalra memutar bola matanya. "Keberatan? Kamu bisa ambil kapan pun. Tapi, jika ternyata kamu tidak mau menyelesaikan sampai satu tahun, maka kamu harus mengembalikan seluruh uang yang sudah kamu ambil." "Cuman satu tahun kan?" Aldev mengangguk yakin. Zalra mengulurkan tangan. "Baik, setuju!" "Satu hal lagi. Kamu tidak boleh menanyakan hal apa pun tentang kamu saat bersamaku. Hiduplah seperti mana kamu memulai kehidupanmu kembali!" "Baiklah... Dua ratus jutaku jangan lupa!" "Dasar mata duitan!" gumam Aldev. "Lagi! Jangan pernah jatuh cinta padaku!" Aldev menegaskan. "Heyy... Kamu memang tampan, Tuan. Tapi, sikap burukmu itu akan membuat perempuan berpikir beribu kali untuk jatuh cinta padamu." Zalra memiringkan bibirnya, mengolok. "Aku yakin, kamu yang akan terpesona dengan kecantikanku yang paripurna ini," celetuk Zalra lancar. Aldev mengepalkan tangan. "Kamu!" "Cukup! Dilarang berisik di dalam rumah sakit. Sebaiknya anda keluar sekarang!" Zalra menunjuk ke arah pintu keluar. Zain merapikan kembali seragamnya. "Baik. Jangan lupa besok berdandanlah yang rapi!" "Iya... Nih.. Sudah, pergi sana! Lama-lama kamu di sini, bikin aku muak!" Aldev keluar dari ruangan pasien dengan perasaan lega. Tanda tangan sudah dia dapatkan, serta persyaratan juga sudah disetujui. (Lapor Letkol! Rumah orang tua pasien sudah ditemukan. Laporan selesai!) Suara dari balik telepon. (Kerja bagus. Laporan diterima) jawab Aldev dari ujung telepon. "Semesta berpihak padaku," gumam Aldev senang."Kenapa kamu nggak bilang kalau pernikahan kita akan digelar besok?" Zalra tak habis pikir. Di koridor menuju asrama mereka saling berbincang. "Aku juga nggak ekspekt bakal secepat ini, Ra. Mau bagaimana lagi, keputusan ayah itu mutlak dan harus dituruti." "Sebaiknya sekarang kamu beresin barang-barang kamu di asrama. Kita akan pindah ke rumah dinas." "Malas banget." "Hey, ingat! Kamu sudah menanda tangani kontrak." Menujuk tepat di wajah Zalra. Suara jejak kaki mendekat, semakin mendekat dan terdengar berlari. "Letkol Aldev. Apa maksud undangan ini?" Lidya datang dengan air mata yng berderai. Ia memperlihatkan layar gawainya kepada Aldev. "Aku akan menikah, besok," jawab Aldev. "Menikah? Tapi, dengan siapa?" Segera tangan Aldev menarik bahu Zalra, merapatkan dengan tubuhnya. Lidya menatap kaget. "Kamu?" ucapnya dengan mata yang melotot ke arah Zalra. "Apa?" Zalra menantang. "Argh.. Anda yakin memilih bocah ingusan ini?" "Apa maksud kamu bocah ingusa
Zalra sudah sampai di asrama. Asrama yang terdiri dari bangunan dua lantai, cat dindingnya putih kusam, beberapa bercak lembap menghiasi sudut atap. Di dalam kamar-kamar kecil berukuran empat kali lima meter, dokter-dokter muda tengah beristirahat. Sebagian merebahkan tubuh di ranjang susun, ada pula yang duduk bersila di depan laptop, menyusun laporan jaga hari ini. Suara denting sendok dari dapur bersama terdengar pelan. Seorang perempuan berbadan tegap sedang mengaduk mi instan dalam panci kecil. Matanya sembab—barangkali karena tekanan kerja, atau pasien yang tak tertolong siang tadi. Di lantai bawah, rak sepatu berjajar rapi. Sepatu putih, sepatu pantofel, dan sandal jepit milik para dokter muda berdampingan dengan bot militer. Di dinding, tergantung papan peraturan: "Jam malam pukul 21.00. Dilarang menerima tamu tanpa izin. Jaga kebersihan dan kedisiplinan." Beberapa kamar masih menyala lampunya. Dua koas perempuan tengah bergosip sambil membersihkan stetoskop, membicara
"Zalra, hari ini kamu sudah boleh kembali ke asrama, ya! Nanti, ada Pratu Lila yang akan mengantarkanmu." Dokter Manda membantu Zalra yang sudah diperbolehkan keluar dari ruang inap, namun dia masih dipantau oleh rekannya. "Terima kasih, Dokter." Manda tersenyum manis. Seseorang perempuan berbaju seragam berwarna hijau pupus masuk ke ruangan, dandananya rapi dengan rambut sebahu. "Mayor memanggil saya?" tanyanya. "Benar, Pratu Lila. Ini, pasien yang diminta Letkol Aldev untuk diantarakan ke asrama." Lila mendekat, mengangguk anggun namun tegas. "Mari, saya antarkan!" ucapnya lembut. Zalra berjalan beriringan bersama dengan Lila, menjelajahi koridor yang sunyi. Jejak kaki mereka menyeru, tak seperti rumah sakit biasanya yang penuh dengan pasien. "Emmm... Di sini memang sepi begini?" tanya Zalra yang sedari tadi memerhatikan sekitar. Banyak pintu raungan tersedia, namun tak semua berisi pasien. "Benar, Zalra. Justru, kalau rumah sakit penuh, berarti keadaan militer
"Kenapa kamu berani menginjakkan kaki ke sini? Apakah kamu sudah sangat siap pangkatmu dicopot?" Jenderal Saga menatap Aldev remeh. Aldev berdiri tegap, wajahnya yang keras itu tak sedikit pun memperlihatkan senyuman manis yang nyaman dipandang. Perlahan dia berjalan mendekat kepada Jenderal Saga, meletakkan sebuah foto di atas meja. "Apa ini?" tanya jenderal. Jenderal Saga membuka foto tersebut, kemudian senyuman kecil bertengger di bibirnya. "Berapa bayaran yang kamu berikan, Dev? Perempuan secantik dan semanis ini mau menikah denganmu yang kaku begini?" "Kenapa ayah menganggap aku begitu? Ayah salah besar! Aku tampan dan anak seorang jenderal. Perempuan mana yang tidak ingin menjadi istriku. Mencari perempuan itu sangatlah mudah bagiku, Yah. Hanya saja akunya yang belum ingin menikah selama ini." Jenderal mendengkus kasar mendengar kesombongan anak semata wayangnya itu. "Itulah yang membuat perempuan enggan, Dev. Sikapmu begitu sombong dan arogan. Tidak mengapa, yang
Koridor rumah sakit selalu sepi, tak banyak orang yang berlalu lalang di sana. Suasana senyap, penuh kedisiplinan. Pakaian para perawat serta pasien rapi dan senada. Suara sepatu yang menginjak ubin terdengar menyeru—Aldev berjalan terburu-buru. Hiasan di dinding diisi dengan papan bertuliskan kata-kata motivasi untuk para penduduk militer. Kerapian dan kedisiplinan sangat dijunjung ketat. Hanya dua ruangan yang nampak bercahaya terang—unit gawat darurat dan ruang operasi. Yang lainnya hanya cahaya redup dan sepi. Seorang perempuan terbaring di atas ranjang hospital, pakaiannya tetap rapi dan harum. Netranya sudah terbuka, dia menatap nanar ke arah plafon. Aldev melangkah perlahan, memasuki ruangan. Seorang dokter berjas putih menyapanya, merincikan apa yang sang pasien alami saat ini. "Apa, mengalami amnesia?" tutur Aldev. Sejenak ia menilik ke arah perempuan itu. "Iya, Letkol. Akibat luka di bagian kepala, membuat pasien kehilangan sebahagian ingatannya. Sampai nam
Hujan deras menyapa bumi, suara air yang berjatuhan itu membuat “Aldev” termenung memangku dagu pada kedua lututnya. Wajahnya ditekuk, seragam berwarna hijau pupus yang dikenakannya nampak bercak percikan air bercampur percikan darah—pertanda bahwa ia baru saja menerjang hujan. Ia baru saja membawa dua orang saudara kembar ke rumah sakit, dengan langkah yang tertatih dan hati yang tak karuan. Dering ponsel berbunyi, mengagetkannya. (Dev, pulang! Ayah mau bicara!) Aldev tak menjawab, ia hanya diam mendengarkan suara di balik panggilan telepon itu. (Aku beri kamu waktu setengah jam!) Panggilan telepon terputus. Aldev mendengkus kasar, bangkit dari kursi besi yang tersedia di depan ruangan gawat darurat. Peluh dingin masih terkucur dari pelipisnya. Rambut yang hampir botak itu tertutup sempurna dengan topi. Aldev, perwira TNI AD baru saja mendapatkan pangkat Letnan kolonel yang bertugas sebagai komando di bataylon itu nampak tak tenang. Ia baru saja menembakkan p







