Share

Menemukan Sesuatu

Benar-benar tidak aku percaya. Mas Farus menarikku ke ranjang. Dia seolah-olah tidak mau mendengarkan semuanya. Dan ... seperti tidak memiliki masalah apa pun. Tapi, siapa yang menghubunginya? Aku sangat mengenal suara itu. Hanya saja, siapa dia?

“Maya. Kau ini kenapa? Dari tadi tidak tidur. Aku ini ngantuk. Hah ...,” ucap Mas Farus sambil menguap. Dia melingkarkan tangan ke tubuhku. Aku benar-benar masih tidak bisa melepaskan pikiranku dari suara wanita yang ada di dalam telepon itu. Entah kenapa aku seperti mengenal suara itu. Suara yang benar-benar tidak asing.

“Maya, tidurlah,” ucap suamiku sambil memejamkan kedua matanya.

Sepanjang malam, tanpa terasa aku terus memikirkan itu. Hingga aku tidak menduga. Sinar cahaya matahari sudah memasuki celah-celah jendela, membuatku mengernyit. Apalagi saat cahaya itu masuk ke retinaku.

Mas Farus mengeliat dan terbangun. Dia menatapku dengan kaku.

“Ah, kau ini ya,” ucap Mas Farus dengan menguap. Dia segera menuruni ranjang tanpa melirikku. Aku segera menyusulnya masuk ke dalam kamar mandi.

“Mas, tadi malam ada telepon,” ucapku singkat. Mas Farus tidak mempedulikannya. Dia hanya menikmati air shower sambil menggosok tubuhnya.

“Mas!” panggilku dengan keras.

“Aku tidak tuli, Maya.” Dia mematikan air, menerima handuk yang aku sodorkan kepadanya. “Siapa yang telepon?” tanyanya dengan sangat santai.

“Wanita,” jawabku singkat.

“Aku punya pasien. Dia selalu demam. Ternyata dia hamil. Laki-laki berengsek sudah menghamilinya. Hmm, dia selalu merepotkan. Curhat, nangis, apalah,” balasnya masih saja sangat santai. Aku hanya mengamatinya sambil diam. Apakah aku harus mempercayainya?

“Maya, ayolah,” ucapnya tiba-tiba kini menatapku. Dia segera mengeringkan tubuhnya. Lalu berjalan mendekatiku, sambil memegang kedua pundakku dengan keras. “Aku ini tidak mau pikiranmu itu rusak. Kau kira aku selingkuh?” tanyanya membuatku terkejut.

“Mas, aku itu--,” ucapku terhenti. Mas Farus mendadak memelukku erat. Mengelus-elus punggungku dengan lembut. Aku kembali terhanyut dengan perlakuannya.

“Maya ... jangan macam-macam. Pikiranmu itu buang saja. Aku tidak akan selingkuh,” bisiknya dengan tersenyum. "Aku mau pakai baju. Nanti malah gak ke kantor gituan dulu," lanjutnya menggodaku. Sepertinya aku akan mempercayai ucapan Mas Farus. Kita sudah menikah cukup lama. Lagi pula, dia sama sekali tidak pernah terlihat mencurigakan selama ini. Kali ini aku menyerah. Mas Farus tersenyum sangat tampan. Pandangan itu membuatku sangat tenang. Dia memelukku sekali lagi.

“Sekarang aku mau kerja. Jaket yang ada di gantungan itu cuci, ya. Baunya pengap,” lanjutnya lalu melepaskan pelukan itu.

“Hmm, sekarang malah disuruh cuci baju.” Dengan kesal aku menatap suamiku sambil bersedekap. Mas Farus tersenyum dan kembali mendekatiku.

“Aku sangat mencintaimu,” bisiknya dengan pelan. Dia sedikit meniup leherku, lalu menggelitikku. “Nanti malam aku pulang terlambat. Aku memiliki pasien sangat banyak. Kau tahu sendiri, aku adalah dokter yang mereka andalkan,” lanjutnya dengan tersenyum.

“Bagaimana dengan pernikahan itu? Mas, apa tidak datang? Atau, aku saja yang mewakilkan?” Sambil membantunya memakai kemeja putih, aku menunggu jawabannya. Undangan itu tertuliskan hari ini. Tapi, dia mengatakan akan lembur. Entah kenapa perasaanku sangat tidak enak.

“Hmm, baiklah. Kau bisa datang. Tapi, aku tidak datang. Kau, tidak keberatan datang sendirian? Aku kemaren bilang ama dia kalau izin. Kau tahu sendiri, Maya. Pasienku sangat banyak,” katanya sambil menatapku tegang.

“Hah ... baiklah. Aku kan harus ngerti. Pekerjaanmu itu sangat penting,” balasku dengan sedikit tersenyum.

“Kau memang istri yang hebat. Baiklah, aku pergi dulu. Jaga rumah, dan anak-anak.”

Mas Farus keluar kamar. Kedua anakku sangat senang melihat ayahnya. Mereka bergantian memeluk Mas Farus. Pemandangan di hadapanku benar-benar luar biasa. Aku sangat bahagia melihatnya. Keluargaku sangat harmonis. Tidak seharusnya aku seperti ini. Mencurigai suamiku yang sangat sempurna itu.

“Dari tadi melamun saja,” ucap Mas Farus membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum saat dia mengecup keningku. “Aku berangkat dulu,” lanjutnya kemudian segera keluar rumah dan menuju mobilnya. Kali ini dia akan mengantar anak-anak pergi ke sekolah. Kedua anakku sangat senang. Mereka tidak hentinya tertawa.

“Ibu, sarapan sudah siap.” Mbok Sri membuatku terkejut.

“Iya, Mbok. Aku mau ambil jaket Bapak dulu. Setelah itu, makan nasi goreng buatan Mbok,” balasku dengan tersenyum.

Masih dengan perasaan bahagia, aku berjalan kembali ke dalam kamar. Apa yang aku dustakan. Kehidupanku selama ini selalu sempurna. Tidak ada masalah, atau pun pihak ketiga. Semua adalah kebahagiaan, dan aku melihatnya sendiri hari ini.

Masih dengan tersenyum aku mengambil jaket yang terselampir di atas sandaran kursi. Tapi ... ada sesuatu yang aneh di sana. Sebuah ... apa ini?

Kedua mataku tidak hentinya menatap sesuatu yang sangat mengejutkan. Aku sangat berdebar. Tanpa berpikir lagi, aku segera merogoh kantong jaket itu. Siapa tahu ada sesuatu yang harus aku ketahui. Dan ternyata ... Aku mengingatnya. Saat itu aku merasa senang ketika menemukan lipstik di saku jasnya. Tapi, sekarang aku sadar. Lipstik milikku hanya satu.

“Kenapa ada di sini?” gumamku semakin tidak percaya. Aku segera berjalan menuju meja kaca riasku. Mengambil tas hitam berbahan beludru yang biasa aku gunakan saat bepergian. Aku segera membukanya, memeriksa sesuatu di dalamnya.

“Mas Farus, kenapa seperti ini?” batinku tidak percaya setelah melihat sebuah barang yang sama berada di dalam tasku dengan barang yang aku temukan di saku jaket Mas Farus.

Selama ini aku hanya memiliki barang ini satu saja. Tapi, kenapa ada barang yang sama di jaket suamiku? Apalagi, aku menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan. Ujungnya tumpul. Seperti sudah digunakan seseorang.

“Lalu, milik siapa ini? Mas, apakah kau memang melakukannya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status