Share

5. Hukuman

Author: Lil Seven
last update Last Updated: 2025-10-07 12:17:00

“K-Kak–”

Satu tangannya yang bebas menangkup pinggulku–menahanku agar tidak bisa melarikan diri.

Dari jarak sedekat ini, aroma maskulin yang menguar darinya makin tercium jelas, memaksaku menahan napas agar tidak jadi makin gila.

Tidak … tidak boleh begini!

“Kenapa? Tidak mau?”

Aku menggeleng kuat-kuat. Bibirku terbuka, ingin memberikan penolakan masuk akal. Atau penjelasan apa pun agar dia berhenti.

Namun, tidak ada suara yang keluar.

Kenapa aku tidak bisa menolaknya!?

Akan tetapi, sepertinya gelengan kepalaku tadi cukup, karena kulihat sorot mata Aaron berubah makin dingin seiring seringai di bibirnya menghilang.

“Kalau begitu, jadilah gadis baik yang tidak mengintip atau masuk ke tempat yang tidak seharusnya.” Suara Aaron yang rendah terdengar mengancam. “Keluar.”

Aku memaksakan diriku untuk pergi dari sana, meskipun kakiku terasa seperti agar-agar. Lemas dan tak bertenaga.

“Oh?”

Tepat saat aku keluar dari kamar Aaron, aku berpapasan dengan Aresh di depan. Penampilan pria itu rapi seperti tadi pagi, tapi sorot matanya tampak asing. Seperti akan melahapku bulat-bulat.

Darahku berdesir. Pemandangan panas kala itu kembali terputar di otakku.

Gila. Semua kakakku di sini gila.

Aku tidak ingin bertemu dengan mereka lagi.

“Apa yang dia lakukan di kamarmu?”

Tanpa kuketahui, selepas aku keluar dari kamar Aaron dan mengunci diri di kamarku sendiri, Aresh menemui Aaron. Kakak tiriku yang pertama itu bersandar di ambang pintu dengan tangan bersedekap di depan dada.

Sementara itu, Aaron tengah mengenakan pakaian.

“Bukan apa-apa,” jawab pria itu datar.

“Oh, ya? Wajahnya merah sekali. Mana mungkin tidak melakukan apa pun.” Aresh bicara santai. “Kamu menyukainya?”

“Simpan omong kosongmu, Resh.”

“Whoa, santai, Dik.” Aresh mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Pria itu tertawa ringan. “Cuma bercanda. Mana mungkin seleramu gadis kampung begitu. Tapi lucu juga kalau dipakai main-main.”

Rahang Aaron mengeras, tapi ia tidak mengatakan apa-apa karena tepat saat itu, Arsion mendadak datang dengan wajah memerah marah. Sembari menunjukkan pesan di ponselnya, Arsion berkata pada kedua kakaknya:

“Aku akan memberi pelajaran pada perempuan itu besok. Lihat saja!”

***

Pagi ini, anehnya, baju yang akan kukenakan untuk kuliah mendadak basah. Tergenang di bathtub kamar mandi.

Aku sama sekali tidak tahu siapa yang iseng mengerjaiku, padahal aku sudah menyiapkan baju terbaikku agar tidak terlalu dinilai kampungan seperti saat di mal kemarin.

“Yah, apa boleh buat,” batinku. “Cari baju ganti dulu.”

Setelah mengaduk-aduk baju yang kubawa serta dari rumah nenek, aku menemukan sebuah kemeja sederhana yang sebenarnya jarang kugunakan, karena agaknya terlalu ketat di bagian dada dan pinggul.

Tapi kan tidak mungkin aku pakai baju ini ke–

Brak!

Pintu kamarku tiba-tiba dibuka kasar, tanpa diketuk lebih dahulu.

“Belum siap? Nggak cukup bikin aku harus mengantarmu ke kampus, kamu juga mau aku nunggu sampai lumutan?”

Arsion.

Pria itu sudah rapi dengan celana jeans, kaos polos, dan jaket jersey. Sebuah tas slempang tersampir di bahunya yang bidang.

Namun, ada hal lain yang menyita perhatianku dibanding penampilannya yang tampan.

“Mengantarku ke kampus?” tanyaku.

Arsion berdecak. “Cepat ganti baju. Kutunggu dua menit, atau kuseret kamu.”

Setelah mengatakan itu, Arsion berbalik dan pergi tanpa menutup pintu.

Sebenarnya, tidak seperti Aaron, aku tidak takut pada Arsion. Mungkin karena kami seumuran. Namun, aku tetap saja tidak nyaman jika dia memusuhiku begini. Jadi aku tetap bergegas ganti baju–mengenakan baju kemeja kekecilan yang tadi kutemukan.

Arsion menatapku dengan mata disipitkan saat aku menghampirinya di pintu depan. Namun, ia tidak mengatakan apa pun dan hanya melemparkan helm ke arahku.

Helm itu nyaris mengenai wajahku jika saja aku tidak segera menangkapnya dengan panik.

“Sion–”

Aku hendak memprotes, tapi Arsion justru berbalik dan naik ke atas motor sport hitam mengkilap miliknya.

“Naik. Aku nyaris telat kelas.”

Arsion bertitah singkat.

Tanpa protes, aku naik dan duduk di belakangnya setelah memakai helm. Sebisa mungkin aku menjaga jarak di antara kami, karena aku yakin ia tidak akan suka. Namun, posisi jok motor ini membuatku kesulitan.

“Awas jika kamu berani ambil kesempatan buat pegang-pegang.”

Ya kalau tidak mau dipegang, kenapa naik motor dan menyuruhku ikut!? Aku mengomel dalam hati.

Beruntung aku sempat berpegangan pada besi di bagian belakang karena tiba-tiba saja Arsion menarik gas motornya. Suara meraung-raung mesin memecah udara, lalu tubuhku langsung terdorong ke belakang. Angin kencang menghantam wajahku, membuat napasku nyaris tercekik di balik helm.

Aku punya perasaan Arsion sengaja memacu motor itu kencang, seakan ingin mengerjaiku.

Ya, aku yakin. Karena rasanya setiap detik di atas motor itu adalah siksaan.

Aku tak berani memeluk Arsion meski hampir terhempas. Tangan ini hanya berpegangan erat pada besi belakang motor, jemariku sampai memutih karena terlalu kuat mencengkram karena takut jatuh.

Di setiap tikungan, aku merasa jantungku berhenti berdetak. Ketakutan menelanku bulat-bulat.

Hingga akhirnya, motor itu melambat saat memasuki area kampus dan kemudian berhenti dengan hentakan keras di halaman gedung kuliahku.

“Turun.”

Aku turun dengan langkah gemetar. Rokku tersingkap karena hembusan angin kencang sepanjang jalan, rambutku berantakan, dan tubuhku terasa lemas, hampir roboh.

Arsion melepas helmnya dengan kasar. Tatapan dinginnya masih menusuk.

“Gimana? Enak berangkat bersamaku?” ejeknya.

“Kalau Papa sampai minta aku mengantarmu lagi, aku akan berikan pengalaman yang lebih parah dari yang barusan kamu alami. Mengerti?”

“Kenapa kamu melampiaskannya padaku?” tanyaku. Suaraku masih gemetar karena efek diajak ugal-ugalan di jalan raya. “Aku nggak pernah minta Om menyuruhmu!”

“Lalu siapa lagi?” Arsion membalas ringan. “Kamu seperti ibumu. Berusaha memanfaatkan segala kesempatan yang ada.”

Sepasang mataku membelalak. “Kamu–”

“Bahkan, coba lihat bajumu. Kamu ke sini mau kuliah atau cari pria kaya untuk digoda, hm?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Marni Limid
hedech...entar malah yg paling kecintaan gak sih tu kaka ke tiga
goodnovel comment avatar
CH. Blue Lilac
dag dig dug ser bacanya tapi bikin cengegesan juga
goodnovel comment avatar
Ara Malikaa
bagus banget kk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   136. Merangkak Ke Dosen Mesum?

    "Apa maksudnya?" Aku bertanya, pura-pura tak tahu meski dadaku berdebar kencang. "Ah, tidak kok, Sherry. Tidak ada apa-apa," jawab salah satu mahasiswi sambil cepat-cepat membereskan laptopnya dan meninggalkan bangku, seakan-akan ada yang disembunyikan. "Aku benar-benar tak mengerti, apa maksud kamu bilang aku mahasiswi favorit pak Samuel?" tanyaku sekali lagi, tapi mahasiswi itu tetap tak menjawab. Beberapa mahasiswi yang tadi melirikku sambil terkikik-kikik, juga buru-buru bangkit dan pergi. "Hey... "Aku berusaha memanggil mereka dan bertanya apa maksud kata favorit yang mereka katakan, tapi tak ada satu pun yang berhenti. "Kenapa firasatku buruk?" gumamku saat melihat gelagat aneh mereka, tapi, tepat ketika aku berusaha menarik napas panjang dan mencoba tidak berpikir terlalu jauh, ponselku bergetar.Aresh, menelepon. Jantungku seketika terasa berhenti berdetak dan kulit tengkukku merinding."Tidak… jangan sekarang," ggumamku panik. Ponselku terus menyala dan telepon Aresh

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   135. Mahasiswi Plus Plus

    "Apa saking tak bisa menahan nafsunya sampai kondisi kamu seberantakan ini? Kamu ini benar-benar memalukan, Sherry!"Mendengar tuduhan tak berdasar Aresh, aku tentu saja langsung menggeleng keras dan menyangkal. "A-apa maksudnya, Kak? Siapa yang mampir hotel, hari ini aku bahkan tidak bertemu Kaiser dan—""Oh, lalu dengan pria mana kamu menghabiskan malam sampai kondisimu seberantakan itu, Sherry? Jangan menipuku, aku jelas bisa melihat kamu baru saja disentuh seorang pria!"Aku terdiam, tak mampu berkata-kata, hanya mataku yang berkaca-kaca lah yang menjawab semua tuduhannya. "Kak...."Rasanya sangat sakit, saat tak ada satupun yang mau mendengar aku bicara dan terus menuduh macam-macam. Mungkin karena tak tahan melihat aku yang hampir menangis, Aresh akhirnya hanya menghela napas dan mengacak pelan rambutnya. "Hah, pokoknya kamu harus fokus kuliah dan mendapatkan nilai tinggi, Sherry. Karena kalau nilaimu turun lagi, hukumannya bukan hanya magang saat liburan semester, tapi lebi

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   134. Pemuas Lelaki?

    Arsion tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia berdiri membelakangi, kedua tangannya mengepal seolah sedang menahan sesuatu. Ketika ia berbalik, sorot matanya tajam, dingin… bukan murka besar, tapi cukup menusukku hingga membuat napasku tertahan."Sion.... "Suaraku serak, menahan tangis. Entah kenapa tatapannya sekarang mengingatkan aku pada hari pertama memasuki rumah ini, di mana tak ada satu pun dari ketiga kakakku yang menerima kehadiranku. Arsion hanya mengangkat satu alis, menatapku seperti melihat sesuatu yang menjijikkan.“Kenapa kamu telepon aku berkali-kali?” tanyanya pelan, tapi nadanya seperti pisau. “Itu... itu karena aku membutuhkan kamu tadi, Sion. Aku… aku takut. Aku—”Belum selesai aku bicara, Arsion memotong. “Takut?” Dia tersenyum sinis, berjalan melewatiku seperti tidak peduli. “Kamu benar-benar takut, atau cuma sedang drama karena kamu terlalu sibuk ngurusin hidup orang lain?”Aku mengerutkan kening, bingung. “Apa maksudmu? Aku tadi benar-benar—”“Double d

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   133. Kamu Kenapa, Arsion?

    "Sion, tolong angkat... tolong angkat.... "Setelah ditolak Claire untuk bicara dengan Aaron, aku mencoba menghubungi saudara tiriku yang lain, Arsion. Aku berulang kali menekan ikon telepon di layar ponselku, jemariku bergetar dan napasku sesak karena panik yang terus menggedor dada. "Arsion… angkat, tolong! Tolong!" gumamku, memohon dengan putus asa saat sekali lagi nada sambung terdengar, panjang, membosankan, dan diakhiri bunyi terputus yang menyiksa. Tidak dijawab. Arsion tak menjawab teleponku. "Kenapa? Kenapa dia tidak mau mengangkat teleponnya?"Aku menggigit bibirku, tak menyerah dan mencoba lagi menghubungi Arsion. Satu kali. Dua kali. Lima kali. Tidak diangkat.“Oke… oke… tenang…” bisikku pada diri sendiri, tapi suaraku sendiri terdengar pecah. Putus harapan. Arsion, kamu di mana, sedang sibukkah? Kenapa tak mengangkat telepon? “Baiklah, aku akan menghubungi Kaiser. Dia pasti angkat. Kaiser selalu mengangkat teleponku,” gumamku, mencoba menelepon Kaiser. Keringat d

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   132. Gadis Kampung Merepotkan!

    Sementara itu... Di ruang tertutup dengan layar monitor penuh data, suara tembakan dari headphone masih bergema, tapi pandangan Aaron tetap fokus. Tugas penyusupan ini sangat berbahaya, ia tahu itu. Sekali salah langkah, hidupnya dan bawahan yang dia perintah, bisa berakhir.Namun tiba-tiba, suaranya Claire terdengar dari mikrofon kecil di telinganya."Boss, Sherry baru saja menelepon. Katanya dia dalam bahaya, tapi saya sudah menanganinya. Anda fokus saja dengan pekerjaan Anda," lapor Claire, yang kini berada di tempat berbeda dengan Aaron. Gerakan Aaron berhenti sejenak saat mendengar laporan Claire, napasnya tertahan tapi ekspresinya tak berubah. "Dalam bahaya?" Aaron bertanya, alisnya terangkat sedikit."Ya, katanya begitu. Tapi setelah saya cek, tidak ada ancaman spesifik. Sepertinya hanya masalah kampus biasa, atau sifat kekanak-kanakannya kambuh. Anda sendiri tahu dia suka panik berlebihan," jawab Claire, sopan tapi terdengar muak saat melaporkan Sherry. "Kamu yakin begit

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   131. Aaron, Tolong!

    "Berani keluar, nilai D. Pikir ulang baik-baik, Sherry," ucap Pak Samuel santai, seraya menaikkan satu alisnya. Seakan-akan aku tak akan pernah berani keluar dari ruangan ini karena ancaman itu. Mataku menyipit melihat seorang dosen yang harusnya mulia, ternyata serendah ini. Kupejamkan mata, menarik napas panjang. "Apa pun konsekuensinya… saya tidak akan pernah menjual diri saya, Pak," ucapku, berusaha terdengar setegas mungkin. Lalu, tanpa menunggu reaksinya, aku mendorong pintu dan berjalan keluar secepat mungkin. Di depan pak Samuel, aku tadi terlihat begitu tegar dan tak takut sedikit pun, tapi sebenarnya, begitu keluar ruangan, seluruh tubuhku gemetaran. Masih sambil menahan gemetar, aku segera berlari melewati lorong kampus, napasku terasa sesak tapi aku terus berlari, ingin kabur secepatnya dari dosen mesum itu. Begitu sampai di pelataran kampus, aku membungkuk untuk mengatur napas yang rasanya seperti hendak putus. "Hah, hah, hah.... " Dengan napas yang masi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status