Masuk7. Memergoki Pasangan Selingkuh.
*** Duduk pada sofa nyaman di ruang keluarga pada kediamannya, Nyonya besar Visha tengah mengaduk teh jasmine kesukaannya. Setelah pas, dia pun menyesapnya sedikit. Langkah kaki yang terdengar mendekat tak mengusiknya. Perempuan itu tahu siapa yang datang. "Bagaimana?" tanyanya tanpa menoleh pada seseorang yang kini duduk tak jauh darinya. "Semuanya berjalan lancar, Mama. Hubungan Emely dan Darren baik-baik saja," ujar Gita. Perempuan itu menerbitkan senyum tipis. "Lalu, apakah Emely sudah hamil?" tanya Nyonya Visha sembari meletakkan secangkit tehnya di atas meja. Kini gita melunturkan senyumnya. Dia menggeleng pelan. "Belum, Mama." Ekspresi Nyonya Visha pun berubah. Tampak tegang karena marah. Perempuan itu menggebrak meja dengan keras sampai minumannya tumpah sedikit. "Bagaimana bisa Emely belum juga hamil!" bektaknya keras sampai urat-urat di leher terlihat jelas. Gita menunduk. "Maaf, Mama." Visha menatap tajam putrinya. "Mama tidak mau tahu. Secepatnya, Emely harus mengandung keturunan keluarga kita." Jelas sekali kalau dia sedang memaksa. Gita mengangguk. "Iya, Mama." "Kamu bisa pastikan itu?" tanya Nyonya Visha yang kali ini nada bicaranya terdengar santai namun tegas. Gita kembali mengangguk. "Aku akan usahakan, Mama." Nyonya Visha tersenyum miring. "Hem. Usaha. Dari dulu hanya kata itu yang kamu andalkan. Nyatanya, hanya cara mama yang selalu membuahkan hasil. Bukan usaha kamu." "Maaf, Mama." Hanya itu yang bisa Gita katakan. Nyonya Visha mengangkat dagu, menandakan kekuasaan yang saat ini dia kendalikan. "Pastikan tidak lama lagi Mama akan mendengar kabar baik tentang kehamilan Emely." Gita mengangguk. "Pasti, Mama." Tanpa kata, Nyonya Visha bangkit lalu pergi dari hadapan Gita. *** Emely hanya makan berdua dengan Hans. Suaminya tidak pulang sejak kemarin karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan sehingga itu membuatnya harus menginap di kantor. Emely menatap Hans dengan kerutan di kening. Dia bertanya-tanya akan sikap Hans yang banyak berubah. Pria itu lebih banyak diam sekarang. Emely pun berdehem. "Gimana dengan novelmu?" tanyanya berbasa-basi. Tak ada jawaban. Hans ha nya menatap Emely dengan ekspresi datarnya dan melanjutkan kegiatan makannya. Emely menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia bertanya-tanya apakah pria ini tengah marah padanya? "Ap---" Baru saja dia akan mengeluarkan pertanyaan kembali, kalimatnya terhenti kala dia mendengar suara bel berbunyi. Dia langsung bangkit dari tempat duduknya untuk memeriksa siapa yang datang. "Mama!" Emely tersenyum sumeringah kala melihat kehadiran mama mertuanya. Dia celingukan mencari seseorang. "Mama sendiri?" tanyanya kemudian. Gita mengangguk. "Iya. Papa tadi diminta Oma untuk memeriksa cabang perusahaan yang ada di luar kota. Makanya mama datang sendirian." Perempuan itu mengangkat beberapa paperbag yang dia bawa. "Mama bawa oleh-oleh," ujar perempuan itu dengan bahagia. Emely tersenyum. Perempuan itu membuka lebar pintu rumah. "Masuk, Ma." Dia segera menggandeng tangan mamanya. "Mama beliin waktu pergi sama Papa kemarin." Gita bercerita. "Mama pakai repot-repot segala." Emely merasa senang dengan oleh-oleh dari mertuanya. "Darren mana?" tanya Gita. "Apa dia sedang sarapan?" Gita memang datang sangat pagi sekali. Emely menggeleng. "Darren tidak pulang, Ma. Dia sedang sibuk-sibuknya dan harus menyelesaikan pekerjaan. Makanya dia menginap di kantor," ujar Emely. Gita terkejut. "Jadi kamu hanya berdua saja dengan Hans di rumah ini?" tanyanya kemudian dan melihat menantunya yang mengangguk. Gita menatap ke sekeliling rumah. Dia merasa khawatir kalau Hans terus-terusan tinggal di rumah ini. Dia tidak ingin terjadi apa-apa di antara keduanya. Dia tidak tahu saja kalau mereka sudah pernah menghabiskan malam bersama. "Kenapa, Ma?" tanya Emely yang melihat mertuanya mengedarkan pandangan. "Mama mau bertemu sama Hans?" tanyanya kemudian. Gita tersenyum lalu menggeleng pelan. "Tidak." Dia menggenggam tangan Emely. "Emely. Darren, kan tidak pulang semalaman. Bisa saja dia merindukan kamu tapi dia tidak bisa pulang karena pekerjaannya. Nanti, coba kamu masakin sesuatu dan bawa ke kantornya," ujar Gita memberi saran. Emely tersenyum. "Emely tadi juga sempat memikirkan hal itu kok, Ma. Mama tenang saja." Gita tersenyum. "Baguslah." *** Darren meletakkan map di meja cukup kasar. Pria itu melepaskan dasinya secara kasar. Wajah kesal tergambar jelas di wajah Darren. Pria itu melepaskan beberapa kancing kemejanya lalu membanting tubuhnya pada kursi kerjanya. Darren memijit keningnya agar rasa pening yang dia rasakan saat ini bisa hilang. "Gagal lagi," ujar darren berbisik. Isabel menatap Darren dengan menggeleng pelan. Perempuan itu meletakkan tas pundaknya lalu mengambilkan minuman dingin untuk Darren. Isabel meletakkan minuman itu di hadapan Darren lalu mengelus pundak pria itu pelan. "Sudah. Jangan dipikirkan. Masih banyak proyek-proyek lain yang bisa kita dapatkan," ujar Isabel menghibur Darren. Ya. Mereka baru saja mengikuti rapat perebutan proyek. Sayangnya, kali ini Darren harus kalah dari lawan bisnisnya. Dia tak mendapatkan proyek itu. Darren pun mengangguk. Dia meraih tangan Isabel yang ada di pundaknya lalu mencium punggung tangan perempuan itu. "Terima kasih sudah menghiburku," ujar Darren. Isabel tersenyum dan mengangguk. "Selalu." Tiba-tiba saja darren menarik tangan Isabel sehingga perempuan itu jatuh di pangkuannya. Tangan Isabel otomatis melingkari leher Darren. "Kau mau apa?" tanyanya dengan menunjukkan wajah kesal. "Aku sedang pusing." Darren berujar dengan manja. "Kalau pusing ya minum obat," ujar Isabel dengan kekehan. Darren berdecak sembari memuat bola matanya malas. "Ayolah. Kau tahu kalau obat pusingku hanya kamu," ujaranya yang detik selanjutnya dia melabuhkan sebuah ciuman untuk kekasihnya itu. Isabel mendorong pundak Darren. "Hanya cium atau lebih?" Dia bertanya. "Kalau lebih memangnya kenapa?" tanya Darren dengan menaikkan satu alisnya. Isabel mendelik. "Kau tidak lelah?" tanyanya dengan ekspresi terkejut. "Kita sudah semalaman melakukannya sampai aku kau bawa menginap di sini," ujar Isabel dengan memukul pundak Darren pelan. "Kenapa? Kau tidak mau? Apa kau bosan?" tanya darren. Isabel menggigit bibir bawahnya. "Kalau permainannya seperti permainanmu, mana mungkin bisa bosan." Darren tersenyum miring. Dia langsung kembali mencium bibir Isabel. Kali ini lebih menuntut dan rakus. Darren tak tinggal diam, satu tangannya menelusup ke dalam rok kerja Isabel. Ciuman keduanya sangat bergairah. saling mencecap dan bertukar saliva. Sampai akhirnya darren menyingkirkan semua benda di atas meja dengan satu sapuan lengan tangan, dia segera meletakkan tubuh Isabel di atas sana. "Kita akan melakukannya di sini?" tanya Isabel dengan napas tersengal. Darren tak menjawab, dia hanya tersenyum miring lalu segera menyingkap rok milik Isabel. Tanpa banyak kata, dia menenggelamkan wajah di antara kedua kaki kekasihnya itu. "Astaga, Darren. Kau selalu---" Isabel tak bisa melanjutkan kata-katanya kala Darren melahapnya di bawah sana dengan rakus. Tak lama, setelah itu Darren kembali mengungkungnya dengan mulut basah. "Kita mulai," ujarnya sembari menempatkan miliknya pada inti tubuh Isabel. "Owh." Ketika Darren berhasil menenggelamkan dirinya ke dalam Isabel. pria itu tak membuang waktu dan langsung menggerakkan tubuhnya dengan irama berkecepatan penuh. Dia mulai menelusupkan wajah pada ceruk leher Isabel yang sejak tadi mendongak sembari mendesis. Keduanya sama-sama mengejar kenikmatan yang hampir mencapai puncak. Sampai sebuah teriakan terdengar. "Apa yang kalian lakukan!""Darren. Apa maksud mama kamu?" tanya Isabel panik, perempuan itu segera mendekat Darren dan menggoyangkan lengan sang kekasih untuk meminta jawaban.Gita hanya diam memperhatikan keduanya.Sedangkan Darren masih dalam keadaan terpaku setelah mendengar perkataan mamanya. Kalau sampai benar apa yang dikatakan sang mama, itu artinya dia ....Ah tidak-tidak. Bukan hanya dia, tetapi Isabell lah yang paling dalam keadaan berbahaya. Dia menatap Isabel dab memegang tangan perempuan itu kuat-kuat."Darren. Sakit," ujar Isabel yang berusaha untuk melepaskan genggaman tangan sang kekasih.Saking khawatirnya, Darren tanpa sadar meremas tangan Isabel dengan sangat kuat sampai perempuan itu kesakitan. "Maaf-maaf." Darren segera melepaskan genggaman tangannya pada tangan Isabel."Ada apa?" tanya Isabel kemudian. Dia menatap Darren yang terlihat jelas ekspresi kekhawatirannya."Kamu harus kembali keluar negri," ujar Darren kemudian kembali menggenggam tangan Isabel. Kali ini jauh lebih lembut dari s
"Mama?" Setelah mendapat pemberitahuan kalau dirinya dipanggil oleh sang mama, Gita langsung bergegas menuju ruangan Visha. Dia tampak bingung melihat ekspresi mamanya yang terlihat sangat marah.Visha menatap tajam satu-satunya anak yang dia miliki. "Apa yang sebenarnya kamu ajarkan terhadap anak kamu, Gita!"Melihat kemarahan mamanya, Gita langsung paham. Pasti Darren baru saja melakukan sebuah kesalahan yang besar. Perempuan itu pun langsung menunduk ketakutan. "Ma---maaf, Mama. Apa yang telah Darren lakukan?" Ya. Bertanya yang hanya bisa dia lakukan saat ini."Putar," ujar Oma Visha. Tak lama, layar besar di belakangnya memutar sebuah vidio kejadian. Gita yang melihat itu melotot seketika.Dia segera menunduk kembali. Kedua tangannya saling bertaut satu sama lain. "Ma--maaf, Mama."Oma Visha menggeleng pelan. "Ini sudah berada di luar kendali, Gita. Apa yang akan dia lakukan setelah ini? Menghancurkan keluarga kita?" tanyanya dengan suara penuh penekanan.Gita pun menggeleng cepat
"Silakan, Nona," kepala pelayan kediaman utama mempersiapkan Emely untuk menuju ke ruangan di mana Oma Visha sudah menunggu di sana.Emely bangkit seraya mengembuskan napas kasar. "Dia yang katanya ingin bertemu tapi kenapa masih aku yang diminta menunggu." Dia tidak bertanya, tetapi menggerutu. Perempuan itu pun berjalan menuju ruangan pertemuannya bersama Oma Visha. Dia memasuki sebuah ruangan di mana Oma Visha sudah ada di sana, menyambut kedatangannya dengan senyuman."Selamat datang, Emely," ujar Oma Visha."Terima kasih, Oma." Emely menjawab dengan sopan. Dia mengedarkan pandangan, menatap ke segala arah dan menyadari kalau ada yang datang sebelum dirinya. Itu kenapa tadi dia diminta untuk menunggu.Tapi, siapa? "Sepertinya ada tamu yang menemui Oma tadi," ujarnya kemudian.Oma Visha mengangguk. "Ya. Kamu benar.""Siapa?" Emely bertanya penasaran. Meskipun, dia akan tahu hasil akhirnya."Apa itu penting untuk kamu?" tanya Oma Visha kemudian.Benar bukan? Emely pun menggeleng. O
Pertemuan dengan Emely beberapa waktu lalu di toko pakaian menyisakan kekesalan di hati Isabel. Niat hati ingin pamer pada perempuan itu, dia sendiri yang malah dibuat kesal dan dipermalukan di depan umum.Namun, bagaimanapun juga apa yang dikatakan Emely tadi membuat Isabel kepikiran. "Apa benar yang dia katakan?" tanyanya kemudian.Perempuan itu sedang berada di dalam taksi menuju pulang. Mood dia berbelanja sudah lesap seketika karena insiden tadi. Menyangga dagu dan terus memerhatikan ke luar kaca mobil, Isabel terus berpikir."Apa benar sebenranya Darren sudah jatuh cinta sama Emely?" tanyanya kemudian. Dia terus bepikir akan hal itu."Bagaimanapun selama aku sekolah di luar negri, hanya Emely yang ada di dekatnya. Banyak hal yang bisa saja terjadi di antara mereka. Dan ... dan bisa jadi Darren memang sudah memiliki perasaan terhadap Emely. Isabel mulai panik.Dia ingat, Darren memang selalu mengeluarkannya di luar ketika mereka melakukan hubungan. Kalau pun tidak sengaja, setela
Perdebatan terjadi di dalam keluarga Emely. Di mana tiga orang tengah memperdebatkan keputusan Emely yang ingin berpisah dengan Darren. Terlihat Andi, ayah Emely yang merasa tidak setuju dengan keputusan putrinya yang ingin berpisah. "Pah. Apa tidak sebaiknya kita bicarakan lagi hal ini dengan Nyonya besar? bagaimanapun keputusan Emely itu bukan main-main. Dia membicarakan tentang perceraian," ujar pria itu mencoba meyakinkan papanya agar papanya itu kembali memutuskan untuk berpisah kepadanya. Sayangnya, sepertinya itu akan sulit. "Apalagi yang harus dibicarakan? Darren sudah salah. Dia berselingkuh. Bagi papa apa yang dilakukan Emely sudah benar," ujar pria tua itu kemudian. "Iya, Ayah. Kenapa sih Ayah sepertinya tidak setuju kalau Emely akan bercerai dengan Darren? Darren sudah menyakiti anak kita loh," ujar Cahya ikut menyambung kemudian. "Bu. Hubungan rumah tangga itu bukan main-main. Sebaiknya kalau ada masalah dibicarakan dulu, jangan langsung mengambil keputusan dengan
Emely tertawa tiada henti, perempuan itu merasa puas dengan apa yang baru saja dia lakukan terhadap Isabel. "Sudah. Nanti perut kamu keram gara-gara banyak tertawa," ujar Hans. Pria itu sedang menyetir kendaraannya."Habis. Rasanya puas banget lihat dia seperti itu. Coba saja kamu tadi lihat bagaimana ekspresi khawatir, ketakutan dan gelisahnya Isabel. Pasti kamu juga akan terus tertawa seperti aku," ujar Emely di sela tawanya.Hans mendengus. "Kamu lupa apa bagaimana? Kamu, kan yang melarang aku untuk ikut masuk," ujarnya kemudian."Eh? Iya juga." Emely terkekeh dengan tingkahnya sendiri."Ngomong-ngomong, kamu yakin kalau Isabel akan menuntut Darren agar menikahinya?" tanya Hans kemudian.Emely mengangguk penuh keyakinan. "Pasti. Aku kenal Isabel bukan hanya setahun atau dua tahun. Tapi bertahun-tahun sejak kami sekolah dasar. Jadi, aku tahu betapa ambisinya dia bagaimana dan tekad dia yang jika menginginkan sesuatu maka dia harus mendapatkannya," ujar Emely dengan senyuman dan eks







