Aqeela masuk ke dalam rumah. Dia melihat Anggara, Marlina dan Alina sedang berpelukan. Mereka terlihat seperti keluarga yang sempurna dalam cinta dan kasih sayang yang nyata. Berbeda dengan dirinya yang tidak pernah dipedulikan. Dirinya hanyalah putri dari seorang wanita simpanan yang direndahkan.
“Keluarga yang bahagia,” ucap Aqeela melewati papanya. Dia tidak pernah mendapatkan pelukan itu. Dirinya tidak pernah dianggap di dalam keluarganya sendiri.
“Aqeela,” sapa Alina dengan lembut.“Ya.” Aqeela menghentikan langkah kakinya.
“Kenapa pulang?” tanya Marlina.
“Aku mau mengambil pakaian. Setelah itu pergi lagi,” jawab Aqeela.
“Apa yang kamu lakukan, Qeela? Kenapa pakaian kamu sangat kotor?” tanya Anggara mendekati Aqeela.
“Aku bekerja,” jawab Aqeela.
“Apa yang kamu kerjakan? Apa uang yang Papa berikan tidak cukup untuk biaya kuliah dan makan?” tanya Anggara.
“Mar, Apa kamu tidak memberikan uang kepada Aqeela?” tanya Anggara pada Marlina.“Aku sudah memberikan seperti yang kamu perintahkan. Pasti Aqeela sendiri yang mau bekerja dan bukan karena kekurangan uang. Ayo Aqeela, Mama bantu kamu bersih-bersih. Kenapa terlambat pulang? Apa kamu sudah makan malam?” Marlina menarik tangan Aqeela pergi ke kamar. Wanita itu terlihat sangat peduli pada anak kedua Anggara dari wanita lain.
“Aku akan membantu mama, Pa.” Alina pun menyusul Aqeela dan Marlina.
“Anak ini. Sejak ibunya pergi. Dia semakin liar. Ini semua salahku yang gagal mendidiknya. Aqeela tidak seperti Alina.” Anggara duduk di sofa.
“Seharusnya aku tidak tergoda pada Calizta yang cantik dan cerdas, tetapi dia telah membantuku bangkit dari keterpurukan sehingga aku jatuh cinta dan menikahinya. Aku lupa bahwa sudah punya istri. Maafkan papa, Aqeela.” Anggara mengusap wajahnya dengan kasar.
“Pernikahan dengan Marlina adalah kesepakatan bisnis. Tidak ada cinta hingga aku bertemu dengan Calizta.” Anggara menghela napas dengan berat. Dia benar-benar mencintai mama Aqeela, tetapi keadaan tidak merestui hubungan mereka sehingga hanya menikah secara siri dan sang anak menjadi putri keduanya bersama Marlina.
Marlina mendorong tubuh Aqeela hingga jatuh ke sofa. Gadis muda itu hanya diam saja. Dia malas berdebat dengan ibu tirinya karena memang salahnya sendiri yang lahir dari istri kedua papanya.
“Aqeela, kenapa kamu pulang dengan pakaian kotor? Apa kamu mau memberitahu Anggara bahwa uang bulanan kamu yang sedikit?” tanya Marlina dengan suara nyaring.“Maaf, Tante. Aku tidak tahu ada papa di rumah,” jawab Aqeela.
“Tante, tenang saja. Aku tidak akan menginap. Aku hanya pulang untuk menngambil pakaianku dan langsung kembali ke asrama,” jelas Aqeela.
“Itu bagus. Aku tidak suka melihat kamu di rumah ini karena wajah kamu mengingatkanku kepada Calizta yang telah menghancurkan keluarga kami ini.” Marlina mencengkram dagu Aqeela yang lancip.“Aku tahu itu, Tante.” Aqeela beranjak dari sofa. Dia mengambil tas dan membuka lemari.
“Qeel, besok malam kamu pulang ya.” Alina mendekati Aqeela. Wanita itu berbicara dengan lembutnya.
“Untuk apa dia pulang? Hanya akan mengacau saja,” tegas Marlina.
“Ma, Aqeela adalah adikku. Dia juga keluarga Anggara. Jadi, tetap harus hadir di acara makan malam dua keluarga besar.” Alina tersenyum. Dia merapikan rambut Aqeela yang berantakan.
“Alina, apa kamu mau merusak acara makan malam keluarga besar dengan mengajak Aqeela?” Marlina menatap tajam pada Aqeela.
“Ma, Aqeela sudah besar. Dia pasti mengerti sopan santun dan tata krama. Iyakan, Aqeela.” Alina tersenyum.
“Tante tidak usah khawatir. Aku tidak akan datang.” Aqeela segera membereskan pakaian ke dalam tas ranselnya.
“Kamu memang tidak boleh datang. Itu akan membuat malu keluarga kami saja,” ucap Marlina tersenyum.
“Maafkan mama, Aqeela. Kakak akan membelikan gaun pesta untuk kamu. Apa kamu mau?” tanya Alina.
“Terima kasih, Kak. Aku tidak butuh gaun.” Aqeela keluar dari kamar. Gadis muda itu bahkan tidak sempat membersihkan diri karena terus diganggu Marlina dan Alina.
Aqeela mengendarai motor balapnya. Dia meninggalkan rumah mewah dan kembali ke asrama kampus. Gadis itu benar-benar tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarganya.
“Alina, apa kamu serius mau mengajak Aqeela ke acara makan malam?” tanya Marlina.
“Aqeela tidak mungkin hadir dan keluarga Bramasta pun tidak akan peduli.” Alina tersenyum.
“Kamu benar. Aqeela hanya anak dari seorang simpanan. Masih bagus dia bisa masuk dalam kartu keluarga kita dan menjadi putri kedua keluarga Anggara.” Marlina tersenyum.“Mama tidak perlu khawatir. Aqeela tidak ada apa-apanya.” Alina menutup lemari pakaian Aqeela yang hanya berupa kaos, kemeja dan celana saja. Tidak ada satu pun gaun yang terlihat.
“Benar. Dia tidak akan bisa menyaingi kamu, Alina.” Marlina tersenyum.
“Itu sudah pasti, Ma. Aqeela bahkan tidak mampu mengambil jurusan kedokteran.” Alina sangat bangga pada dirinya yang seorang dokter bedah. Dia sangat popular di dunia kedokteran dan kesehatan.
“Ayo kita beristirahat. Besok, kita pergi berbelanja untuk persiapan makan malam bersama keluarga Bramasta Winarta.” Marlina menggandeng tangan Alina. Mereka keluar dari kamar Aqeela.
Aqeela mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Butiran bening menetes membasahi pipinya. Dia terluka dan kecewa. Ada rasa sakit ketika melihat Alina yang begitu bahagia bersama dua orang tua yang penuh kasih dan sayang. Sedangkan dirinya hanyalah putri kedua yang terbuang.
“Kenapa aku harus lahir dari istri kedua? Ini benar-benar menyakitkan. Aku hanyalah anak dari seorang simpanan yang rendah.” Aqeela menghentikan motor di tempat parkir. Dia membuka helm dan berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Menghapus air mata yang membasahi pipi putihnya.
“Hah! Lelah.” Aqeela merebahkan tubuh di kasur. Dia melihat saldo rekeningnya yang terisi penuh.“Aku tidak kekurangan uang, Pa. Aku bisa mendapatkan semuanya dengan usahaku sendiri.” Aqeela hidup dalam kesederhanaa dan kemandirian. Padahal orang tuanya sangat kaya. Dia bisa menghasilkan uang dengan pekerjaan yang cukup berbahaya.
Ponsel Aqeela berdering. Dia melihat nama Rangga yang muncul di layar. Wanita muda yang baru selesai mandi itu pun menerima panggilan.
“Halo, ada apa, Rang?” tanya Aqeela duduk di kursi kerjanya.
“Qeel, kamu kemana saja? Aku benar-benar khawatir. Ponsel kamu tidak bisa dihubungi. Apa kamu baik-baik saja? Bagaimana pekerjaan hari ini?” Rangga benar-benar khawatir.
“Semua aman, tetapi aku gagal,” ucap Aqeela.
“Tidak masalah. Aku dengar kamu sudah mengembalikan uang client.” Rangga yang merupakan ketua tim mengetahui semua hal tentang pekerjaan mereka.
“Ya. Maaf, aku juga mengembalikan semua data yang diambil kepada Perusahaan Robotic,” jelas Aqeela.
“Tidak masalah. Yang terpenting kamu selamat dan tidak ketahuan,” ucap Rangga.
“Ya. Aku mau istirahat dulu.” Aqeela memutuskan panggilan.
“Qeel.” Rangga melihat layar ponsel yang telah mati.
“Kamu tidak gagal, Qeel. Perusahaan Bramasta tetap mengalami kerugian yang cukup besar sehingga client masih mengirimkan pembayaran untuk kita.” Rangga tersenyum. Pemuda itu tidak tahu bahwa Aqeela mendapatkan ganti rugi dari Bramasta sehingga dia terhindar dari masalah.Terima kasih. Semoga suka.
Empat orang yang tenggelam dalam cinta melakukan aktivitas laut bersama. Mereka berenang, diving, snorkling dan menyelam. Berkeliling pulang dengan kapal pribadi milik Calizta. Liburan yang benar-benar menyenangkan. Doble date yang menjadi hadiah pertemuan tiga orang ayah, ibu dan anak.“Ayo pulang ke rumah kita,” ucap Anggara.“Apa kita punya rumah?” tanya Calizta.“Tentu saja, Sayang. Aku sudah membeli rumah baru dengan aset milik pribadiku.” Anggara tersenyum.“Ini surat ceraiku.” Anggara mengambil ponsel dan memperlihatkan file akta cerainya dengan Marlina. “Walaupun kalian sudah bercerai. Marlina akan dengan senang hati menggangguku,” tegas Calizta.“Anda tidak perlu khawatir. Marlina tidak akan berani. Aku yang akan melindungi Anda dan Aqeela,” ucap Bramasta meyakinkan Calizta.“Kamu harus tahu, Sayang. Bramasta bukan orang sembarangan.” Anggara menyentuh pipi Calizta. “Ah! Sial. Untungnya aku juga punya pasangan.” Bramasta merakul Aqeela.“Benar, Ma. Aku dan suamiku akan mel
Aqeela yang mengetahui Anggara pergi ke kamar Coriana pun mengintip dari ruangannya. Gadis itu terlihat sangat penasaran.“Apa yang kamu lakukan, Sayang? Bagaimana kelanjutan ini?” tanya Bramasta. “Aku melihat papa masuk ke kamar mama,” jawab Aqeela dengan polos. “Kira-kira mereka bicara apa ya? Apa sama denganku?” Aqeela menoleh pada Bramasta dan pria itu sudah berada di belakangnya. “Bagaimana jika kita lihat lebih dekat?” tanya Bramasta yang yakin bahwa Anggara akan menyerang Coriana dengan ganas karena dia juga seorang pria yang akan kelaparan ketika bertemu dengan mangsa berharga. Apalagi wanita itu adalah orang yang sangat dicintai dan dirindukan.“Ayo,” ajak Aqeela. “Sayang, tidak boleh berisik supaya tidak menganggu mereka. Kita harus diam-diam,” bisik Bramasta.“Mmm.” Aqeela mengangguk.“Bagus. Setelah melihat mereka bermesraan. Kamu juga pasti menginginkannya,” gumam Bramasta.“Shhh!” Aqeela membuka pintu utama dengan hati-hati.“Tidak dikunci,” ucap Aqeela. “Tentu saja,
Ketika Anggara dan Coriana masih berpelukan. Aqeela dan Bramasta meminta para koki segera menyajikan makan serta minuman untuk mereka berempat.“Papa pasti sangat lapar setelah perjalanan panjang,” ucap Aqeela.“Aku rasa papa kamu juga tidak makan apa pun karena terus memikirkan mama kamu.” Bramasta tersenyum.“Sampai kapan Papa dan Mama akan berpelukan? Aku sudah lapar.” Aqeela mendekat dengan tangan tetap berpegangan dengan Bramasta.“Aqeela,” ucap Anggara dan Coriana bersama. Pria itu segera melepas pelukannya.“Kemari Aqeela.” Anggara menarik tangan Aqeela dan Bramasta segera melepaskan tangannya.“Kita berkumpul bertiga.” Anggara memeluk Coriana bersama dengan Aqeela. “Anak dan istriku. Dua orang yang sangat aku rindukan dan cintai,” ucap Anggara.Pria itu sudah mempersiapkan diri selama perjalanan ketika bertemu dengan Coriana. Walaupun dia masih terkejut dan tidak percaya. Seseorang yang berarti dan hilang entah kemana. Kini kembali padanya dengan wajah yang sama. Wanita itu te
Bramasta mengalah dengan tidak mengganggu kebersamaan Aqeela dan Coriana. Pria itu hanya memperhatikan dari jauh. Sesekali dia melihat jam berharap Anggara segera datang menjemput istrinya yang tidak lain ibu mertua.Aqeela dan Coriana menghabiskan waktu dengan berceria masa-masa mereka ketika berpisah. Tangis haru, sedih dan bahagia menjadi satu. Tidak terasa waktu berlalu hingga tiba waktu makan siang.“Sayang, matahari sudah tinggi,” ucap Bramasta mendekati Aqeela dan Coriana. Dia tidak ingin sang istri terlambat makan siang.“Ma, ayo kita makan siang,” ajak Aqeela tersenyum.“Iya, Sayang. Bramasta sangat perhatian,” ucap Coriana mengikuti Aqeela dengan bergandengan mendekati Bramasta.“Dia bukan hanya perhatian, Ma. Suamiku sangat melindungi dan menjagaku.” Aqeela berpindah menggandeng Bramasta. Wanita muda itu seakan sadar diri bahwa sang suami sendirian sepanjang hari karena dirinya bersama mamanya.“Tentu saja, Sayang. Aku hanya mencintai dan menyayangi kamu.” Bramasta sangat ba
Tiga orang selesai sarapan. Bramasta hanya dalam hituang jumlah saja. Pria itu seakan sendirian diantara dua wanita yang baru saja bertemu setelah belasan tahun berpisah.“Ma, apa rencana Mama hari ini?” tanya Aqeela memeluk lengan Coriana.“Mama tidak tahu, Sayang. Setelah bertemu dengan kamu. Pikiran Mama menjadi kosong. Rasanya masih tidak percaya bahwa di depan mata ini ada seorang gadis cantik jelita yang tidak lain. Putriku sendiri.” Coriana mengusap pipi Aqeela.“Aku juga Ma. Aku benar-benar bahagia karena dipertemukan dengan Mama. Di saat yang luar biasa.” Aqeela seakan tidak ingin melepaskan pelukannya begitu juga dengan Coriana.“Sayang, kamu belum memperkenalkan suami kamu,” ucap Coriana melihat Bramasta yang memperhatikan mereka.“Ohya, Ma. Perkenalkan suami aku tercinta. Namanya Bramasta. Dia lebih tua dua puluh tahun dari ku. Hahaha, tetapi aku suka.” Aqeela melihat pada Bramasta yang cemberut.“Apa kamu harus menyebutkan perbedaan usia kita?” tanya Bramasta.“Tidak masal
Pemilik Resort bernama Coriana sesuai dengan nama Resort. Dia menikmati matahari terbit seorang diri. “Hangatnya.” Coriana memejamkan mata merasakan sinar dari matahari pagi. “Sayang, jangan lari-lari!” Teriakan Bramasta membuat Coriana membuka mata dan dia melihat Calizta berlari tepat di sampingnya karena jembatan villa mereka memang berdekatan.“Aqeela. Hati-hati jatuh. Aku akan menghukum kamu,” teriak Bramasta.“Apa? Aqeela.” Coriana segera berdiri dan memutar tubuh melihat kea rah Aqeela yang berlari semakin dekat padanya.“Aqeela.” Air mata Coriana tiba-tiba menetes. Senyuman dan tawa Aqeela yang ceria benar-benar mirip dengan dirinya ketika masih remaja. Begitu bersemangat dan selalu bahagia. Dia menjadi pendiam sejak menyendiri.“Aqeela. Apa dia putriku.” Kaki Coriana melangkah tanpa sadar. Dia ingin mengejar Aqeela. “Byurr!” Tubuh Coriana jatuh ke dalam air laut. “Hah!” Aqeela Coriana kesulitan berenang. Wanita itu benar-benar tidak siap. “Aqeela. Tidak!” Bramasta tahu ap