Share

Perencanaan Menikah

last update Last Updated: 2025-06-22 20:53:28

Zalra sudah sampai di asrama. Asrama yang terdiri dari bangunan dua lantai, cat dindingnya putih kusam, beberapa bercak lembap menghiasi sudut atap. Di dalam kamar-kamar kecil berukuran empat kali lima meter, dokter-dokter muda tengah beristirahat. Sebagian merebahkan tubuh di ranjang susun, ada pula yang duduk bersila di depan laptop, menyusun laporan jaga hari ini.

Suara denting sendok dari dapur bersama terdengar pelan. Seorang perempuan berbadan tegap sedang mengaduk mi instan dalam panci kecil. Matanya sembab—barangkali karena tekanan kerja, atau pasien yang tak tertolong siang tadi.

Di lantai bawah, rak sepatu berjajar rapi. Sepatu putih, sepatu pantofel, dan sandal jepit milik para dokter muda berdampingan dengan bot militer. Di dinding, tergantung papan peraturan:

"Jam malam pukul 21.00. Dilarang menerima tamu tanpa izin. Jaga kebersihan dan kedisiplinan."

Beberapa kamar masih menyala lampunya. Dua koas perempuan tengah bergosip sambil membersihkan stetoskop, membicarakan perwira tampan berpangkat letnan kolonel yang beberapa hari ini datang ke rumah sakit.

"Nama kamu siapa?" tanya perempuan berbaju kaus tangan pendek.

"Aku, Zalra." Mengulurkan tangan.

"Aku Nia." Meraih uluran tangan Zalra. "Emmm... Kalau boleh tau, kamu siapanya Letkol Aldev?" sambung Nia.

Semua yang tadinya sibuk dengan persiapan tugas mereka, segera turun menggeromboli Zalra.

Zalra kebingungan, ia menggaruk pipi yang tak gatal. Menatap setiap mata yang sedang melotot ke arahnya.

"Iya, aku penasaran. Kenapa seorang Letkol Aldev bisa-bisanya jengukin kamu, anak baru." Novita namanya, salah satu yang tertua di dalam asrama ini. Ia yang bertugas memerhatikan tiap anggota kamar.

"Hee... Enggak, bukan apa-apa. Aku nggak kenal sama dia, pun sebaliknya." Zalra kebingungan harus menjawab apa.

Tok..tok..tok

"Siapa yang bertamu jam segini?" ucap Novita menatap tiap anggotanya satu persatu.

Serempak gelengan kepala menjawab.

Novita mengambil napas dan membuangnya perlahan. "Awas ya kalau nggak ngaku. Nanti aku lagi yang kena." Novita berdiri, siap membuka pintu.

Ceklek—pintu terbuka.

"Letkol Aldev, ada apa?" tanya Novita sedikit bergetar.

"Malam, saya mau cari Zalra yang tadi diang baru masuk ke asrama ini. Ada?"

"Tentu, ada. Letkol. Saya panggilkan."

Novita segera kembali masuk ke dalam asrama. "Zalra, Letkol Aldev memanggilmu!" Memutar bola mata, malas. Sejak pertama mereka menginjakkan kaki ke asrama ini, mayoritas dari mereka selalu saja membincangkan tentang Aldev. Tak sedikit dari mereka mengagumi sosok Aldev yang masih melajang di usia yang sudah matang itu.

"Saya izin keluar sebentar!"

"Tuh kan, apa aku bilang. Kayaknya memang ada sesuatu antara mereka," celetuk Savitra.

Zalra keheranan mendapati satu asramanya begitu sangat memuja sosok Aldev yang menurutnya memiliki perangai yang sangat buruk itu. "Percuma juga tampan kalau sikapnya angkuh begitu," celetuk Zalra tanpa sadar sudah berada di hadapan Aldev.

Aldev mengangkat sebelah keningnya. Tidak terima merasa diremehkan. "Siapa maksud kamu?"

Zalra segera menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. "Ngapain kamu ke sini, ini jam larangan berkunjung tau! Letkol kok nggak tau jadwal, nggak disiplin!"

'Dasar ni bocah. Masa iya aku akan tinggal bersama dia selama satu tahun?' gumam Aldev dalam hati.

Koridor yang tidak begitu luas, lampu yang tidak benderang hanya memberikan cahaya remang. Aldev masih berdiri di depan asrama bersama dengan Zalra.

"Aku hanya ingin memberikan ini, pakaian yang lebih layak kamu gunakan untuk besok bertemu Jenderal!" Menyodorkan paper bag berisi pakaian pada Zalra.

Zalra mengintip paper bag tersebut. "Oh, baik. Terima kasih. Sudah kan, kami mau istirahat sekarang!" Membalikkan badan.

Aldev mencegat, memgangi pergelangan tangan Zalra.

"Tunggu sebentar! Masih ada yang perlu kamu lakukan."

Zalra tak membalikkan badan. "Apa itu?"

"Bagaimana pun, kita harus bertingkah saling mencintai di depan Jenderal dan Ibu. Kamu mengerti, kan?" Nada bicara Aldev tiba-tiba merendah, mungkin baru pertama kali terdengar selembut itu.

"Ya, aku mengerti. Selamat malam."

Pintu tertutup sebelum Aldev mengeluarkan kata-kata penutupnya.

"Perempuan itu. Andai saja aku tidak melakukan sebuah kesalahan fatal itu. Mungkin aku tidak perlu bertingkah bod*h seperti ini. Apalagi memohon pada seorang perempuan," gerutu Aldev kesal.

Ke esokan harinya. Setelah Aldev berangkat dari bataylon memberikan komando pada anggota. Ia bergegas menuju pangkalan militer. Di depan gerbang, Zalra yang sudah berdandan cantik dan rapi tengah menunggu di kursi besi.

Sedetik, Aldev sempat terpana melihat penampilan Zalra yang seperti sudah siap menjadi barisan para ibu persit itu.

"Kenapa lama sekali? Aku sudah hampir satu jam menunggu di sini!"

"Bawel! Cepetan naik!" Aldev tak turun dari mobilnya.

Zalra menghentakkan kaki ke tanah. "Ishhh....Dasar laki-laki nggak peka!"

Zalra duduk di mobil jok tengah, wajahnya cemberut, menanggung kesal yang sangat dalam pada laki-laki yang tengah sibuk menyetir di depannya. Namun, Aldev sama sekali tak menghiraukan.

Sesampainya di rumah Jenderal Saga yang dijaga ketat. Zalra disambut dengan baik dan ramah. Di ruang tamu yang dihias dengan foto-foto para pahlawan serta prajurit itu menambah kesan kemewahan dan kesakralan.

"Silakan duduk!" ucap Jenderal Saga.

Zalra menurut, ia duduk dengan sopan di sofa. Di samping Jenderal Saga, ada snag istri yang duduk di kursi roda.

"Apa benar kamu Zalra?"

"Iya, Jenderal. Saya Zalra, dokter koas yang baru di rumah sakit pusat militer ini."

Mata Jenderal sejenak menatap ke arah Aldev yang duduk tegap.

"Apa kamu yakin mau menikah dengan Aldev?"

"Yakin, Jenderal. Kenapa tidak?"

"Kamu tidak dipaksa olehnya kan? Jika kamu mendapati suatu tekanan, jangan takut untuk melapor."

Zalra menatap ke arah Aldev. "Tidak, Jenderal. Sama sekali tidak. Bahkan, kami berdua saling mencintai. Kan, Sayang?" Segera Zalra menginjak kaki Aldev.

Aldev kaget, menahan sakit di kakinya. "I-iya, Yah. Kenapa Ayah berpikiran begitu. Kami berdua saling mencintai dan sudah berpikir dengan matang untuk menikah." Memegangi tangan Zalra. Keduanya kesulitan berpura-pura merasa nyaman berdekatan.

"Baguslah kalau begitu. Kami merasa tenang saat mendengar pernyataan itu dari kamu sendiri kan, Bu?"

"Kalau begitu, pernikahan kalian akan dilaksanakan besok hari."

"Apa, besok?" ucap Zalra dan Aldev bersamaan, kaget.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri Letnan Arogan   Seseorang Yang Perhatian

    "Kenapa kamu nggak bilang kalau pernikahan kita akan digelar besok?" Zalra tak habis pikir. Di koridor menuju asrama mereka saling berbincang. "Aku juga nggak ekspekt bakal secepat ini, Ra. Mau bagaimana lagi, keputusan ayah itu mutlak dan harus dituruti." "Sebaiknya sekarang kamu beresin barang-barang kamu di asrama. Kita akan pindah ke rumah dinas." "Malas banget." "Hey, ingat! Kamu sudah menanda tangani kontrak." Menujuk tepat di wajah Zalra. Suara jejak kaki mendekat, semakin mendekat dan terdengar berlari. "Letkol Aldev. Apa maksud undangan ini?" Lidya datang dengan air mata yng berderai. Ia memperlihatkan layar gawainya kepada Aldev. "Aku akan menikah, besok," jawab Aldev. "Menikah? Tapi, dengan siapa?" Segera tangan Aldev menarik bahu Zalra, merapatkan dengan tubuhnya. Lidya menatap kaget. "Kamu?" ucapnya dengan mata yang melotot ke arah Zalra. "Apa?" Zalra menantang. "Argh.. Anda yakin memilih bocah ingusan ini?" "Apa maksud kamu bocah ingusa

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri Letnan Arogan   Perencanaan Menikah

    Zalra sudah sampai di asrama. Asrama yang terdiri dari bangunan dua lantai, cat dindingnya putih kusam, beberapa bercak lembap menghiasi sudut atap. Di dalam kamar-kamar kecil berukuran empat kali lima meter, dokter-dokter muda tengah beristirahat. Sebagian merebahkan tubuh di ranjang susun, ada pula yang duduk bersila di depan laptop, menyusun laporan jaga hari ini. Suara denting sendok dari dapur bersama terdengar pelan. Seorang perempuan berbadan tegap sedang mengaduk mi instan dalam panci kecil. Matanya sembab—barangkali karena tekanan kerja, atau pasien yang tak tertolong siang tadi. Di lantai bawah, rak sepatu berjajar rapi. Sepatu putih, sepatu pantofel, dan sandal jepit milik para dokter muda berdampingan dengan bot militer. Di dinding, tergantung papan peraturan: "Jam malam pukul 21.00. Dilarang menerima tamu tanpa izin. Jaga kebersihan dan kedisiplinan." Beberapa kamar masih menyala lampunya. Dua koas perempuan tengah bergosip sambil membersihkan stetoskop, membicara

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri Letnan Arogan   Nyonya Zalra

    "Zalra, hari ini kamu sudah boleh kembali ke asrama, ya! Nanti, ada Pratu Lila yang akan mengantarkanmu." Dokter Manda membantu Zalra yang sudah diperbolehkan keluar dari ruang inap, namun dia masih dipantau oleh rekannya. "Terima kasih, Dokter." Manda tersenyum manis. Seseorang perempuan berbaju seragam berwarna hijau pupus masuk ke ruangan, dandananya rapi dengan rambut sebahu. "Mayor memanggil saya?" tanyanya. "Benar, Pratu Lila. Ini, pasien yang diminta Letkol Aldev untuk diantarakan ke asrama." Lila mendekat, mengangguk anggun namun tegas. "Mari, saya antarkan!" ucapnya lembut. Zalra berjalan beriringan bersama dengan Lila, menjelajahi koridor yang sunyi. Jejak kaki mereka menyeru, tak seperti rumah sakit biasanya yang penuh dengan pasien. "Emmm... Di sini memang sepi begini?" tanya Zalra yang sedari tadi memerhatikan sekitar. Banyak pintu raungan tersedia, namun tak semua berisi pasien. "Benar, Zalra. Justru, kalau rumah sakit penuh, berarti keadaan militer

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri Letnan Arogan   Berusaha Melenyapkan Bukti

    "Kenapa kamu berani menginjakkan kaki ke sini? Apakah kamu sudah sangat siap pangkatmu dicopot?" Jenderal Saga menatap Aldev remeh. Aldev berdiri tegap, wajahnya yang keras itu tak sedikit pun memperlihatkan senyuman manis yang nyaman dipandang. Perlahan dia berjalan mendekat kepada Jenderal Saga, meletakkan sebuah foto di atas meja. "Apa ini?" tanya jenderal. Jenderal Saga membuka foto tersebut, kemudian senyuman kecil bertengger di bibirnya. "Berapa bayaran yang kamu berikan, Dev? Perempuan secantik dan semanis ini mau menikah denganmu yang kaku begini?" "Kenapa ayah menganggap aku begitu? Ayah salah besar! Aku tampan dan anak seorang jenderal. Perempuan mana yang tidak ingin menjadi istriku. Mencari perempuan itu sangatlah mudah bagiku, Yah. Hanya saja akunya yang belum ingin menikah selama ini." Jenderal mendengkus kasar mendengar kesombongan anak semata wayangnya itu. "Itulah yang membuat perempuan enggan, Dev. Sikapmu begitu sombong dan arogan. Tidak mengapa, yang

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri Letnan Arogan   Perjanjian menikah Kontrak

    Koridor rumah sakit selalu sepi, tak banyak orang yang berlalu lalang di sana. Suasana senyap, penuh kedisiplinan. Pakaian para perawat serta pasien rapi dan senada. Suara sepatu yang menginjak ubin terdengar menyeru—Aldev berjalan terburu-buru. Hiasan di dinding diisi dengan papan bertuliskan kata-kata motivasi untuk para penduduk militer. Kerapian dan kedisiplinan sangat dijunjung ketat. Hanya dua ruangan yang nampak bercahaya terang—unit gawat darurat dan ruang operasi. Yang lainnya hanya cahaya redup dan sepi. Seorang perempuan terbaring di atas ranjang hospital, pakaiannya tetap rapi dan harum. Netranya sudah terbuka, dia menatap nanar ke arah plafon. Aldev melangkah perlahan, memasuki ruangan. Seorang dokter berjas putih menyapanya, merincikan apa yang sang pasien alami saat ini. "Apa, mengalami amnesia?" tutur Aldev. Sejenak ia menilik ke arah perempuan itu. "Iya, Letkol. Akibat luka di bagian kepala, membuat pasien kehilangan sebahagian ingatannya. Sampai nam

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri Letnan Arogan   Tuntutan Menikah

    Hujan deras menyapa bumi, suara air yang berjatuhan itu membuat “Aldev” termenung memangku dagu pada kedua lututnya. Wajahnya ditekuk, seragam berwarna hijau pupus yang dikenakannya nampak bercak percikan air bercampur percikan darah—pertanda bahwa ia baru saja menerjang hujan. Ia baru saja membawa dua orang saudara kembar ke rumah sakit, dengan langkah yang tertatih dan hati yang tak karuan. Dering ponsel berbunyi, mengagetkannya. (Dev, pulang! Ayah mau bicara!) Aldev tak menjawab, ia hanya diam mendengarkan suara di balik panggilan telepon itu. (Aku beri kamu waktu setengah jam!) Panggilan telepon terputus. Aldev mendengkus kasar, bangkit dari kursi besi yang tersedia di depan ruangan gawat darurat. Peluh dingin masih terkucur dari pelipisnya. Rambut yang hampir botak itu tertutup sempurna dengan topi. Aldev, perwira TNI AD baru saja mendapatkan pangkat Letnan kolonel yang bertugas sebagai komando di bataylon itu nampak tak tenang. Ia baru saja menembakkan p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status