Share

Menaruh Curiga

"Apa maksud Naima menulis semua ini." Arga masih memegangi buku tersebut, ia masih bingung dengan daftar yang tertulis di buku itu. Mungkinkah ada rahasia yang Naima sembunyikan selama ini, tapi apa, kenapa Arga tidak pernah tahu.

"Aku yakin, pasti ada yang Naima sembunyikan dariku. Lebih baik aku simpan buku ini, suatu saat pasti Naima akan mencarinya." Arga membuka lemari pakaian miliknya, lalu menyimpan buku tersebut.

Tiba-tiba saja ponsel Arga berdering, khawatir ada yang penting, lelaki berjas hitam itu langsung mengambil benda pipih miliknya. Ketika di cek, tertera nama Arin di layar ponselnya, Arga menghela napas lalu menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan tersebut.

[Sayang kamu di mana, kok lama banget. Aku udah nungguin dari tadi]

[Iya, sayang. Maaf ya, ini mau berangkat kok]

[Ya udah buruan]

Sambungan telepon terputus, setelah itu Arga kembali mengantongi ponselnya. Gegas melangkah keluar dari kamarnya, Arga harus segera menjemput Arin, jika tidak calon istrinya itu pasti akan ngambek. Entah kenapa setelah membaca daftar yang tertulis di buku milik istrinya, membuat hati Arga menjadi khawatir.

Mobil melaju menyusuri jalanan ibu kota yang cukup padat akan kendaraan. Sesekali Arga melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu semakin siang, padahal Arga membuat janji akan menjemput Arin tepat pukul tujuh. Tapi apa, sekarang sudah jam tujuh lewat, pantas saja Arin sampai menelponnya.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, Arga sampai ke tempat tujuan, yaitu rumah Arin. Melihat calon suaminya datang, Arin bergegas masuk ke dalam mobil, setelah itu Arga kembali melajunya. Kini mobil kembali membelah jalanan ibu kota untuk sampai ke butik, tempat mereka akan melakukan fitting baju pengantin.

"Maaf ya, karena kamu kelamaan nunggu," ucap Arga untuk memulai percakapan, walaupun sesungguhnya ia sedang malas bicara.

"Tidak apa, yang penting jangan diulangi lagi," sahut Arin, wanita itu kini tengah sibuk dengan kaca kecil di tangannya. Memastikan kecantikan wajahnya telah sempurna.

"Oya, kapan kamu sama Naima bercerai?" tanya Arin tiba-tiba. Arga sempat terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Naima meminta waktu tiga puluh hari, setelah Alifah genap tujuh tahun. Kami akan bercerai," jawab Arga. Entah kenapa hatinya terasa sakit ketika mengatakan jika ia dan Naima akan bercerai. Hati kecilnya tidak rela jika harus berpisah dengan wanita yang hampir tujuh tahun itu menemaninya. Walaupun Arga akui, ia jarang sekali memperhatikan Naima dan juga Alifah.

"Tiga puluh hari, ada-ada aja. Tapi terserah lah, yang penting kalian bercerai. Karena aku ingin menjadi istrimu satu-satunya," kata Arin. Wanita itu kini sibuk dengan benda pipih miliknya, sedangkan Arga memilih fokus untuk menyetir.

"Naima, apa aku sanggup untuk berpisah dengannya," gumam Arga dalam hati. Dadanya terasa sesak ketika membayangkan harus berpisah dengan kedua bidadarinya.

***

Setelah hampir seharian Arga menemani Arin, kini lelaki itu baru saja pulang ke rumah. Badannya cukup lelah, bahkan pikirannya sejak pagi tidak bisa diajak kompromi. Tak heran jika Arin sering protes gara-gara Arga sering melamun. Bukan itu saja, beberapa kali Arga juga sering menyebut nama Naima ketika Arin memanggilnya.

"Kok tumben jam segini sudah sepi, padahal baru jam delapan, biasanya juga masih pada nonton TV." Arga melangkah menuju ruang tengah, suasana rumah cukup sepi. Padahal biasanya jam delapan istri dan anaknya masih menonton televisi. Tapi malam ini tidak.

"Apa mungkin mereka udah pada tidur." Arga melangkah menaiki anak tangga menuju ke kamarnya.

Setibanya di kamar, terlihat jika Naima tengah membongkar isi paper bag, sepertinya istrinya itu baru saja berbelanja. Arga melangkah mendekati sang istri, menyadari suaminya sudah pulang. Naima menoleh lalu menunjukkan baju yang sedang ia coba, ia ingin meminta pendapat sang suami.

"Mas kamu udah pulang, lihat gamis ini bagus nggak." Naima berputar di hadapan suaminya seraya memakai gamis yang baru saja ia beli.

"Bagus, warna dan modelnya sangat cocok di tubuhmu," ujar Arga. Jujur, Naima terlihat begitu cantik memakai gamis tersebut.

"Tumben kamu beli gamis," ujar Arga kemudian.

Naima tersenyum. "Aku ingin merubah penampilanku, dan satu lagi bukankan malam ini kita mau makan malam di rumah mama. Kamu lupa, mas? Setahuku Arin juga diundang."

"Astaghfirullah, iya mas sampai lupa. Padahal tadi Arin sudah mengingatkan." Arga menepuk jidatnya, ia benar-benar lupa.

"Ya sudah, sekarang mas mandi aja dulu. Bajunya aku yang siapin," ucap Naima.

Arga hanya mengangguk, lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Ketika hendak membuka kemejanya, mata Arga tidak sengaja menemukan gumpalan rambut yang tersangkut di lubang pembuangan air. Karena penasaran Arga mengambil gumpalan rambut tersebut.

"Rambut milik siapa ini, mungkinkah rambut Naima. Kok bisa rontok sebanyak ini," ucap Arga seraya memperhatikan gumpalan rambut tersebut. Entah kenapa pikiran Arga menjadi kacau, Naima yang tiba-tiba ingin merubah penampilannya dengan menutup auratnya, lalu gumpalan rambut tersebut. Yang sebelumnya tidak pernah Arga temukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status