Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
“Tidak mungkin! Dia lelaki sempurna. Selama ini, pernikahan kami berjalan tanpa ada masalah. Suamiku ... tidak mungkin melakukan itu!”“Sadarlah Maya. Terimalah keadaanmu saat ini!” Pikiranku berbelit tidak karuan. Selama ini aku selalu percaya dengan lelaki yang memberikanku kehidupan layaknya seorang ratu dalam negeri dongeng. Tapi, kini aku menghadapi kenyataan pahit.“Aku ... tidak percaya. Dia adalah ... argh!”Dengan lemas aku duduk, menundukkan kepala. Berusaha mengingat jelas dua bulan kejadian sebelum aku menemukan tiga ranjang itu. Aku harus mengingatnya!Saat itu, aku mendapati dirinya menghubungi seseorang.“Mas, Farus!”“Maya!”Sampai di rumah, aku mendapati suamiku menghubungi seseorang di teras depan rumah. Dia sangat terkejut ketika aku menepuk pundaknya. Dia bergegas masuk ke dalam. Aku segera mengikutinya, menuju dapur untuk mengambil minuman. Pekerjaanku sebagai pengacara sangat melelahkan.“Tadi siapa, Mas? Kok, mendadak ditutup?” tanyaku sangat penasaran.“Selama
“Lalu, ke mana Mas Farus? Dia mengatakan pergi bersama Febri. Tapi, dengan terang Febri mengatakan hal sebaliknya. Oh, ada apa ini? Lalu, tadi malam itu telepon siapa?” batinku masih memandang ponselku sendiri.“Tidak perlu mencemaskan apa pun yang belum pasti.”Melisa menarikku kembali ke kursi sofa. Sebagai sahabat, dia pasti berusaha memendam perasaanku. Sebenarnya, aku tidak mau dia mengetahui rasa cemas ini. Tapi, seperti biasanya. Melisa sangat paham ekspresi wajahku.“Aku tidak mau menceritakan apa pun tentang pernikahanku. Tapi, kau sahabatku. Apa yang harus aku cemaskan?”“Bukankah kamu sendiri mengatakan kepadaku, tidak suka jika ada yang disembunyikan. Aku pun begitu. Aku tak mau ada rahasia. Ayolah, Maya! Katakan saja. Aku pasti siap membantumu.”Tentu saja aku harus mempercayai Melisa. Dia adalah sahabatku sejak lama. Ke mana lagi aku akan meminta bantuan?“Mas Farus tidak pernah pergi selama ini. Dia selalu saja pulang ke rumah. Sekarang, mendadak dia mendapat tugas. Par
“Mas Farus?” Benar-benar tidak aku percaya. Ternyata bukan suamiku. Dia, kenapa seperti itu? Bunuh diri? “Apa kau ... jangan ditutup!”Nomor tidak dikenal menghubungiku. Suara itu, sangat aku kenal. Dia memanggil nama suamiku, lalu menutupnya? Benar-benar aku mengenalnya. Tapi, siapa? Berkata, ingin bunuh diri?Aku sudah tidak tahan lagi. Aku harus membongkar semuanya. Jujur, semakin berjalannya waktu hatiku semakin sesak. Mas Farus ... apakah kau memang menduakan aku? Apakah dokter magang itu adalah wanita simpananmu? Dari pada aku bertanya-tanya dan semakin gila. Aku akan nekat menghubunginya.“Mas, aku harap kau menerimanya.”Dengan cemas, aku masih menunggu suamiku mengangkat ponsel ini. Tapi, nada sibuk yang aku dengar. Apakah di sana tidak ada sinyal? Ah, dia pasti sangat sibuk dan ini tengah malam. Tentu saja dia tidak akan pernah mengangkatnya.Sepanjang malam aku resah. Kedua mata ini sama sekali tidak bisa tertutup. Semakin aku berusaha terlelap, hatiku rasanya berdetak heb
Aku melebarkan kedua mataku. Tidak percaya melihat Mas Farus datang ke rumah dengan tubuh terluka seperti itu? Ditambah, undangan pernikahan yang disodorkannya kepadaku.“Mas, apa ini?” tanyaku gelisah. Semoga saja ini bukan kejutan besar buatku. Apakah ini adalah undangan pernikahan dia dengan dokter ...“Apa?” Tidak aku percaya setelah membacanya. Ternyata?“Maya. Aku mengalami kecelakaan. Maaf, selama lima hari aku di rumah sakit. Argh,” ucapnya sambil merintih. Spontan aku memapahnya. Dia ... benar-benar terluka parah. Tapi, kenapa luka itu masih segar? Bukankah dia mengatakan berada di rumah sakit selama lima hari? Seharusnya luka itu sudah mengering.“Mas. Jadi kamu kapan kecelakaan? Aduh, Mas. Seharusnya kau mengabari aku. Nanti aku jemput di sana,” ucapku masih kesal. Bagaimana pun juga, aku tidak mau melihat suamiku terluka seperti ini.“Aku tidak mau membuatmu khawatir. Lagi pula, banyak dokter di sana. Oh ya. Febri merawat Ibu. Dia tidak ikut bersamaku. Ponselku hilang saat
Benar-benar tidak aku percaya. Mas Farus menarikku ke ranjang. Dia seolah-olah tidak mau mendengarkan semuanya. Dan ... seperti tidak memiliki masalah apa pun. Tapi, siapa yang menghubunginya? Aku sangat mengenal suara itu. Hanya saja, siapa dia?“Maya. Kau ini kenapa? Dari tadi tidak tidur. Aku ini ngantuk. Hah ...,” ucap Mas Farus sambil menguap. Dia melingkarkan tangan ke tubuhku. Aku benar-benar masih tidak bisa melepaskan pikiranku dari suara wanita yang ada di dalam telepon itu. Entah kenapa aku seperti mengenal suara itu. Suara yang benar-benar tidak asing.“Maya, tidurlah,” ucap suamiku sambil memejamkan kedua matanya.Sepanjang malam, tanpa terasa aku terus memikirkan itu. Hingga aku tidak menduga. Sinar cahaya matahari sudah memasuki celah-celah jendela, membuatku mengernyit. Apalagi saat cahaya itu masuk ke retinaku. Mas Farus mengeliat dan terbangun. Dia menatapku dengan kaku.“Ah, kau ini ya,” ucap Mas Farus dengan menguap. Dia segera menuruni ranjang tanpa melirikku. Ak