Share

Bab 5 Kecewa

last update Last Updated: 2025-05-25 07:38:31

Alina berdiri di depan cermin. Dia mengenakan pakaian paling mewah dan mahal. Wanita muda itu terlihat cantik dan seksi.

“Bramasta hanya jual mahal sehingga terus menunda perjodohan ini. Dan akhirnya, dia pun menerimanya.” Alina tersenyum melihat pantulan dirinya dari cermin. Dia mengagumi kecantikan yang dimilikinya.

“Kamu sangat cantik, Sayang.” Marlina merapikan gaun putih yang dikenakan Alina.

“Terima kasih, Ma.” Alina dan Marlina keluar dari kamar dan menemui Anggara yang telah menunggu di ruang tengah.

“Di mana Aqeela? Kenapa dia belum keluar dari kamar?” tanya Anggara yang tampak gelisah.

“Sayang, Aqeela tidak pulang dari asrama. Dia sangat sibuk dengan tugas kuliahnya.” Marlina memegang tangan Anggara.

“Mama benar, Pa. Aku sudah mengajak Aqeela dan menyiapkan gaun untuknya. Papa tunggu sebentar.” Alina pergi ke kamar Aqeela. Dia mengambil gaun yang memang sudah dibelinya untuk sang adik.

“Ini, Pa. Aku membeli gaun yang hampir sama denganku.” Alina kembali dengan sebuah kotak dan membukanya.

“Tetapi, Aqeela menolaknya.” Alina memperlihatkan gaun putih cantik dengan bunga-bunga indah di ujungnya. Dia memperlihatkan wajah sedih.

“Alina. Kamu adalah kakak yang sangat baik dan peduli pada Aqeela, tetapi entah kenapa dia  seperti ini.” Anggara menyentuh gaun dan menatap dengan sedih. Dia sangat ingin melihat putri keduanya tampil cantik dan anggun seperti sang ibu.

“Aku merindukan kamu Calizta. Melihat Aqeela cukup mengobati rinduku padamu.” Anggara berbicara di dalam hatinya.

“Kasian Aqeela, Pa. Dia pasti merasa bersalah,” ucap Alina dengan nada lembut dan tampak sedih.

“Tidak usah dipikirkan. Kita pergi sekarang saja.” Anggara meletakkan kembali gaun putih ke dalam kotak. Dia membawa anak dan istrinya keluar rumah dan masuk ke dalam mobil mewah. Mereka pergi ke rumah keluarga Winarta untuk makan malam.

Bramasta berdiri di depan cermin. Pria itu sangat tampan dengan tubuh tinggi dan tegap. Dia tersenyum pada dirinya sendiri.

“Kita akan segera bertemu lagi gadis kecil.” Bramasta menoleh ke pintu karena mendengarkan ketukan.

“Tuan, keluarga Anggara telah berada di ruang tamu,” ucap Beni.

“Ya.” Bramasta tersenyum. Pria itu sudah tidak sabar ingin melihat wajah terkejut Aqeela.

Anggara, Marlina dan Alina telah dibawa ke ruang makan. Mereka masih menunggu Bramasta. Pria yang selalu menjadi tokoh utama di mana pun berada.

“Ini dia. Anak tertua kami.” Jolia tersenyum melihat kedatangan Bramasta yang menghentikan langkah kaki di ujung ruangan.

“Ada apa, Bram?” tanya Winarta.

“Aku meminta semua anggota keluarga Anggara datang,” tegas Bramasta menatap tajam pada Anggara. Dia tidak melihat sama sekali kepada Alina.

“Apa?” Anggara dan istri serta Alina terkejut dengan ucapan Bramasta. Mereka tidak menyangka pria itu sangat peduli dengan kelengkapan anggota keluarga.

“Bukankah Pak Anggara masih mempunyai seorang putri lagi?” tanya Bramasta dengan tetap berdiri tegak.

“Ya, tetapi dia tidak berada di rumah. Aqeela tinggal di asrama kampus,” jelas Anggara.

“Kami mohon maaf karena dia tidak bisa hadir,” ucap Anggara.

“Pertemuan ini dibatalkan. Aku hanya akan bicara ketika semua anggota keluarga lengkap,” tegas Bramasta meninggalkan ruang makan.

“Beni, kita makan di luar,” ucap Bramasta.

“Baik, Tuan.” Beni mengikuti Bramasta.

Semua orang terdiam. Alina sangat kecewa. Bramasta tidak melirik sama sekali kepadanya. Dia berdandan cantik dengan sia-sia.

“Kami minta maaf atas sikap Bramasta,” ucap Jolia.

“Bramasta memang begitu. Dia selalu memegang ucapannya,” tegas Winarta.

“Mari kita makan dan bicarakan rencana selanjutnya.” Winarta tersenyum. Dia berusaha mencairkan suasana yang hampir beku karena tindakan Bramasta.

“Kami juga minta maaf karena ketidakhadiran Aqeela membuat Pak Bram marah,” ucap Anggara melihat pada Marlina dan Alina.

“Kami juga tidak menyangka. Bram akan bertindak seperti ini.” Jolia tersenyum tidak nyaman dan merasa bersalah.

Bramasta duduk di kursi samping Beni yang menjadi sopir. Pria itu menghela napas dengan berat. Dia pun cukup kecewa karena tidak bertemu dengan Aqeela. Rencananya gagal total.

“Apa Aqeela benar-benar di asrama?” tanya Bramasta.

“Saya akan mengeceknya, Tuan.” Beni menghentikan mobil dan membuka ponsel.

“Kenapa Tuan Bram tertarik pada gadis kecil? Apa kehadiran Non Aqeela sangat berarti? Bukankah Tuan akan menikah dengan dokter Alina?” Beni bertanya di dalam hati sehingga tidak akan mendapatkan jawaban.

“Non Aqeela berada di lapangan basket kota, Tuan,” ucap Beni.

“Kita pergi ke sana!” perintah Bramasta.

“Apa?” Beni bingung.

“Apa kurang jelas?” Bramasta menatap tajam pada Beni.

“Jelas, Tuan. Tetapi Anda belum makan malam,” ucap Beni.

“Kita makan setelah dari lapangan basket,” tegas Bramasta.

“Baik, Tuan.” Beni menyimpan ponsel dan mengendarai mobil menuju lapangan basket kota.

Beni menghentikan mobil di tempat parkir. Bramasta turun dan memperhatikan sekeliling. Dia bisa melihat lapangan basket yang terbuka. Pria itu mencari keberadaan Aqeela.

“Mereka belum mulai bertanding,” ucap Beni.

“Anda bisa memilih kursi.” Beni menunjukkan tiket masuk lapangan untuk mendapatkan kursi.

“Apa mereka akan bertanding?” tanya Bramasta.

“Tidak. Mereka hanya latihan, tetapi kita tetap butuh izin masuk,” jelas Beni.

“Oh.” Bramasta mengangguk.

Beni dan Bramasta memilih kursi sudut. Ada cukup banyak orang yang menyaksikan pemainan basket.

“Itu Non Aqeela.” Beni menunjukkan jarinya pada seorang gadis yang baru masuk ke dalam lapangan basket.

“Baju basket cukup terbuka,” ucap Bramasta yang bisa melihat lengan dan paha Aqeela yang terlihat jelas. Gadis berusia delapan belas tahun itu  melakukan salam olah raga bersama rekan-rekan basketnya. Dia akrab dengan teman yang lebih banyak pria dari wanita.

Bramasta menikmati permainan Aqeela. Wanita muda itu benar-benar lincah dan pandai. Dia sering mendapatkan point yang tinggi.

“Saya rasa, Non Aqeela juga cukup popular,” ucap Beni.

“Tentu saja. Setiap orang popular di lingkungannya.” Bramasta tersenyum. Pria itu sudah lama tidak bermain basket. Melihat permainan Aqeela dan team membuatnya kembali merasa muda lagi. Ada keinginan untuk mencoba, tetapi dia tidak mungkin masuk ke dalam lapangan dengan tiba-tiba.

“Hubungi Aqeela dan tanyakan kenapa dia tidak hadir dalam makan malam keluarga!” perintah Bramasta.

“Baik, Tuan.” Beni menghubungi nomor Aqeela.

“Qeel, ponsel kamu berdering,” teriak seorang pemuda.

“Ya.” Aqeela yang sedang minum segera mendekati temannnya dan menerima panggilan. Gadis itu duduk di lantai lapangan basket.

“Halo,” salam Aqeela.

“Non Aqeela, kenapa Anda tidak datang ke acara makan malam keluarga Winarta?” tanya Beni.

“Hah?” Aqeela melihat nomor yang tidak terdaftar di layar ponselnya.

“Kenapa aku harus datang? Itu bukan acaraku. Mereka hanya perlu bertemu dengan Kakakku,” ucap Aqeela.

“Aku tidak mau menjadi pengacau.” Aqeela memutuskan panggilan dan menyimpan ponselnya.

“Itu jawaban Non Aqeela,” ucap Beni.

“Hm.” Bramasta mengangguk.

“Tuan. Berita hari ini benar-benar panas. Semua membicarakan Anda,” ucap Beni melihat layar ponsel.

“Apa aku harus turun tangan?” tanya Bramasta menatap tajam pada Beni.

“Tidak, Tuan. Kami sudah menarik dan menghapus semua berita,” jelas Beni.

“Biaya yang dikeluarkan pun sangat mahal. Penjahat ini benar-benar pintar. Siapa mereka?” tanya Beni di dalam hati.

“Tuan, kami belum menemukan pelakunya. Tidak ada jejak sama sekali,” lanjut Beni.

“Mereka sangat hebat. Ini adalah musuh yang kuat.” Beni menatap Bramasta yang masih terus memperhatikan Aqeela.

“Kita pulang!” Bramasta beranjak dari kursi dan kembali ke mobil.

“Hah! Apa?” Beni ikut berdiri. Pria itu terlihat bingung.

“Baiklah. Anda mau makan di restaurant mana, Tuan?” tanya Beni.

“Restauran yang ada di sekitar sini saja,” jawab Bramasta.

“Baik, Tuan.” Beni mengendarai mobil menuju lokasi terdekat.

Bramasta menikmati makan malam berdua dengan Beni. Dia melihat Aqeela masuk bersama tiga orang tamannya. Satu wanita dan dua pria. Mereka tampak tertawa bahagia dengan canda yang lucu.

“Dia terlihat ceria.” Bramasta memperhatikan Aqeela yang berjalan menuju meja yang telah disiapkan oleh pelayan.

“Tidak heran bayarannya mahal sehingga dia mendapatkan pelayanan yang hampir sama denganku. Gadis kecil itu memiliki ruangan khusus dan perlakukan yang baik dari pihak restaurant. Sepertinya mereka sudah menjadi pelanggan tetap di sini.” Bramasta terus menatap Aqeela.

“Tuan, apa Anda tidak berselera?” tanya Beni melihat Bramasta yang tampak melamun.

“Hm.” Tidak ada jawaban dari Bramasta. Dia melanjutkan makannya. Pria itu yakin dia dan Aqeela akan segera bertemu untuk memperhitungkan semuanya.

Fit Tree Fitri

Terima kasih. Semoga suka

| 31
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tiba-tiba Menjadi Istri Presdir   Bab 116 Perhatian

    Bramasta pindah ke sofa. Dia membuka computer. Beni telah kembali dengan banyak pekerjaan. Nave pun melaporkan hasil penyelidikan tentang penusukan dan penculikan.“Bos.” Nave berdiri di depan Bramasta.“Berbicara pelan-pelan,” ucap Bramasta melihat pada Aqeela.“Jangan sampai membangunkan istriku,” tegas pria itu dengan suara yang juga pelan.“Mm.” Nave dan Beni saling pandang. Mereka tidak pernah melihat Bramasta berbicara seperti berbisik saja. Sang raja seakan takut membuat istrinya tidak nyaman. Apalagi terbangun dari tidur.“Nave dulu.” Bramasta menggerakkan jari telunjuknya agar Nave mendekat dan berbicara pelan.“Penusukan memang rencana Alina. Penculikan dilakukan oleh Elena,” bisik Nave.“Apa? Ah!” Bramasta menutup mulutnya. Dia benar-benar tidak ingin membuat Aqeela terbangun.“Kenapa Elena menculik Aqeela? Para penculik terlihat jelas tidak ingin menyakiti Aqeela. Padahal kita tahu benar bahwa wanita itu sangat kejam.” Bramasta menatap Nave.“Kami belum mengetahui motifny

  • Tiba-tiba Menjadi Istri Presdir   Bab 115 Selalu Bersama

    Aqeela hanya diam saja. Gadis itu benar-benar seperti anak kecil yang sedang diurus oleh Omnya.“Apa kamu mau membuka baju sehingga aku bisa membersihkan lengan dan perut?” tanya Bramasta memecahkan kesunyian.“Hah! Apa?” Aqeela terkejut.“Buka baju kamu. Aku akan mengelapnya,” ucap Bramasta.“Tidak usah, Om.” Aqeela menahan bajunya.“Kamu belum mandi dari kemarin. Apa lupa dengan gua yang begitu menjijikan?” Bramasta menatap Aqeela.“Ini sudah diganti dengan baju pasien yang bersih,” ucap Aqeela.“Aku akan memeriksa lengan kamu.” Bramasta membuka kancing piyama Aqeela.“Om.” Aqeela memegang tangan Aqeela.“Tidak usah khawatir. Aku tidak akan menganiaya istriku yang sedang sakit. Aku sangat tahu Batasan dan cukup pengertian. Aku tidak sejahat apa yang kamu pikirkan, Aqeela. Kecuali aku marah.” Bramasta tersenyum.“Aku akan menjaga dan melindungi kamu. Aku berjanji. Tidak akan pernah menyakiti kamu,” ucap Bramasta pelan.“Mmm.” Aqeela mengangguk. Dia melepaskan tangan Bramasta yang mel

  • Tiba-tiba Menjadi Istri Presdir   Bab 114 Merawat

    Jordi membuka mata. Dia menyadari kehadiran Winarta dan Bramasta yang masuk ke kamar Aqeela. Pria itu segera beranjak dari sofa dan berjalan mendekati tempat tidur kakak iparnya.“Kenapa Bramasta sangat betuntung mendapatkan istri cantik dan cerdas? Dia bahkan penuh cinta dan pengorbanan.” Jordi menyentuh pipi Aqeela dan merapikan rambut wanita itu.“Aku menginginkan, kamu Aqeela. Apa bisa?” tanya Jordi mencium dahi Aqeela.“Mm.” Aqeela mengusap dahinya. Dia membuka mata dan Jordi segera keluar ruangan.“Om!” Aqeela berteriak sehingga membangunkan Bramasta.“Aqeela.” Bramasta segera duduk dan menyentuh pipi Aqeela.“Om.” Aqeela memeluk Bramasta.“Terima kasih, Aqeela.” Bramasta memelut erat tubuh Aqeela.“Om. Bagaimana tangan. Om?” Aqeela memeriksa tangan Bramasta.“Aqeela, kamu yang terluka.” Bramasta memegang ke dua tangan Aqeela yang dibungkus kain kasa.“Oh iya.” Aqeela tersenyum.“Kamu tidak boleh membahayakan diri untuk menyelamatkan aku, Aqeela. Aku yang harus melindungi kamu,”

  • Tiba-tiba Menjadi Istri Presdir   Bab 113 Penyelamatan

    Aqeela tanpa ragu melompat ke posisi Bramasta sehingga pria itu cukup terkejut. Sang istri berusaha mengangkat kembali tubuh suaminya.“Nyonya!” para pengawal sangat terkejut. Mereka tidak menyangka Nyonya muda sangat pemberani. “Aqeela. Kenapa kamu turun lagi?” Bramasta melotot.Aqeela tidak menjawab. Dia membuka ikat pinggang Bramasta dan menyambungkan dengan miliknya. “Apa yang kamu lakukan?” Bramasta memperhatikan Aqeela yang mengikat tubuh mereka berdua dengan ikat pinggang.“Bukankah Om mau kita terus bersama?” Aqeela tersenyum. Dia mengambil kedua tangan Bramasta dan melingkarkan di pinggangnya. Mengikat dengan kemeja pria itu agar tidak terlepas. “Ya.” Bramasta mengangguk bahagia. Pria itu tidak peduli lagi dengan bahaya. Dia percaya pada istrinya yang cerdas.Penembak tidak bisa memfokuskan Bramasta karena ada Aqeela. Mereka tidak mau mengambil resiko menyakiti gadis yang sangat berharga itu.“Kita tidak bisa menempak,” ucap pria dari helicopter musuh. “Gadis itu sangat pe

  • Tiba-tiba Menjadi Istri Presdir   Bab 112 Situasi Berbahaya

    Tangan Aqeela masih diikat. Dia ditarik dengan tali lain. Para penculik tidak berani menyentuh gadis itu. “Apa masih jauh?” tanya Aqeela.“Kenapa?” Pria itu balik bertanya.“Aku lelah,” ucap Aqeela.“Kaki ku sudah sakit,” lanjut Aqeela duduk di pasir.“Jangan duduk sembarangan,” tegas seorang pria mengangkat tubuh Aqeela.“Ada banyak hewan berbahaya di pasir dan batu,” ucap pria itu menatap Aqeela.“Aku akan menggendong kamu.” Seorang berjongkok di depan Aqeela.“Tidak usah.” Aqeela menolak. Dia bingung karena para penjahat memperlakukannya cukup baik setelah seseorang mencekiknya karena marah. “Kalau begitu berjalanlah lebih cepat. Kita masih jauh,” tegas seorang pria yang mau menggendong Aqeela. “Ada yang datang.” Lampu senter dimatikan sehingga gua benar-benar gelap.“Aku tidak bisa melihat apa pun.” Tubuh Aqeela menyender ke dinding. Dia bisa merasakan suhu yang sangat lembat. Suara deritan yang tidak jelas seakan bergerak di telinganya. “Aqeela,” sapa Bramasta.“Om Bram.” Aqee

  • Tiba-tiba Menjadi Istri Presdir   Bab 111 Menegangkan

    Alina duduk di mobil. Dia sendirian dengan ponsel tanpa jaringan.“Semoga Aqeela tidak pernah lagi kembali.” Alina melihat kapal yang sudah membawa Aqeela. Dia tersenyum puas melihat sang adik yang sudah dibawa pergi.Sebuah motor diiringi mobil mendekat. Aqeela memperhatikan pria yang membuka helm dengan cepat.“Ya Tuhan. Bramasta.” Mata Alina melotot melihat wajah tampan Bramasta. Pria itu terlihat berbeda dan semakin mempesona dengan gaya anak motor.“Dia seperti anak muda,” ucap Alina tersenyum melihat Bramasta mendekatinya.“Di mana Aqeela?” Bramasta langsung menceking leher Alina. Wanita itu benar-benar terkejut. Imajinasi indahnya langsung sirna.“Mereka membawa Aqeela dengan kapal,” jawab Alina kesulitan.“Apa ini rencana kamu?” Bramasta menatap tajam pada Alina.“Aku bukan wanita bodoh yang rela menyakiti diri sendiri,” tegas Alina. “Kenapa mereka hanya membawa Aqeela dan meninggalkan kamu di sini?” tanya Bramasta.“Mereka mengatakan Aqeela lebih berharga dariku. Aku punya re

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status