FAZER LOGIN"Sudah beberapa hari ini Darren selalu pulang larut malam. Sebanyak itukah pekerjaannya?" Dia bertanya penuh penasaran. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilang malam, tetapi Emely belum juga bisa tertidur dan membuatnya memilih untuk duduk di taman samping rumah ditemani dengan secangkir teh hangat.
Emely terkekeh sinis kemudian. "Kenapa aku ini? Kenapa juga aku memikirkan dia? Apa bedanya dia mau pulang lebih awal atau terlambat? Sama saja bukan. Tidak ada yang dirindukan di antara kami." Emely menatap gelas yang ada di tangannya, menggambar bayangan pohon kamboja di seberangnya yang terpantul. "Hambar. Dia yang hanya akan memuaskan dirinya sendiri dan setelahnya, dia buang aku begitu saja," ujarnya seraya melempar gelas di tangan. Tak terdengar suara pecahan dari gelas itu karena benda itu terjattuh di atas rerumputan di bawahnya. Emely memejamkan matanya sembari menghela napas dalam. Tiba-tiba saja gambaran wajah seseorang terlintas di benaknya. "Hans." Sontak saja perempuan itu membuka matanya lebar-lebar. "Bagaimana bisa wajah dia?" Dia bertanya bingung. "Kau sedang memikirkan aku?" Emely terkejut ketika tiba-tiba saja adik iparnya sudah berada di sampingnya. Perempuan itu menatap kesal hans yang sepertinya selalu ada di mana-mana. Hei. mereka tinggal dalam satu rumah. "Kau mengejutkan aku, Hans." Emely menegurnya Hans mengedikkan bahu. "Sorry." Emely memegang dadanya akibat rasa terkejut. Bisa-bisanya ketika tiba-tiba wajah Hans tergambar, pria itu sudah ada di sampingnya. "Untuk apa kau di sini?" tanyanya kemudian. Hans terkekeh. "Aku melihatmu di sini sendirian dan tidak tega. jadi, aku datang untuk menemani," ujarnya kemudian. "Tidak perlu." Balasan Emely dengan nada sinis. Hans tersenyum miring. Bukannya kesal dengan sikap Emely, Hans malah mengubah posisinya dan menghadap ke arah sang kakak ipar. "Apa kau sedang memikirkan aku?" Emely mendengus. "Kenapa kau percaya diri sekali kalau kau ada di dalam pikiranku?" Dia menunjuk ke arah kepalanya. "Apa itu artinya jawabannya tidak ada aku di pikiran kakak ipar?" Ekspresi Hans tiba-tiba berubah. hal itu membuat Emely mengerutkan kening. Dia melipat tangan di depan dada. "Apa itu mengganggumu?" tanyanya kemudian. Hans tak langsung menjawab. Pria itu menatap Emely yang duduk di hadapannya dengan lamat-lamat. Tiba-tiba saja Hans membungkukkan badan, mengukung Emely dengan tubuhnya disertai kedua tangan yang di sisi tubuh Emely bertumpu pada meja di belakang kakak iparnya. "Ya." Hans mengangguk. "Sangat," ujarnya kemudian. Emely yang masih terkejut dengan kelakuan adik iparnya tak bisa berkata-kata. Perempuan itu bahkan menahan napasnya masih dengan bola melotot. Sedangkan Hans malah menundukkan kepalanya. Terdengar helaan napas dalam lalu beberapa saat kemudian dia kembali menatap Emely. "Kau tahu? Sejak malam itu, aku tidak bisa membuangmu dari pikiranku," ujarnya jujur. "Setiap waktu aku selalu memikirkan kamu. Mengingat wajahmu, mengingat suaramu, mengingat setiap lekukan tubuhmu, halusnya kulitmu, merdunya suara kamu ketika kamu mendes---" Plakk Satu tamparan mendarat sempurna di pipi Hans sampai wajah pria itu menoleh ke samping. "Jangan lancang, Hans." Lagi. Hans tidak marah. Pru itu kembali terkekeh, tetapi ekspresinya berbeda dari sebelumnya. Tampak kini wajah Hans lebih tegang. "Kau pikir aku senang?" tanyanya kemudian. Pria itu bangkit dari posisinya lalu berteriak marah! "Kau pikir aku senang dengan hal ini? Dibayangi dirimu tanpa bisa aku berbuat apa-apa karena kau adalah kakak iparku?" Dada pria itu naik turun. Sepertinya Hans sedang meluapkan segalanya. "Sebaiknya kau abaikan itu saja, Hans," ujar Emily kemudian. Hal itu membuat Hans terpancing emosinya. Sekali lagi, tiba-tiba saja Hans menunduk dan satu tangan Hans kini memegangi kepala Emily untuk mendekatkan wajah mereka, sedikit saja bergerak maka bibir keduanya akan saling menempel. "Katakan. Katakan yang sebenarnya. Benarkah tidak ada aku di pikiran kamu? Sedikit. Sedikit saja karena kau ... benar-benar menyiksa pikiranku," ujar Hans dengan berbisik. Bahkan dia memberanikan diri untuk mengecup bibir kakak iparnya. Untuk sesaat Emely terpaku dengan apa yang dilakukan Hans padanya. Namun, dia mulai tersadar kala Hans mulai berani dengan melumat bibirnya. Emily segera mendorong dada adik iparnya menjauh. Dia pun segera bangkit dari duduknya dan menatap tajam Hans. "Sebaiknya kamu buang semua itu, Hans. Karena aku adalah kakak iparmu," ujar Emely sebelum perempuan itu meninggalkan Hans begitu saja. Sedangkan Hans hanya menanggapinya dengan senyuman miring. "Kata-katamu seakan sedang memperingatiku tentang statusku," ujarnya kemudian. Di lain sisi, Emely langsung menuju kamarnya dan menutup pintu cukup keras. Perempuan itu menyandarkan punggung pada sandaran pintu. Emely tak pernah berpikir kalau hal tadi bisa terjadi. Tanpa sadar, dia memegangi bibinrya yang baru saja dicium pria lain, bukan suaminya melainkan adik iparnya. "Hans," bisiknya. Bohong. Bohong jika Emely tidak terbayang sosok Hans. sama sepert Hans, semenjak malam panas mereka, dia terus terpikirkan pria itu. Bukan ingin tetapi ini di luar kendalinya. Emely menggeleng. "Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini salah. Ini salah." Tiba-tiba saja Emely dikejutkan dengan kedatangan Darren. "Kamu kenapa?" Darren bertanya bingung. Emely menatap suaminya lamat-lamat. Tanpa kata, dia langsung memeluk Darren dan menciumnya secara brutal. Saat ciuman mereka terputus, Darren menatap Emily semakin bingung. "Are you oke?" "Kamu sudah beberapa hari pulang malam. Aku sangat merindukan kamu," ujar Emily dengan memburu dan kembali ingin menciumnya. Akan tetapi Darren menahannya. "Kalau kita lanjutkan hal ini, kamu tahu akan mendapat kekecewaan nanti." Emely tahu apa yang dimaksud Darren. "Untuk kali ini, biarkan aku yang bekerja agar kita bisa sama-sama mencapai kepuasan." Tanpa aba-aba Emely mendorong tubuh Darren ke atas ranjang sembari melucuti pakaian dengan rasa tidak sabar. Darren lupa kalau dia belum menutup pintu kamarnya. Alhasil, seseorang melihat apa yang mereka lakukan dengan marah dari luar."Bolehkah hari ini aku ikut kamu ke kantor?" tanya Emely tiba-tiba.Darren mengerutkan kening. "Tumben?" Mereka kini sedang berada di meja makan menikmati sarapan bersama.wajah keduanya tampak sumeringah. Ini semua karena kejadian semalam di mana Emely berhasil menyalurkan hasratnya pada sang suami meski kali ini dia yang bekerja keras. Tidak apa. yang penting sama-sama terasa meski kenyataannya Darren yang keluar duluan."Memangnya tidak boleh?" tanya Emily kemudian.Darren terkekeh. "Pasti ini karena sahabat kamu yang bekerja di kantor," ujarnya kemudian.Emely melebarkan senyumannya. "Tahu aja. Boleh, ya. Boleh?"Darren mengangguk. "Sure. Tapi ingat jangan sampai kamu mengganggu pekerjaannya karena itu akan mengganggu aku juga."Emely mengangguk patuh. Mereka kembali menikmati sarapan mereka. sepertinya hubungan mereka menjadi baik.Kegiatan keduanya tak luput dari perhatian seseorang. Hans, melihat interaksi itu dengan kesal. Dia mengepalkan tangan tetapi harus menahannya.Pria i
"Sudah beberapa hari ini Darren selalu pulang larut malam. Sebanyak itukah pekerjaannya?" Dia bertanya penuh penasaran. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilang malam, tetapi Emely belum juga bisa tertidur dan membuatnya memilih untuk duduk di taman samping rumah ditemani dengan secangkir teh hangat.Emely terkekeh sinis kemudian. "Kenapa aku ini? Kenapa juga aku memikirkan dia? Apa bedanya dia mau pulang lebih awal atau terlambat? Sama saja bukan. Tidak ada yang dirindukan di antara kami."Emely menatap gelas yang ada di tangannya, menggambar bayangan pohon kamboja di seberangnya yang terpantul. "Hambar. Dia yang hanya akan memuaskan dirinya sendiri dan setelahnya, dia buang aku begitu saja," ujarnya seraya melempar gelas di tangan.Tak terdengar suara pecahan dari gelas itu karena benda itu terjattuh di atas rerumputan di bawahnya. Emely memejamkan matanya sembari menghela napas dalam. Tiba-tiba saja gambaran wajah seseorang terlintas di benaknya."Hans." Sontak saja perempuan itu me
"Isabel!""Emily!"Dua perempuan saling meneriakkan nama. Detik kemudian mereka berlari mendekat lalu saling memeluk satu sama lain. Keduanya saling berputar meluapkan kerinduan."Aku kangen banget sama kamu," ujar Emily."Aku juga kangen sama kamu," sambung Isabel. Pelukan mereka pun terlepas dan keduanya saling melempar senyum."Kita cari tempat makan sekarang? Kamu yang traktir sekarang?" Isabel berujar dengan senyuman lebar menunjukkan giginya yang rapi.Sementara Emily malah mendelik. "Seharusnya kamu yang traktir aku tahu. Kmau baru aja pulang kerja di luar dan pastinya dapat uang banyak."Isabel langsung memeluk lengan Emily lalu mengajaknya jalan bersama. "Mana ada? Aku baru datang. Ya harus kamu yang traktir. Memanjakan tamu.""Tamu kamu bilang?" Dua sahabat itu tertawa bersama. Mereka mulai mencari restoran untuk makan bersama secara santai dan mengobrol ringan.Emily memasukkan kue ke dalam mulutnya. "Jadi, bagaimana pengalaman kamu di luar negri?" tanyanya pada isabel.Isa
3. Tak Ada Rasa *** "Mama? Papa?" Emely terkejut melihat kedatangan kedua mertuanya. Dia pun segera membuka pintu rumahnya lebar-lebar. "Masuk, Pa, Ma. Semuanya sedang sarapan." Emely memberitahu kedua mertuanya lalu mengajak mereka untuk ke meja makan. "Pa, Ma." Darren dan Hans menyapa kedua orang tuanya. Mereka juga merasa terkejut melihat kedatangan mereka. "Tumben datang pagi sekali? Tidak memberitahu sebelumnya juga. Tahu begitu Darren jemput," ujar Darren. "Kami memang sengaja datang pagi-pagi, Dar. Cuma mau lihat anak nakal ini loh," ujar Gita, mamanya Darren dan Hans. Perempuan itu menjewer telinga Hans. "Kembali ke negaranya bukannya ke rumah orang tua malah ke rumah kakaknya," lanjut Gita sembari menatap marah Hans. "Ma. Aku sampai di Indonesia malam hari. Karena rumah Kakak yang lebih dekat, makanya aku pulang ke sini biar cepat istirahat. Kakak saja juga tidak tahu aku datang." Hans berujar. "Karena kamu sukanya yang mendadak memang," ujar Gita kesal. "Terus seja
2. Akwward.***"Ingat. Kamu harus segera memberi Papa sama Mama cucu, Dar. Kami menunggu kabar baiknya," ujar seorang perempuan dari seberang sana. Pagi sekali Darren mendapatkan panggilan dari mamanya dan menanyakan perihal apakah istrinya sudah hamil atau belum. Dia membanting ponselnya marah karena pagi-pagi sudah mendapat ceramah."Astaga! Sampai kapan mereka menanyakan perihal cucu?" tanyanya merasa frustrasi.Pria itu menarik napas dalam lalu megembuskannya kasar. Dia segera mengenakan pakaiannya karena dia harus pergi bekerja.Menuruni tangga, dia bisa melihat Emely yang sedang menyiapkan sarapan untuknya. Mereka memang memiliki asisten rumah tangga, tetapi Emely lebih suka memasak sendiri meski terkadang ada yang membantu.Darremn mendekati meja makan dan menyadari suasana hati istrinya yang tidak baik. Pasti karena masalah semalam. Dia segera menarik tangan istrinya ketika melihat Emely akan pergi ke dapur."Aku harus mengambil minuman kamu di dapur," ujar Emely dengan eksp
"Ah ... leganya." Darren baru saja menuntaskan hasratnya, nermain di atas ranjang yang panas bersama sang istri. Pria itu baru saja mencapai puncak kelegaan, melepaskan kepuasan yang mampu menyegarkan isi kepalanya.Pelan, dia mulai melepaskan inti miliknya dan juga sang istri. Tanpa berkata apa pun, pria itu segera menutupi tubuhnya yang polos dengan sebuah selimut.Darren membalikkan badan memunggungi sang istri. Dia mulai memejamkan mata lalu terlelap.Emely. Istri Darren itu hanya menatap nanar langit-langit kamar. Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat menahan gejolak amarah yang tertahan di dada."Selalu seperti ini," bisiknya. Dia menoleh ke arah Darren yang memunggunginya dan menatapnya nanar.Seperti malam-malam biasanya, Darren akan menuntaskan hasrat pada dirinya hingga puas tanpa memedulikan perasaan Emely. Entah perempuan itu menikmati permainan tadi, atau Emely sudah merasakan kepuasan apa belum."Aku akan mencobanya," ujar Emely kemudian. Perempuan itu sedikit mengangka







