Share

Apakah Memang Dia?

Benar-benar aku tidak mengerti. Mana mungkin Mas Farus melakukannya. Ah ... itu tidak mungkin. Dia tidak mungkin melakukan hal itu kepadaku. Aku pasti melupakan lipstik ini. Tentu saja aku memiliki lebih dari satu. Saat itu Mas Farus membelikanku sebagai hadiah pernikahan. Aku selalu menghemat lipstik ini karena harganya sangat mahal. Mungkin dia membelikanku lagi dan lupa untuk memberikannya.

Sambil menarik napas panjang dan mengatur diriku sendiri, aku membuka lipstik itu walaupun memang aku benar-benar sedikit terkejut. Lipstik itu sudah dipakai oleh seseorang. Jika memang Mas Farus membelikanku yang baru, pasti tidak akan pernah terlihat tumpul seperti ini.

Satu hal yang membuatku lebih terkejut adalah, beberapa helai rambut berwarna pirang menempel di jaketnya. Hmm, sedangkan rambutku berwarna hitam. Ya, aku sama sekali tidak pernah memiliki warna rambut seperti ini. Lalu siapa yang memilikinya? Kenapa ada di jaket suamiku?

"Bu, ada tamu. Ada sahabat Ibu menunggu di bawah. Ibu Melisa," ucap Mbok Sri mengejutkan aku.

Untung saja Melisa datang. Dia harus membantuku untuk memecahkan semua teka-teki ini. Aku benar-benar membutuhkan bantuannya. Hanya dia yang bisa membuat aku bisa tenang dan mengerti, bagaimana caranya untuk membongkar semuanya.

"Mbok, katakan kepada Melisa, kalau aku menunggunya di kamar. Ada hal penting yang harus aku bicarakan kepadanya. Cepat Mbok," ucapku dengan tergesa-gesa.

Aku menarik lengan Mbok Sri. Kemudian menyeretnya untuk keluar dari kamar. Mbok Sri benar-benar terkejut melihat tingkahku. Dia mengerutkan kedua alisnya sangat dalam, sambil menatapku heran.

"Kenapa Ibu seperti ini? Aduh, kayak lihat hantu saja. Saya kan jadi takut, Bu," ucapnya sambil menepuk-nepuk dadanya, lalu menggelengkan kepala. Menatapku dengan kedua alis yang mengkerut sangat dalam.

"Sudah Mbok. Jangan banyak tanya. Sekarang cepat panggil Melisa ke sini. Aku benar-benar membutuhkannya," ucapku kembali sambil terus mendorong tubuhnya. Mbok Sri kemudian tergesa-gesa menuruni tangga dan memberitahukan Melisa.

Aku segera kembali masuk ke dalam kamar, menggenggam erat lipstik itu. Aku benar-benar tidak mengingat Mas Farus pernah membelinya lagi, atau ... bahkan meminta kepada Mas Farus. Lipstik ini baru saja diberikannya dua bulan lalu saat ulang tahun pernikahan kami. Lisptik ini selalu aku simpan dengan baik. Bahkan aku selalu membawanya ke mana pun. Barang ini adalah pemberian Mas Farus yang benar-benar sangat spesial. Apalagi dia memberikan kejutan yang sangat luar biasa. Saat itu dia membawaku di dalam hotel yang sudah disewanya. Sangat mahal dan indah. Kami benar-benar bahagia.

"Hei, kamu itu ngapain? Dari tadi melamun saja kayak orang gila. Hmm, masih memikirkan suamimu itu? Bukankah dia sudah kembali?" ucap Melisa tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Dia mendekatiku. Lalu menarik tanganku dan membuka genggamanku. Dia mengambil lipstik itu dan mengamatinya dengan sangat seksama.

"Jangan katakan kamu mencurigai suamimu, karena menemukan barang ini. Apa mungkin di saku jaketnya, atau di mana?" tanyanya sambil mengangkat lipstik itu dan mengarahkan tepat di kedua mataku.

Dengan perlahan aku menganggukkan kepala. Kemudian aku berjalan menuju kursi sofa dan duduk sambil menyandarkan kepalaku ke sandaran. Melisa pun menarik napas panjang, sebelum akhirnya dia berjalan dan duduk tepat di sebelahku.

"Masih saja mencurigai suamimu? Untuk apa seperti itu? Sudahlah, kau itu jangan berpikiran macam-macam," gumamnya kemudian meletakkan lipstik itu di atas meja. Hingga akhirnya aku menatap Melisa dan merasakan sesuatu.

"Kamu katanya kembali ke Singapura. Tapi, kenapa kamu ada di sini?" tanyaku sambil menatapnya dengan tajam. Kemudian aku mengamatinya. Entah kenapa aku merasakan sesuatu yang sangat aneh. Apalagi saat dia mengucapkan sesuatu. Sepertinya aku mengenal suara itu.

"Hei, kamu itu kenapa?" ucapnya sedikit dengan membentak, sambil menjentikkan jemarinya tepat di wajahku.

"Kamu pikir aku ini hantu. Ah, melihat sambil melotot seperti itu. Maya, hentikan! Aku tidak menyukainya. Jika kamu terus seperti itu, lebih baik aku pergi," ancamnya, kemudian segera beranjak dari duduknya. Aku segera menahan lengannya, lalu menarik. Melisa kembali duduk tepat di sebelahku. Kenapa aku harus berpikiran seperti itu? Hah, tidak mungkin. Melisa adalah sahabatku. Dia tidak mungkin melakukan suatu hal yang akan membuatku sangat terkejut. Atau mengkhianatiku. Lagi pula Melisa sangat lama tidak pernah bertemu dengan suamiku. Dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini.

"Jujur saja Melisa. Aku menemukan sesuatu yang sangat mencurigakan. Hah, lipstik ini ... adalah lipstik kesayanganku. Hmm, pemberian Mas Farus saat kita merayakan ulang tahun pernikahan 2 bulan lalu. Aku hanya memilikinya satu. Harganya sangat mahal. Bahkan, merknya saja berasal dari Paris. Tapi aku melihat lipstik ini ada di saku jaketnya, dan sepertinya sudah dikenakan oleh seseorang. Apalagi aku menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan," ucapku dengan suara yang lemah. Melisa kini menatapku dengan tatapan tajam. Kemudian dia memegang kedua pundakku sambil menggelengkan kepala.

"Kau pasti lupa. Mana mungkin lipstik pemberian suamimu yang sangat mahal itu kini ada dua? Apa kau tidak ingat, kemarin kau memakai jaket ini. Mungkin saja suamimu membelikan dua dan kau tidak sadar. Ayolah Maya. Berkali-kali aku mengatakan kepadamu. Kau tidak perlu mencurigai suamimu," ucapnya meyakinkanku.

"Aku, hanya tidak ingin ada kenyataan pahit. Tapi, kau benar." Perasaanku sedikit lega saat dia mengatakan itu. "Apa yang dikatakan Melisa memang benar. Bahkan aku sudah salah sasaran. Menuduh Mas Farus pergi dengan dokter muda itu. Tapi, ternyata tidak," batinku sambil melirik jam dinding. Kini aku sadar. Aku harus pergi ke pernikahan itu. Aku ingin tahu siapa dokter muda itu. Apakah dia memang benar-benar akan menikah? Entahlah, perasaanku sangat berkecamuk.

"Melisa, lihatlah ini," ucapku sambil menyodorkan undangan dokter muda itu. Melisa segera menerimanya, kemudian membacanya dengan sangat teliti.

"Aku harus pergi ke sana, dan kau harus menemaniku," lanjutku kemudian segera mengambil baju yang sedikit resmi di almari. Aku segera mengganti pakaianku, kemudian mengambil tas beludru berwarna hitam yang biasanya aku kenakan. Kemudian memakai sepatu hitam dengan high heels 5 cm. Sedikit menyanggul rambutku, memberikan polesan yang tidak tebal, membuat wajahku sedikit segar.

"Melisa, ayo ikut," ucapku lalu berjalan mendekati Melisa dan menarik lengannya, hingga dia berdiri.

"Ayo ikut aku. Kita harus datang ke pernikahan itu. Mana mungkin aku berangkat ke sana sendirian," lanjutku sambil berjalan cepat.

"Maya, kenapa kau cepat sekali!" teriak Melisa mengikutiku dari belakang.

Kali ini aku yang mengendarai mobil. Melisa hanya diam saja duduk di sebelahku. Aku mengendarai cukup kencang, hingga dalam sekejap aku sampai di sebuah gedung pernikahan. Banyak sekali tamu undangan di sana. Tanpa berbicara lagi aku keluar dari mobil. Melissa pun masih mengikutiku.

"Kau sudah membawa angpao? Jangan lupa," ucapnya sambil menyodorkan amplop putih. Aku segera menerimanya. Hah, aku benar-benar lupa. Untung saja dia membawanya. Dengan cepat aku mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu dan memasukkan ke dalam amplop itu, kemudian segera memasukkan ke dalam kotak yang sudah disediakan.

Aku segera masuk ke dalam setelah mengambil souvenir. Hingga aku sangat terkejut saat menatap pelaminan.

"Apa?" Ya, dokter muda itu memiliki rambut pirang, persis dengan rambut yang aku temukan di jaket Mas Farus. Apakah mereka melakukannya sebelum pernikahan ini terjadi?

"Jangan katakan kau mencurigai wanita itu, karena aku melihat rambutnya memang sama dengan rambut yang kau temukan tadi, saat kau menunjukkan kepadaku," ucap Melisa yang tidak aku hiraukan.

"Apakah Mas Farus dan dia ...," batinku masih menatap pengantin itu. Aku hanya ingin mengetahui apa yang terjadi. Dengan cepat aku berjalan menuju ke atas panggung. Aku harus menanyakan secara langsung kepada wanita itu. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan ini, walaupun aku akan malu pada akhirnya nanti. Aku pun melangkah sampai aku mendengar derap langkah kaki di belakangku bersamaan dengan teriakan.

"Maya, jangan!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Adrian Muno
cepet banget dikunci hiks
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status