Share

Kabur

Keesokan paginya, saat ketiga adikku sekolah, sementara kedua orang tuaku tengah pergi ke pasar, diam-diam aku meninggalkan rumah dengan membawa koper. Aku tak bisa lagi membiarkan diri ini berada dalam tekanan mereka.

"Mau kemana, Neng Kirana?" tanya Mang Agus, tukang ojek di kampungku.

"Tolong antar saya ke simpang tol, Mang, saya mau pergi ke Jakarta."

"Loh, tapi bukankah kamu akan dinikahkan dengan Juragan Karta?"

Mendengar pertanyaannya seketika bulir bening berjatuhan hingga membasahi pipi. Perasaan pedih ini sulit sekali kusembunyikan, terlebih aku tak memiliki siapapun untuk mengadu.

"Mamang ngerti apa yang kamu rasakan, ayo naik, akan mamang antar ke simpang tol," ujarnya lalu memberikan helm.

Setelah itu Mang Agus membawaku ke jalan yang sepi.

"Kenapa lewat sini, Mang?"

"Biar gak ketemu sama orang tuamu atau Juragan Karta."

Aku mencoba memercayainya, karena setahuku Mang Agus adalah tukang ojek yang baik dan jujur. Namun, air mataku tiba-tiba tak berhenti mengalir, memikirkan bagaimana nasibku selanjutnya.

"Mamang bisa ngerti perasaan Neng, semua orang tahu kalau Neng selalu diperlakukan seperti anak tiri oleh si Herlan dan si Sumiati, jadi tidak salah jika Neng tiba-tiba kabur."

"Iya, Mang, sejak kecil aku selalu melakukan semua yang mereka katakan, tapi tetap saja mereka tak pernah menyayangiku."

"Sebenarnya mamang dan Bi Titin sudah lama merasa kasihan sama kamu, karena mereka sangat keterlaluan padamu, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa."

"Apakah aku ini anak pungut, Mang? Soalnya mereka tak pernah terlihat menyayangiku."

"Soal itu mamang gak tahu, soalnya waktu pertama kali datang di kampung ini mereka membawamu yang masih bayi."

"Maksudnya bagaimana?"

Belum sempat ia menjawab pertanyaanku, tiba-tiba tampak Juragan Karta bersama anak buahnya. Mang Agus lalu putar arah, lalu mencari jalan lain. Setelah itu ia langsung melajukan motornya dengan kencang, hingga kami tak lagi bisa mengobrol.

Beberapa saat kemudian, kami telah tiba di simpang tol. Saat turun dari motor, kulihat bis jurusan Jakarta tengah melaju ke arahku.

"Neng ada tujuan di Jakarta?" tanya Mang Agus tiba-tiba.

Aku hanya menggeleng dan menunjukkan wajah pilu. Tiba-tiba ia langsung meraih dompetnya, lalu mengeluarkan sebuah kertas.

"Ini alamat si Fitri di Jakarta, Neng Kirana datangi aja alamat itu, soalnya beberapa hari lalu si Fitri bilang di telpon, kalau majikannya lagi nyari pembantu satu lagi."

"Iya, Mang, aku akan kesana aja." Aku meraih kertas bertuliskan alamat majikan anaknya Mang Agus.

"Kalau begitu cepetan naik bis, sebelum kedua orang tuamu menyusul ke sini."

Aku mengangguk, lalu memberikan selembar uang berwarna hijau untuk ongkos ojek.

"Hati-hati ya, Neng," ujarnya sembari membantuku membawakan tas dan mengantarku masuk ke bis.

"Hatur nuhun, Mang."

Ia mengangguk, lalu keluar dari bis dan melambaikan tangan. Aku menghela napas, semoga saja setelah ini aku menemukan kebahagiaan.

Karena perjalanan menuju Jakarta lumayan lama, aku menyandarkan kepala di kursi bis sembari memejamkan mata, kebetulan aku hanya duduk seorang diri, karena kursi sebelahku masih kosong.

"Teh, bangun, Teh, ongkos." Aku terhenyak saat mendengar sebuah suara.

Saat membuka mata, kulihat seorang lelaki berambut gondrong tengah menghitung lembaran uang berwarna ungu.

"Kemana?" tanyanya.

"Terminal Jakarta."

Setelah itu ia menyebutkan ongkos yang harus kubayar. Aku segera merogoh tas kecil untuk mengambil dompet. Namun, wajahku tiba-tiba menegang, saat tak menemukan dompetku du tas tersebut.

"Kenapa?" tanyanya.

"Dompet saya hilang."

Seketika ia langsung mendengus kesal saat mendengar jawabanku, seolah tak mempercayai apa yang aku ucapkan.

"Biar saya yang bayar," ucap seorang wanita dengan riasan tebal yang duduk di sebrang tempat dudukku.

"Masya Allah, terima kasih, Bu."

Ia mengangguk dan tersenyum, lalu pindah ke sebelahku setelah membayarkan ongkos kepada kondektur.

"Perkenalkan saya Rosalinda, panggil saja saya Linda." Ia mengulurkan tangannya.

"Saya Kirana, Bu."

"Kamu mau kemana?" tanyanya.

"Mau nyari kerja ke Jakarta."

"Sudah ada tujuan?"

"Iya, saya mau ke rumah majikan teman saya."

"Kerja apa?" Ia kembali bertanya.

"Jadi pembantu rumah tangga."

"Ngomong-ngomong, kamu sudah menikah?"

"Meski telah berusia 25 tahun, tapi saya belum pernah menikah."

"Kalau pacar?" Ia kembali bertanya.

Dahiku mengernyit saat mendengar pertanyaannya.

"Saya hanya memastikan bahwa tidak ada yang mengganggu konsentrasimu nanti saat bekerja," ujarnya.

"Saya belum pernah pacaran."

Tiba-tiba senyumnya mengembang saat mendengar jawabanku.

"Gadis cantik sepertimu tidak pantas menjadi pembantu, ikutlah dengan saya, maka saya akan naikkan derajat kamu."

"Maksud Ibu?"

"Saya akan menjadikan kamu model."

"T-tapi.."

"Semua keputusan ada di tangan kamu, saya gak akan memaksa. Tapi kalau kamu menjadi model, selain mendapatkan uang yang jauh lebih banyak, kamu juga akan lebih dihargai sebagai manusia."

Aku termenung mendengar ucapan wanita itu, bayangan saat menjadi TKW di luar negri kembali tergambar dalam ingatan. Betapa aku sangat menderita dan sering dipandang sebelah mata saat menjadi seorang pembantu.

"Tapi apakah orang sepertiku bisa menjadi model?"

"Tentu saja bisa, kamu sangat cantik, tinggi, tubuh kamu indah, selain itu kulitmu putih mulus."

Tanpa banyak berpikir lama akhirnya aku menyetujui ucapan wanita itu. Setelah lumayan lama melaju, akhirnya bis yang kami naiki berhenti di terminal Jakarta.

"Ayo kita cari tempat makan dulu!" ajaknya.

Aku mengangguk, lalu mengikutinya. Setelah itu kami memasuki sebuah restoran. Setelah memesan meja, kami dipersilahkan duduk oleh pelayan restoran tersebut.

"Pesan saja apa yang kamu mau," ujar Bu Linda saat pelayan memberikan menu.

"Emm.. tapi saya tidak lapar."

"Kamu pasti merasa canggung, kan, kalau begitu biar saya saja yang pesan."

Setelah itu ia memesan beberapa menu makanan, lalu minta izin untuk ke toilet. Setelah itu aku menunggu sendirian dengan wajah canggung. Baru beberapa menit saja ia pergi, tiba-tiba aku juga merasa ingin ke toilet. Maka kuputuskan untuk menyusulnya.

Setibanya di toilet, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita di ruangan sebelah yang tampaknya tengah menelpon.

"Saya baru sampai di terminal, Bos, barang yang saya bawa sangat bagus, Bos pasti puas, usianya sih 25 tahun, tapi saya jamin kalau dia masih perawan."

Degh! Aku terhenyak saat mendengar obrolan tersebut. Aku sangat yakin bahwa itu adalah suara Bu Linda. Tanpa berlama-lama aku langsung berlari dari toilet lalu mengambil koperku dan bergegas kabur.

Aku berlari terbirit-birit meninggalkan restoran itu, sebelum wanita yang kemungkinan seorang mucikari itu menjualku.

Saat tengah berlari, tiba-tiba aku bertabrakan dengan seorang wanita bertubuh gempal berjilbab lebar yang baru saja keluar dari bis.

"M-maaf, Bu."

"Loh, Non Bella." Ia langsung menatap wajahku dengan wajah terkejut seolah ia telah menemukan seseorang yang telah lama tak ia temui.

"Saya bukan Bella, Bu."

"Non, saya Mbok Minten, masa Non gak kenal?" Ia memelukku dengan erat hingga membuatku bingung.

Meskipun baru pertama kali bertemu, tapi aku yakin dia orang baik. Sepertinya aku harus ikut dengannya agar bisa terlepas dari wanita bernama Rosalinda itu.

"Iya, Mbok, saya Bella, ayo bawa saya pergi!"

"Iya, Mbok akan bawa Non Bella ke rumah mertua Non, mereka pasti sangat senang saat melihat Non."

Apa dia bilang, Mertua? Bagaimana mungkin tiba-tiba aku memiliki mertua, sementara aku belum pernah menikah. Namun, aku harus tetap mengikutinya, sebelum Bu Linda menemukanku. Tidak berapa lama kemudian, wanita yang mengaku bernama Mbok Minten itu menyetop taksi, lalu aku mengikutinya masuk ke taksi tersebut.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status