Melisa menarikku. Dia membawaku keluar dari gedung. Melepaskan cengkeramannya dengan sangat kasar saat kami sudah berada di samping gedung. Kebetulan sangat sepi sekali, tidak ada tamu atau pun panitia pernikahan di sana. "Hentikan, Maya." Pandangannya sangat menusuk. Sementara, aku masih saja mengatur diriku. Perlahan aku menarik napas, sambil memejamkan kedua mataku. "Aku tidak bisa tahan dengan ini semua, Melisa. Aku merasa dia berhubungan dengan suamiku sebelum menikah," balasku sambil mengurut pelipis. Pikiranku sangat kacau. “Kau sudah gila!” bentak Melisa. Dia mengangkat kedua tangannya, sambil melotot tajam. “Kau bisa mempermalukan dirimu sendiri. Parahnya, suamimu juga akan terlibat,” lanjutnya masih dengan nada keras. “Kita pulang saja. Kau harus menenangkan dirimu. Hei, tatap aku,” ucap Melisa sembari menarik pundakku. Aku mengangkat wajah, lalu membalas tatapan Melisa. “Aku yakin kalian baik-baik saja. Seorang dokter selalu dekat dengan pasiennya. Mungkin saja rambut
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Kenapa dengan Mas Farus dan Melisa?Kedua mataku masih saja menatap mereka. Jantungku berdetak lebih hebat dari biasanya. Kedua pandangan itu semakin jelas membuatku penasaran. Ada ekspresi sendu di dalam wajah Melisa. Walaupun Melisa berjarak cukup jauh dariku, tapi aku melihat itu cukup jelas.“Ibu baik-baik saja, kan?” tanya Mbok membuyarkan lamunanku.“Ah, aku baik-baik saja, Mbok,” jawabku sekenanya untuk mengalihkan agar Mbok tidak curiga. Bagaimanapun juga, aku akan menutup rapat semua. Aku tidak mau hal buruk terungkap dan itu aib keluarga.Aku kembali mengamati semua arah. Ternyata Melisa dan taxi itu sudah pergi.“Maya ...” Mas Farus mengulurkan tangannya. Kusambut dengan hangat uluran tangan itu. “Aku hari ini memeriksa pasien sangat banyak. Rejeki tidak terduga aku dapat hari ini. Dan ... ini buat kamu.” Mas Farus memberiku kotak putih berisi parfum sangat harum. Kalau dilihat merknya, sangat mahal dan berkelas.“Kok diam saja? Kamu
Aku masih terdiam. Apakah ini benar? Suamiku sudah tidak bekerja di rumah sakit itu lagi? Tapi, setiap hari dia bekerja. Pulang malam dan selalu beralasan tepat di hadapanku.“Maya? Maya!” Ema berteriak keras. Dia membuatku terkejut. “Maya, kenapa diam saja? Hei, aku ini sakit. Kandunganku bermasalah. Sudah beberapa dokter aku temui. Ah, tidak ada yang cocok. Maya, aku mau suamimu memeriksaku. Sekarang katakan di mana dia bekerja?” lanjutnya masih membuatku bingung. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan?“Ema, maksud aku ...,” ucapku dengan gugup.“Maya, kamu kenapa sih?” Mas Farus datang dan memelukku dari belakang. Sedikit kecupan dia berikan di leherku.“Mas, Ema menghubungiku. Dia punya masalah ama kandungannya. Maunya, Mas yang memeriksa,” ucapku sambil menyodorkan ponselku kepadanya. Aku hanya ingin tahu bagaimana ekspresi Mas Farus saat Ema bertanya di mana dia bekerja.“Ema ... teman kamu kuliah saat itu? Hmm, kok tiba-tiba mencariku?” balasnya sambil mengernyit. Dia menerima p
Aku tidak percaya. Rambut itu ... mirip sekali dengan milik Melisa. Tidak mungkin. Bagaimana bisa? Mas Farus tidak pernah bertemu dengannya sejak kita menikah. Lalu, atasan itu ... mirip sekali dengan kemeja yang dipakai wanita di dalam foto ponsel Mas Farus. Yah, ada sosok wanita memandang kami dengan wajah sendu, seperti menangis. Memang terlihat cukup jauh. Ketika aku membesarkan gambar itu, terlihat tidak begitu jelas. Tapi, aku masih bisa melihat kemeja itu.“Maya!” teriak Melisa. “Bagaimana rambutku? Aku baru saja memanggil penata rambut ke apartemen. Katanya sih, warna ini lagi hits sekarang. Alias, banyak yang suka.”Melisa membuatku menarik napas lega. Ah, dia baru saja mengecat rambutnya. Dan itu pasti kebetulan saja. Aku tidak bisa percaya dengan diriku yang sangat bodoh ini. Bagaimana mungkin sahabat baikku bersama suamiku? Sangat mustahil.“Maya, ayolah. Dari tadi kau diam saja. Padahal aku sudah berbicara panjang lebar. Hei, kau!” ucapnya semakin berteriak.Melisa masih
Aku menatap mereka berdua yang masih saling menatap. Entah kenapa perasaanku sangat tidak enak. Pasti ada kekeliruan di sini. Ah, aku harus membuang pikiranku. Kami tidak pernah bertemu dengan wanita asing ini. Melisa selalu bersamaku sejak dia datang ke Indonesia. Dengan cepat aku memusatkan pikiranku lagi. Aku tidak boleh terhanyut dengan pikiran kacau ini. "Melisa, kita akan bawa dia ke rumah sakit. Aku akan menghubungi Mas Farus agar membantu bertemu Febri untuk memeriksanya. Sapa tau ada yang terluka di dalam tubuhnya. Kita harus tanggung jawab, Mel," ucapku masih tidak ditanggapi oleh Melisa. Aku segera memegang tubuh wanita itu yang sedikit bergetar. Walaupun pandangannya masih terarah ke Melisa. Mungkin dia kesal Melisa tidak segera menolongnya. Lebih baik aku yang menangani ini. "Maafkan. Tadi teman aku tidak sengaja,” ucapku dengan tersenyum. Wanita itu segera berdiri, lalu membenarkan busana dan rambutnya. Sementara, Melisa masih saja diam dengan pandangan setajam pisau. E
Perlahan aku mulai menyalakan mesin mobil. Mengendarai dengan perasaan sangat kacau. Jantungku berdebar lebih hebat dari biasanya. Bahkan, air mata mendadak ingin sekali menetes. Entah kenapa, aku sudah merasakan hal buruk akan terjadi. Pernikahan ini akan hancur dengan kehadiran orang ketiga. Apalagi Ema mengatakan suamiku sudah tidak berada di rumah sakit. Ini semua tidak bisa aku biarkan.Masih dengan pandangan lurus ke depan, aku berusaha mengendarai mobil ini dengan perasaan tenang. Berkali-kali aku menarik napas panjang. Sejak tugas mendadak yang Mas Farus lakukan, hal aneh selalu menghampiriku.Mbok Sri menyambutku di depan rumah. Dia segera mendekati mobil setelah aku mematikan mesin mobil. Dengan cepat aku keluar dan menyerahkan tasku kepada Mbok.“Aku mau di ruangan kerja Mas Farus. Mbok bikinkan aku minuman jahe, ya,” ucapku sambil berjalan terburu-buru. Mbok hanya diam dan melakukan perintahku.Perasaan ini masih berdebar. Aku menarik napas panjang sebelum menekan gagang p
Pandanganku teralihkan. Mas Farus tiba-tiba datang? Padahal, ini masih mau sore. Tidak biasanya dia datang secepat ini. Spontan aku mengambil ponsel itu dan memasukkan ke kantong kemejaku. Lalu, menggembok kotak itu lagi sambil berpura-pura membersihkan debu.“Maya?” ucapnya semakin mendekatiku.Aku bergegas berdiri, lalu membalikkan tubuhku dengan tersenyum. Jantungku berdebar. Aku harus mencari cara agar Mas Farus tidak mencurigaiku. Senyuman masih saja terpampang jelas di wajahku. Dia melirik samping kanan tepat di kotak itu, dengan kedua alis mengkerut dalam. Aku harus mengalihkan perhatiannya.“Ah, Mas. Kamu kok sudah pulang? Ini, aku mencari tasku. Aduh, aku lupa meletakkan di mana.” Masih saja tersenyum, aku mendekati suamiku dan memeluknya. Dia masih saja diam. Wajahnya masih saja terlihat mencurigaiku. Aku harus menutup masalah ini sampai aku benar-benar menemukan bukti itu.“Kamu itu mencari tas kok di ruanganku. Di kolong meja juga. Maumu itu apa, sih? Biasanya tas itu kan
Nama itu, adalah ...“Sialan! Sial!” Aku tidak tahan lagi. Nama itu memang namanya. Aku sangat hafal dengan nama itu.Berkali-kali aku berteriak keras sambil memukul kemudi mobil. Kepalaku terus menggeleng keras. Tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Ini adalah sebuah tragedi buruk yang aku alami. Bagaimana bisa? Kapan mereka bertemu? Lalu, suamiku terlihat bahagia di dalam foto itu. Parahnya, semua teman dekatku termasuk Ema mengetahuinya? Drama apa ini? Tidak aku sangka mereka sangat kejam seperti itu!“Aku harus melihatnya sendiri. Ini salah!” ucapku dengan keras. Air mata mulai menetes deras. Sakit ... sangat sakit sekali. Kenapa dia tega melakukan ini? Kenapa?“Mereka sangat mesra sekali. Rambut itu sama. Warna yang aku temukan. Dan aku sangat bodoh. Walaupun aku sudah merasakan hal itu. Dia sudah mendekatiku untuk mencegah aku mengetahui semuanya. Kenapa kalian tega ...,” ucapku lemas. Air mata masih saja keluar deras. Napasku mulai sesak.“Mas, bagaimana dengan pernikahan ki