Rumah itu kini hanya sebuah bayangan kenangan, gambaran masa lalu yang terhapus oleh kepingan waktu. Kael melangkah cepat melalui lorong hutan purba yang lebat dengan semak belukar, setiap langkahnya menggelora dalam kesunyian yang mencekam. Di belakangnya, Sarah dan Laila mengikuti dengan wajah cemas, seolah kegelapan hutan menelan ketenangan yang tersisa di hati mereka.
Sarah menggenggam tangan Laila erat, menyalurkan semangat agar adiknya tetap di sampingnya. Matanya yang berpendar ungu menembus kegelapan tebal hutan, mendeteksi setiap gerakan energi di sekeliling mereka, seolah bisa merasakan ketegangan di atmosfer. Setiap kali Kael melirik ke belakang, dia bisa melihat kerut kecemasan di wajah Sarah dan keceriaan yang perlahan memudar dari raut Laila yang polos. Hutan purba Aethel dikenal sebagai tempat yang tidak ramah dan penuh misteri. Udara dingin menyengat kulit mereka, aroma tajam tanah lembap bercampur dengan suara alam yang terus berbunyi, menciptakan simfoni kesunyian yang dipenuhi ancaman. Desisan angin seolah berbisik tentang bahaya yang mengintai, sementara jeritan binatang liar yang terdengar dari kejauhan menambah nuansa mencekam di sekitar mereka. "Kita harus terus bergerak," ujar Kael pelan, suaranya nyaris seperti bisikan namun penuh ketegasan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang bergejolak di dalam hati. "Ordo Umbra mungkin masih melacak kita." Sarah mengangguk tanpa kata, matanya tajam menyapu ke sekeliling. Iris ungunya menangkap kilasan energi gelap yang menjalar di udara, menandakan bahwa para pengejar belum menyerah. Sekilas kepanikan meluap dalam dirinya, tetapi dia berusaha menyembunyikannya, menampilkan ketenangan demi adiknya. "Mereka semakin dekat?" Laila bertanya dalam bahasa isyarat, wajahnya tegang, menunjukkan ketidakpastian yang menyelimuti hati mereka. Sarah menjawab dengan isyarat tangan yang tenang. "Tidak terlalu dekat, tetapi kita tidak bisa berhenti." Kael memperhatikan interaksi mereka sejenak sebelum kembali fokus pada jalan yang berkelok di depan. Ia tahu Laila terlalu muda untuk menghadapi semua ini, dan hatinya terasa berat melihat beban yang harus dipikul oleh gadis kecil itu. Namun, tidak ada pilihan lain. Mereka hanya memiliki satu tujuan: mencapai Akademi Baseus, tempat di mana Profesor Aldos mungkin bisa memberikan jawaban tentang Batu Sihir yang mereka cari. Malam semakin larut, dan hutan menjadi semakin gelap, seolah menelan cahaya yang tersisa. Kael merasa perlu untuk beristirahat sejenak. Dia menghentikan langkahnya dan memilih sebuah pohon besar dengan dahan-dahan tebal yang melindungi mereka. "Kita istirahat sebentar di sini," katanya berusaha terdengar meyakinkan, menjadi pelindung bagi dua perempuan di sampingnya. Sarah menghela napas panjang, lelah setelah berlari tanpa henti. Dia duduk bersandar pada batang pohon, merasakan getaran dingin mulai merayap masuk ke dalam tulangnya. Laila ikut duduk di sampingnya, tubuh kecilnya gemetar karena kedinginan yang menyelimutinya. Kael, merasakan kebutuhan untuk melindungi, melepas jubahnya dan dengan lembut membungkus tubuh Laila, berlutut di hadapannya, mencoba menyalurkan kehangatan. "Kau harus tetap hangat," katanya pelan, suara lembutnya mencairkan ketegangan yang ada. Laila mengangguk kecil, yang tampak berarti baginya, memberikan senyuman tipis meski terlihat lemah. Dia mengetukkan jarinya di tanah, membentuk kata dalam bahasa isyarat. "Kau lelah juga." Kael hanya bisa tersenyum samar, mengacak rambut Laila dengan lembut sebelum berdiri lagi. "Aku tidak apa-apa," ujarnya singkat, meskipun tubuhnya sendiri merasa berat dan lelah. Sarah menatap Kael dengan mata ungunya yang berkilau. "Kael, kau tahu kita tidak bisa terus seperti ini. Mereka tidak akan berhenti mengejar." "Aku tahu," jawab Kael sambil menatap kegelapan hutan yang menyelubungi mereka. "Tapi kita harus bertahan. Kita tidak punya pilihan lain." Suara ranting patah terdengar dari kejauhan, membawa ketegangan baru ke dalam suasana. Kael langsung berdiri, tubuhnya tegang. Ia mengangkat tangannya, memfokuskan energi untuk merasakan kehadiran di sekitar mereka, merasakan setiap denyut jantung yang berdetak dalam bayang-bayang malam. "Ada yang datang," katanya pelan, suaranya terdengar penuh kewaspadaan. Sarah menutup matanya, kekuatan Mata Sihirnya menjangkau lebih jauh, mencoba menangkap keberadaan yang mendekat. "Mereka bukan dari Ordo Umbra," katanya ragu dengan nada rendah, "tetapi aku tidak yakin siapa mereka." Kael mempersiapkan diri, tangannya mulai membentuk lingkaran hijau kehitaman, bersiap untuk melindungi mereka. "Apa pun itu, kita tidak akan mengambil risiko." Dari balik kegelapan, sesosok bayangan besar muncul. Kael mengarahkan sihirnya, siap menyerang pada saat yang tidak terduga, tetapi suara yang dikenalnya menghentikannya. "Kael! Tunggu!" "Murphy?" Kael terkejut, mengenali suara itu. Murphy, dengan tubuh kekarnya yang lelah, berdiri di sana, napasnya terengah-engah. Pakaian murid Akademi Baseus yang dikenakannya tampak kotor dan sobek, menandakan perjuangan yang dilaluinya. "Syukurlah aku menemukan kalian," kata Murphy dengan lega, memberikan harapan baru dalam situasi yang kritis. "Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa menemukanku?" tanya Kael, sorot matanya penuh curiga, tanda keanehan yang menggelayut di benaknya. Murphy mendekat, wajahnya kotor tetapi penuh tekad. "Ordo Umbra sedang mengejar kalian, bukan? Aku menduga kalian dalam bahaya, jadi aku berusaha mencarimu." "Bagaimana kau tahu mereka mengejarku?" tanya Kael lebih lanjut, penasaran bagaimana informasi itu bisa tersebar. Murphy menghela napas panjang, menyentuh kepalanya yang lelah. "Aku punya masalah sendiri dengan Ordo Umbra. Setelah penyelidikanku, aku menemukan sesuatu... sesuatu yang besar. Dan mereka tidak menyukainya." "Apa yang kau temukan?" Kael menuntut, rasa ingin tahunya semakin mendalam. Murphy duduk di tanah, mengusap wajahnya dengan tangan yang lelah. "Ordo Umbra sedang mencari sebuah artefak kuno. Mereka menyebutnya Batu Sihir. Dari yang kudengar, benda itu punya kekuatan untuk menghancurkan keseimbangan sihir di Aethel." Batu Sihir. Kata-kata itu terdengar tidak asing sekaligus mengerikan bagi Kael. Semuanya kini menjadi lebih berbahaya dari yang mereka duga, jaring-jaring kengerian mengeluarkan sinyal bahaya. "Mereka tahu di mana itu?" tanya Kael dengan nada tegas. Murphy menggelengkan kepala, wajahnya suram saat menjawab. "Belum. Tetapi mereka tahu seseorang yang mungkin punya petunjuk—Profesor Aldos." Sarah berbicara dengan tenang, iris ungunya berkilat dalam kegelapan, menangkap esensi pengetahuan yang dimiliki. "Kalau begitu, kita harus pergi ke Akademi Baseus." Kael mengangguk, seolah hal itu sudah ditentukan. "Itu tujuan kita sejak awal. Tetapi dengan apa yang Murphy katakan, kita harus lebih berhati-hati." Murphy berdiri, menepuk debu dari pakaiannya dan menunjukkan senyum yang penuh keberanian. "Aku akan ikut dengan kalian. Kita lebih kuat bersama." "Kalau begitu, kita harus bergerak sekarang," kata Kael, menyadari waktu yang terus berjalan. Dengan Murphy di sisi mereka, kelompok kecil itu kembali bergerak, menyusuri lorong-lorong hutan yang semakin menyeramkan. Di kejauhan, bayangan-bayangan masih mengejar, tetapi kini mereka memiliki secercah harapan dan kekuatan baru. Dalam hati mereka dipenuhi dengan tekad untuk bertahan, berjuang melawan segala ancaman yang mengintai. Dalam perjalanan ini, mereka berharap tidak hanya menemukan jawaban tentang Batu Sihir, tetapi juga menemukan kekuatan dalam diri mereka masing-masing, yang tersembunyi di balik ketakutan dan ketidakpastian.Mereka mulai bersiap-siap untuk keluar dan melanjutkan rencana mereka. Paman Peter telah pergi lebih dulu, menyelinap ke ruang penyimpanan untuk membuka jalan, agar dapat bergabung dengan kelompok mereka nanti. Meski semua anggota kelompok sudah kuat, kekhawatiran tetap menyelimuti paman Peter. Ia benar-benar cemas dengan kepergian mereka menuju sarang laba-laba itu, terutama karena mereka belum sepenuhnya mengetahui kekuatan induk laba-laba yang legendaris itu. “Baiklah, paman sudah pergi. Sekarang giliran kita untuk bergerak. Ingat, setiap sepuluh menit kita harus mencari tempat untuk bersembunyi, sebelum kemampuan ilusi Sarah menghilang,” ucap Kael dengan ekspresi serius, tatapannya penuh waspada. Semua orang mengangguk mantap, sudah paham betul batas waktu kemampuan ilusi Sarah yang hanya bertahan sepuluh menit sekali aktif, sebelum perlu waktu untuk mengaktifkannya kembali. Kabut tipis yang diciptakan oleh Sophia terus menyelimuti mereka, merayap lembut seperti selimut ha
Suasana di kelompok persembunyian Kael terasa begitu sunyi dan sepi. Celah-celah batu yang menjadi tempat mereka berlindung membungkus mereka dengan keheningan yang hampir sakral. Hanya terdengar sesekali dengkuran berat Murphy yang bersandar santai pada batu besar, seolah memberi tanda bahwa meski senyap, mereka semua masih ada di sana, hidup dan waspada dalam diam. Kabut tipis perlahan-lahan mulai menyelimuti area bebatuan di sekitar mereka, membentuk lapisan putih samar yang tampak agak aneh bila diperhatikan dengan seksama. Namun, monster-monster yang lalu lalang keluar masuk melalui lorong-lorong sempit di sekitar persembunyian mereka tidak tampak menyadari perubahan kecil itu. Seolah-olah mereka tidak menghiraukan apapun yang terjadi, percaya bahwa tidak ada yang berani mengacaukan wilayah mereka. “Dia benar-benar mampu tidur di saat seperti ini,” gumam Kael pelan, nada suaranya membawa sedikit kekhawatiran. Paman Peter sudah satu jam belum kembali, dan itu mulai mengganggu
Setelah mengetahui situasinya, paman Peter segera bergegas menuju tempat yang telah ia sepakati bersama paman Barrett sebagai titik pertemuan untuk saling bertukar informasi yang mereka dapatkan dari dua lokasi berbeda. Langkahnya cepat namun penuh kehati-hatian, setiap detik seolah menekan beban pikiran yang tak kunjung reda. Sesampainya di lokasi, paman Peter mendapati bahwa paman Barrett dan Maya belum tiba. Ia pun terpaksa menunggu di sana, pikirannya terus dibayangi pandangan dari ruangan luas yang baru saja ia kunjungi. "Apakah kita benar-benar harus menghadapi monster tersebut?" gumam paman Peter, suaranya serak dan penuh kekhawatiran. "Pertanyaan bodoh memang, tapi monster itu… monster itu adalah bencana yang bergerak." Tiba-tiba, bayangan bergerak, perlahan membentuk sosok paman Barrett dan Maya yang muncul keluar dari kegelapan. Mereka menyapa paman Peter yang masih termenung dengan raut wajah kusut. Paman Peter menunjukkan ekspresi rumit, lalu mengangguk pelan. "Bagaim
Suasana di kota monster itu begitu asing dan mencekam bagi siapa saja yang pertama kali mengalaminya. Dari kejauhan, terdengar deru suara berbagai makhluk yang berbaur jadi satu — suara berat troll yang menggeram, bisikan reptil kadal dengan sisik berkilau, hingga jeritan nyaring goblin abu-abu yang seringkali melengking seolah penuh ketakutan atau kemarahan. Suara goblin yang menjerit kesakitan karena tamparan troll terdengar bergema di antara bangunan-bangunan rapuh, diiringi oleh raungan mereka yang seakan-akan berdebat sengit. Namun, setiap kali monster laba-laba besar merayap melintasi lorong, suara itu tiba-tiba terhenti. Suasana mendadak sunyi, seolah ketakutan akan makhluk berkaki delapan itu mengekang segala kegaduhan. Di balik bayang-bayang lorong bangunan yang remang, Paman Peter bersembunyi dengan tenang, matanya menatap dua sosok yang muncul dari kegelapan. Sosok Paman Barrett terlihat kabur, hampir seperti bayangan yang berdenyut pelan, sedangkan Maya tampak muncul d
Setelah mengalami hal yang tidak terduga sebelumnya, kelompok Kael kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke bagian paling bawah — lokasi utama perut gunung yang menjadi tujuan. Suasana lorong yang mereka lalui tetap terasa sunyi, hanya suara langkah kaki mereka yang bergema pelan di dinding batu yang dingin dan kasar. Lorong yang berliku itu membuat mereka sadar bahwa mereka sudah berkali-kali berputar-putar mengikuti jalur yang hampir sama. Jika dibandingkan dengan sebuah bangunan bertingkat, mereka mungkin sudah turun lebih dari dua puluh lantai, dan perjalanan masih jauh sebelum mencapai kedalaman terdalam yang mereka cari. “Sepertinya ini saatnya kita istirahat, ya? Sepanjang lorong ini, monster yang kami temui hampir tidak ada...” gumam Murphy, nada suaranya sedikit bosan, mencoba mengusir kejenuhan perjalanan yang monoton. Kael, yang tetap waspada meskipun lorong terlihat tenang, mengangguk. “Ada begitu banyak lorong bercabang, seperti akar pohon yang menjalar. Jalu
Suhu di perut gunung itu terasa lembab, dengan hangat yang tidak menentu, membuat udara terasa pengap dan menyulitkan napas selama perjalanan mereka. Dinding-dinding lorong yang berliku tampak basah dan berlumut, memantulkan cahaya redup dari obor yang mereka bawa. Aroma tanah basah dan batu yang pekat menyelimuti setiap langkah, semakin menegaskan betapa dalamnya mereka menyusuri rahasia perut gunung. Lorong-lorong itu begitu banyak dan berkelok seperti akar pohon raksasa, diciptakan oleh monster-monster penghuni perut gunung yang tersembunyi di balik gelap. Bagi siapa pun yang tak terbiasa, perjalanan di labirin ini sangat mudah membuat kehilangan arah dan tersesat dalam kegelapan yang membingungkan. Bahkan Sarah, yang memiliki mata sihir mampu menembus ilusi dan kegelapan, beberapa kali hampir tersesat saat memimpin mereka mencari jalur yang benar. Ketelitian dan konsentrasinya diuji habis, menelusuri setiap celah dan belokan demi memastikan jalan menuju kedalaman perut gunung ya