Hutan di sekitar gerbong Kael membisu dalam keheningan yang mencekam, hanya bunyi roda kayu yang berderit dan derap kaki kuda yang memecah udara siang. Cahaya matahari tersaring melalui kanopi tebal, membentuk bercak-bercak emas yang bergoyang di tanah berlumut, namun suasana terasa dingin, seolah alam sendiri menahan napas. Di dalam gerbong, tangan Kael bergetar samar, siap melontarkan kabut hijau kehitaman dari Racun Melemahkan, sementara Murphy mencengkeram pedangnya, otot-ototnya tegang menanti saat melompat keluar. Mereka belum bertindak—Kael menahan mereka, matanya biru tertuju pada Laila, menunggu informasi pasti tentang musuh yang mengintai. Laila duduk tegang, matanya hitam terpejam rapat, getaran soniknya mengalir halus mencoba menangkap suara-suara di balik semak. Wajahnya pucat, kerutan kecil di dahinya menunjukkan konsentrasi penuh, sementara Molly, tupai naga kecil di pangkuannya, meringkuk diam seolah merasakan bahaya. Lyra, di sisi lain, mengetuk dinding gerbong pe
Gerbong kuda melaju menjauh dari hutan pertempuran, roda kayunya berderit pelan di jalan tanah yang kini lebih rata, meninggalkan aroma darah dan kematian yang membusuk di belakang. Beberapa kilometer berlalu, angin siang membawa bau daun kering dan tanah basah, perlahan mengusir ketegangan yang menempel di hati kelompok Kael. Di langit, Vale melayang tinggi, sayap abu-abunya memotong udara tanpa suara, matanya tajam memindai horizon yang membentang luas. Pekikan peringatannya tak terdengar, tanda bahaya belum mengintai lagi, dan napas lega akhirnya keluar dari dada mereka, meski bayang penyihir jiwa masih menggantung di pikiran. “Huh…” Murphy bersandar di dinding gerbong, tangannya menyeka keringat dingin di dahi. “Aku masih berdebar memikirkan jadi target penyihir jiwa yang tak kita kenal. Kau benar, Kael—kita tak bisa meremehkan musuh lemah lagi. Bisa jadi ada pendukung mengerikan di balik mereka.” Nada suaranya serius, matanya cokelat tua menatap kosong ke lantai kayu, bayangan
Kegelapan malam menyelimuti perkemahan kecil di tepi sungai, hanya diterangi oleh nyala api unggun yang berkelip lemah. Nyala api itu seolah takut menantang bayang-bayang yang merayap di sekitar. Angin malam membawa aroma rumput basah dan darah kering, bercampur dengan bau samar tanah yang baru digali.Kelompok Kael berdiri tegang, kekuatan sihir mereka siap untuk dilepaskan, mata mereka memindai kegelapan saat bunyi langkah kuda yang tak wajar mendekat. Laila memeluk Molly erat, getaran sonik di lengan Molly masih bergetar samar, sementara Vale bertengger di dahan pohon, sayapnya terlipat dengan waspada.Tiba-tiba, dari balik bayang pohon, sesuatu muncul—bukan ancaman mengerikan seperti yang mereka bayangkan, tetapi pemandangan yang membingungkan sekaligus mengejutkan. Seekor kuda ramping tersandung masuk ke lingkaran cahaya api, kakinya gemetar. Tubuhnya dipenuhi luka berdarah hingga bulu cokelatnya tampak hitam pekat.Di punggungnya, sosok berjubah gelap terkulai tak sadarkan diri,
Malam menyelimuti tepi sungai dengan kegelapan yang tebal dan dingin, seolah langit sendiri menahan napas di atas perkemahan kecil kelompok Kael. Api unggun berkelip lemah, nyala oranye kecilnya berjuang melawan bayang-bayang yang merayap dari hutan di sekitar, menciptakan tarian gelap dan terang yang tak menentu. Kael dan Murphy saling bertatapan, mata mereka mencerminkan kewaspadaan tajam saat Paman Peter menyebut “Serigala Bayangan.” Nama itu bergema seperti lonceng maut di telinga mereka—tunggangan serigala adalah simbol Ordo Cahaya, ordo terkuat di Aethel, dan Tim Serigala Bayangan adalah kelompok pemburu elitnya, dikenal tak kenal ampun dalam memburu buronan atau siapa pun yang mereka anggap sesat. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, sementara Murphy menggenggam pedangnya lebih erat, jari-jarinya memutih di gagangnya. “Jadi, akhirnya kita terlibat langsung dengan Ordo Cahaya?” gumam Murphy, nada sinisnya bercampur pasrah yang pahit. “Kita tak pernah cari merek
Kabut yang menyelimuti di jalan perlahan menipis di sekitar pemimpin Tim Serigala Bayangan, seolah terdorong oleh hawa panas yang memancar dari tubuhnya yang berubah. Cahaya suci yang sebelumnya menyilaukan kini meredup, memperlihatkan sosok mengerikan yang membuat kelompok Kael terpaku kaget. Tubuhnya, yang kini menjulang lebih dari tiga meter, tak lagi menyerupai manusia suci Ordo Cahaya—bulu hitam legam menyelimuti kulitnya yang membesar, cakarnya panjang dan berkilau seperti mata pedang, dan matanya menyala merah darah, penuh dendam. Wajahnya, yang tersisa dari bentuk manusia, terdistorsi dengan taring mencuat, menyerupai monster serigala jadian dari legenda gelap Aethel. “Sial!” seru Murphy, suaranya penuh kejutan bercampur ketegangan. “Tak ada yang bilang pemimpin Tim Serigala Bayangan bisa jadi monster serigala jadian! Kau tak lagi suci seperti Ordo Cahaya—kalian lebih mirip kelompok monster jadian!” Pedangnya terangkat, energi emasnya berkilat, tapi ada getar kecil di tanga
Cakar tajam pemimpin serigala bayangan melesat menuju dada Murphy, kilau maut di ujungnya memantulkan cahaya bulan yang temaram. Kabut di sekitar mereka bergoyang hebat, seolah merasakan ancaman kematian yang mendekat. Murphy, terlambat mengangkat pedangnya, hanya bisa menatap dengan mata melebar, napasnya tersendat. Kelompok Kael menahan napas, ketegangan menyelimuti mereka—nasib Murphy tergantung pada detik itu. Tiba-tiba, dentuman keras memecah udara. Tetesan air tajam Lyra dan gelombang sonik Laila, yang tak pernah berhenti menargetkan punggung monster itu, menghantam sasaran bersamaan. Luka dalam terbuka di kulit hitam legamnya, darah hitam muncrat, dan serigala bayangan menjerit kesakitan, tubuhnya terhuyung. Cakarnya meleset, hanya menggores bahu Murphy, meninggalkan sayatan berdarah namun tak mematikan. Murphy tersentak, melompat mundur dengan cepat, wajahnya pucat tapi penuh syukur. Perubahan terjadi secepat kilat. Racun melemahkan Kael, yang selama ini menyelimuti tubu
'Udara di dalam gubuk kecil desa tersembunyi terasa berat, seolah aura samar dari kain yang dipegang Alice menekan dinding-dinding kayu yang lapuk. Cahaya senter sihir Lyra memantul di permukaan kain itu, memperlihatkan detail yang membuat Kael dan kelompoknya tersentak serentak. Kain terlihat buruk itu bukan sekadar potongan kain—ia adalah peta, ditulis dengan tinta kuno yang berkilau samar, garis-garisnya membentuk lorong-lorong dan simbol yang asing namun penuh makna. Yang paling menarik perhatian Kael adalah simbol penyihir kuno. “Jadi, sekarang jelas kenapa Ordo Cahaya menargetkan desa kecil ini,” kata Kael, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. Matanya biru menyipit, menelusuri simbol itu dengan hati-hati. “Desa ini menyembunyikan sesuatu milik penyihir kuno. Alice, bolehkah aku lihat lebih dekat?” Dia mengulurkan tangan, nada suaranya tegas namun tak memaksa. Alice mengangguk polos, menyerahkan kain itu tanpa ragu. Baginya, kain itu tak lebih dari warisan kepala desa, tak be
Hutan di sekitar gerbong kuda kelompok Kael menyelimuti mereka dalam kegelapan tebal; dedaunan lebat menahan embun malam yang dingin. Gerbong tersebut tersembunyi di balik semak berduri dan pohon ek tua, sekitar dua kilometer dari gerbang kota kecil yang kini terasa seperti jebakan. Bayang-bayang pohon bergoyang pelan tertiup angin, menciptakan suara desis samar yang menambah ketegangan di antara mereka. Bau tanah basah bercampur aroma daun kering menyamarkan jejak kuda dan gerbong dari hidung penjaga yang berada di tembok kota yang jauh. Kael berdiri di tepi semak, matanya yang biru menyipit menatap ke arah gerbang yang nyaris tak terlihat di kejauhan. “Sepertinya ada situasi darurat di kota itu,” katanya dengan suara rendah, namun penuh pemikiran. “Kita harus menyelidiki apa yang terjadi. Bagaimana pendapat kalian?” Dia menoleh, menatap satu per satu—Lyra, Murphy, Sarah, Laila, dan Alice yang memeluk lututnya dengan wajah pucat. Lyra mengangguk, jari-jarinya memutar botol airnya
Paman Peter dan Sophia kembali dengan cepat, wajah mereka tampak serius di bawah naungan kabut malam. Begitu tiba di tempat persembunyian, Paman Peter segera membagikan informasi penting. Kelompok kelelawar raksasa terlihat semakin waspada, dan di antara mereka, seekor kelelawar raksasa yang berukuran mengerikan tampak menguasai wilayah sekitar pintu masuk tersembunyi. Ia mendengkur pelan, namun bahkan dalam tidurnya, auranya terasa mengancam. "Kalau kita cuma mengandalkan kabut untuk menyelinap, aku ragu kita bisa lolos," kata Paman Peter, suaranya rendah dan berat, seraya menatap Kael dan yang lainnya. "Kita harus membuat pengalih perhatian. Sesuatu yang cukup besar untuk memaksa mereka berpaling." Mereka berdiskusi di tengah gemuruh sunyi malam. Aroma makanan sederhana yang mereka siapkan perlahan memenuhi udara, menenangkan saraf yang tegang. Beberapa potong roti panggang, daging kering, dan sup hangat membantu mengisi kembali tenaga mereka. Makan malam ini terasa seperti jeda y
Di bawah cahaya redup bulan yang tertutup awan, sosok Molly dan Vale melesat di udara, membawa Sarah dan Laila di punggung mereka. Sementara itu, di daratan, platform luncur lendir buatan Sophia bergerak dengan kecepatan yang tidak kalah cepat, membelah semak dan melewati jalanan berbatu tanpa hambatan. Jika dilihat dari kejauhan, kelompok Kael tampak seperti pasukan kecil yang menunggangi seekor ular raksasa yang melesat mulus melintasi permukaan bumi. Murphy, Lyra, dan Paman Peter bergerak di posisi depan, matanya waspada terhadap setiap bayangan yang mencurigakan. Sementara itu, Kael menjaga posisi paling belakang, berdiri kokoh di platform lendir bersama Sophia yang terus mengendalikan arah dan kecepatan luncur mereka. Platform itu membentuk jalur khusus, membuka semak belukar dan menghaluskan permukaan tanah, seolah-olah memberikan karpet rahasia di tengah hutan belantara. Meskipun bahaya mengintai di setiap sudut, perasaan meluncur bebas di udara malam itu memberikan sensasi
Kael mengerutkan kening begitu mendengar derap langkah dan gerakan sihir samar dari kejauhan. Ia segera memanggil Paman Peter yang belum terlalu jauh darinya, memberi isyarat tangan untuk mendekat dan bersembunyi bersamanya di balik batu besar yang tersembunyi di antara semak berduri. "Sepertinya ada kelompok lain yang datang," bisik Kael, matanya tajam mengamati pergerakan di kejauhan. Mereka berdua menahan napas, memampatkan aura mereka serendah mungkin. Angin malam membawa aroma busuk khas sihir gelap, membuat Kael menyipitkan mata penuh waspada. Ia sempat berpikir, seharusnya kelompok Ordo Cahaya yang sebelumnya mereka lihat masih membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai area bukit kembar ini. Tetapi siapa sebenarnya yang datang? Dalam diam yang menegangkan, mereka mengintip dari celah batu besar itu. Saat siluet-siluet mendekat, Kael akhirnya dapat melihat dengan jelas — itu adalah kelompok dari Ordo Umbra! Jubah-jubah hitam, lambang kabut kelam di dada, dan monster modifi
Awan kelabu tipis menggantung rendah di atas langit. Di ketinggian, Kael duduk di atas punggung Molly yang terbang dengan sayap kecil namun kuat. Angin dingin menyapu wajahnya, membawa bau lembap khas hutan liar yang bersembunyi di bawah kabut tebal. Kael dan Paman Peter berdiskusi serius di udara, mengamati dua bukit kembar yang menjulang samar dalam kabut. Keduanya tampak hampir identik, membuat sulit menentukan mana yang merupakan jalan menuju area terlarang Akademi Vitrum. Paman Peter, dengan tatapan tajamnya, tampak memikirkan sesuatu. Lalu dia berbicara dengan nada dalam. "Makhluk beracun yang tinggal di sini seharusnya dianggap sebagai penjaga area terlarang. Jika kedua tempat mempunyai penjaga yang sama, kita hanya perlu memastikan mana penjagaannya yang lebih kuat. Tempat yang dijaga lebih ketat dan lebih agresif, pastilah tempat yang asli." Kael mengerutkan kening, kebingungan. "Bagaimana kita tahu makhluk mana yang lebih agresif? Apa kita harus menyerang mereka?" tanya
Molly mengepakkan sayap lebarnya, membawa Kael naik ke langit untuk pertama kalinya. Udara tipis dan hempasan angin kencang membuat tubuh Kael sedikit oleng di punggung monster kecil berbentuk tupai naga itu. Ia menggenggam erat bulu lebat Molly, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme gerakan terbangnya. Molly sendiri tampak canggung. Sayap barunya yang besar dan kuat itu bergetar tak stabil, seolah masih berusaha mengimbangi berat tambahan di punggungnya. Mereka berputar-putar beberapa kali di langit, turun naik perlahan, sebelum akhirnya menemukan harmoni dalam gerakan. Seperti dua nada berbeda yang akhirnya menemukan melodi yang serasi. "Bagus, Molly," bisik Kael, menepuk lembut leher makhluk itu. Ia bisa merasakan bagaimana ketegangan dalam tubuh Molly perlahan mengendur, membentuk ikatan kepercayaan yang lebih dalam di antara mereka. Setelah yakin bahwa mereka mampu terbang stabil, Kael menunjuk ke langit yang lebih tinggi. "Ayo, kita naik," katanya. Molly mendesis pelan, lal
"Sophia, segera tebalkan kabutnya! Kita harus menyembunyikan keberadaan kita!" seru Kael cepat, matanya menyipit tajam menatap kerumunan laba-laba raksasa yang mulai memasuki gua. Semua anggota kelompok berkeringat dingin. Dari balik kabut tipis yang sudah mulai tersebar, mereka bisa mendengar suara ratapan memilukan dari dalam gua—suara manusia yang seolah menjadi santapan makhluk-makhluk itu. Aroma amis darah bercampur udara lembap membuat bulu kuduk meremang. Mereka belum sempat menarik napas lega, ketika suara langkah tergesa-gesa kelompok lain yang mendekat bergema dari arah lain. Sontak, mereka mempererat formasi, bersembunyi di balik pohon-pohon besar, menyatu dalam kabut sihir Sophia yang semakin padat. Ketegangan merayap di udara. Semua orang siap bertempur jika perlu. Namun, sesuatu yang tak mereka duga terjadi. Kelompok yang datang itu tiba-tiba berteriak kacau, suara raungan dan teriakan ketakutan memenuhi hutan malam. Dari balik kegelapan, ratusan ular berbisa melata,
Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o
Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua
Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi