“K-Kak–”
Satu tangannya yang bebas menangkup pinggulku–menahanku agar tidak bisa melarikan diri. Dari jarak sedekat ini, aroma maskulin yang menguar darinya makin tercium jelas, memaksaku menahan napas agar tidak jadi makin gila. Tidak … tidak boleh begini! “Kenapa? Tidak mau?” Aku menggeleng kuat-kuat. Bibirku terbuka, ingin memberikan penolakan masuk akal. Atau penjelasan apa pun agar dia berhenti. Namun, tidak ada suara yang keluar. Kenapa aku tidak bisa menolaknya!? Akan tetapi, sepertinya gelengan kepalaku tadi cukup, karena kulihat sorot mata Aaron berubah makin dingin seiring seringai di bibirnya menghilang. “Kalau begitu, jadilah gadis baik yang tidak mengintip atau masuk ke tempat yang tidak seharusnya.” Suara Aaron yang rendah terdengar mengancam. “Keluar.” Aku memaksakan diriku untuk pergi dari sana, meskipun kakiku terasa seperti agar-agar. Lemas dan tak bertenaga. “Oh?” Tepat saat aku keluar dari kamar Aaron, aku berpapasan dengan Aresh di depan. Penampilan pria itu rapi seperti tadi pagi, tapi sorot matanya tampak asing. Seperti akan melahapku bulat-bulat. Darahku berdesir. Pemandangan panas kala itu kembali terputar di otakku. Gila. Semua kakakku di sini gila. Aku tidak ingin bertemu dengan mereka lagi. “Apa yang dia lakukan di kamarmu?” Tanpa kuketahui, selepas aku keluar dari kamar Aaron dan mengunci diri di kamarku sendiri, Aresh menemui Aaron. Kakak tiriku yang pertama itu bersandar di ambang pintu dengan tangan bersedekap di depan dada. Sementara itu, Aaron tengah mengenakan pakaian. “Bukan apa-apa,” jawab pria itu datar. “Oh, ya? Wajahnya merah sekali. Mana mungkin tidak melakukan apa pun.” Aresh bicara santai. “Kamu menyukainya?” “Simpan omong kosongmu, Resh.” “Whoa, santai, Dik.” Aresh mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Pria itu tertawa ringan. “Cuma bercanda. Mana mungkin seleramu gadis kampung begitu. Tapi lucu juga kalau dipakai main-main.” Rahang Aaron mengeras, tapi ia tidak mengatakan apa-apa karena tepat saat itu, Arsion mendadak datang dengan wajah memerah marah. Sembari menunjukkan pesan di ponselnya, Arsion berkata pada kedua kakaknya: “Aku akan memberi pelajaran pada perempuan itu besok. Lihat saja!” *** Pagi ini, anehnya, baju yang akan kukenakan untuk kuliah mendadak basah. Tergenang di bathtub kamar mandi. Aku sama sekali tidak tahu siapa yang iseng mengerjaiku, padahal aku sudah menyiapkan baju terbaikku agar tidak terlalu dinilai kampungan seperti saat di mal kemarin. “Yah, apa boleh buat,” batinku. “Cari baju ganti dulu.” Setelah mengaduk-aduk baju yang kubawa serta dari rumah nenek, aku menemukan sebuah kemeja sederhana yang sebenarnya jarang kugunakan, karena agaknya terlalu ketat di bagian dada dan pinggul. Tapi kan tidak mungkin aku pakai baju ini ke– Brak! Pintu kamarku tiba-tiba dibuka kasar, tanpa diketuk lebih dahulu. “Belum siap? Nggak cukup bikin aku harus mengantarmu ke kampus, kamu juga mau aku nunggu sampai lumutan?” Arsion. Pria itu sudah rapi dengan celana jeans, kaos polos, dan jaket jersey. Sebuah tas slempang tersampir di bahunya yang bidang. Namun, ada hal lain yang menyita perhatianku dibanding penampilannya yang tampan. “Mengantarku ke kampus?” tanyaku. Arsion berdecak. “Cepat ganti baju. Kutunggu dua menit, atau kuseret kamu.” Setelah mengatakan itu, Arsion berbalik dan pergi tanpa menutup pintu. Sebenarnya, tidak seperti Aaron, aku tidak takut pada Arsion. Mungkin karena kami seumuran. Namun, aku tetap saja tidak nyaman jika dia memusuhiku begini. Jadi aku tetap bergegas ganti baju–mengenakan baju kemeja kekecilan yang tadi kutemukan. Arsion menatapku dengan mata disipitkan saat aku menghampirinya di pintu depan. Namun, ia tidak mengatakan apa pun dan hanya melemparkan helm ke arahku. Helm itu nyaris mengenai wajahku jika saja aku tidak segera menangkapnya dengan panik. “Sion–” Aku hendak memprotes, tapi Arsion justru berbalik dan naik ke atas motor sport hitam mengkilap miliknya. “Naik. Aku nyaris telat kelas.” Arsion bertitah singkat. Tanpa protes, aku naik dan duduk di belakangnya setelah memakai helm. Sebisa mungkin aku menjaga jarak di antara kami, karena aku yakin ia tidak akan suka. Namun, posisi jok motor ini membuatku kesulitan. “Awas jika kamu berani ambil kesempatan buat pegang-pegang.” Ya kalau tidak mau dipegang, kenapa naik motor dan menyuruhku ikut!? Aku mengomel dalam hati. Beruntung aku sempat berpegangan pada besi di bagian belakang karena tiba-tiba saja Arsion menarik gas motornya. Suara meraung-raung mesin memecah udara, lalu tubuhku langsung terdorong ke belakang. Angin kencang menghantam wajahku, membuat napasku nyaris tercekik di balik helm. Aku punya perasaan Arsion sengaja memacu motor itu kencang, seakan ingin mengerjaiku. Ya, aku yakin. Karena rasanya setiap detik di atas motor itu adalah siksaan. Aku tak berani memeluk Arsion meski hampir terhempas. Tangan ini hanya berpegangan erat pada besi belakang motor, jemariku sampai memutih karena terlalu kuat mencengkram karena takut jatuh. Di setiap tikungan, aku merasa jantungku berhenti berdetak. Ketakutan menelanku bulat-bulat. Hingga akhirnya, motor itu melambat saat memasuki area kampus dan kemudian berhenti dengan hentakan keras di halaman gedung kuliahku. “Turun.” Aku turun dengan langkah gemetar. Rokku tersingkap karena hembusan angin kencang sepanjang jalan, rambutku berantakan, dan tubuhku terasa lemas, hampir roboh. Arsion melepas helmnya dengan kasar. Tatapan dinginnya masih menusuk. “Gimana? Enak berangkat bersamaku?” ejeknya. “Kalau Papa sampai minta aku mengantarmu lagi, aku akan berikan pengalaman yang lebih parah dari yang barusan kamu alami. Mengerti?” “Kenapa kamu melampiaskannya padaku?” tanyaku. Suaraku masih gemetar karena efek diajak ugal-ugalan di jalan raya. “Aku nggak pernah minta Om menyuruhmu!” “Lalu siapa lagi?” Arsion membalas ringan. “Kamu seperti ibumu. Berusaha memanfaatkan segala kesempatan yang ada.” Sepasang mataku membelalak. “Kamu–” “Bahkan, coba lihat bajumu. Kamu ke sini mau kuliah atau cari pria kaya untuk digoda, hm?”Gugup dan takut karena terpergok Aresh, aku reflek mundur ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan.“K-kami…."Suaraku tercekat.“Kami hanya kebetulan lewat dan sedikit berdebat, Kak.”Aaron tiba-tiba memotong, suaranya tenang namun terdengar penuh kendali.Ia meraih lenganku tanpa memberi kesempatan padaku untuk mengelak, menarikku hingga berdiri di belakang tubuhnya yang kokoh.“Lanjutkan senang-senangnya, Kak. Maafkan keributan tadi,” lanjut Aaron, nada bicaranya sopan, tapi santainya seolah meremehkan.Ujung matanya dengan sengaja melirik ke arah kamar yang terbuka, memperlihatkan sosok gadis montok hanya berbalut selimut di ranjang Aresh.Aresh hanya menatap sekilas, lalu beralih ke Aaron. Dengan ekspresi malas, ia melambaikan tangan dan menutup pintu tanpa komentar.“Huff…”Aku mengusap dada, menghela napas lega, pikiranku masih kacau karena hampir saja ketahuan mengintip.Namun kelegaanku langsung hancur ketika tangan besar Aaron tiba-tiba menggenggam lenganku lebih erat. Sa
"Kak, ak-aku.... aku cuma...."Tak disangka, Aaron malah membekap mulutku, menempelkan tubuh bagian depannya ke tubuhku sambil berbisik dengan dingin."Lanjutkan.""H-hah?"Jantungku menggila saat tubuhku yang sedang panas menempel di tubuh kuat Aaron. Aroma parfumnya yang gentleman membuat kepalaku pusing."Lihat apa yang ingin kau lihat," bisiknya lagi, nada suaranya terdengar seperti ejekan.Tubuhku seketika menggigil. A-apa maksudnya?! Bagaimana bisa aku tetap melihat percintaan Aresh dengan wanita itu di depan sana, sedangkan Aaron berdiri di belakangku?!Apakah dia sedang menguji diriku untuk mempertimbangkan membunuhku atau tidak?!"Kamu berani menolak perintahku?"Aaron yang melihat aku tak mau lanjut mengintip ke dalam berkata dengan nada dingin yang membekukan tulang."T-tidak, Kak!"Suara lirihku pecah, penuh rasa takut."Bagus," balasnya singkat, lalu ia menekan sedikit tubuhku ke arah pintu, membuatku tak punya pilihan selain kembali menatap ke depan.Suara erangan wanita
Wajahku memerah mendengar ucapannya.“Bukan begitu,” sanggahku, malu. Tapi tidak mampu menjelaskan lebih lanjut karena debar jantungku masih tidak karuan.Lelah.Pada akhirnya, aku hanya menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun sembari memikirkan sebuah cara untuk menyembunyikan bajuku yang membingkai bentuk tubuh ini dengan sempurna..Tiba-tiba, sesuatu yang tidak kuduga terjadi. Arsion tiba-tiba melemparkan jaketnya ke arahku. Gerakannya cepat, seolah ia sendiri tidak mau terlihat terlalu peduli.“Pakai. Badanmu itu … memang bisa dipakai buat menggoda pria?”Aku terpaku, menatapnya dengan bingung, tapi sama sekali tidak tersinggung.Jaket itu hangat, berbeda dengan kata-kata yang barusan ia lontarkan.Sebelum aku sempat bicara, Arsion sudah berjalan menjauh. ***[Aku ada acara selesai kelas. Kamu pulang sendiri, jangan merepotkanku lagi.][Alamat rumah: terlampir.][Awas jika kamu mengadu ke Papa.]Tiga pesan singkat itu masuk ke ponsel baruku. Kulihat pengirimnya sedang
“K-Kak–”Satu tangannya yang bebas menangkup pinggulku–menahanku agar tidak bisa melarikan diri.Dari jarak sedekat ini, aroma maskulin yang menguar darinya makin tercium jelas, memaksaku menahan napas agar tidak jadi makin gila.Tidak … tidak boleh begini!“Kenapa? Tidak mau?”Aku menggeleng kuat-kuat. Bibirku terbuka, ingin memberikan penolakan masuk akal. Atau penjelasan apa pun agar dia berhenti.Namun, tidak ada suara yang keluar.Kenapa aku tidak bisa menolaknya!?Akan tetapi, sepertinya gelengan kepalaku tadi cukup, karena kulihat sorot mata Aaron berubah makin dingin seiring seringai di bibirnya menghilang.“Kalau begitu, jadilah gadis baik yang tidak mengintip atau masuk ke tempat yang tidak seharusnya.” Suara Aaron yang rendah terdengar mengancam. “Keluar.”Aku memaksakan diriku untuk pergi dari sana, meskipun kakiku terasa seperti agar-agar. Lemas dan tak bertenaga.“Oh?”Tepat saat aku keluar dari kamar Aaron, aku berpapasan dengan Aresh di depan. Penampilan pria itu rapi
"Nona, ini ponsel untuk Anda dari Tuan Aaron."Malam harinya, seorang pria muda dengan jas rapi menyodorkan sebuah tas bertuliskan merk ponsel yang tadi pagi kulihat. "Ah, terima kasih banyak," jawabku sambil menerima kotak ponsel itu dengan canggung. Saat kubuka, di dalamnya berisi ponsel seharga lima belas juta yang tadi direkomendasikan oleh kakak pegawai toko.Sontak saja aku terkejut.“Eh–ini.” Aku menatap sang asisten yang mengantarkan ponsel. “Dari Kak Aaron?”Sang asisten mengangguk. “Beliau memerintahkan saya untuk membelikan ponsel yang diinginkan oleh Nona Sherry. Pegawai toko yang Nona kunjungi tadi pagi menginformasikan bahwa ponsel inilah yang Nona sukai.”Tidak! Bukan ponsel ini yang kumaksud tadi. Pegawai itu berbohong!Aduh, bagaimana jika Aaron benar-benar berpikir bahwa aku memanfaatkan uangnya? Apakah ia makin membenciku?Aku harus segera minta maaf!“Kak Aaron sekarang di mana?” tanyaku kemudian.“Beliau sedang menuju rumah, Nona. Mungkin sebentar lagi sampai.”T
Apakah ia mau membuangku? Kalau ditinggalkan di suatu tempat di kota ini, aku pasti tidak akan bisa kembali ke sini. Ataukah dia akan membiusku, membedahku, lalu menjual organ tubuhku?Sejujurnya, postur tubuh Aaron sangat mendukung untukku berimajinasi liar. Lihatlah setelan serba hitam yang ia pakai dan wajah dingin tanpa ekspresi itu, siapa pun pasti akan mengira jika dia adalah bos penjual organ tubuh manusia. Tangan Aaron yang besar itu kemudian mendorongku masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu.“Eh, anu, Kak–eh, Pak,” ucapku buru-buru saat ia duduk di kursi pengemudi. “Tuan Aaron. Itu. Maaf. Kayaknya aku kurang pantas kalau dijadikan sasaran….”Wajah Aaron tampak mengernyit. “Bicara apa? Kita akan ke mal,” katanya. “Ayah menyuruhku mengantarmu membeli ponsel baru.”Aku berkedip, tampak bingung. “Tapi ponselku baik-baik aja, Kak. Eh–”Aaron mendengus, lalu melirik barang jadul di pangkuanku. Aku bisa merasakan kejengkelannya saat melihat ponsel tuaku. Memang, layarnya sudah