Bramasta telah berada di dalam kamarnya. Pria itu membersihkan diri dan berganti pakaian. Dia merebahkan tubuh di atas kasur empuk. Bayangan gadis kecil yang tampak tidak takut padanya membuat lelaki dewasa itu tersenyum.
“Dia seperti anak kecil yang nakal. Sangat menarik.” Bramasta segera duduk dan mengaktifkan computer.
“Permisi, Tuan.” Pelayan mengetuk pintu yang terbuka.
“Ada apa?” tanya Bramasta menatap tajam pada pelayan.
“Makan malam telah siap,” ucap pelayan menunduk.
“Aku akan turun,” tegas Bramasta.
“Baik.” Pelayan segera meninggalkan Bramasta. Pria itu pun merapikan diri dan keluar dari kamarnya. Dia menuruni tangga menuju ruang makan.
Semua orang anggota keluarga telah lengkap. Kedua orang tua dan seorang adik laki-laki menunggu kedatangan Bramasta. Anak tertua dari keluarga Winarta.
“Ramai sekali.” Bramasta menarik kursi dan duduk.
“Bram, besok malam kita akan mengadakan pertemuan dengan keluarga calon istri kamu,” ucap Winarta. Pria itu tampak tidak muda lagi.
“Siapa calon istriku?” tanya Bramasta menatap tajam pada ayahnya.
“Alina Anggara. Dia adalah dokter bedah yang sangat terkenal. Putri pertama dari Tuan Anggara. Lihatlah!” Jolia memberikan foto Alina kepada Bramasta.
“Aku tidak perlu melihatnya. Bukankah perjodohan ini akan tetap dilaksanakan?” Bramasta melihat sekilas pada foto Alina. Wanita itu memang cantik dan anggun.
“Baguslah.” Jolia menyerahkan foto Alina kepada Beni.
“Ayo kita makan dulu dan berbicara setelah ini.” Jolia tersenyum.
“Jordi. Bagaimana dengan dirimu?” tanya Bramasta mengejutkan adiknya.“Aku masih menjalankan bisnis papa,” jawab Jordi.
“Apa mau bergabung denganku?” Bramasta melihat pada adiknya.
“Tidak,” tegas Jordi.
“Jordi akan mencoba untuk memulai bisnis sendiri. Mama harap kamu bisa membantu dia.” Jolia memegang tangan Bramasta.
“Tidak masalah.” Bramasta tersenyum tipis.
“Kita bicara lagi setelah makan.” Winarta memperhatikan Jordi yang hanya diam saja. Anak keduanya selalu merasa rendah ketika berada di dekat Bramasta yang memang sangat berkuasa.
Selesai makan malam. Mereka semua berpindah ke ruang keluarga untuk membicarakan pernikahan Bramasta yang sudah tidak muda lagi. Pria itu telah berusia tiga puluh delapan tahun.
“Kapan kamu mau menikah? Alina sudah menerima perjodohan ini,” ucap Winarta.
“Apa Keluarga Anggara hanya punya seorang putri?” tanya Bramasta.
“Tuan Anggara memiliki dua putri dari istri yang berbeda, tetapi anak kedua masih kuliah dan tidak diakui. Dia hanya anak dari seorang simpanan yang tidak penting dan memalukan,” jelas Jolia.
“Tidak diakui?” Bramasta menatap mamanya.
“Dia lahir dari seorang pelakor, Kak,” ucap Jordi tersenyum.
“Hah!” Bramasta memicingkan matanya.
“Aku akan menyelidiki keluarga Anggara. Setelah itu akan aku putuskan setuju atau tidaknya dengan perjodohan ini,” tegas Bramasta beranjak dari sofa dan pergi ke ruang kerjanya.
“Hm. Apa Kak Bramasta ini tidak suka wanita?” Jordi melihat foto cantik Alina yang mengenakan gaun putih.
“Jika Kak Bram tidak mau. Aku saja yang menikah dengan dokter Alina.” Jordi tersenyum.
“Tidak bisa, Jordi. Keluarga Anggara hanya mau menikahkan putri mereka dengan Bramasta. Itu adalah perjanjiannya,” tegas Winarta.
“Bagaimana dengan putri kedua? Apa tidak ada fotonya?” tanya Jordi.
“Tidak ada,” jawab Jolia.
“Kenapa?” Jordi menatap kedua orang tuanya.
“Mungkin karena dia masih sekolah dan berusia di bawah usia pernikahan,” jelas Jolia.
“Mungkin.” Jordi mengangguk.
Bramasta telah berada di ruang kerja. Dia duduk di balik meja kerja dan memeriksa beberapa berkas.
“Tuan. Ini data tentang keluarga Anggara.” Beni memberikan berkas kepada Bramasta.
“Hm.” Pria itu membuka lembaran kertas yang berisikan informasi tentang keluarga calon istrinya.
“Kenapa hanya informasi tentang Alina saja?” Bramasta membaca dengan cepat hingga tiba di lembaran terakhir. Dia sangat terkejut melihat foto seorang gadis yang sedang duduk di lapangan basket.
“Aqeela.” Bramasta tersenyum. Dia tidak menyangka gadis kecil yang berhasil membuat kerugian miliaran dalam satu hari itu adalah calon adik iparnya.
“Gadis itu jelas lebih berkompetensi sesuai yang aku butuhkan. Dia akan membantu diriku menghancurkan semua musuh dengan mudahnya.” Bramasta tersenyum.
“Tidak masalah dengan siapa aku menikah. Yang terpenting gadis kecil ini akan tetap berada dalam cengkramanku. Ternyata tidak sulit menemukannya. Dia datang sendiri ke rumah ini.” Bramasta tersenyum tipis.
“Hah!” Beni bingung dengan senyuman Bramasta yang penuh arti.
“Aku akan menikah dengan putri Anggara,” ucap Bramasta.
“Itu bagus, Tuan. Dokter Alina benar-benar cocok untuk Anda.” Beni tersenyum.
“Setidaknya, Anda tidak akan melajang lagi dan segera punya istri yang cantik.” Beni berbicara di dalam hati.
Bramasta keluar dari ruang kerja dan kembali kepada keluarganya yang masih berkumpul di ruang tengah. Pria itu berdiri di depan kedua orang tua dan adiknya.
“Aku setuju dengan perjodohan ini,” ucap Bramasta mengejutkan keluarganya.
“Ah, syukurlah. Mama sangat senang.” Jolia beranjak dari sofa dan memegang tangan Bramasta.
“Undang mereka untuk makan malam dan membicarakan masalah pernikahan,” tegas Bramasta.
“Baiklah.” Jolia benar-benar senang. Dia tidak menyangka Bramasta membuat semuanya menjadi mudah dan cepat.
“Bagus.” Winarta pun tersenyum.
“Pastikan semua anggota keluarga Anggara datang.” Bramasta melepaskan tangan Jolia dan pergi begitu saja.
“Tidak mungkin Kak Bram menolak wanita secantik dan sepopular dokter Alina.” Jordi tersenyum.
“Benar. Mama dengar dokter Alina cukup terkenal di kalangan rumah sakit. Dia menjadi idola banyak orang,” ucap Jolia melihat foto Alina.
“Bramasta telah mendapatkan jodoh yang tepat.” Winarta pun tersenyum.
“Aku pun tidak akan menolak jika dijodohkan dengan dokter Alina.” Jordi tersenyum lebar.
“Mama akan segera menghubungi Marlina untuk mengundang mereka makan malam ke rumah kita.” Jolia mengambil ponsel.
“Halo, Jeng Mar.” Jolia tersenyum ketika panggilannya diterima.
“Halo, Jeng Lia. Ada apa?” tanya Marlina.
“Aku sangat senang. Bramasta akhirnya setuju dengan perjodohan ini,” jawab Jolia.
“Ah, syukurlah. Kami turut bahagia.” Marlina melihat pada Alina yang duduk tepat di depannya. “Besok malam. Kalian semua harus datang ke rumah kami untuk makan malam dan membicarakan tentang pernikahan Bramasta dengan Alina,” jelas Jolia dengan semangat. “Tentu saja. Kami semua pasti akan datang.” Marlina menutup panggilan dengan perasaan sangat bahagia.“Ada apa, Ma?” tanya Alina lembut.
“Bramasta setuju untuk menikah dengan kamu, Sayang.” Marlina memegang tangan Alina.
“Benarkah. Akhirnya, pria itu berhasil menjadi milikku. Padahal dia sangat sombong dan berkali-kali menolak rencana pernikahan ini. Aku pikir Bramasta itu tidak normal. Hahaha.” Alina tertawa dan memeluk Marlina.
“Apa yang membuat kalian bahagia?” tanya Anggara mendekati anak dan istrinya.
“Mas, akhirnya Bramasta menerima perjodohan ini.” Marlina beranjak dari sofa dan memegang tangan suaminya.
“Benarkah?” Anggara tersenyum lebar. Dia benar-benar senang bisa menjadi keluarga Winarta karena mereka memang sudah berteman dan berbisnis bersama sejak lama.
“Ya, besok malam. Kita diundang untuk makan malam bersama sekaligus membicarakan tentang pernikahan Alina dan Bramasta,” jelas Marlina.
“Itu bagus. Tidak mungkin ada pria yang menolak putri kita.” Anggara memeluk anak dan istrinya.
Terima kasih. Semogas suka.
“Wah!” Mata Aqeela berbinar melihat kue yang ada di atas meja dan sofa ruang tengah.“Surganya kue. Aku suka.” Aqeela akan membuka kotak kue.“Cuci tangan dulu, Aqeela,” tegas Bramasta.“Ya.” Aqeela berlari menuju wastapel.“Ahh!” Bramasta menepuk jidatnya melihat Aqeela yang terus-terusan berlari di dalam rumah.“Untung saja dia bukan gadis yang ceroboh sehingga tidak mudah jatuh atau menabrak.” Bramasta menghela napas melihat Aqeela yang sudah kembali dengan tetap berlari.“Om. Terima kasih,” ucao Aqeela duduk di sofa.“Jangan terlalu banyak karena harus makan malam,” tegas Bramasta.“Siap.” Aqeela tersenyum lebar.“Pasti enak.” Aqeela mengambil garpu dan mulai memotong kue. Dia memasukan ke dalam mulut dan memejamkan mata untuk menikmati setiap rasa yang tercipta.“Mmm. Benar-benar enak.” Aqeela membuka mata dan terkejut melihat wajah Bramasta yang begitu dekat di depannya.“Apa suka?” tanya Bramasta pelan.“Mmm.” Aqeela mengangguk dan tersipu.“Mau.” Aqeela mengambil kue dengan ga
Bramasta bersiap untuk pulang. Dia selalu mengelabui orang-orang dengan dua mobil. Pergi dan pulang dengan kendaraan dan jalur yang berbeda.“Tuan, tumben Anda minta anter saya?” tanya Beni.“Bawa aku ke toko kue yang menyediakan desert buah dan seperti ini.” Bramasta memperlihatkan foto dari ponselnya.“Apa untuk Nyonya?” Beni menahan senyum.“Ya,” Bramasta menyimpan kembali ponsel ke saku kemejanya. “Saya akan membawa Anda, Tuan.” Beni mengendarai mobil dengan kecepatan standar. Dia menuju sebuah toko kue yang sangat terkenal dan selalu ramai.“Kita sampai, Tuan.” Beni menghentikan mobil di tempat parkir.“Ramai sekali.” Bramasta melihat toko yang memiliki tempat tongkrongan.“Toko ini sangat popular dan terkenal enak, Tuan. Cafenya juga selalu ramai anak-anak muda yang baru pulang kerja dan kuliah,” jelas Beni.“Toko baru buka jam tiga sore dan tutup jam sembilan malam,” lanjut Beni.“Bos, tunggu di mobil saja. Saya akan belikan kue untuk Nyonya.” Beni keluar dari mobil. “Saya mau
Jordi terkejut karena mendapatkan laporan bahwa robot buatan Perusahaan Bramasta telah disempurnakan. Terkunci dari jarak jauh dan dipastikan aman. Tidak bisa diotak atik lagi.“Kita tidak bisa merusak robot buatan Perusahaan Tuan Bramasta,” ucap pria berdiri di depan Jordi.“Kenapa begitu cepat?” tanya Jordi menatap tajam pada anak buahnya.“Maaf, Pak. Kami tidak tahu.” Pria itu menunduk.“Apa kalian sudah bisa menghubungi hacker yang dibicarakan Elena?” tanya Jordi mengepalkan tangannya.“Akun sang Hacker telah dihanguskan. Dia tidak menerima pekerjaan lagi,” jawab pria itu.“Apa?” Mata Jordi melotot.“Aku dengar. Setelah menyerang Perusahaan Tuan Bramasta. Beberapa waktu kemudian sang hacker menghilang,” jelas pria itu memberikan ponselnya kepada Jordi. “Apa Aqeela benar-benar hacker itu?” tanya Jordi di dalam hati.“Itu artinya dia yang menyempurnakan robot milik Bram,” gumam Jordi.“Apa Elena sudah tahu bahwa hacker yang dibayarnya sangat mahal itu adalah Aqeela?” tanya Jordi yan
Alina segera beranjak dari lantai dan berlari pergi ke kamar mamanya. Dia melihat pintu yang tertutup rapat.“Ma,” Alina mengetuk dan mencoba membuka pintu kamar, tetapi gagal karena terkunci.“Ma. Apa Mama di dalam?” tanya Alina khawatir. Dia tidak juga mendapatkan jawaban dari mamanya.“Bibi!” teriak Alina dan bibi pun datang.“Ada apa, Non?” tanya bibi.“Di mana kunci kamar ini?” Alina menoleh pada bibi.“Itu Non.” Bibi menunjukkan kunci yang tergantuk di rak sudut di samping pintu kamar.Alina yang terburu-buru dan panik tidak bisa berpikir jernis. Dia ketakutan akan ancaman Anggara.“Buka pintunya, Bi!” perintah Alina menyingkir dari depan pintu.“Baik, Non.” Bibi segera mengambil kunci dan membuka pintu kamar Anggara untuk Alina.“Silakan, Non.” Bibi membuka lebar pintu kamar Marlina.“Ma, Mama.” Alina dengan cepat masuk ke dalam kamar. Dia melihat ruangan itu rapi dan kosong.“Ma! Mama di mana?” Alina memeriksa kamar mandi dan tidak menemukan ibunya.“Bi. Bibi. Di mana mama?” t
Anggara pulang ke rumah di malam hari. Pria itu masih belum sudi melihat wajah Marlina yang telah menyiksa putri kandungnya yang lahir dari rahim wanita yang benar-benar dia cintai. Pernikahan rahasia karena cinta dan bukan bisnis.“Aku tidak menyangka gudang di belakang itu dijadikan tempat penyiksaan Aqeela.” Anggara menghentikan mobil di halaman. Dia masih duduk diam di balik kemudi. Tangannya berat untuk membuka pintu mobil dan masuk ke dalam rumah. Ada rasa benci, sedih dan marah yang membuat dadanya sesak.“Apa yang harus aku lakukan pada Marlina untuk membalas luka Aqeela?” Anggara turun dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah yang sepi. Semua orang sudah tidur kecuali para petugas keamanan dan beberapa pelayan.“Anda pulang, Pak.” Bibi menyambut kedatangan Anggara. “Di mana Marlina dan Alina?” tanya Anggara pelan. Mata pria itu masih bengkak karena menangis. Dia terlihat lemah dan sedih. “Ibu dan Non tidur di kamar masing-masing,” jawab bibi.“Apa Bibi tahu bahwa Marlina
Aqeela masih meringkuk di lantai. Tubuhnya penuh dengan tanda merah ciuman dan cengkraman Bramasta. Bibirnya pun bengkak. Dia kesakitan karena keganasan dan kemarahan sang suami yang terlalu cemburu.“Dulu disiksa Tante Marlina. Sekarang disiksa Om Bram. Kapan aku akan bahagia?” tanya Aqeela menangis. Dia benar-benar tidak mengerti tentang cinta yang berlebihan dari Bramasta.“Aarrggh!” Aqeela beranjak dari lantai dan meninju cermin hingga pecah. Dia melakukan itu tanpa sadar dan tidak sengaja.“Brak!” sepihan cermin jatuh ke lantai. Tangan Aqeela berdarah bercampur air yang terus mengalir.“Aqeela!” Bramasta kembali ke kamar mandi dan melihat Aqeela yang berdiri dengan tangan bercucuran darah hingga lantai kamar mandi pun memerah.“Aqeela!” Bramasta segera menggendong Aqeela dan memindahkan ke tempat tidur. Dia menghubungi dokter Diko.“Arrggh!” Bramasta sangat kesal. Dia memanggil para pelayan perempuan untuk menggantikan pakaian Aqeela. “Kenapa, Aqeela? Kenapa?” Bramasta berteriak