LOGIN"Zalra, hari ini kamu sudah boleh kembali ke asrama, ya! Nanti, ada Pratu Lila yang akan mengantarkanmu." Dokter Manda membantu Zalra yang sudah diperbolehkan keluar dari ruang inap, namun dia masih dipantau oleh rekannya.
"Terima kasih, Dokter." Manda tersenyum manis. Seseorang perempuan berbaju seragam berwarna hijau pupus masuk ke ruangan, dandananya rapi dengan rambut sebahu. "Mayor memanggil saya?" tanyanya. "Benar, Pratu Lila. Ini, pasien yang diminta Letkol Aldev untuk diantarakan ke asrama." Lila mendekat, mengangguk anggun namun tegas. "Mari, saya antarkan!" ucapnya lembut. Zalra berjalan beriringan bersama dengan Lila, menjelajahi koridor yang sunyi. Jejak kaki mereka menyeru, tak seperti rumah sakit biasanya yang penuh dengan pasien. "Emmm... Di sini memang sepi begini?" tanya Zalra yang sedari tadi memerhatikan sekitar. Banyak pintu raungan tersedia, namun tak semua berisi pasien. "Benar, Zalra. Justru, kalau rumah sakit penuh, berarti keadaan militer sedang tidak baik-baik saja." Bruk!!! Sesuatu menabrak Zalra. "Aww..," jerit seseorang. Perempuan berseragam, berbadan tinggi, badannya tegap dan wajahnya dipoles rapi dengan make up. Rambutnya disanggul kecil. Tatapannya tajam menyorot ke arah Zalra. "Ya ampun. Ampun, Mayor Lidya!" Lila menundukkan badannya. Wajahnya seketika pucat. Hening sejenak.... Mayor Lidya menatap Zalra dari rambut hingga kaki. "Kalau jalan pakai mata!" Menunjuk ke wajah Zalra dengan jari telunjuknya. "Yang seharusnya dapat peringatan itu anda! Jelas-jelas anda yang menabrak saya!" Zalra membela diri. Secepat mungkin, Lila menangkup mulut Zalra. "Ma-maaf, Mayor Lidya. Di..dia dokter koas baru di sini," ucap Lila gugup. "Pantesan songong sekali. Cuih..." Lidya mendekat pada Zalra, mendekatkan mulutnya ke telinga Zalra. "Kamu dengar ya! Aku adalah Mayor Lidya. M-A-Y-O-R... Jangan berani-berani tidak hormat padaku. Satu hal lagi, aku adalah calon Nyonya dari Komandan Letkol Aldev yang gagah dan tampan. Jadi, jika kamu maaih sayang dengan nyawamu, patuhilah peraturan yang berlaku di sini!" Zalra memutar bola matanya. 'Calon Nyonya? Cocok sekali mereka berdua. Satunya angkuh, satunya lagi jahat! Huhhh..,' gerutu Zalra dalam hati. "Kenapa matamu begitu? Kamu meremehkan aku?" "Tidak! Tapi, kita lihat saja beberapa hari ke depan. Siapa yang akan mendapatkan gelar Nyonya itu." "Apa maksudmu!" "Zalr, sudah cukup!" Lila menengahi. "Mayor Lidya, kami mohon pamit segera ke asrama." Zalra dan Lila pun kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju asrama. "Kamu lihat orang baru yang nyebelin itu? Apa maksud dia berbicara begitu?" Lidya menunjuk ke arah punggung Zalra. "Tenang! Kita bisa urus dia nanti. Sekarang, kita harus segera menyelesaikan tugas kita bukan?" Tamari, teman Lidya yang selaku mendukung apa pun yang Lidya lakukan. _Goodnovel_ Jarum jam kian detik berdetak. Aldev fokus pada barisan anggota yang sibuk berlatih di lapangan. "Komandan, saya dengar sebentar lagi komandan akan menikah. Apa benar?" bisik Amor. Amor adalah salah seorang Danton(Komandan Peleton), berada di bawah dari Danyon. "Benar," jawab Aldev singkat. Hampir saja air yang berada di mulut Amor menyembur dari mulutnya. Berita belum beredar lebih luas, hanya orang tertentu saja yang mengetahui berita tersebut. "Hah, kapan? Dengan siapa?" Mata Amor membelalak, kaget. Aldev yang dikenal dengan wajah datar dan tidak pernah terlihat jatuh cinta tiba-tiba menikah, itu adalah hal yang sangat mustahil bagi orang terdekatnya. "Jangan kaget, Mor! Tiga hari ke depan mungkin." "Tiga hari ke depan?" "Benar! Ayah yang mengurus segalanya." "Tapi, dengan siapa?" "Dengan perempuan yang malam itu terkena peluruku." Hampir saja Amor pingsan, mendapatkan berita yang semakin memanas dan tak ada di kamus logikanya. "Kok bisa?" "Ah sudahlah, aku malas membahas hal itu." Malam itu.... flash back "Selamat Letkol Aldev atas jabatan barunya!" Amor yang seorang Danton memberikan ucapan selamat. "Tidak sah rasanya kalau kita tidak merayakan, bukan?" lanjutnya. Aldev, anak seorang jenderal bintang empat yang baru saja diangkat menjadi Letnan Kolonel—komando di bataylon(Danyon). "Tentu, Danton." Aldev membuang puting rokok ke dalam asbak tanah liat. Tangannya melambai ke arah seorang Serda—sersan dua yang menjadi bawahannya. "Ambilkan!" titah Aldev merujuk ke arah almari yang berisi botol minuman. "Enak juga ya jadi anak jenderal, pangkat apa pun mudah didapat." "Tidak juga, kamu pasti sudah tau apa yang menjadi masalahku, dan bagaimana perjuanganku mendapatkan pangkat ini?" Aldev menaikkan kaki kirinya ke atas meja bundar. Amor tertawa seutas. "Jangan dibawa pusing. Sebaiknya kita berpesta saja! Aku sudah siapkan tempat menembak malam ini. Kita akan bersenang-senang." Mereka berpesta pora, mereguk kemenangan. Selain menikmati minuman serta makanan yang tersedia, mereka juga bermain dengan peluru mereka, menembak ke beberapa sudut yang menjadi sasaran utama. Beberapa kali pelatuk ditarik dan diregangkan, sorakan menjadi penambah keseruan di malam yang ditabuh dengan rintik hujan ini. Aroma tanah, bercampur dengan bau alkohol yang menyebar di udara. "Dua tembakan lagi!" teriak Amor. Sorakan dari beberapa anggota militer juga memberikan dukungan. Kembali Aldev menarik pelatuknya. Menambah jumlah pistol di tangan kirinya. Meskipun sedikit sempoyongan, ia tetap bisa menembak sasaran. Dor.. Dor... Semua mata melotot, menatap tajam ke arah sumber tempat meluncurnya sasaran tembak yang keluar dari jalur semestinya. "Astaga!!" Aldev melempar pistolnya ke tanah. Panik saat menyadari bunyi yang berbeda dari suara landasan pelurunya. "Gawat!" teriak Amor setelah melihat ke tempat landasan peluru. Aldev segera berlari. Matanya membulat. Dua orang perempuan sudah terkapar di tanah dengan bekas tembakan di bagian kepala dan dada."Kenapa kamu nggak bilang kalau pernikahan kita akan digelar besok?" Zalra tak habis pikir. Di koridor menuju asrama mereka saling berbincang. "Aku juga nggak ekspekt bakal secepat ini, Ra. Mau bagaimana lagi, keputusan ayah itu mutlak dan harus dituruti." "Sebaiknya sekarang kamu beresin barang-barang kamu di asrama. Kita akan pindah ke rumah dinas." "Malas banget." "Hey, ingat! Kamu sudah menanda tangani kontrak." Menujuk tepat di wajah Zalra. Suara jejak kaki mendekat, semakin mendekat dan terdengar berlari. "Letkol Aldev. Apa maksud undangan ini?" Lidya datang dengan air mata yng berderai. Ia memperlihatkan layar gawainya kepada Aldev. "Aku akan menikah, besok," jawab Aldev. "Menikah? Tapi, dengan siapa?" Segera tangan Aldev menarik bahu Zalra, merapatkan dengan tubuhnya. Lidya menatap kaget. "Kamu?" ucapnya dengan mata yang melotot ke arah Zalra. "Apa?" Zalra menantang. "Argh.. Anda yakin memilih bocah ingusan ini?" "Apa maksud kamu bocah ingusa
Zalra sudah sampai di asrama. Asrama yang terdiri dari bangunan dua lantai, cat dindingnya putih kusam, beberapa bercak lembap menghiasi sudut atap. Di dalam kamar-kamar kecil berukuran empat kali lima meter, dokter-dokter muda tengah beristirahat. Sebagian merebahkan tubuh di ranjang susun, ada pula yang duduk bersila di depan laptop, menyusun laporan jaga hari ini. Suara denting sendok dari dapur bersama terdengar pelan. Seorang perempuan berbadan tegap sedang mengaduk mi instan dalam panci kecil. Matanya sembab—barangkali karena tekanan kerja, atau pasien yang tak tertolong siang tadi. Di lantai bawah, rak sepatu berjajar rapi. Sepatu putih, sepatu pantofel, dan sandal jepit milik para dokter muda berdampingan dengan bot militer. Di dinding, tergantung papan peraturan: "Jam malam pukul 21.00. Dilarang menerima tamu tanpa izin. Jaga kebersihan dan kedisiplinan." Beberapa kamar masih menyala lampunya. Dua koas perempuan tengah bergosip sambil membersihkan stetoskop, membicara
"Zalra, hari ini kamu sudah boleh kembali ke asrama, ya! Nanti, ada Pratu Lila yang akan mengantarkanmu." Dokter Manda membantu Zalra yang sudah diperbolehkan keluar dari ruang inap, namun dia masih dipantau oleh rekannya. "Terima kasih, Dokter." Manda tersenyum manis. Seseorang perempuan berbaju seragam berwarna hijau pupus masuk ke ruangan, dandananya rapi dengan rambut sebahu. "Mayor memanggil saya?" tanyanya. "Benar, Pratu Lila. Ini, pasien yang diminta Letkol Aldev untuk diantarakan ke asrama." Lila mendekat, mengangguk anggun namun tegas. "Mari, saya antarkan!" ucapnya lembut. Zalra berjalan beriringan bersama dengan Lila, menjelajahi koridor yang sunyi. Jejak kaki mereka menyeru, tak seperti rumah sakit biasanya yang penuh dengan pasien. "Emmm... Di sini memang sepi begini?" tanya Zalra yang sedari tadi memerhatikan sekitar. Banyak pintu raungan tersedia, namun tak semua berisi pasien. "Benar, Zalra. Justru, kalau rumah sakit penuh, berarti keadaan militer
"Kenapa kamu berani menginjakkan kaki ke sini? Apakah kamu sudah sangat siap pangkatmu dicopot?" Jenderal Saga menatap Aldev remeh. Aldev berdiri tegap, wajahnya yang keras itu tak sedikit pun memperlihatkan senyuman manis yang nyaman dipandang. Perlahan dia berjalan mendekat kepada Jenderal Saga, meletakkan sebuah foto di atas meja. "Apa ini?" tanya jenderal. Jenderal Saga membuka foto tersebut, kemudian senyuman kecil bertengger di bibirnya. "Berapa bayaran yang kamu berikan, Dev? Perempuan secantik dan semanis ini mau menikah denganmu yang kaku begini?" "Kenapa ayah menganggap aku begitu? Ayah salah besar! Aku tampan dan anak seorang jenderal. Perempuan mana yang tidak ingin menjadi istriku. Mencari perempuan itu sangatlah mudah bagiku, Yah. Hanya saja akunya yang belum ingin menikah selama ini." Jenderal mendengkus kasar mendengar kesombongan anak semata wayangnya itu. "Itulah yang membuat perempuan enggan, Dev. Sikapmu begitu sombong dan arogan. Tidak mengapa, yang
Koridor rumah sakit selalu sepi, tak banyak orang yang berlalu lalang di sana. Suasana senyap, penuh kedisiplinan. Pakaian para perawat serta pasien rapi dan senada. Suara sepatu yang menginjak ubin terdengar menyeru—Aldev berjalan terburu-buru. Hiasan di dinding diisi dengan papan bertuliskan kata-kata motivasi untuk para penduduk militer. Kerapian dan kedisiplinan sangat dijunjung ketat. Hanya dua ruangan yang nampak bercahaya terang—unit gawat darurat dan ruang operasi. Yang lainnya hanya cahaya redup dan sepi. Seorang perempuan terbaring di atas ranjang hospital, pakaiannya tetap rapi dan harum. Netranya sudah terbuka, dia menatap nanar ke arah plafon. Aldev melangkah perlahan, memasuki ruangan. Seorang dokter berjas putih menyapanya, merincikan apa yang sang pasien alami saat ini. "Apa, mengalami amnesia?" tutur Aldev. Sejenak ia menilik ke arah perempuan itu. "Iya, Letkol. Akibat luka di bagian kepala, membuat pasien kehilangan sebahagian ingatannya. Sampai nam
Hujan deras menyapa bumi, suara air yang berjatuhan itu membuat “Aldev” termenung memangku dagu pada kedua lututnya. Wajahnya ditekuk, seragam berwarna hijau pupus yang dikenakannya nampak bercak percikan air bercampur percikan darah—pertanda bahwa ia baru saja menerjang hujan. Ia baru saja membawa dua orang saudara kembar ke rumah sakit, dengan langkah yang tertatih dan hati yang tak karuan. Dering ponsel berbunyi, mengagetkannya. (Dev, pulang! Ayah mau bicara!) Aldev tak menjawab, ia hanya diam mendengarkan suara di balik panggilan telepon itu. (Aku beri kamu waktu setengah jam!) Panggilan telepon terputus. Aldev mendengkus kasar, bangkit dari kursi besi yang tersedia di depan ruangan gawat darurat. Peluh dingin masih terkucur dari pelipisnya. Rambut yang hampir botak itu tertutup sempurna dengan topi. Aldev, perwira TNI AD baru saja mendapatkan pangkat Letnan kolonel yang bertugas sebagai komando di bataylon itu nampak tak tenang. Ia baru saja menembakkan p







