“Aargg!” Aqeela terkejut tiba-tiba lehernya dicekik oleh jari-jari yang kekar dan kuat. Tubuhnya tertekan ke dinding dan lampu serta pendingin ruangan pun menyala.
“Hah!” Mata bulat Aqeela melotot. Bertatapan dengan tatapan tajam dari sepasang mata seorang pria yang berdiri tegap di depannya.Topi yang menutupi kepala Aqeela jatuh ke lantai. Rambut panjang tergerai melewati pundak. Wajah cantik dan imut itu terlihat jelas sangat mempesona. Hidung dan bibirnya yang kecil. Benar-benar memiliki daya tarik yang luar biasa. Bramasta cukup lama terhipnoptis oleh wanita berwajah malaikat itu.
“Apa? Gadis sekecil ini mampu menghancurkan benteng pertahanan perusahaanku?” Bramasta memicingkan matanya. Mereka berdua bertatapan dalam diam. Jari-jari panjang itu mencekik semakin kuat.
“Lepaskan!” Aqeela yang kesakitan dan kesulitan bernapas memukul lengan kekar Bramasta.
“Siapa kamu?” Bramasta mendekatkan wajahnya pada Aqeela. Pria itu melonggarkan cekikan tangannya agar sang gadis kecil bisa bernapas.
“Apa itu penting? Aku sudah tertangkap.” Aqeela tersenyum tipis membuat Bramasta kesal.“Siapa yang mengirim kamu?” tanya Bramasta menggantikan pertanyaan yang tidak mendapatkan jawaban. Pria itu mencium aroma manis dari tubuh Aqeela. Keringat terlihat mengalir pada dahi dan leher yang jenjang.
“Aku tidak akan membocorkan identitas clien ku. Anda sudah kalah dan hancur. Berapa kerugian yang dialami?” tanya Aqeela menantang dengan senyuman.
“Apa?” Bramasta yang marah kembali menguatkan jari-jari yang memegang leher Aqeela.
“Aaah!” Aqeela menahan sakit. Dia memegang tangan Bramasta. Lehernya telah memerah dan hampir membiru.
“Bayaran tertinggi adalah yang menjadi pemenang,” ucap Aqeela.
“Baiklah. Mari kita negosiasi.” Bramasta melepaskan tangan dari leher Aqeela. Pria itu mengambil ponsel dan tas ransel dari tangan sang gadis.
“Hah!” Gerakan tangan Bramasta sangat cepat sehingga Aqeela tidak bisa melawan. Tubuhnya sudah dibalik menghadap dinding dengan tangan di atas dan kaki ditekan.“Apa yang kamu lakukan?” Aqeela terkejut karena jari-jari panjang Bramasta yang meraba tubuhnya. Pria itu memeriksa senjata di tubuh sang gadis.
“Aku tidak membawa apa pun. Aarrg! Tidak sopan. Ini pelecehan!” teriak Aqeela berusaha berontak. Dia benar-benar kesal dengan perlakukan Bramasta.
“Siapa yang tidak sopan? Masuk ke dalam perusahaanku dan mencuri semua informasi hingga merusak peluncuran produk baruku,” bisik Bramasta di telinga Aqeela. Tubuh pria itu menempel di punggung sang gadis.
“Hey, Om. Tadi Anda mau negosiasi. Mari kita lakukan. Aku akan mengembalikan semuanya seperti semua dengan syarat,” ucap Aqeela. Napas hangat Bramasta menyentuh daun telinga yang sudah memerah. Bibir pria itu bahkan menyentuh Indera pendengaran sang gadis kecil.
“Om?” Bramasta memicingkan alisnya. Dia tidak menyangka akan dipanggil Om oleh seorang hacker muda.
“Iya. Anda pasti sudah tua sedangkan aku masih seorang mahasiswi. Usiaku baru delapan belas tahun,” ucap Aqeela tersenyum. Dia tidak terlihat takut sama sekali kepada Bramasta.
“Hah!” Bramasta memutar kembali tubuh Aqeela menghadap dirinya. Dia bisa melihat jelas bahwa gadis itu masih seperti anak remaja di bawah umur.
“Kita berbisnis di ruanganku,” ucap Bramasta.
“Tunggu. Aku tidak ingin ada yang melihat diriku. Apa Anda bisa merahasiakan ini?” tanya Aqeela dengan tersenyum.
“Ya.” Bramasta memberikan topi dan jaket kepada Aqeela.
“Hah! Ini pertama kalinya aku tertangkap tangan. Benar-benar sial.” Aqeela mengumpat dirinya.“Anak ini sangat cerdas. Sayang jika disia-siakan.” Bramasta menatap Aqeela yang telah memakain topi dan masker serta jaketnya.
“Ikut aku!” Bramasta menarik tangan Aqeela keluar dari ruangan pusat kendali dan masuk ke dalam lift.
“Eh, Bos!” Beni terkejut melihat Bramasta yang berjalan dengan seseorang.
“Apa itu penjahatnya?” Beni mengejar Bramasta, tetapi terlambat. Pintu lift sudah tertutup.“Aarggh!” Tubuh ramping Aqeela terlempar ke sofa.
“Hah! Kasar sekali. Apa Om tidak punya anak cewek?” Aqeela menatap tajam pada Bramasta yang berdiri di depannya. Pria itu meletakkan ponsel dan tas di atas meja.“Tidak,” tegas Bramasta menatap Aqeela. Dia bisa melihat bekas cengkraman jarinya di leher yang putih.
Ponsel Aqeela yang tergeletak di atas meja bergetar dan menampilkan nama Rangga di layar. Sang pemilik gawai tanpa ragu ingin mengambil alat komunikasinya.
“Rangga.” Aqeela baru saja akan menerima panggilan dari Rangga, tetapi ponsel segera direbut kembali oleh Bramasta. Pria itu menolak panggilan.
“Duduk! diam!” perintah Bramasta.
“Okay.” Aqeela menggangguk. Gadis muda itu tetap terlihat tenang. Dia tidak takut sama sekali.
“Berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengembalikan semua data?” tanya Bramasta.
“Anda hanya perlu mengembalikan bayaran yang telah aku terima kepada client pertama dan membayarku dengan lebih mahal,” jawab Aqeela.
“Berapa?” tanya Bramasta.
“Berikan ponselku! Aku akan memperlihatkan kepada Anda.” Aqeela menadahkan tangannya.
“Hm.” Bramasta memberikan ponsel wanita Aqeela.
“Ini.” Aqeela memperlihatkan uang yang telah dia terima dan nominal itu cukup tinggi.
“Pasti gadis ini sangat hebat. Mereka berani membayar dengan harga yang tinggi. Apa dia yang dibicarakan para kolega?” Bramasta berbicara di dalam hati.
“Baiklah. Aku akan membayar dua kali lipat.” Bramasta mengeluarkan ponselnya.
“Setuju.” Aqeela tersenyum. Dia membuka tas dan mengeluarkan computer.
“Apa Anda akan bayar sekarang?” tanya Aqeela.
“Ya.” Bramasta mengangguk. Pria itu sudah mengalami kerugian cukup banyak dan akan bertambah jika dia tidak segera menyelamatkan informasi perusahaannya. Apalagi para rekan bisnis yang datang pun ikut kehilangan data penting.
“Scan di sini. Setelah lunas aku akan mulai bekerja dan itu tidak akan lama.” Aqeela mendekatkan ponselnya kepada Bramasta dan pria itu dengan cepat melakukan pembayaran.
“Terima kasih. Tunggu sebentar. Ah, jangan lupa untuk merahasiakan identitasku kepada semua orang.” Aqeela tersenyum lebar. Dia mengaktifkan computer.
Bramasta hanya diam saja dan memperhatikan jari-jari panjang itu bergerak cepat di atas papan huruf. Dia memulihkan Perusahaan Robotic tanpa perlu kembali ke ruangan pusat kendali. Wanita muda itu benar-benar ahli.
“Selesai. Apa aku boleh pergi sekarang?” tanya Aqeela.
“Ya.” Bramasta mengangguk. Dia benar-benar kagum dengan Aqeela.
“Senang bekerja sama dengan Anda. Semoga ini yang pertama dan terakhir kalinya.” Aqeela tersenyum.“Semoga kita tidak akan pernah bertemu lagi.” Ageela membereskan diri.
“Jangan bertemu lagi.” Aqeela berlari keluar dari ruangan Bramasta. Dia hampir bertabrakan dengan Beni di depan pintu.
“Eh!” Beni hanya melihat dalam bingung.“Tuan. Siapa itu?” tanya Beni.
“Bagaimana dengan penjahatnya?” Beni melihat Bramasta yang tersenyum aneh.
“Tuan.” Jesi masuk ke dalam ruangan Bramasta.
“Tuan. Semua sudah pulih seperti semua,” ucap Jesi.
“Siapa yang melakukannya?” tanya Beni.
“Periksa cctv. Apa yang kamu dapatkan?” Bramasta tidak melihat sama sekali kepada Jesi.
“Tidak ada apa pun,” ucap Jesi.
“Hm.” Beni menatap Bramasta. Pria itu seakan mengerti bahwa Tuannya mengetahui sesuatu dan memang ingin merahasiakan semuanya dari mereka.
“Semua sudah selesai. Aku pulang sekarang.” Bramasta beranjak dari kursi dan keluar dari ruangannya.
“Kenapa Bos pulang lebih awal? Apa karena masalah hari ini?” tanya Jesi melihat kepergian Bramasta.
“Yang penting masalah gawat telah selesai.” Beni segera menyusul Bramasta.
“Bos, siapa orang tadi?” tanya Beni di dalam mobil.
“Pencuri kecil,” jawab Bramasta dengan senyuman tipis.
“Hah?” Beni merasa heran dengan senyuman di bibir Bramasta.
“Apa jadwal selanjutnya?” tanya Bramasta.
“Makan malam keluarga besar untuk membicarakan pernikahan Anda yang terus ditunda,” jawab Beni.
“Hhh!” Bramasta benar-benar tidak pernah memikirkan pernikahan.
“Tuan. Usia Anda sudah siap untuk menikah,” ucap Beni.
“Aku tahu.” Bramasta merebahkan tubuh di kursi mobil. Dia memejamkan matanya.
Bramasta benar-benar tidak pernah melirik wanita mana pun. Dia seakan tidak tertarik kepada mereka semua. Di matanya bisnis adalah hal yang paling penting. Perjodohan adalah salah satu cara untuk mendapatkan istri dengan mudah.
Semua orang berdiri melihat kepada seorang gadis yang tampil cantik dan Anggun. Dia mengenakan gaun putih dengan renda di dada dan bagian paha. Rambut di sanggul dan menyisakan beberapa helai yang dibiarkan tergerai.“Apa ini gadis ini yang telah menyusup ke perusahaanku? Dia terlihat berbeda.” Bramasta tanpa sadar menatap Aqeela dengan cukup lekat. Dia melihat gadis itu dari atas hingga bawah.“Cantik dan manis.” Jordi pun ikut terpesona pada Aqeela.“Dia memiliki kecantikan yang berbeda. Imut dan menggemaskan.” Jordi tersenyum dan terus menatap Aqeela.“Apa dia putri kedua kalian?” tanya Jolia yang juga kagum pada Aqeela.“Ya.” Marlina mengangguk. Wanita itu benar-benar terkejut melihat Aqeela.“Iya. Dia putri kami.” Anggara segera merangkul Aqeela. Pria itu bisa melihat putri keduanya yang kebingungan karena ditatap semua orang.“Dia cantik sekali.” Jolie tersenyum pada Aqeela.“Putri kita benar-benar mirip kamu, Calizata. Dia sangat cantik dan manis,” ucap Anggara di dalam hati.“S
Marlina dan Anggara segera menyambut kedatangan Winarta bersama istri serta Jordi. Mereka tersenyum lebar karena akan segera menjadi keluarga.“Selamat datang di rumah kami.” Marlina memeluk Jolia.“Terima kasih sambutannya.” Jolia membalas pelukan Marlina.“Di mana Bramasta?” tanya Anggara.“Dia akan menyusul. Pria itu sangat gila bekerja,” jawab Winarta berpelukan dengan Anggara.“Selamat datang, Om, Tante dan Jordi.” Alina keluar dengan gaun yang lebih cantik dari malam sebelumnya.“Dia benar-benar cantik,” ucap Jordi memperhatikan Alina.“Di mana Bramasta?” tanya Alina di dalam hati. Dia tidak ingin terlihat agresif. Wanita itu benar-benar mampu menjaga imagenya yang baik dan Anggun.“Mari, silakan masuk.” Marlina membawa tamu masuk ke dalam rumah yang cukup mewah. “Di mana putri kedua kalian?” tanya Jolia yang juga penasaran dengan Aqeela.“Dia masih berdandan. Butik langganan kami salah mengirimkan gaun. Jadi, Aqeela masih menunggu gaunnya datang,” jelas Alina yang baru saja kel
Bramasta masih duduk di ruang kerja dan menatap layar computer. Pria itu mengalami kerugian yang cukup besar akibat ulah Aqeela. Dia masih harus membayar gadis itu agar bisa mengembalikan data dan rahasia Perusahaan yang telah ditariknya. Sang hacker muda pun menstabilkan kembali Perusahaan yang sempat goyang dan kehilangan kepercayaan Masyarakat serta rekan bisnis.“Tuan, apa Anda tidak bersiap?” tanya Beni berdiri di depan Bramasta.“Bersiap?” Bramasta menatap pada Beni.“Apa Anda lupa dengan acara makan malam kedua ini?” Beni tersenyum.“Oh. Biarkan mereka menungguku.” Bramasta tersenyum. “Apa Anda masih memikirkan kerugian yang telah dialami Perusahaan untuk pertama kalinya?” Beni menatap Bramasta dengan perasaan kacau.“Ya.” Bramasta mengangguk.“Tuan. Bagaimana Anda bisa mengembalikan semuanya dengan sangat cepat secepat kerusakan yang terjadi? Walaupun kita tetap mengalami kerugian. Aku sangat penasaran.” Beni cukup heran dengan satu hari yang sibuk yang terjadi begitu cepat. B
Alina menghentikan mobil di dalam garasi. Dia dan Aqeela turun dari mobil. Mereka bersama masuk ke dalam rumah dan menghentikan langkah kaki di ruang tamu.“Plak!” Sebuah tamparan mendarat di pipi Aqeela.“Ma.” Alina dan Aqeela sangat terkejut.“Aqeela. Kurang baik apalagi Alina kepada kamu? Kenapa kamu tidak mau ikut makan malam ke rumah Winarta?” tanya Marlina dengan nada tinggi.“Apa?” Aqeela melihat pada Anggara yang duduk di sofa.“Bukankah Tante yang melarangku untuk ikut?” tanya Aqeela.“Aku sudah meminta kamu memanggilku Mam, tetapi kamu juga tidak mau dan bersikeras menyebutku Tante,” bentak Marlina.“Apa kamu membenciku dan Alina?” Marlina menangis.“Hah!” Aqeela bingung dengan sikap Marlina.“Apa maksud, Tante?” tanya Aqeela lagi.“Sayang, lihat putri kamu.” Marlina memeluk Anggara.“Aqeela!” teriak Anggara mendekati Aqeela.“Plak!” Anggara pun menampar Aqeela dengan sangat kuat hingga gadis kecil itu tersungkur di lantai. Rasa sakit pada pipi itu benar-benar menusuk hingga
Alina sangat kesal karena dia hanya bisa melihat wajah Bramasta sebentar saja. Mereka bahkan tidak bertegur sapa sama sekali. Padahal pria itu adalah calon suaminya.“Sial!” Alina duduk di tepi kasur. Dia menghamburkan bantal dan guling.“Ada apa, Alina?” Marlina dan Anggara masuk ke kamar putrinya.“Semua ini karena Aqeela,” bentak Alina dengan air mata yang telah membasahi wajahnya.“Benar. Anggara. Putri kedua kamu itu benar-benar membuat malu keluarga kita,” ucap Marlina memeluk Alina.“Alina sudah membujuknya untuk ikut hingga membelikan gaun mahal, tetapi dia menolak. Sekarang Bramasta marah dan kita harus mengundur lagi acara pernikahan mereka,” jelas Marlina dengan marah.“Aku akan memberikan pelajaran padanya,” ucap Anggara.“Tidak usah, Pa. Minta saja untuk Aqeela pulang di makan malam selanjutnya.” Suara Alina terdengar lembut.“Kamu sangat baik dan lembut, Sayang.” Anggara mengusap pipi dan kepala Alina.“Papa akan bicara dengan Aqeela.” Anggara keluar dari kamar Alina.“Ma
Alina tampak berdiri di depan cermin. Dia mengenakan pakaian paling mewah dan mahal. Wanita muda itu terlihat cantik dan seksi.“Bramasta hanya jual mahal sehingga terus menunda perjodohan ini. Dan akhirnya, dia pun menerimanya.” Alina tersenyum melihat pantulan dirinya dari cermin. Dia mengagumi kecantikan dirinya sendiri.“Kamu sangat cantik, Sayang.” Marlina merapikan gaun putih yang dikenakan Alina.“Terima kasih, Ma.” Alina dan Marlina keluar dari kamar dan menemui Anggara yang telah menunggu di ruang tengah.“Di mana Aqeela? Kenapa dia belum keluar dari kamar?” tanya Anggara yang tampak gelisah.“Sayang, Aqeela tidak pulang dari asrama. Dia sangat sibuk.” Marlina memegang tangan Anggara.“Mama benar, Pa. Aku sudah mengajak Aqeela dan menyiapkan gaun untuknya. Papa tunggu sebentar.” Alina pergi ke kamar Aqeela. Dia mengambil gaun yang memang sudah dibelinya untuk sang adik.“Ini, Pa. Aku membeli gaun yang hampir sama denganku.” Alina kembali dengan sebuah kotak dan membukanya.“T