FAZER LOGIN"Bolehkah hari ini aku ikut kamu ke kantor?" tanya Emely tiba-tiba.
Darren mengerutkan kening. "Tumben?" Mereka kini sedang berada di meja makan menikmati sarapan bersama. wajah keduanya tampak sumeringah. Ini semua karena kejadian semalam di mana Emely berhasil menyalurkan hasratnya pada sang suami meski kali ini dia yang bekerja keras. Tidak apa. yang penting sama-sama terasa meski kenyataannya Darren yang keluar duluan. "Memangnya tidak boleh?" tanya Emily kemudian. Darren terkekeh. "Pasti ini karena sahabat kamu yang bekerja di kantor," ujarnya kemudian. Emely melebarkan senyumannya. "Tahu aja. Boleh, ya. Boleh?" Darren mengangguk. "Sure. Tapi ingat jangan sampai kamu mengganggu pekerjaannya karena itu akan mengganggu aku juga." Emely mengangguk patuh. Mereka kembali menikmati sarapan mereka. sepertinya hubungan mereka menjadi baik. Kegiatan keduanya tak luput dari perhatian seseorang. Hans, melihat interaksi itu dengan kesal. Dia mengepalkan tangan tetapi harus menahannya. Pria itu pun berjalan ke arah meja makan dengan ekspresi kaku. Sangat berbeda dengan biasanya dan Emely menyadari itu. Dia pun bertanya-tanya dalam hati tentang ekspresi Hans pagi ini. Hans duduk di meja makan dan mulai menikmati sarapannya dengan diam. "Hari ini mau ke mana?" tanya Darren. Pertanyaan itu ditujukan pada Hans. Tanpa menoleh Hans menjawab, "Ke pinggiran kota." Darren menghentikan gerakan tangannya lalu menatap sang adik. "Kau mau ke tempat itu lagi?" tanyanya kemudian. Darren melihat adiknya itu mengangguk sekilas tanpa menoleh dan itu membuat Darren menghela napas dalam. "Kenapa kau tidak lu---" Kalimat Darren terhenti kala tiba-tiba Hans menatapnya dengan tajam. Kalau seperti itu mau tidak mau dia pun akhirnya memilih untuk diam. Mereka berangkat bersama. Darren dan Emely dengan mobilnya dan Hans yang membawa motornya. "Hati-hati," ujar Darren ketika mereka sama-sama berhenti di lampu merah. Motor Hans berada di samping mobilnya. Lagi-lagi Hans hanya mengangguk saja. Tepat ketika lampu hijau sudah menyala, Hans langsung menarik gas motonrya dan membuat pria itu meljau sangat kencang. Darren berdecak melihatnya. "Percuma." Dia pun segera menjalankan mobilnya sebelum mobil di belakang marah-marah. "Sayang. Memangya Hans mau ke mana?" tanya Emely yang merasa penasaran. Darren tersenyum. "Bukan wewenang aku untuk menjawab pertanyaan kamu." "Ah kamu nggak asyik." Emely mengerucutkan bibirnya. Darren tertawa. "Maaf. Tapi ini benar-benar hal yang tak bisa diceritakan oleh aku. Kamu tanya saja sama dia kalau kamu merasa penasaran. Siapa tahu dia mau memberitahu kamu." "Ya udah." Emily memilih diam. Perjalan dilanjutkan sampai kantor. Ketika membuka pintu ruangan Darren, dua perempuan saling meneriakkan nama lalu berpelukan. "Ingat. Jangan bergosip ketika bekerja," ujar Darren memperingati istri dan asistennya. "Siap." Dua perempuan itu hormat lalu tertawa bersama. Jika Isabel melanjutkan pekerjaan kembali, maka Emely melanjutkan kegiatannya di ruang santai menunggu waktu istirahat. *** "Nggak papa nih kamu membiarkan Pak Darren istirahat sendirian dan kamu sama aku?" tanya Isabel ketika mereka bersama. Emely mengibaskan tangan ke udara. "Ah biasa itu. Toh biasanya dia selalu sendiri. Aku ke sini, kan memang mau ketemu kamu," ujarnya kemudian. Isabel mengangguk beberapa kali dan mulai menikmati makan siangnya. Emely menatap Isabel ragu-ragu. Ada alasan sebenarnya dia ingin menemui Isabel. Dia ingin menanyakan sesuatu. Emely pun segera berpura-pura menguap. "Hah. Ngatuk banget." Emely menutup bibirnya dengan tangan. Isabel yang melihat hal itu mengerutkan keningnya. "Ngantuk banget kayaknya. Nggak tidur? Semalam abis ngapain aja sampai siang gini masih ngantuk?" tanyanya dengan nada dan ekspresi menggoda. Berhasil. Terpancing. "Apaan sih. Aku tuh ngantuk karena semalam telat tidur karena baca novel," ujar Emely kemudian. "Dih. Ngantuk bukannya tidur aja di rumah malah ke sini. Lagian sejak kapan sih kamu suka baca novel?" tanya Isabel. "Sejak sering di rumah sendirian dan merasa bosan. Akhirnya aku baca-baca novel. Kadang buku, kadang elektronik," ujar Emely. "Eh. Tapi ini ceritanya seru loh. Kamu mau dengar, nggak?" Dia menawarkan. Isabel menggeleng. "Nggak usah. Aku nggak suka novel atau dunia hayalan." "Ih dengar dulu. Ini tuh unik ceritanya," ujar Emely memaksa sembari memegangi tangan sang sahabat sembari menggoyangkannya beberapa kali. "Iya-iya." Isabel tak punya pilihan, mau tak mau dia harus mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Emely. Emely pun tersenyum. "Aku mulai cerita, ya. Belum aku baca semuanya sih." Dia berdehem beberapa kali. "Ceritanya ini tentang seorang perempuan. Dia punya suami. Tapi, di suatu kejadian, dia tidak sengaja tidur bersama adik iparnya. Nah, ketika sadar mereka memutuskan untuk melupakannya. Tapi, ternyata mereka tidak bisa melupakannya begitu saja. Mereka terus teringat hal itu. Bakal, si perempuan ini membayangkan wajah adik iparnya waktu berhubungan sama si suami. Menurut kamu gimana?" Dia bertanya. Heran dengan pertanyaan Emely yang sepertinya cocok dengan yang dia alami? Ya. Emily mengalami semua itu. Apa yang dia katakan semuanya adalah bohong. Emely sama dengan Hans. Dia pun tak bisa melupakan malam itu. Malam singkat yang mampu memperkenalkan dirinya pada kenikmatan dunia. Bahkan semalam, ketika dia melakukannya bersama Darren, yang terbayang di kepala adalah Hans. Hanya wajah Hans. Kening Isabel mengerut. "Gimana apa? Kelanjutannya? Ya kamu baca aja." "Bukan ih. Menurut kamu kisah mereka bagaimana?" Emely bertanya. Isabel tampak berpikir. "Sulit, Em. Karena kalau itu benar terjadi di dunia nyata, masalahnya kita tak bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Mau menghakimi salah satu pihak, itu sulit," ujarnya kemudian. Emely menghela napas dalam. Niat hati ingin mencari solusi malah seperti ini. "Sudah. Lebih baik kamu baca aja kelanjutannya. Biar kamu tahu sendiri nanti." Isabel memberi saran. "Dah lanjut makan," lanjutnya. Emely hanya mengangguk saja. Mereka melanjutkan makan siang, setelah selesai Emely memilih pulang. *** Isabel mengambil minuman ketika tidak sengaja Darren juga akan mengambilnya, tangan keduanya pun saling bersentuhan. Keduanya saling tatap satu sama lain untuk beberapa saat. Darren pun mulai mendekat lalu perlahan menangkup wajah Isabel. Dia menyatukan kening pada kening Isabel. "I miss you." "Miss you to," bisik Isabel. Keduanya melempar senyum. Tangannya mulai menumpu pada dada Darren. "Sekarang?" tanya Isabel. "Tunggu apalagi?" Detik selanjutnya mereka mulai menyatukan bibir mereka, berciuman dengan penuh gairah. Darren segera mengangkat tubuh Isabel, membawa perempuan itu ke kamar pribadinya yang ada di ruang kerjanya. Kita tahu apa yang akan mereka lakukan di sana."Bolehkah hari ini aku ikut kamu ke kantor?" tanya Emely tiba-tiba.Darren mengerutkan kening. "Tumben?" Mereka kini sedang berada di meja makan menikmati sarapan bersama.wajah keduanya tampak sumeringah. Ini semua karena kejadian semalam di mana Emely berhasil menyalurkan hasratnya pada sang suami meski kali ini dia yang bekerja keras. Tidak apa. yang penting sama-sama terasa meski kenyataannya Darren yang keluar duluan."Memangnya tidak boleh?" tanya Emily kemudian.Darren terkekeh. "Pasti ini karena sahabat kamu yang bekerja di kantor," ujarnya kemudian.Emely melebarkan senyumannya. "Tahu aja. Boleh, ya. Boleh?"Darren mengangguk. "Sure. Tapi ingat jangan sampai kamu mengganggu pekerjaannya karena itu akan mengganggu aku juga."Emely mengangguk patuh. Mereka kembali menikmati sarapan mereka. sepertinya hubungan mereka menjadi baik.Kegiatan keduanya tak luput dari perhatian seseorang. Hans, melihat interaksi itu dengan kesal. Dia mengepalkan tangan tetapi harus menahannya.Pria i
"Sudah beberapa hari ini Darren selalu pulang larut malam. Sebanyak itukah pekerjaannya?" Dia bertanya penuh penasaran. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilang malam, tetapi Emely belum juga bisa tertidur dan membuatnya memilih untuk duduk di taman samping rumah ditemani dengan secangkir teh hangat.Emely terkekeh sinis kemudian. "Kenapa aku ini? Kenapa juga aku memikirkan dia? Apa bedanya dia mau pulang lebih awal atau terlambat? Sama saja bukan. Tidak ada yang dirindukan di antara kami."Emely menatap gelas yang ada di tangannya, menggambar bayangan pohon kamboja di seberangnya yang terpantul. "Hambar. Dia yang hanya akan memuaskan dirinya sendiri dan setelahnya, dia buang aku begitu saja," ujarnya seraya melempar gelas di tangan.Tak terdengar suara pecahan dari gelas itu karena benda itu terjattuh di atas rerumputan di bawahnya. Emely memejamkan matanya sembari menghela napas dalam. Tiba-tiba saja gambaran wajah seseorang terlintas di benaknya."Hans." Sontak saja perempuan itu me
"Isabel!""Emily!"Dua perempuan saling meneriakkan nama. Detik kemudian mereka berlari mendekat lalu saling memeluk satu sama lain. Keduanya saling berputar meluapkan kerinduan."Aku kangen banget sama kamu," ujar Emily."Aku juga kangen sama kamu," sambung Isabel. Pelukan mereka pun terlepas dan keduanya saling melempar senyum."Kita cari tempat makan sekarang? Kamu yang traktir sekarang?" Isabel berujar dengan senyuman lebar menunjukkan giginya yang rapi.Sementara Emily malah mendelik. "Seharusnya kamu yang traktir aku tahu. Kmau baru aja pulang kerja di luar dan pastinya dapat uang banyak."Isabel langsung memeluk lengan Emily lalu mengajaknya jalan bersama. "Mana ada? Aku baru datang. Ya harus kamu yang traktir. Memanjakan tamu.""Tamu kamu bilang?" Dua sahabat itu tertawa bersama. Mereka mulai mencari restoran untuk makan bersama secara santai dan mengobrol ringan.Emily memasukkan kue ke dalam mulutnya. "Jadi, bagaimana pengalaman kamu di luar negri?" tanyanya pada isabel.Isa
3. Tak Ada Rasa *** "Mama? Papa?" Emely terkejut melihat kedatangan kedua mertuanya. Dia pun segera membuka pintu rumahnya lebar-lebar. "Masuk, Pa, Ma. Semuanya sedang sarapan." Emely memberitahu kedua mertuanya lalu mengajak mereka untuk ke meja makan. "Pa, Ma." Darren dan Hans menyapa kedua orang tuanya. Mereka juga merasa terkejut melihat kedatangan mereka. "Tumben datang pagi sekali? Tidak memberitahu sebelumnya juga. Tahu begitu Darren jemput," ujar Darren. "Kami memang sengaja datang pagi-pagi, Dar. Cuma mau lihat anak nakal ini loh," ujar Gita, mamanya Darren dan Hans. Perempuan itu menjewer telinga Hans. "Kembali ke negaranya bukannya ke rumah orang tua malah ke rumah kakaknya," lanjut Gita sembari menatap marah Hans. "Ma. Aku sampai di Indonesia malam hari. Karena rumah Kakak yang lebih dekat, makanya aku pulang ke sini biar cepat istirahat. Kakak saja juga tidak tahu aku datang." Hans berujar. "Karena kamu sukanya yang mendadak memang," ujar Gita kesal. "Terus seja
2. Akwward.***"Ingat. Kamu harus segera memberi Papa sama Mama cucu, Dar. Kami menunggu kabar baiknya," ujar seorang perempuan dari seberang sana. Pagi sekali Darren mendapatkan panggilan dari mamanya dan menanyakan perihal apakah istrinya sudah hamil atau belum. Dia membanting ponselnya marah karena pagi-pagi sudah mendapat ceramah."Astaga! Sampai kapan mereka menanyakan perihal cucu?" tanyanya merasa frustrasi.Pria itu menarik napas dalam lalu megembuskannya kasar. Dia segera mengenakan pakaiannya karena dia harus pergi bekerja.Menuruni tangga, dia bisa melihat Emely yang sedang menyiapkan sarapan untuknya. Mereka memang memiliki asisten rumah tangga, tetapi Emely lebih suka memasak sendiri meski terkadang ada yang membantu.Darremn mendekati meja makan dan menyadari suasana hati istrinya yang tidak baik. Pasti karena masalah semalam. Dia segera menarik tangan istrinya ketika melihat Emely akan pergi ke dapur."Aku harus mengambil minuman kamu di dapur," ujar Emely dengan eksp
"Ah ... leganya." Darren baru saja menuntaskan hasratnya, nermain di atas ranjang yang panas bersama sang istri. Pria itu baru saja mencapai puncak kelegaan, melepaskan kepuasan yang mampu menyegarkan isi kepalanya.Pelan, dia mulai melepaskan inti miliknya dan juga sang istri. Tanpa berkata apa pun, pria itu segera menutupi tubuhnya yang polos dengan sebuah selimut.Darren membalikkan badan memunggungi sang istri. Dia mulai memejamkan mata lalu terlelap.Emely. Istri Darren itu hanya menatap nanar langit-langit kamar. Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat menahan gejolak amarah yang tertahan di dada."Selalu seperti ini," bisiknya. Dia menoleh ke arah Darren yang memunggunginya dan menatapnya nanar.Seperti malam-malam biasanya, Darren akan menuntaskan hasrat pada dirinya hingga puas tanpa memedulikan perasaan Emely. Entah perempuan itu menikmati permainan tadi, atau Emely sudah merasakan kepuasan apa belum."Aku akan mencobanya," ujar Emely kemudian. Perempuan itu sedikit mengangka







