Alina berdiri di depan cermin. Dia mengenakan pakaian paling mewah dan mahal. Wanita muda itu terlihat cantik dan seksi.
“Bramasta hanya jual mahal sehingga terus menunda perjodohan ini. Dan akhirnya, dia pun menerimanya.” Alina tersenyum melihat pantulan dirinya dari cermin. Dia mengagumi kecantikan yang dimilikinya.
“Kamu sangat cantik, Sayang.” Marlina merapikan gaun putih yang dikenakan Alina.
“Terima kasih, Ma.” Alina dan Marlina keluar dari kamar dan menemui Anggara yang telah menunggu di ruang tengah.
“Di mana Aqeela? Kenapa dia belum keluar dari kamar?” tanya Anggara yang tampak gelisah.
“Sayang, Aqeela tidak pulang dari asrama. Dia sangat sibuk dengan tugas kuliahnya.” Marlina memegang tangan Anggara.
“Mama benar, Pa. Aku sudah mengajak Aqeela dan menyiapkan gaun untuknya. Papa tunggu sebentar.” Alina pergi ke kamar Aqeela. Dia mengambil gaun yang memang sudah dibelinya untuk sang adik.
“Ini, Pa. Aku membeli gaun yang hampir sama denganku.” Alina kembali dengan sebuah kotak dan membukanya.
“Tetapi, Aqeela menolaknya.” Alina memperlihatkan gaun putih cantik dengan bunga-bunga indah di ujungnya. Dia memperlihatkan wajah sedih.
“Alina. Kamu adalah kakak yang sangat baik dan peduli pada Aqeela, tetapi entah kenapa dia seperti ini.” Anggara menyentuh gaun dan menatap dengan sedih. Dia sangat ingin melihat putri keduanya tampil cantik dan anggun seperti sang ibu.
“Aku merindukan kamu Calizta. Melihat Aqeela cukup mengobati rinduku padamu.” Anggara berbicara di dalam hatinya.“Kasian Aqeela, Pa. Dia pasti merasa bersalah,” ucap Alina dengan nada lembut dan tampak sedih.
“Tidak usah dipikirkan. Kita pergi sekarang saja.” Anggara meletakkan kembali gaun putih ke dalam kotak. Dia membawa anak dan istrinya keluar rumah dan masuk ke dalam mobil mewah. Mereka pergi ke rumah keluarga Winarta untuk makan malam.
Bramasta berdiri di depan cermin. Pria itu sangat tampan dengan tubuh tinggi dan tegap. Dia tersenyum pada dirinya sendiri.
“Kita akan segera bertemu lagi gadis kecil.” Bramasta menoleh ke pintu karena mendengarkan ketukan.
“Tuan, keluarga Anggara telah berada di ruang tamu,” ucap Beni.
“Ya.” Bramasta tersenyum. Pria itu sudah tidak sabar ingin melihat wajah terkejut Aqeela.
Anggara, Marlina dan Alina telah dibawa ke ruang makan. Mereka masih menunggu Bramasta. Pria yang selalu menjadi tokoh utama di mana pun berada.
“Ini dia. Anak tertua kami.” Jolia tersenyum melihat kedatangan Bramasta yang menghentikan langkah kaki di ujung ruangan.
“Ada apa, Bram?” tanya Winarta.
“Aku meminta semua anggota keluarga Anggara datang,” tegas Bramasta menatap tajam pada Anggara. Dia tidak melihat sama sekali kepada Alina.
“Apa?” Anggara dan istri serta Alina terkejut dengan ucapan Bramasta. Mereka tidak menyangka pria itu sangat peduli dengan kelengkapan anggota keluarga.
“Bukankah Pak Anggara masih mempunyai seorang putri lagi?” tanya Bramasta dengan tetap berdiri tegak.
“Ya, tetapi dia tidak berada di rumah. Aqeela tinggal di asrama kampus,” jelas Anggara.
“Kami mohon maaf karena dia tidak bisa hadir,” ucap Anggara.
“Pertemuan ini dibatalkan. Aku hanya akan bicara ketika semua anggota keluarga lengkap,” tegas Bramasta meninggalkan ruang makan.
“Beni, kita makan di luar,” ucap Bramasta.
“Baik, Tuan.” Beni mengikuti Bramasta. Semua orang terdiam. Alina sangat kecewa. Bramasta tidak melirik sama sekali kepadanya. Dia berdandan cantik dengan sia-sia.“Kami minta maaf atas sikap Bramasta,” ucap Jolia.
“Bramasta memang begitu. Dia selalu memegang ucapannya,” tegas Winarta.
“Mari kita makan dan bicarakan rencana selanjutnya.” Winarta tersenyum. Dia berusaha mencairkan suasana yang hampir beku karena tindakan Bramasta.
“Kami juga minta maaf karena ketidakhadiran Aqeela membuat Pak Bram marah,” ucap Anggara melihat pada Marlina dan Alina.
“Kami juga tidak menyangka. Bram akan bertindak seperti ini.” Jolia tersenyum tidak nyaman dan merasa bersalah.Bramasta duduk di kursi samping Beni yang menjadi sopir. Pria itu menghela napas dengan berat. Dia pun cukup kecewa karena tidak bertemu dengan Aqeela. Rencananya gagal total.
“Apa Aqeela benar-benar di asrama?” tanya Bramasta.
“Saya akan mengeceknya, Tuan.” Beni menghentikan mobil dan membuka ponsel.“Kenapa Tuan Bram tertarik pada gadis kecil? Apa kehadiran Non Aqeela sangat berarti? Bukankah Tuan akan menikah dengan dokter Alina?” Beni bertanya di dalam hati sehingga tidak akan mendapatkan jawaban.
“Non Aqeela berada di lapangan basket kota, Tuan,” ucap Beni.
“Kita pergi ke sana!” perintah Bramasta.
“Apa?” Beni bingung.
“Apa kurang jelas?” Bramasta menatap tajam pada Beni.
“Jelas, Tuan. Tetapi Anda belum makan malam,” ucap Beni.
“Kita makan setelah dari lapangan basket,” tegas Bramasta.
“Baik, Tuan.” Beni menyimpan ponsel dan mengendarai mobil menuju lapangan basket kota.
Beni menghentikan mobil di tempat parkir. Bramasta turun dan memperhatikan sekeliling. Dia bisa melihat lapangan basket yang terbuka. Pria itu mencari keberadaan Aqeela.
“Mereka belum mulai bertanding,” ucap Beni.
“Anda bisa memilih kursi.” Beni menunjukkan tiket masuk lapangan untuk mendapatkan kursi.
“Apa mereka akan bertanding?” tanya Bramasta.
“Tidak. Mereka hanya latihan, tetapi kita tetap butuh izin masuk,” jelas Beni.
“Oh.” Bramasta mengangguk.
Beni dan Bramasta memilih kursi sudut. Ada cukup banyak orang yang menyaksikan pemainan basket.
“Itu Non Aqeela.” Beni menunjukkan jarinya pada seorang gadis yang baru masuk ke dalam lapangan basket.“Baju basket cukup terbuka,” ucap Bramasta yang bisa melihat lengan dan paha Aqeela yang terlihat jelas. Gadis berusia delapan belas tahun itu melakukan salam olah raga bersama rekan-rekan basketnya. Dia akrab dengan teman yang lebih banyak pria dari wanita.
Bramasta menikmati permainan Aqeela. Wanita muda itu benar-benar lincah dan pandai. Dia sering mendapatkan point yang tinggi.
“Saya rasa, Non Aqeela juga cukup popular,” ucap Beni.“Tentu saja. Setiap orang popular di lingkungannya.” Bramasta tersenyum. Pria itu sudah lama tidak bermain basket. Melihat permainan Aqeela dan team membuatnya kembali merasa muda lagi. Ada keinginan untuk mencoba, tetapi dia tidak mungkin masuk ke dalam lapangan dengan tiba-tiba.
“Hubungi Aqeela dan tanyakan kenapa dia tidak hadir dalam makan malam keluarga!” perintah Bramasta.
“Baik, Tuan.” Beni menghubungi nomor Aqeela.
“Qeel, ponsel kamu berdering,” teriak seorang pemuda.
“Ya.” Aqeela yang sedang minum segera mendekati temannnya dan menerima panggilan. Gadis itu duduk di lantai lapangan basket.
“Halo,” salam Aqeela.
“Non Aqeela, kenapa Anda tidak datang ke acara makan malam keluarga Winarta?” tanya Beni.
“Hah?” Aqeela melihat nomor yang tidak terdaftar di layar ponselnya. “Kenapa aku harus datang? Itu bukan acaraku. Mereka hanya perlu bertemu dengan Kakakku,” ucap Aqeela.“Aku tidak mau menjadi pengacau.” Aqeela memutuskan panggilan dan menyimpan ponselnya.
“Itu jawaban Non Aqeela,” ucap Beni.
“Hm.” Bramasta mengangguk.
“Tuan. Berita hari ini benar-benar panas. Semua membicarakan Anda,” ucap Beni melihat layar ponsel.
“Apa aku harus turun tangan?” tanya Bramasta menatap tajam pada Beni.
“Tidak, Tuan. Kami sudah menarik dan menghapus semua berita,” jelas Beni.
“Biaya yang dikeluarkan pun sangat mahal. Penjahat ini benar-benar pintar. Siapa mereka?” tanya Beni di dalam hati.
“Tuan, kami belum menemukan pelakunya. Tidak ada jejak sama sekali,” lanjut Beni.
“Mereka sangat hebat. Ini adalah musuh yang kuat.” Beni menatap Bramasta yang masih terus memperhatikan Aqeela.
“Kita pulang!” Bramasta beranjak dari kursi dan kembali ke mobil.
“Hah! Apa?” Beni ikut berdiri. Pria itu terlihat bingung.
“Baiklah. Anda mau makan di restaurant mana, Tuan?” tanya Beni.
“Restauran yang ada di sekitar sini saja,” jawab Bramasta.
“Baik, Tuan.” Beni mengendarai mobil menuju lokasi terdekat.
Bramasta menikmati makan malam berdua dengan Beni. Dia melihat Aqeela masuk bersama tiga orang tamannya. Satu wanita dan dua pria. Mereka tampak tertawa bahagia dengan canda yang lucu.
“Dia terlihat ceria.” Bramasta memperhatikan Aqeela yang berjalan menuju meja yang telah disiapkan oleh pelayan.
“Tidak heran bayarannya mahal sehingga dia mendapatkan pelayanan yang hampir sama denganku. Gadis kecil itu memiliki ruangan khusus dan perlakukan yang baik dari pihak restaurant. Sepertinya mereka sudah menjadi pelanggan tetap di sini.” Bramasta terus menatap Aqeela.
“Tuan, apa Anda tidak berselera?” tanya Beni melihat Bramasta yang tampak melamun.
“Hm.” Tidak ada jawaban dari Bramasta. Dia melanjutkan makannya. Pria itu yakin dia dan Aqeela akan segera bertemu untuk memperhitungkan semuanya.
Terima kasih. Semoga suka
Empat orang yang tenggelam dalam cinta melakukan aktivitas laut bersama. Mereka berenang, diving, snorkling dan menyelam. Berkeliling pulang dengan kapal pribadi milik Calizta. Liburan yang benar-benar menyenangkan. Doble date yang menjadi hadiah pertemuan tiga orang ayah, ibu dan anak.“Ayo pulang ke rumah kita,” ucap Anggara.“Apa kita punya rumah?” tanya Calizta.“Tentu saja, Sayang. Aku sudah membeli rumah baru dengan aset milik pribadiku.” Anggara tersenyum.“Ini surat ceraiku.” Anggara mengambil ponsel dan memperlihatkan file akta cerainya dengan Marlina.“Walaupun kalian sudah bercerai. Marlina akan dengan senang hati menggangguku,” tegas Calizta.“Anda tidak perlu khawatir. Marlina tidak akan berani. Aku yang akan melindungi Anda dan Aqeela,” ucap Bramasta meyakinkan Calizta.“Kamu harus tahu, Sayang. Bramasta bukan orang sembarangan.” Anggara menyentuh pipi Calizta.“Ah! Sial. Untungnya aku juga punya pasangan.” Bramasta merakul Aqeela.“Benar, Ma. Aku dan suamiku akan melind
Aqeela yang mengetahui Anggara pergi ke kamar Coriana pun mengintip dari ruangannya. Gadis itu terlihat sangat penasaran.“Apa yang kamu lakukan, Sayang? Bagaimana kelanjutan ini?” tanya Bramasta. “Aku melihat papa masuk ke kamar mama,” jawab Aqeela dengan polos. “Kira-kira mereka bicara apa ya? Apa sama denganku?” Aqeela menoleh pada Bramasta dan pria itu sudah berada di belakangnya. “Bagaimana jika kita lihat lebih dekat?” tanya Bramasta yang yakin bahwa Anggara akan menyerang Coriana dengan ganas karena dia juga seorang pria yang akan kelaparan ketika bertemu dengan mangsa berharga. Apalagi wanita itu adalah orang yang sangat dicintai dan dirindukan.“Ayo,” ajak Aqeela. “Sayang, tidak boleh berisik supaya tidak menganggu mereka. Kita harus diam-diam,” bisik Bramasta.“Mmm.” Aqeela mengangguk.“Bagus. Setelah melihat mereka bermesraan. Kamu juga pasti menginginkannya,” gumam Bramasta.“Shhh!” Aqeela membuka pintu utama dengan hati-hati.“Tidak dikunci,” ucap Aqeela. “Tentu saja,
Ketika Anggara dan Coriana masih berpelukan. Aqeela dan Bramasta meminta para koki segera menyajikan makan serta minuman untuk mereka berempat.“Papa pasti sangat lapar setelah perjalanan panjang,” ucap Aqeela.“Aku rasa papa kamu juga tidak makan apa pun karena terus memikirkan mama kamu.” Bramasta tersenyum.“Sampai kapan Papa dan Mama akan berpelukan? Aku sudah lapar.” Aqeela mendekat dengan tangan tetap berpegangan dengan Bramasta.“Aqeela,” ucap Anggara dan Coriana bersama. Pria itu segera melepas pelukannya.“Kemari Aqeela.” Anggara menarik tangan Aqeela dan Bramasta segera melepaskan tangannya.“Kita berkumpul bertiga.” Anggara memeluk Coriana bersama dengan Aqeela. “Anak dan istriku. Dua orang yang sangat aku rindukan dan cintai,” ucap Anggara.Pria itu sudah mempersiapkan diri selama perjalanan ketika bertemu dengan Coriana. Walaupun dia masih terkejut dan tidak percaya. Seseorang yang berarti dan hilang entah kemana. Kini kembali padanya dengan wajah yang sama. Wanita itu te
Bramasta mengalah dengan tidak mengganggu kebersamaan Aqeela dan Coriana. Pria itu hanya memperhatikan dari jauh. Sesekali dia melihat jam berharap Anggara segera datang menjemput istrinya yang tidak lain ibu mertua.Aqeela dan Coriana menghabiskan waktu dengan berceria masa-masa mereka ketika berpisah. Tangis haru, sedih dan bahagia menjadi satu. Tidak terasa waktu berlalu hingga tiba waktu makan siang.“Sayang, matahari sudah tinggi,” ucap Bramasta mendekati Aqeela dan Coriana. Dia tidak ingin sang istri terlambat makan siang.“Ma, ayo kita makan siang,” ajak Aqeela tersenyum.“Iya, Sayang. Bramasta sangat perhatian,” ucap Coriana mengikuti Aqeela dengan bergandengan mendekati Bramasta.“Dia bukan hanya perhatian, Ma. Suamiku sangat melindungi dan menjagaku.” Aqeela berpindah menggandeng Bramasta. Wanita muda itu seakan sadar diri bahwa sang suami sendirian sepanjang hari karena dirinya bersama mamanya.“Tentu saja, Sayang. Aku hanya mencintai dan menyayangi kamu.” Bramasta sangat ba
Tiga orang selesai sarapan. Bramasta hanya dalam hituang jumlah saja. Pria itu seakan sendirian diantara dua wanita yang baru saja bertemu setelah belasan tahun berpisah.“Ma, apa rencana Mama hari ini?” tanya Aqeela memeluk lengan Coriana.“Mama tidak tahu, Sayang. Setelah bertemu dengan kamu. Pikiran Mama menjadi kosong. Rasanya masih tidak percaya bahwa di depan mata ini ada seorang gadis cantik jelita yang tidak lain. Putriku sendiri.” Coriana mengusap pipi Aqeela.“Aku juga Ma. Aku benar-benar bahagia karena dipertemukan dengan Mama. Di saat yang luar biasa.” Aqeela seakan tidak ingin melepaskan pelukannya begitu juga dengan Coriana.“Sayang, kamu belum memperkenalkan suami kamu,” ucap Coriana melihat Bramasta yang memperhatikan mereka.“Ohya, Ma. Perkenalkan suami aku tercinta. Namanya Bramasta. Dia lebih tua dua puluh tahun dari ku. Hahaha, tetapi aku suka.” Aqeela melihat pada Bramasta yang cemberut.“Apa kamu harus menyebutkan perbedaan usia kita?” tanya Bramasta.“Tidak masal
Pemilik Resort bernama Coriana sesuai dengan nama Resort. Dia menikmati matahari terbit seorang diri. “Hangatnya.” Coriana memejamkan mata merasakan sinar dari matahari pagi. “Sayang, jangan lari-lari!” Teriakan Bramasta membuat Coriana membuka mata dan dia melihat Calizta berlari tepat di sampingnya karena jembatan villa mereka memang berdekatan.“Aqeela. Hati-hati jatuh. Aku akan menghukum kamu,” teriak Bramasta.“Apa? Aqeela.” Coriana segera berdiri dan memutar tubuh melihat kea rah Aqeela yang berlari semakin dekat padanya.“Aqeela.” Air mata Coriana tiba-tiba menetes. Senyuman dan tawa Aqeela yang ceria benar-benar mirip dengan dirinya ketika masih remaja. Begitu bersemangat dan selalu bahagia. Dia menjadi pendiam sejak menyendiri.“Aqeela. Apa dia putriku.” Kaki Coriana melangkah tanpa sadar. Dia ingin mengejar Aqeela. “Byurr!” Tubuh Coriana jatuh ke dalam air laut. “Hah!” Aqeela Coriana kesulitan berenang. Wanita itu benar-benar tidak siap. “Aqeela. Tidak!” Bramasta tahu ap