หน้าหลัก / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 65: Pintu Rahasia dan Bayang Merah

แชร์

Bab 65: Pintu Rahasia dan Bayang Merah

ผู้เขียน: Pok Jang
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-04-01 10:47:40

Sinar matahari pagi perlahan menyelinap melalui celah-celah kanopi hutan belakang Akademi Baseus, membawa kehangatan tipis yang menyapu aroma lumut basah dan getah pohon di sekitar Kael dan kelompoknya. Angin lembut berdesir di antara daun-daun raksasa, mengisi keheningan dengan suara samar, namun ada ketegangan halus yang menggantung di udara—seolah hutan ini menahan napas, menyimpan rahasia yang menanti saatnya terbongkar.

Kael berdiri di dekat lubang sempit yang baru saja digali tupai bersayap, matanya biru menyipit penuh rasa ingin tahu. Lubang itu terselip di balik lumut tebal yang menyelimuti akar pohon besar, terlalu kecil untuk dilalui, namun ada daya tarik misterius yang membuatnya sulit berpaling. “Aku ingin masuk ke laluan ini,” katanya pelan, suaranya rendah namun teguh, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang yang lain. “Tapi lubangnya kecil sekali—bagaimana caranya?”

Sarah berlutut di sisinya, jari-jarinya menyentuh lumut dingin yang licin, Mata Sihir-nya menyala samar
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทที่เกี่ยวข้อง

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 66: Lorong Rahasia dan Terobosan Master

    Lorong rahasia di bawah Akademi Baseus menyambut Kael dan kelompoknya dengan udara dingin yang membawa aroma tanah basah dan batu tua. Cahaya samar dari dinding berlumut hanya mampu menerangi beberapa langkah di depan, sementara kegelapan menyelimuti lorong-lorong bercabang yang tampak tak berujung. Labirin itu terasa hidup, bergetar pelan seolah memiliki napas sendiri, siap menyesatkan siapa saja yang tak memiliki pengalaman atau kemampuan untuk menemukan jalan keluar. Kael melangkah di depan, matanya biru menyipit mencoba menembus bayang-bayang yang tebal. “Lorong ini terlalu banyak,” katanya pelan, suaranya rendah namun teguh. “Kalau kami salah pilih, mungkin tak pernah keluar.” Sarah mengangguk di sisinya, Mata Sihir-nya menyala samar, energi ungu berkilau di pupilnya saat memindai dinding-dinding berliku. “Aku rasa ini bukan labirin biasa—ada sesuatu yang mengacaunya,” ujarnya, nadanya tenang namun penuh kewaspadaan. Untungnya, tupai bersayap yang kini dinamai Molly oleh Sophia

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-02
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 67: Bayang Phoenix dan Rahasia Ungu

    Di dalam ruangan kecil berdinding simbol sihir kuno, energi terus menderu, benang-benang ungu dan emas berkilauan mengelilingi Kael dan Murphy dalam gelombang liar yang perlahan mencari keseimbangan. Sementara itu, di luar, Profesor Aldos berdiri di tengah ruangan utama rumahnya, jubah hitamnya bergoyang pelan tertiup angin yang menyelinap melalui celah-celah kayu. Dia melirik Sarah dan Laila, yang tengah memegang buku teknik yang baru diberikannya, lalu menghela napas. “Aku harus pergi sekarang—dewan Nexus menunggu,” katanya, suaranya dalam dan serak. “Kalian baca dulu buku itu, aku tak akan lama.” Sarah mengangguk, jari-jarinya menyentuh sampul bukunya. “Aku akan mulai dari sini,” ujarnya pelan, matanya ungu menyala samar penuh minat. Laila memandang bukunya dengan mata cokelat besar, tangannya bergerak lembut membukanya, tapi sebelum mereka bisa tenggelam dalam bacaannya, kegaduhan tiba-tiba menggema dari luar—suara kepakan sayap yang tajam bercampur cicitan panik Molly dan peki

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-02
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 68: Terobosan dan Bayang Kekhawatiran

    Malam melingkupi rumah kayu Aldos dengan sunyi yang tebal, bayang-bayang hutan ilusi bergoyang pelan di luar jendela, diterangi cahaya bulan yang temaram. Di dalam ruangan kecil berdinding simbol sihir kuno, energi ungu dan emas masih menderu, mengelilingi Kael dan Murphy dalam pusaran liar yang bergetar hingga ke lantai kayu. Sarah dan Laila, yang menunggu di ruangan utama, duduk di dekat meja tua, sepiring roti kering dan semangkuk sup sederhana terhidang di antara mereka. Cahaya lilin memantul lembut di wajah mereka, sementara buku teknik dari Aldos terbuka di pangkuan masing-masing, halaman-halaman kertas tua berderit saat dibalik. Sarah menyeruput supnya, matanya ungu melirik bukunya sesekali. “Aku rasa ini bisa bantu aku lihat lebih jauh,” katanya pelan, suaranya rendah namun penuh rasa ingin tahu. Laila mengangguk, matanya cokelat besar memandang bukunya dengan fokus, jari-jarinya menyentuh kertas seolah menyerap setiap kata tentang frekuensi sonik. Mereka makan dalam kehe

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-03
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 69: Jejak di Bayang dan Panggilan Lyra

    Lorong rahasia di bawah Akademi Baseus membentang dalam kegelapan pekat, udara dingin bercampur aroma tanah basah dan batu tua menusuk hidung mereka seiring langkah hati-hati yang diambil. Cahaya samar dari lumut yang menempel di dinding kasar hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, meninggalkan cabang-cabang lorong dalam bayang-bayang yang tampak bergerak, seolah menyimpan rahasia yang enggan terucap. Kael berjalan di depan, mantel panjangnya bergoyang pelan tertiup angin bawah tanah. Tangannya tetap siaga di saku tempat Racun Tiga Mayat tersimpan, bersiap menghadapi ancaman yang bisa muncul kapan saja. Teknik Windstep yang dikuasainya membuat langkahnya nyaris tak bersuara, debu di lantai batu pun tak terusik. Di belakangnya, Sarah, Murphy, dan Laila mengikuti dengan langkah lebih berat. Derit pelan dari sepatu mereka bergema di lorong sempit itu. "Kita harus tetap waspada," bisik Kael, suaranya rendah namun tegas. "Ada kemungkinan kelompok lain bersembunyi di sini, menungg

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-03
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 70: Pertemuan di Teluk Senja

    Kael berdiri di sudut restoran kecil di Nexus, tangannya menggenggam surat dari Lyra. Matanya yang biru menatap kelompoknya yang berkumpul di sekitar meja kayu usang. Kabut ketidakpastian tentang Aldos menyelimuti pikiran mereka—Profesor itu hilang, diselamatkan oleh sosok misterius dari Ordo Cahaya, namun jejaknya lenyap. “Aku rasa kita harus menemui Lyra,” kata Kael pelan, suaranya teguh. “Kami tak punya petunjuk tentang Aldos, dan dia mungkin tahu sesuatu.” Sarah mengangguk, jari-jarinya menyentuh mangkuk sup dingin. “Dia pernah membantu kita—aku setuju.” Murphy melirik kereta kristal maglev di kejauhan. “Lebih baik daripada kita berkeliaran tanpa arah.” Laila, sambil memeluk karung tempat Molly bersembunyi, mengangguk kecil. Getaran soniknya membentuk suara halus: “Ly… ra… bantu?” Keputusan diambil dengan cepat. Teluk Senja, dua puluh kilometer dari Nexus, bukan perjalanan singkat. Transportasi umum seperti kapal terbang sihir atau kereta kristal terlalu berisiko dengan mata-

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 71: Tawaran di Bawah Cahaya Senja

    Angin malam berdesir lembut di Teluk Senja, melepaskan aroma garam laut yang berpadu dengan asap ikan bakar dari perapian desa petualang yang terlihat jauh di kejauhan. Cahaya bulan yang lembut memantulkan sinarnya di permukaan air, menciptakan kilauan perak yang bergetar pelan seiring ombak kecil yang menyapu tepi dermaga. Lyra melangkah anggun di dek kapal mewahnya; rambut hitamnya terurai dari ikatan, melambai tertiup angin. Dengan gerakan tangan yang anggun, ia mengundang kelompok Kael menuju meja panjang yang megah di tengah dek. Sup ikan mengepul dalam mangkuk kristal; uapnya menyebarkan aroma rempah laut yang menggoda. Roti panggang keemasan tersusun rapi dalam keranjang anyaman, sementara buah-buahan segar—anggur ungu dan jeruk berkilau—tercermin di bawah cahaya lampu minyak yang bergoyang pelan, menggantung pada tiang-tiang kayu yang dipoles mengilap. Pelayan-pelayan berpakaian seragam hitam bergerak senyap, menyajikan piring dan sendok perak dengan ketepatan terampil. Dent

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-06
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 72: Bayang Peta dan Bisikan Rahasia

    Malam membungkus Teluk Senja dalam selimut kegelapan yang dalam, hanya diselingi sinar bulan pucat yang menyelinap melalui awan tipis, memantulkan kilauan perak di atap-atap desa petualang yang berderit pelan tertiup angin. Di dalam rumah sederhana berdinding batu yang disediakan Lyra, nyala api kecil di perapian memancarkan cahaya keemasan lembut, membentuk bayangan panjang yang bergoyang di dinding retak seperti penari bisu. Aroma kayu bakar yang hangat bercampur dengan bau samar garam laut dan lumut kering, menciptakan suasana tenang namun penuh ketegangan. Kelompok Kael berkumpul mengelilingi meja kayu tua; kursi-kursi usang mengeluarkan bunyi gesekan halus saat mereka duduk. Sophia terlelap di sudut, tubuhnya yang berkilau samar terbaring di atas tikar jerami, napasnya pelan dan teratur sementara energi makhluk laut yang dilahapnya di teluk menyatu dalam wujudnya yang lentur, meninggalkan kilauan tipis seperti kristal di permukaannya. “Apakah kita benar-benar membiarkanny

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-07
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 73: Topeng Lendir dan Jalan Tersembunyi

    Pagi menyelimuti Teluk Senja dengan cahaya lembut, matahari baru terbit membentuk garis emas tipis di ufuk laut yang tenang. Angin sepoi-sepoi membawa aroma garam dan kayu basah dari dermaga, bercampur dengan bau samar ikan segar yang diangkut pedagang pagi. Kelompok Kael melangkah ke dek kapal Lyra, kayu di bawah kaki mereka berderit pelan, masih hangat dari sisa malam. Lyra telah menunggu di sana, berdiri di sisi meja kayu sederhana yang kini dipenuhi sarapan—roti gandum, keju lunak, dan buah beri merah yang berkilau di bawah sinar matahari. Berbeda dari malam sebelumnya, Lyra tampak lebih sederhana, mengenakan tunik cokelat tua dan mantel tipis tanpa hiasan emas, rambutnya diikat longgar seolah siap untuk perjalanan jauh. Kael memandangnya dengan alis sedikit terangkat, matanya biru menangkap perubahan itu. “Apakah kau sudah menyangka kami akan setuju kau bergabung?” tanyanya, nadanya penuh perhitungan namun tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu. Lyra tersenyum tipis, matan

    ปรับปรุงล่าสุด : 2025-04-07

บทล่าสุด

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 107 – Ketegangan di Bukit Kembar Tiga

    Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 106: Pintu Tersembunyi dan Bayangan Kematian

    Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 105 – Sarang Berbisa di Bukit Kembar

    Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 104 — Bukit Kembar Tiga

    Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 103 – Pencarian Bukit Kembar Tiga

    Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 102 - Kabut, Racun, dan Jalan Baru

    "Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 101 — Hutan Labirin Racun

    Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 100 — Awan Gelap di Atas Vitrum

    Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 99 — Bayangan di Kota

    Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status