Share

6. Gadis Nakal

Penulis: Lil Seven
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-07 12:36:01

Wajahku memerah mendengar ucapannya.

“Bukan begitu,” sanggahku, malu. Tapi tidak mampu menjelaskan lebih lanjut karena debar jantungku masih tidak karuan.

Lelah.

Pada akhirnya, aku hanya menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun sembari memikirkan sebuah cara untuk menyembunyikan bajuku yang membingkai bentuk tubuh ini dengan sempurna..

Tiba-tiba, sesuatu yang tidak kuduga terjadi.

Arsion tiba-tiba melemparkan jaketnya ke arahku. Gerakannya cepat, seolah ia sendiri tidak mau terlihat terlalu peduli.

“Pakai. Badanmu itu … memang bisa dipakai buat menggoda pria?”

Aku terpaku, menatapnya dengan bingung, tapi sama sekali tidak tersinggung.

Jaket itu hangat, berbeda dengan kata-kata yang barusan ia lontarkan.

Sebelum aku sempat bicara, Arsion sudah berjalan menjauh.

***

[Aku ada acara selesai kelas. Kamu pulang sendiri, jangan merepotkanku lagi.]

[Alamat rumah: terlampir.]

[Awas jika kamu mengadu ke Papa.]

Tiga pesan singkat itu masuk ke ponsel baruku. Kulihat pengirimnya sedang duduk-duduk di tepi lapangan basket fakultas.

Arsion benar-benar memperlakukanku seperti pengadu dan perempuan licik.

Aku bersungut-sungut.

Ya sudah, aku juga bisa pulang sendiri.

“Eh, itu bukannya jaketnya Sion? Kok dipakai si anak pindahan itu?”

Tubuhku membeku saat mendengar ucapan itu keluar dari salah seorang perempuan modis yang katanya merupakan bagian dari geng populer di kampus.

Ah, ya. Dengar-dengar, Luna, yang paling populer di geng itu, naksir Arsion yang ucapannya tajam itu.

Aduh, aku tidak ingin berurusan dengannya.

“Eh, anak pindahan–eh, tunggu dulu!”

Aku buru-buru berjalan cepat dan menghilang di tikungan gedung sebelum mereka benar-benar mengajakku bicara. Orang sepertiku tidak akan hidup tenang jika terlibat dengan para mahasiswa atau geng populer.

Lain kali, aku harus jauh-jauh dari Arsion. Kenapa aku bisa lupa soal ini tadi dan justru mengenakan jaketnya?

Meski benda ini memang menolongku, tapi tetap saja.

Berhasil menghindari geng Luna, aku bergegas pulang sebisanya dengan menaiki ojek. Kali ini, aku tidak diajak ugal-ugalan di jalan lagi seperti saat bersama Arsion.

Setibanya di rumah, karena lelah, aku berniat langsung ke kamar dan beristirahat–ah, tapi aku harus membereskan baju basahku dulu. Tadi tidak sempat minta tolong ART di rumah ini untuk bereskan. Mungkin aku bisa–

“Ahhh, Aresh–kamu sungguh–ah!”

Suara itu tertangkap gendang telingaku saat aku melewati kamar Aresh.

Oh, tidak.

Tidak, tidak, tidak. Apakah pria itu melakukannya lagi?

Langkahku berhenti di depan pintu kamar yang sedikit terbuka. Dari sini, suaranya makin jelas.

Aku seharusnya menyingkir dari sana. Aku tahu.

Namun, rasa penasaran mendorongku agar melangkah lebih dekat, membuat rasa asing di bawah perutku semakin menjadi.

Jantungku berdegup kencang. Aku mendekat sedikit, mengintip lewat celah pintu. Bayangan tubuh mereka bergerak samar. Aku langsung menelan ludah, napasku tertahan.

Tubuh wanita asing itu tampak berisi, lengkap dengan sepasang dada besar yang kini dimainkan oleh tangan Aresh yang kokoh, membuat aku menelan ludah. Kepalaku mendadak terasa ringan–adegan ini sama persis dengan apa yang kualami di hari pertamaku di sini.

"Ah, Aresh! Ahhh!"

Wanita montok di bawah Aresh terus berteriak, seakan sangat menikmati permainan liar Aresh, aku memperhatikan setiap detail tubuh kokoh Aresh yang sempurna, membuat aku menggigit bibir dengan jantung berdebar.

Sejujurnya, sejak pertama kali tanpa sengaja melihat adegan seperti ini, bayangan itu terus melekat di kepalaku.

Sejak saat itu, sesekali, sosok Aresh dan Aaron melintas begitu saja dalam benakku–dengan tubuh mereka yang nyaris sempurna. Dan setiap kali itu terjadi, perasaan bersalah langsung menelanku bulat-bulat.

Mereka kakak tiriku. Kami keluarga. Seharusnya aku tidak boleh berpikir seperti ini.

Aku harus pergi. Ini salah Tidak sepatutnya–

"Ternyata kamu gadis nakal."

Bisikan bernada rendah di samping telingaku dari suara seorang pria dewasa, membuat darah di kepalaku seketika berdesir.

Tubuhku terasa kaku, pemandangan di depan—di mana tubuh berotot Aresh yang telanjang di atas wanita berdada montok—tak lagi menarik perhatian.

Dengan tegang, aku menolehkan kepala ke belakang sambil berpikir keras alasan apa yang harus kuucapkan pada seseorang yang sekarang berdiri di belakangku.

Aaron.

Kakak tiriku yang paling menggoda dan seksi.

Sekaligus pria yang paling kutakuti.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   8. Menuju Klimaks Terlarang

    Gugup dan takut karena terpergok Aresh, aku reflek mundur ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan.“K-kami…."Suaraku tercekat.“Kami hanya kebetulan lewat dan sedikit berdebat, Kak.”Aaron tiba-tiba memotong, suaranya tenang namun terdengar penuh kendali.Ia meraih lenganku tanpa memberi kesempatan padaku untuk mengelak, menarikku hingga berdiri di belakang tubuhnya yang kokoh.“Lanjutkan senang-senangnya, Kak. Maafkan keributan tadi,” lanjut Aaron, nada bicaranya sopan, tapi santainya seolah meremehkan.Ujung matanya dengan sengaja melirik ke arah kamar yang terbuka, memperlihatkan sosok gadis montok hanya berbalut selimut di ranjang Aresh.Aresh hanya menatap sekilas, lalu beralih ke Aaron. Dengan ekspresi malas, ia melambaikan tangan dan menutup pintu tanpa komentar.“Huff…”Aku mengusap dada, menghela napas lega, pikiranku masih kacau karena hampir saja ketahuan mengintip.Namun kelegaanku langsung hancur ketika tangan besar Aaron tiba-tiba menggenggam lenganku lebih erat. Sa

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   7. Tontonan Panas

    "Kak, ak-aku.... aku cuma...."Tak disangka, Aaron malah membekap mulutku, menempelkan tubuh bagian depannya ke tubuhku sambil berbisik dengan dingin."Lanjutkan.""H-hah?"Jantungku menggila saat tubuhku yang sedang panas menempel di tubuh kuat Aaron. Aroma parfumnya yang gentleman membuat kepalaku pusing."Lihat apa yang ingin kau lihat," bisiknya lagi, nada suaranya terdengar seperti ejekan.Tubuhku seketika menggigil. A-apa maksudnya?! Bagaimana bisa aku tetap melihat percintaan Aresh dengan wanita itu di depan sana, sedangkan Aaron berdiri di belakangku?!Apakah dia sedang menguji diriku untuk mempertimbangkan membunuhku atau tidak?!"Kamu berani menolak perintahku?"Aaron yang melihat aku tak mau lanjut mengintip ke dalam berkata dengan nada dingin yang membekukan tulang."T-tidak, Kak!"Suara lirihku pecah, penuh rasa takut."Bagus," balasnya singkat, lalu ia menekan sedikit tubuhku ke arah pintu, membuatku tak punya pilihan selain kembali menatap ke depan.Suara erangan wanita

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   6. Gadis Nakal

    Wajahku memerah mendengar ucapannya.“Bukan begitu,” sanggahku, malu. Tapi tidak mampu menjelaskan lebih lanjut karena debar jantungku masih tidak karuan.Lelah.Pada akhirnya, aku hanya menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun sembari memikirkan sebuah cara untuk menyembunyikan bajuku yang membingkai bentuk tubuh ini dengan sempurna..Tiba-tiba, sesuatu yang tidak kuduga terjadi. Arsion tiba-tiba melemparkan jaketnya ke arahku. Gerakannya cepat, seolah ia sendiri tidak mau terlihat terlalu peduli.“Pakai. Badanmu itu … memang bisa dipakai buat menggoda pria?”Aku terpaku, menatapnya dengan bingung, tapi sama sekali tidak tersinggung.Jaket itu hangat, berbeda dengan kata-kata yang barusan ia lontarkan.Sebelum aku sempat bicara, Arsion sudah berjalan menjauh. ***[Aku ada acara selesai kelas. Kamu pulang sendiri, jangan merepotkanku lagi.][Alamat rumah: terlampir.][Awas jika kamu mengadu ke Papa.]Tiga pesan singkat itu masuk ke ponsel baruku. Kulihat pengirimnya sedang

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   5. Hukuman

    “K-Kak–”Satu tangannya yang bebas menangkup pinggulku–menahanku agar tidak bisa melarikan diri.Dari jarak sedekat ini, aroma maskulin yang menguar darinya makin tercium jelas, memaksaku menahan napas agar tidak jadi makin gila.Tidak … tidak boleh begini!“Kenapa? Tidak mau?”Aku menggeleng kuat-kuat. Bibirku terbuka, ingin memberikan penolakan masuk akal. Atau penjelasan apa pun agar dia berhenti.Namun, tidak ada suara yang keluar.Kenapa aku tidak bisa menolaknya!?Akan tetapi, sepertinya gelengan kepalaku tadi cukup, karena kulihat sorot mata Aaron berubah makin dingin seiring seringai di bibirnya menghilang.“Kalau begitu, jadilah gadis baik yang tidak mengintip atau masuk ke tempat yang tidak seharusnya.” Suara Aaron yang rendah terdengar mengancam. “Keluar.”Aku memaksakan diriku untuk pergi dari sana, meskipun kakiku terasa seperti agar-agar. Lemas dan tak bertenaga.“Oh?”Tepat saat aku keluar dari kamar Aaron, aku berpapasan dengan Aresh di depan. Penampilan pria itu rapi

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   4. Otot-Otot yang Sempurna

    "Nona, ini ponsel untuk Anda dari Tuan Aaron."Malam harinya, seorang pria muda dengan jas rapi menyodorkan sebuah tas bertuliskan merk ponsel yang tadi pagi kulihat. "Ah, terima kasih banyak," jawabku sambil menerima kotak ponsel itu dengan canggung. Saat kubuka, di dalamnya berisi ponsel seharga lima belas juta yang tadi direkomendasikan oleh kakak pegawai toko.Sontak saja aku terkejut.“Eh–ini.” Aku menatap sang asisten yang mengantarkan ponsel. “Dari Kak Aaron?”Sang asisten mengangguk. “Beliau memerintahkan saya untuk membelikan ponsel yang diinginkan oleh Nona Sherry. Pegawai toko yang Nona kunjungi tadi pagi menginformasikan bahwa ponsel inilah yang Nona sukai.”Tidak! Bukan ponsel ini yang kumaksud tadi. Pegawai itu berbohong!Aduh, bagaimana jika Aaron benar-benar berpikir bahwa aku memanfaatkan uangnya? Apakah ia makin membenciku?Aku harus segera minta maaf!“Kak Aaron sekarang di mana?” tanyaku kemudian.“Beliau sedang menuju rumah, Nona. Mungkin sebentar lagi sampai.”T

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   3. Pelukan Erat

    Apakah ia mau membuangku? Kalau ditinggalkan di suatu tempat di kota ini, aku pasti tidak akan bisa kembali ke sini. Ataukah dia akan membiusku, membedahku, lalu menjual organ tubuhku?Sejujurnya, postur tubuh Aaron sangat mendukung untukku berimajinasi liar. Lihatlah setelan serba hitam yang ia pakai dan wajah dingin tanpa ekspresi itu, siapa pun pasti akan mengira jika dia adalah bos penjual organ tubuh manusia. Tangan Aaron yang besar itu kemudian mendorongku masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu.“Eh, anu, Kak–eh, Pak,” ucapku buru-buru saat ia duduk di kursi pengemudi. “Tuan Aaron. Itu. Maaf. Kayaknya aku kurang pantas kalau dijadikan sasaran….”Wajah Aaron tampak mengernyit. “Bicara apa? Kita akan ke mal,” katanya. “Ayah menyuruhku mengantarmu membeli ponsel baru.”Aku berkedip, tampak bingung. “Tapi ponselku baik-baik aja, Kak. Eh–”Aaron mendengus, lalu melirik barang jadul di pangkuanku. Aku bisa merasakan kejengkelannya saat melihat ponsel tuaku. Memang, layarnya sudah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status