Mentari pagi menyelinap lembut lewat celah tirai kamar tidur mereka, menyinari wajah Nayara yang masih terlelap di pelukan Raka. Udara Jakarta yang biasanya pengap terasa sejuk di pagi itu, mungkin karena kebahagiaan yang perlahan tumbuh dari hari ke hari dalam rumah mungil yang kini menjadi saksi cinta mereka. Raka membuka matanya lebih dulu. Matanya menatap langit-langit, sebelum perlahan-lahan menggeser wajah ke arah Nayara yang masih tertidur. Hidungnya menyentuh kening istrinya dan bibirnya membisikkan doa dalam hati—berharap pagi-pagi berikutnya selalu bersama wanita ini. “Pagi, sayang,” bisiknya lembut, membuat Nayara mengerjap pelan. Dengan suara serak manja, Nayara bergumam, “Kamu sudah bangun? Padahal masih enak banget tidur…” Raka tertawa kecil. “Tapi aku lebih suka lihat kamu bangun, terus ngelihat senyum kamu yang pertama kali.” Nayara membuka matanya dan menatap wajah suaminya yang begitu dekat. “Kamu makin jago gombalnya ya setelah menikah.” “Bukan gombal.
pagi itu, Jakarta diselimuti langit cerah dan sinar matahari yang hangat. Di dalam rumah, Nayara tengah sibuk merapikan rambut Raka sambil tersenyum lebar. Tangannya memutar lembut dasi abu-abu yang membingkai leher sang suami. "Harusnya kamu belajar pasang dasi sendiri, Mas," goda Nayara sambil mengerling manja. Raka hanya tertawa kecil. "Kalau kamu bisa bantuin, kenapa harus susah-susah belajar?" katanya sambil mencuri cium di kening Nayara. "Udah cantik banget pagi ini, bikin aku susah fokus kerja." Nayara mencubit pelan perut Raka. "Jangan genit, ah." Setelah sarapan dan berpamitan pada orangtua Nayara, pasangan muda itu menaiki mobil pribadi mereka. Tapi bukan menuju kantor seperti biasanya. Nayara sedikit bingung karena Raka membawa mereka ke arah pinggiran kota, jauh dari keramaian dan gedung-gedung tinggi. “Mas, kita ke mana sih?” tanya Nayara penasaran sambil memandang keluar jendela. Raka menoleh sebentar dan tersenyum. “Aku mau ngenalin kamu sama seseorang yang
Matahari sore menyusup lembut melalui celah-celah tirai di kamar mereka. Udara Jakarta yang lebih hangat dari udara Kyoto menyapa dengan keakraban yang sedikit mengganggu, namun di dalam rumah, semuanya terasa nyaman. Mereka baru saja kembali dari bulan madu di Jepang semalam, dan pagi itu Raka harus kembali ke kantor untuk rapat penting. “Ayang…” suara Raka terdengar malas dari cermin besar di kamar. “Aku nggak ngerti cara pasang dasi ini. Tolongin, dong…” Nayara yang sedang melipat pakaian di sisi ranjang, menoleh dan mendapati suaminya berdiri di depan cermin, kemeja putihnya sudah rapi namun dasi tergantung kacau di leher. Ia menghela napas dan mendekat sambil tertawa kecil. “Udah segede gini masih nggak bisa pasang dasi?” ejek Nayara manis, mengangkat alis sambil menarik dasi dari tangan Raka. “Aku bisa, kok… waktu SMA. Tapi sejak ada kamu, aku jadi pengen manja aja,” jawab Raka sambil menyeringai, matanya menatap penuh cinta pada wanita yang kini menjadi istrinya. Na
Udara pagi di Hakone terasa segar dan dingin. Salju perlahan turun membelai jendela penginapan mereka yang bergaya ryokan tradisional Jepang. Pemandangan Gunung Fuji tampak seperti lukisan dari jendela, tertutup putih dan megah. Nayara memeluk tubuhnya sendiri di balik kimono hangat yang disiapkan oleh penginapan, sementara suara air panas dari onsen alami di halaman belakang mulai terdengar menenangkan. Raka muncul dari balik pintu kamar mandi, rambutnya masih basah dan wajahnya terlihat begitu damai. “Sayang, kamu mau mandi air panas di luar nggak? Mereka bilang onsen-nya langsung dari sumber alami. Bagus buat relaksasi.” Nayara mengangguk pelan, pipinya memerah karena udara dingin dan tatapan Raka yang—lagi-lagi—membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Beberapa menit kemudian, mereka duduk berdua di onsen terbuka. Air panas yang mengepul seolah jadi pelindung dari udara beku sekitar. Raka menarik Nayara ke dekatnya, memeluknya dari samping. “Enggak nyangka ya... kita di s
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap lembut melalui jendela ryokan tempat mereka menginap di Kyoto. Suasana tenang khas desa Jepang menyambut hari baru. Raka perlahan membuka matanya, lalu tersenyum melihat Nayara yang masih meringkuk di dalam futon, menyembunyikan wajahnya dari udara dingin. Raka menatapnya beberapa detik, lalu mencium pelan kening Nayara. “Bangun, Sayang. Hari ini kita ke Arashiyama, hutan bambu itu,” bisiknya lembut. Nayara mengerjapkan mata pelan, bibirnya membentuk senyum mengantuk. “Kamu bangunin aku pake ciuman, ya? Awas ketagihan.” Raka tertawa kecil. “Emang niatnya biar kamu ketagihan.” Setelah bersiap dan sarapan dengan menu khas Jepang yang lengkap—dari sup miso, nasi hangat, ikan bakar, hingga acar—mereka berjalan berdua menyusuri jalan kecil menuju stasiun. Sambil menggenggam tangan Nayara, Raka mengenakan jaket panjang dan syal tebal yang membuatnya terlihat seperti aktor dalam drama Jepang. Nayara sendiri mengenakan coat krem dengan topi rajut
Pagi di Kyoto datang dengan gemulai embun yang menggantung di dedaunan pohon maple. Udara terasa lebih dingin dari Tokyo, tapi juga lebih damai—seperti menenangkan hati yang sedang berbunga. Raka bangun lebih dulu pagi itu, mengenakan yukata yang disiapkan oleh penginapan tradisional ryokan tempat mereka menginap. Ia berdiri di balik pintu kayu geser menghadap taman kecil dengan kolam koi, menatap hening sambil membawa dua cangkir teh hijau. Nayara baru saja bangun ketika pintu kamar terbuka perlahan. Rambutnya masih kusut, pipinya merah muda karena hawa dingin. Ia mengucek matanya dan tersenyum melihat Raka masuk sambil membawa teh. “Selamat pagi, istri cantikku yang ngoroknya kecil tapi berani,” goda Raka sambil menyerahkan satu cangkir. Nayara memelototinya setengah sadar. “Aku nggak ngorok.” “Kamu pikir koi-koi di kolam itu bergoyang karena apa tadi malam? Suaramu ngegetin mereka,” jawab Raka sambil tertawa, membuat Nayara melempar bantal kecil ke arahnya. Mereka menghabiska