LOGIN“Cukup, kamu capek. Emosimu lagi nggak stabil,” katanya seolah sedang menganalisis laporan ker . “Aku maklumi. Tapi ini bukan keputusan yang bisa kamu ambil sendiri.”Aku terkekeh pelan. Bukan karena lucu—tapi karena pahit.“Lucu,” gumamku. “Keputusan tentang hidupku selalu bukan keputusanku sendiri.”Aresh melangkah mendekat satu langkah. “Sherry, cukup.”Aku mundur setengah langkah—bukan takut, tapi refleks.“Jangan dekati aku,” kataku pelan, tapi tegas.Ia terdiam sejenak, jelas tidak menyangka.“Kamu berani sekarang?” katanya dingin.Aku menatapnya lurus.“Aku sudah capek takut.”Keheningan menegang di antara kami.“Kamu tahu Mama bakal gimana kalau tahu kamu tinggal sama laki-laki?” ucapnya akhirnya, lebih rendah. “Kamu mau bikin beliau sakit lagi?”Nama itu menghantam dadaku keras.Mama.Tanganku mengepal.“Kamu selalu pakai itu,” kataku lirih. “Setiap kali aku mencoba bersuara.”“Aku pakai fakta,” bantahnya. “Mama sudah cukup susah karena kamu.”Aku menatapnya tajam. “Karena ak
"Sherry.... " Aaron maju satu langkah, sementara Sherry mundur satu langkah lebih jauh, sehingga membuat Aaron menghentikan langkahnya dan tersenyum kecil, getir. “Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Kak? Bukan Claire. Tapi fakta bahwa kamu diam saat itu, dan kamu bukannya membelaku, tapi ikut menyalahkan aku, Kak," ucap Sherry dengan senyum perih. "Sherry, waktu itu.... " Aaron hendak menyela, tapi Sherry lebih dulu melanjutkan. “Sudahlah, Kak. Aku kan orang baru di kehidupan kamu, beda dengan Claire yang sudah menemani kamu bertahun-tahun, jadi wajar kalau kakak lebih percaya dia daripada aku, kan?" Kata-kata itu menghantam Aaron lebih keras dari tamparan mana pun, sehingga membuat dia terdiam seribu bahasa. "Oke... " Aaron berkata pelan, menghela napas panjang. “Aku tidak minta dimaafkan sekarang,” ucapnya cepat, seolah takut ia benar-benar kehilangan kesempatan. “Aku hanya ingin kamu tahu, aku menyesal atas kejadian waktu itu, Sherry." Aaron berkata dengan suara
Di luar kampus, sebuah mobil hitam terparkir di seberang jalan, tersembunyi di antara deretan kendaraan lain. Kacanya gelap, tapi dari dalam, gerbang kampus terlihat jelas.Aaron duduk di kursi belakang. Tubuhnya condong ke depan, kedua siku bertumpu di paha, tatapannya tajam mengunci pintu utama fakultas.Wajahnya tenang, terlalu tenang sampai menakutkan. Di kursi depan, Kaiser menyandarkan punggung, satu tangan di kemudi, satu lagi mengetuk-ngetuk gelisah.“Sudah terlalu lama,” gumam Kaiser. “Perasaanku tidak enak.”Aaron tidak menoleh, dan menjawab dengan dingin, “Samuel bergerak lebih cepat dari dugaan.”“Kamu yakin orangmu cukup?” Kaiser melirik spion, tampak gelisah, “Ini kampus. Kalau sampai salah langkah—”Sebelum Kaiser selesai bicara, ponsel Aaron bergetar dan nama Drake muncul di layar.Aaron langsung mengangkat telepon dan berbicara dengan tegas, “Lapor.”Suara di seberang terdengar rendah, profesional. Tidak ada emosi berlebihan, hanya fakta.“Samuel mencoba melakukan p
"Aku tidak akan membiarkan kamu berbuat seenaknya seperti tadi!"Suara pak Samuel menggelegar, tangannya terulur, mencengkeram pergelangan tanganku dengan kasar.“Lepaskan!” Aku berusaha menarik diri, tapi cengkeramannya terlalu kuat.“Aku bisa membuat kamu menyesal,” desisnya. “Tidak ada yang akan percaya sepenuhnya pada mahasiswa sepertimu.”"Tidak, lepaskan aku! Lepaskan!"Ku singkirkan tangannya yang mencengkeram erat pergelangan tanganku dengan mata berkaca-kaca, sementara pak Samuel semakin mengencangkan cengkeramannya, seakan-akan menikmati ekspresi kesakitanku. "Rasakan sakitnya, ini tak seberapa dengan rasa malu yang kurasakan di kelas tadi, Sherry. Ikut saya, kamu harus dihukum!"Pak Samuel mengeratkan cengkeramannya dan hendak menyeretku pergi. "Lepas, lepaskan aku, lepas!"Aku panik, apalagi lorong ini kosong. Suaraku tercekat saat ia menarik tanganku dengan kasar. Tak memedulikan jerit kesakitanku, pak Samuel terus menyeretku, aku hampir menyerah saat tiba-tiba—“LEPA
Seluruh kelas riuh oleh spekulasi, sedangkan pak Samuel tertawa kaku dan berkata dengan suara dingin. “Kamu tidak punya hak menyuruh saya, Sherry.”Melihat ekspresi nya yang terdistorsi, aku hanya tersenyum tipis, lalu menjawab dengan nada tenang. “Saya tidak sedang menyuruh Anda, Pak."“Tapi saya sedang menantang Anda," lanjutku dengan dagu sedikit terangkat, membuat pak Samuel menatapku dengan mata memicing. Tak peduli dengan intimidasi darinya, aku menoleh ke seluruh kelas dan berbicara dengan lantang. “Sekarang, kalian bisa mengambil kesimpulan sendiri. Aku adalah korban, dan aku berani berkata seperti ini, karena ada bukti, yang tidak bisa dihapus, tidak bisa dimanipulasi, dan tidak bisa dipindahkan. Dan bukti itu ada di lengan Anda, pak Samuel."Aku ganti menatap pak Samuel dengan mata menyipit dan melanjutkan bicara, sambil mataku menatap lengannya. “Yaitu bekas gigitan saya, saat Anda mencoba mencium paksa saya, yang sampai sekarang... masih tertancap di sana, kan, Pak?"
Kata bukti diucapkan si bajingan itu dengan penekanan, seolah menantang. Dadaku naik turun. Tapi anehnya, aku tenang. Tanganku bergerak ke dalam tas, menggenggam sesuatu yang disiapkan Kaiser untukku. Sebuah flashdisk berisi rekaman CCTV, yang diminta Kaiser dari perusahaan keamanan yang dia percaya. Beberapa mahasiswa berbisik-bisik, semakin berani. “Kurang apa sih dosennya?” “Cewek cari sensasi.” “Pantas dibuang.” Pak Samuel kembali ke depan kelas, membuka buku, seolah semuanya sudah selesai. “Baik,” katanya. “Kita mulai—” “Pak.” Aku memanggilnya dengan suara tegas. Pak Samuel berhenti, menoleh ke arahku dengan ekspresi terganggu. “Ada apa lagi, Sherry?” tanyanya, dengan nada sabar yang dipaksakan. Aku pun berdiri, seluruh tubuhku terlihat, membiarkan seluruh mata menatap ke arahku. “Apa Bapak yakin,” tanyaku tenang, “tidak ada bukti?” Beberapa orang tertawa, terdengar meremehkan. Pak Samuel menyilangkan tangan dan menjawab sambil tersenyum sok bijaksana. “Saya s







