Hutan purba semakin gelap seiring perjalanan mereka. Pepohonan raksasa menjulang tinggi, dahan-dahannya saling bersilangan, menciptakan kanopi alami yang hampir sepenuhnya menutupi cahaya bulan. Aroma tanah basah dan dedaunan membusuk memenuhi udara, membalut setiap langkah mereka dalam rasa dingin dan waspada. Suara-suara hutan malam, dari desau angin hingga suara makhluk tak terlihat, semakin menambah suasana yang mencekam.
Kael berjalan di depan dengan langkah mantap, mata birunya tajam mencermati setiap detail di sekeliling. Setiap suara mengisyaratkan sesuatu, setiap bayangan yang bergerak membuatnya waspada. Sarah dan Laila mengikuti di belakangnya, tangan mereka saling menggenggam, sementara Murphy menjaga bagian belakang, mengantisipasi ancaman tak terduga. "Kita sudah terlalu dalam ke hutan ini," gumam Murphy pelan, suaranya seolah takut mengganggu ketenangan malam. Energi emas samar menyelubungi dirinya, siap memberikan perlindungan. "Aku tidak ingat ada jalur seperti ini di peta." Kael meliriknya dari atas bahunya, mata birunya berkilau dalam kegelapan, dengan semburat hijau hitam dari sihirnya yang unik. "Karena jalur ini hanya digunakan dalam keadaan darurat. Ayahku pernah menunjukkan jalan ini dulu—jalur yang tidak akan pernah dicatat di buku mana pun. Tapi jangan berharap ada tanda yang mudah dikenali." Murphy mengangguk kecil, meski masih gelisah. “Berarti kita juga tidak bisa memastikan apa yang menunggu di depan,” tambahnya, menunjukkan kekhawatiran mendalam. Sarah berhenti sejenak di belakang mereka, menggenggam tangan Laila erat, lebih sebagai penghiburan daripada sekadar ikatan persaudaraan. Dia memejamkan mata, energi ungu memancar dari matanya saat dia memfokuskan kekuatan Mata Sihir untuk mencari ancaman di sekitar. Namun, yang dia lihat bukan bahaya langsung, melainkan kilasan masa lalu menghampirinya. Dia melihat sosok wanita yang sangat ia cintai, ibunya, Eliana, berjalan tergesa-gesa di jalur yang sama, mata ibunya dipenuhi kecemasan dan tekad. Di sekelilingnya, hutan tampak lebih cerah, seolah alam menyambutnya. Eliana tampak tidak merasa terancam, berbeda dengan mereka saat ini. Namun, kilasan itu bergeser, sosok Eliana tertutup kabut, hingga hanya bayangannya yang tersisa, menggambarkan perjalanan pahit yang harus dihadapi. Sarah membuka matanya dengan napas tertahan. “Kael,” panggilnya pelan namun tegas, berusaha tidak menambah ketegangan. Kael menghentikan langkahnya, berbalik menantang tatapan Sarah. “Apa yang kau lihat?” Sarah ragu sejenak, menimbang kata-katanya hati-hati. “Ibu pernah melewati jalur ini. Tapi… ada sesuatu yang salah. Kabut itu…” Dia menggigit bibirnya, tidak yakin bagaimana menyampaikan perasaan mendalam yang memenuhi jiwanya. Kael mengangguk, matanya penuh konsentrasi. “Jika Ibu pernah melewati jalur ini, berarti ada sesuatu yang menunggu di depan. Kita harus bersiap.” Murphy meraih pegangan pedangnya, energi sihir emas mulai memancar lebih jelas, pedangnya seolah menjadi perisai yang menyelimuti mereka. “Aku tidak suka kata ‘kabut’. Itu biasanya bukan pertanda baik.” Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, namun suasana hutan berubah. Udara semakin dingin, dan kabut menyelimuti lantai hutan, naik perlahan hingga mencapai lutut. Kabut terlihat aneh, seolah memiliki kehidupan sendiri, menyebar dengan cara yang tidak wajar dan angkuh. “Ini aneh,” gumam Kael, wajahnya serius. Energi hijau kehitaman di sekelilingnya bercampur dengan cahaya ungu samar. “Kabut tidak seharusnya setebal ini di area ini. Seharusnya kita bisa melihat jalan… tanpa kabut ini.” Sarah menatap kosong ke depan, tetapi kekuatan Mata Sihir-nya menangkap pergerakan tak wajar. Bayangan samar melintas di antara pepohonan, jauh lebih cepat daripada yang bisa ditangkap oleh mata normal, cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri. “Kita tidak sendiri,” bisik Sarah, suaranya serak, seperti angin gemetar pada malam dingin, membuat semua berhenti sejenak, menghadapi ketidakpastian yang melingkupi mereka. Kael memperhatikan sekeliling dengan seksama, tangannya siap membentuk Racun Melemahkan. Mereka harus bertindak cepat. “Sarah, kau lihat berapa banyak?” tanyanya. Sarah menggeleng perlahan, kecemasan merayap di wajahnya. “Aku tidak yakin. Tapi mereka ada di mana-mana. Rasanya seolah kita dikelilingi,” jawabnya, suaranya mendesah penuh resah. Murphy maju ke samping Kael, memegang pedangnya dengan kedua tangan, merasakan ketegangan menyelubungi mereka. “Ini bukan kabut biasa. Ini terasa seperti… sihir. Sihir jahat.” Kael mengangguk setuju. “Ordo Umbra. Mereka sudah sampai di sini. Ini bukan kebetulan. Mereka ingin kita terjebak.” Laila, yang selama ini menarik lengan Sarah, kini menunjukkan ketegasan tak biasa. Jari-jarinya bergerak cepat, menandakan betapa seriusnya situasi ini di pikirannya. "Kita harus pergi sekarang. Ini jebakan. Kita tidak bisa terus melawan berita buruk selamanya," katanya bergetar, mencurahkan pikiran yang terbawa oleh instingnya, sembari energi ungu samar mulai bergetar di sekelilingnya. Sarah menerjemahkan dengan nada cemas, dan Kael segera memberikan anggukan tegas. “Ikuti aku. Jangan berpisah apapun yang terjadi, tidak peduli apa yang menghalangi kita,” instruksinya, menyadari ini bukan saatnya untuk ragu. Ketika mereka bergerak maju dengan hati-hati, suara langkah lain terdengar samar di sekitar mereka. Bunyi langkah itu bukan langkah kaki mereka sendiri; suara berat dan teratur bergema di antara pepohonan. “Kanan,” bisik Murphy tiba-tiba, matanya menangkap gerakan di sudut pandangnya. Mengayunkan pedangnya ke arah suara itu, siap menghadapi apapun yang mendekat. Namun, dia hanya mengenai udara kosong. Kael merasakan tekanan energi sihir mendekat, mengisi kegelapan dengan kehadiran yang tidak menyenangkan. Dia memutar tubuhnya, melancarkan Racun Halusinasi ke udara, menciptakan kabut ungu bercampur kabut alami. Bayangan-bayangan di sekitar mereka menjadi kabur, seolah batas antara kenyataan dan ilusi mulai blur. Namun serangan datang cepat. Sebuah panah sihir gelap melesat dari kabut, hampir mengenai Kael jika dia tidak segera melompat menggunakan Windstep, mendengar suara panah itu melesak ke belakangnya. “Di depan!” seru Sarah, menunjuk ke arah kanan dengan keseriusan tak terduga, matanya bersinar dengan cahaya ungu, tanda kekuatan sihirnya. Kael menangkap penglihatan dua sosok berjubah hitam muncul dari kabut, wajah mereka tersembunyi di balik topeng logam. “Ordo Umbra,” gumamnya, mengangkat tangan melancarkan Racun Melemahkan, sihir menghancurkan mengalir dari dalam dirinya. Murphy menerjang salah satu dari mereka, pedangnya menyala dengan energi sihir emas yang membara. Pertarungan terjadi cepat, suara dentingan logam dan ledakan sihir menggema di antara kabut yang bergulung. Suara benturan logam, campuran erangan dan teriakan, memecah keheningan malam yang mencekam. Namun, salah satu penyihir mendekati Sarah dan Laila. Dengan satu gerakan angkuh, dia mengayunkan gelombang energi gelap ke arah mereka. Laila, yang sebelumnya bersembunyi di belakang Sarah, mendadak maju dengan keberanian yang tiba-tiba bersinar. Energi ungu samar bergetar di sekelilingnya saat dia membuka mulut, dan meskipun bisu, kekuatan soniknya muncul sebagai gelombang energi yang mengguncang udara. Serangan sihir penyihir meledak di udara, tubuhnya terlontar mundur oleh kekuatan Laila, membuat Sarah terperanjat. Sarah memeluk Laila erat-erat, matanya melebar karena kagum dan terkejut sekaligus. “Kau hebat,” bisiknya, meskipun suaranya dipenuhi kecemasan, berusaha menembus rasa ketakutan dalam hati mereka. Setelah pertempuran singkat, Kael dan Murphy berhasil mengalahkan para penyihir. Namun, kabut masih menyelimuti mereka, menandakan ancaman belum sepenuhnya hilang. Hawa dingin semakin menyengat, dan mereka tahu ini bukan akhir dari perjalanan. “Kita harus bergerak lebih cepat,” kata Murphy, menghela napas berat, wajahnya menunjukkan kelelahan. “Mereka tahu kita ada di sini. Ini adalah permainan kucing dan tikus yang belum ada ujungnya.” Kael mengangguk, matanya tetap tajam menatap jalan di depan. “Tidak ada waktu untuk berhenti. Sarah, Laila, tetap di belakangku. Murphy, kau jaga belakang. Kita tidak bisa mencari tahu betapa berbahayanya jalan ini lebih dalam lagi.” Sarah mengangguk, sementara Laila menatap Kael dengan ekspresi penuh keyakinan, jari-jarinya bergerak perlahan menandakan kebersamaan mereka. "Kita akan baik-baik saja. Kami sudah melewati yang terburuk," ia berusaha menghibur mereka. Kael membalas dengan senyuman kecil, meskipun dia tahu di dalam hatinya perjalanan ini akan semakin berbahaya seiring dengan kedalaman hutan. Dengan langkah hati-hati, mereka melanjutkan perjalanan melalui kabut, meninggalkan bayangan pertempuran di belakang. Di kejauhan, suara-suara aneh bergema, seperti bisikan menyeru lebih dalam ke jantung hutan misterius ini. Dan Kael tahu, ini baru permulaan dari apa yang akan mereka hadapi. Kabut hanyalah bagian kecil dari ancaman besar yang menunggu di ujung jalan. Kegelapan mengintai, dan mereka harus bersatu untuk menghadapi apapun yang akan datang.Kabut mulai menipis ketika langit perlahan-lahan memucat, menandai datangnya fajar. Namun, suasana di dalam hutan purba tetap suram, seolah waktu dan ruang terperangkap dalam kegelapan yang sulit dihapus.Kael memimpin rombongan dengan langkah hati-hati, matanya tajam mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka, setiap goyangan ranting dan suara lembut dari dedaunan yang tersentuh angin. Meski Ordo Umbra sementara berhasil dikalahkan, ketegangan masih membungkus kelompok kecil itu, seperti jaring tak terlihat yang mengikat mereka dalam ketidakpastian.“Seharusnya kita sudah keluar dari jalur ini,” gumam Murphy, suaranya penuh kelelahan. Ia melihat sekeliling, mencoba mengenali sesuatu yang familiar di antara pepohonan besar dan akar-akar yang menjalar, seolah mencari bayang-bayang yang selalu hilang. “Tapi semua terlihat sama.”Kael berhenti sejenak di depan, membalikkan tubuhnya dengan langkah tenang. “Mereka tahu jalur ini,” katanya dengan nada serius, menekankan setiap kata. “Mereka
Kabut pagi mulai memudar, membiarkan sinar matahari yang malu-malu membias di balik awan kelabu. Namun, suasana tetap suram, seolah dunia terjebak dalam penantian akan sesuatu yang mengerikan. Lingkaran sihir berkilau dengan cahaya biru, memancarkan kilauan misterius, berdenyut seperti detak jantung yang tak wajar, mengeluarkan aura energi gelap yang menyelimuti udara dengan perasaan berat dan mencekik.Kael dan Murphy, bersembunyi hati-hati di balik semak-semak lebat, mengawasi ritual yang semakin mendekati puncaknya di area terbuka di bawah mereka.Sementara itu, di atas bukit kecil, Sarah dan Laila tetap dalam posisi tenang namun waspada. Sarah, dengan Mata Sihir yang aktif, memindai sekeliling dengan ketelitian luar biasa, mengamati ancaman yang mungkin tidak bisa dilihat oleh Kael dan Murphy. Napasnya teratur, tetapi ketegangan di bahunya mencerminkan betapa seriusnya situasi ini. Di sampingnya, Laila menggenggam erat ujung jubah Sarah, mencari ketenangan dalam kehangatan dan keh
Cahaya pagi merayap perlahan di antara celah-celah pohon hutan purba. Kabut yang sebelumnya menyelimuti pandangan mulai terangkat, namun suasana tetap terasa dingin dan penuh kewaspadaan. Kael, Sarah, Laila, dan Murphy melangkah pelan, meninggalkan tempat pertempuran yang dipenuhi kekacauan di belakang mereka. Hutan ini, meskipun menunjukkan tanda-tanda kehidupan baru, masih tergerak oleh gema ketegangan yang baru saja mereka alami. Kael berjalan di depan, wajahnya dipenuhi konsentrasi dan ketegangan yang mendalam. Dalam pikirannya, ritual yang baru saja mereka gagalkan melingkar bak bayangan tak berujung, diiringi satu pertanyaan yang terus menghantuinya: apa sebenarnya yang sedang dipanggil oleh Ordo Umbra? “Kita perlu berhenti sebentar,” kata Murphy dari belakang, suaranya terdengar tersengal. Wajahnya basah oleh keringat, sementara tangan kanannya menekan luka kecil di lengannya. “Aku butuh waktu untuk mengatur napas. Dan mungkin... menjahit luka ini,” tambahnya, suaranya berget
Langit hampir terbenam, mengecat cakrawala dengan warna merah keemasan yang memudar perlahan. Kael dan kelompoknya telah tiba di pinggir hutan purba, yang menyelimuti mereka dalam ketegangan dan kewaspadaan. Meskipun telah berjam-jam mereka berjalan dan tidak melihat pengejar dari Ordo Umbra, keheningan hutan itu semakin membuat mereka waspada."Ini aneh. Kita harus lebih berhati-hati meskipun sudah berada di pinggir hutan. Beberapa langkah lagi akan ada sebuah desa kecil tempat kita bisa bermalam, tanpa perlu tidur di hutan lagi," ucap Kael, sambil memperhatikan Sarah dan Laila yang tampak kelelahan. Kerut di alisnya menunjukkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.Walaupun seharusnya mereka merasa lega karena tidak ada pengejar, aura aneh di tepi hutan membuat mereka lebih waspada daripada sebelumnya. Suasana tenang dan misterius seolah membangkitkan rasa takut yang terpendam di dalam diri masing-masing."Itu bagus, aku juga ingin tidur di tempat yang lebih nyaman. Aku harap mereka
Saat mereka memasuki lebih dalam lorong yang hanya diterangi oleh cahaya energi sihir Murphy yang keemasan di tangannya, mereka akhirnya melihat lampu minyak yang terpasang di dinding, menandakan bahwa ada orang di dalam. Namun, ketika mereka mencapai ujung lorong, mereka dihadapkan pada sebuah pintu tebal setinggi 3 meter lebih yang tertutup rapat."Apakah mereka mengorbankan harta desa mereka untuk menciptakan pintu sekuat ini? Kini, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu menyapa mereka? Aku berharap mereka menyambut kita dengan baik..." ucap Murphy, bersandar lelah pada pintu."Tenang saja, aku mengenal kepala desa mereka. Tapi itu saat aku masih kecil; aku harap dia masih ingat padaku," balas Kael, yang terkejut melihat pintu yang sangat kokoh. Dia juga curiga, bagaimana warga desa bisa menghabiskan banyak uang untuk membuat pintu tersebut.Kael melihat Sarah dan Laila yang juga kelelahan dan merasa sedikit tidak nyaman, karena mereka sedang kelaparan. Lagi pula, mereka ti
Ruangan bawah tanah yang sempit itu terasa semakin sesak, udara dipenuhi bau tajam belerang dan asap hitam yang berputar liar dari lampu api emas. Nyala emasnya berkedip-kedip, seolah berjuang melawan kegelapan yang merayap masuk, sementara asapnya membentuk bayang-bayang mengerikan yang menari di dinding batu. Warga desa yang berkerumun di sekitar lampu itu memandang dengan mata lebar penuh ketakutan, napas mereka tersengal dalam keheningan yang mencekam. "Kael, apa rencanamu?" tanya Paman Adrian, suaranya serak dan gemetar, meski ia berusaha teguh memegang tongkat kayunya yang sudah usang. Tangan tuanya tampak rapuh, namun matanya yang tertutup penutup mata memancarkan kilau harapan terakhir. "Ghoul itu... aku belum pernah melihat yang seperti ini. Kalau sampai masuk ke sini, kami semua tamat." Kael menoleh ke arah Paman Adrian, lalu ke kelompoknya. Cahaya ungu yang memancar dari dirinya, Sarah, dan Laila bercampur dengan energi emas Murphy, menciptakan kilauan samar yang menerobo
Udara dalam gudang yang bobrok terasa pekat, dipenuhi aroma busuk dari lendir ghoul yang merayap masuk ke dalam sumur. Suara licin dan mendesis dari gumpalan hitam itu menggema di antara kayu tua, menciptakan getaran kecil yang terasa hingga ke tulang. Kael berdiri di tepi sumur, napasnya terengah-engah, keringat membasahi dahinya yang tegang. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** yang dipegangnya berkelap-kelip, menerangi wajahnya yang penuh tekad bercampur kepanikan."Turun sekarang!" teriak Kael, suaranya menggema di ruang sempit. Ia melompat dengan **Windstep**, tubuhnya melayang ringan seolah ditarik angin, dan mendarat di dasar sumur dengan bunyi pelan. Sarah, Laila, dan Murphy mengikuti, tangga kayu berderit keras di bawah langkah terburu-buru mereka. Debu dan aroma tanah basah menyambut kedatangan mereka, tercampur dengan bau lendir yang semakin menyengat.Di ruang bawah tanah, suasana telah kacau. Lampu api emas di tengah ruangan menyala redup, asap hitamnya membu
Ruangan bawah tanah itu terasa hening setelah pertempuran yang brutal, hanya diisi oleh suara napas tersengal dan tetesan air yang jatuh dari dinding batu yang lembap. Lampu api emas di tengah ruangan masih menyala redup, asap hitamnya kini menipis, seolah kegelapan yang tadinya mengancam telah mundur untuk sementara.Bau busuk lendir ghoul masih membandel di udara, bercampur dengan aroma tanah dan keringat warga desa yang berkumpul dalam diam. Tubuh pria tua yang dirasuki ghoul tergeletak tak bernyawa di sudut, kulitnya pucat seperti lilin, meninggalkan luka emosional yang lebih dalam daripada pertarungan itu sendiri.Kael berdiri di tengah ruangan, tangannya masih gemetar karena kelelahan. Cahaya hijau kehitaman dari **Racun Tiga Mayat** perlahan memudar dari jemarinya, meninggalkan rasa dingin yang merayap di kulitnya. Ia melirik kelompoknya—Sarah yang duduk bersandar di dinding dengan mata setengah terpejam, Laila yang memeluk lututnya dengan wajah pucat, dan Murphy yang menyeka d
Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y
Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi
Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi
Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya
Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal
"Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,
Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o
Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua
Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi