Share

Tiba-Tiba Menjadi Menantu Konglomerat
Tiba-Tiba Menjadi Menantu Konglomerat
Penulis: Widya Yasmin

Diperlakukan Tak Adil

Aku baru saja tiba di bandara, setelah selama dua tahun bekerja menjadi TKW di luar negri. Sengaja tidak mengabari kedua orang tua jika aku telah pulang ke Indonesia, karena ingin memberikan kejutan pada mereka. Ingin rasanya kupeluk mereka dengan erat untuk mengobati rasa rindu.

"Loh, kenapa kamu tiba-tiba pulang?" tanya Ibu saat aku telah tiba di depan pintu.

Reaksi kedua orang tua beserta ketiga saudaraku tampak tak sesuai harapan. Tatapan mereka sangat dingin, padahal selama dua tahun aku sangat merindukan mereka. Aku langsung menyeret dua koper besar yang kubawa ke dalam rumah, sementara mereka masih berdiri mematung, mereka tampak kecewa dengan kepulanganku hingga tak ada yang mau menyambut koper besar yang kubawa.

"Iya, Bu, Ayah. Aku sudah pulang karena kontrak kerjaku sudah selesai. Aku sengaja tidak mengabari kalian karena berniat memberikan kejutan."

"Bukankah kamu sering mengatakan bahwa majikan wanita sangat baik dan puas dengan kinerjamu, kenapa tidak tambah kontrak?"

Aku menghela napas saat mendengar ucapan Ibu. Selama dua tahun menjadi TKW di luar negeri bukanlah hal yang mudah bagiku, tak bolehkah jika aku beristirahat di rumah, mengapa mereka memperlakukanku sebagai sapi perah?

"Selama dua tahun ini, aku bekerja sangat keras hingga kurang istirahat. Sebenarnya aku tak pernah betah bekerja di sana, tapi semuanya kulakukan demi kalian semua. Selain itu majikan lelaki selalu berusaha menggodaku, aku sangat takut terjadi sesuatu yang buruk padaku."

"Harusnya kamu senang kalau majikan laki-laki menyukaimu, barangkali kamu akan dijadikan istri keduanya," ucap Ayah tiba-tiba.

"Astaghfirullah, Ayah, apakah Ayah tidak pernah mendengar berita TKW yang diperkosa oleh majikan laki-lakinya, lalu setelah itu ia malah disiksa oleh majikan perempuannya karena kebanyakan wanita disana malah lebih membela suaminya, meskipun suaminya yang bersalah. Bahkan banyak TKW yang malah dipenjara dan dihukum pancung padahal dia adalah korban."

"Harusnya kamu memikirkan nasib adik-adikmu, bagaimana dengan biaya sekolah mereka?" Ibu menyahut.

Aku hanya mengelus dada mendengar ucapan mereka. Mengapa hanya ketiga adikku yang mereka pikirkan, sementara mereka tak pernah peduli dengan keselamatan juga kebahagiaanku.

"Tak bolehkah aku istirahat, aku capek."

"Apa yang ada di koper itu, Kak? Apakah itu oleh-oleh buat kami?" tanya Ratih, Ratna dan Rani.

"Ini kunci koper itu, buka saja, isinya oleh-oleh untuk kalian semua," jawabku sembari menyeret satu koper lain ke kamar.

Kedua orang tuaku langsung membantu mereka membuka koper itu, bahkan mereka tak menawariku untuk makan.

Namaku Kirana, sejak kecil aku telah diberikan tanggung jawab yang banyak, hingga aku sama sekali tak memiliki waktu untuk bermain karena terlalu padatnya tugas yang diberikan oleh Ayah dan Ibu. Namun, berbeda denganku, ketiga adikku malah diperlakukan layaknya anak emas. Namanya Ratih, Ratna dan Rani. Mereka bisa bermain dan melakukan apapun yang mereka mau, karena Ayah dan Ibu selalu menuruti semua yang mereka inginkan.

"Bu, sepatuku sudah jelek," ujar Ratih yang kala itu baru kelas 3 SD.

"Nanti ibu belikan yang baru, ya."

"Aku juga mau membeli sepatu baru, Bu." Ratna yang baru kelas 1 SD menyahut.

"Iya, tenang aja, nanti kalian berdua akan ibu belikan sepatu dan tas baru."

Aku hanya menelan ludah saat mendengar ucapan Ibu, karena aku tak pernah sama sekali dibelikan sepatu baru olehnya. Sejak kelas 1 SD aku selalu mengenakan sepatu bekas tetangga, namanya Erlita, anak tetangga yang usianya lebih tua dua tahun dariku. Setiap tahun dia memberikan sepatu juga pakaian bekasnya kepadaku.

"Kok aku belum pernah ya merasakan memiliki apapun yang baru, semuanya selalu bekas orang lain," protesku kala itu.

Kuberanikan diri untuk protes, semoga saja Ibu bisa mengerti dengan apa yang aku rasakan.

"Harusnya kamu membantu mengurangi kesulitan Ayah dan Ibu, bukan malah nambah-nambahin beban."

Aku hanya menghela napas saat mendengar ucapan Ibu. Aku selalu berusaha menerima saat Ayah dan Ibu hanya memprioritaskan Ratih dan Ratna, karena sebagai anak sulung aku dipaksa harus selalu mengalah. Aku juga berusaha menerima saat Ratih dan Ratna terkadang memperlakukanku layaknya pembantu.

Saat aku lulus SMP dengan nilai paling tinggi sehingga aku mendapat beasiswa.

"Kamu tak perlu masuk SMA, lebih baik kamu mencari pekerjaan untuk bisa membantu membiayai sekolah Ratih dan Ratna."

"Aku mohon, Bu, aku mendapat beasiswa, jadi aku gak akan merepotkan Ayah dan Ibu. Selain itu aku juga berjanji akan bekerja paruh waktu."

"Ngapain sih, meski sekolah sampai SMA, toh nanti ujung-ujungnya kamu akan berada di dapur juga." Ayah yang sejak tadi mengotak-atik motornya yang sudah tua langsung menyahut.

"Aku janji akan melakukan apapun, tapi jangan melarangku untuk sekolah SMA."

Meski awalnya Ibu dan Ayah tak setuju dengan permintaanku. Namun, karena aku terus memaksa bahkan sampai berlutut di kaki mereka, akhirnya aku diizinkan untuk bersekolah.

Aku sangat senang karena akhirnya bisa mengenakan seragam putih abu-abu, meskipun setiap sebelum berangkat sekolah aku mengantarkan kue ke warung-warung, lalu setelah pulang sekolah aku bekerja paruh waktu di sebuah warung nasi.

Kehidupanku sangatlah monoton. Aku sama sekali tidak memiliki teman. Bahkan aku tak pernah bercanda tawa dengan kedua saudaraku. Karena mereka seolah menganggapku seperti pelayan di rumah. Bahkan di sekolah, tak ada yang mau berteman denganku, karena aku dianggap tidak selevel dengan mereka.

"Kak, cucikan sepatuku, dong," ujar Ratih dan Ratna sembari memberikan sepatu kotor mereka.

Seperti biasa aku hanya pasrah, karena jika menolak, pasti tangan kekar Ayah akan mendarat di pipiku.

Semuanya terasa berat. Namun, aku berharap suatu hari nanti bisa mendapatkan kehidupan seperti Cinderella yang hidup bahagia setelah menikah dengan pangeran tampan yang kaya raya.

Tiga tahun berlalu, aku telah lulus SMA, lalu setelah itu aku mulai bekerja di sebuah restoran untuk menjadi pelayan. Di tempat itu lah, aku mulai menemukan warna dalam hidupku. Aku tak hanya mendapatkan teman sesama pelayan yang semuanya sangat ramah padaku. Namun, aku juga bertemu dengan seorang koki yang sangat baik dan hangat. Lelaki berusia 40 tahun yang akrab disapa Pak Thomas itu memperlakukanku seperti pada putrinya sendiri.

Berkat kebaikan semua orang yang ada di restoran tersebut, aku menjadi bersemangat menjalani hari. Terkadang, Pak Thomas juga mengajariku cara membuat aneka hidangan yang menggugah selera di restoran tersebut jika restoran sedang sepi. Karena manager di restoran tersebut juga sangat baik kepadaku dan pekerja lainnya. Sejak itu aku merasa restoran tersebut bukanlah tempat bekerja, melainkan sebuah rumah yang sangat nyaman untukku.

Karena di sana, aku tak hanya bertemu sosok ayah yang baik seperti Pak Thomas, tapi aku juga mendapatkan banyak teman yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri.

"Masakanmu enak, kamu sangat cepat mempelajari semua resep yang saya berikan, semoga suatu hari kamu jadi koki seperti saya," ujar Pak Thomas hingga membuatku tersenyum.

Pak Thomas tak hanya mengajariku resep menu utama di restoran tersebut, tapi juga aneka dessert dan minuman. Karena memang sejak kecil aku terlatih memasak dan membuat kue di rumah.

"Kalau aku ramal, Kirana akan menjadi orang sukses dan memiliki restoran," ujar Rika hingga membuat kami semua tertawa.

Namun, kebahagiaanku tiba-tiba dihancurkan dengan ucapan Ibu dan Ayah saat aku pulang bekerja.

"Kamu harus bekerja di luar negeri untuk membiayai sekolah ketiga adikmu."

"Tapi bukankah selama ini semua gajiku selalu diberikan pada Ibu?"

"Gajimu sebagai pelayan restoran tidak seberapa, makanya kamu harus keluar negeri untuk bisa membiayai sekolah adik-adikmu."

"Kenapa kalian tidak adil padaku? Dulu aku bisa sekolah karena beasiswa dan bekerja paruh waktu, kenapa kalian tidak memaksa mereka untuk belajar dengan giat agar mendapatkan beasiswa juga bekerja paruh waktu sama sepertiku?"

Plaaak! Lagi-lagi tangan kekar Ayah mendarat di pipiku.

"Kamu harus bekerja di luar negri atau menjadi istri Juragan Karta," ancam Ayah.

Akhirnya aku terpaksa mengikuti permintaan mereka untuk bekerja menjadi TKW di luar negri. Meskipun pekerjaan yang harus kulakukan sangatlah berat hingga membuatku tersiksa.

Dua tahun setelah menjadi TKW, aku memutuskan untuk pulang dan berniat untuk istirahat. Aku juga ingin menikmati hidup seperti orang lain. Bahkan aku tak pernah merasakan bagaimana rasanya pacaran, padahal kini usiaku telah 25 tahun. Disaat teman seusiaku telah berumah tangga dan memiliki anak.

"Kamu harus menikah dengan Juragan Karta," ucap Ibu seminggu setelah aku berada di rumah.

"Maaf, Bu, aku gak bisa."

Untuk pertama kalinya aku menolak permintaan mereka. Bagaimana mungkin aku harus menikah dengan seorang lelaki berusia 50 tahun yang telah memiliki tiga orang istri.

"Kamu tidak bisa menolak, karena kami telah menerima sejumlah uang yang sangat besar untuk biaya pernikahanmu," ucap Ayah.

"Kenapa kalian tidak bertanya dulu padaku sebelum menerima uang tersebut?"

"Semua keputusan ada di tangan kami, yang harus kamu lakukan hanya menerima apa yang kami putuskan."

"Kenapa kalian jahat sekali? Kenapa kalian tidak pernah memperdulikan perasaaanku?"

"Sebagai anak berbakti, kamu tidak memiliki hak untuk menolak apapun yang kami ucapkan."

"Tidak adil! Kalian selalu saja menekanku untuk melakukan semua yang kalian inginkan, tapi tidak pada Ratih, Ratna dan Rani, kenapa kalian pilih kasih?"

Plaaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku.

"Anak tidak tahu terimakasih, sudah untung kami membesarkanmu hingga sekarang, mungkin jika kami tidak memiliki hati, sudah kami buang kamu sejak bayi."

"Apakah aku ini bukan anak kandung kalian?"

"Diaaaaaam!" bentak Ibu sembari menyeretku masuk kamar lalu mengurungku.

Aku hanya bisa menangis di sebuah kamar yang dulunya adalah gudang itu. Air mataku tak berhenti mengalir saat mengingat semua ketidak adilan yang kudapatkan selama ini. Namun, tiba-tiba aku menghapus semua air mataku saat aku menyadari bahwa menangis saja tidak akan menyelesaikan masalah. Aku sudah tak bisa lagi menerima penderitaan ini. Aku harus pergi dari rumah ini, sebelum aku menjadi istri keempat lelaki bertubuh gempal dan berkumis tebal itu.

Aku akan kabur dari rumah ini, aku sangat menyesal tidak melakukan ini dari dulu, karena awalnya kupikir sikap Ayah dan Ibu akan berubah setelah aku melakukan semua yang mereka inginkan.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status