Tiba-tiba suasana berubah menjadi hitam pekat. Keberadaan Ria dan Bibinya tersebut bukan lagi di rumah. Hanya terlihat Bi Tinah pada pandangan mata Ria, begitu pun sebaliknya. Serasa aliran panas mengalir pada setiap pembuluh darah Ria. Gadis yatim itu tak tau siapa dirinya lagi. Artinya Ia telah dikendalikan alias kesurupan. Tubuhnya memiliki energi kuat yang menguasai. Bak banteng yang siap menyerang dan mengerang.
Bi Tinah bersila mengambil posisi tenang, mulutnya bergerak-gerak cepat. Tubuhnya bersinar terang dengan cahaya yang menyilaukan. Melihat hal itu, ada gejolak perlawanan dan kekuatan besar menarik Ria untuk segera bertindak. Dengan berteriak Ria maju menyerang dengan cepat. Tubuh gadis itu yang sudah dikuasai itu berlompatan gesit menyerang dengan tenaga penuh.
Bi Tinah dengan lincah hanya mencoba menghindar saja. Tanpa bisa membuat serangan balik. Dengan pertimbangan takut akan melukai fisik keponakannya. Dia terlihat kewalahan menghadapi serangan Ria. Karena kekuatan jin yang merasuki makin berlipat. Jin yang merasuki lebih dari satu. Bahkan mencapai tujuh jin sekaligus menguasai raga keponakannya.
Napas Ria terus memburu, mengejar dengan aksi layaknya film laga di televisi. Beberapa kali pukulan telak mengenai wajah serta dada Bi Tinah. Terakhir, cahaya merah saga keluar dari kedua tangannya sebagai gabungan energi hingga membuat Bi Tinah terpental. Dari sudut bibir menetes darah segar kehitam-hitaman. Seringai dari bibir Ria pun terbit, puas. Bisa melukai, tinggal memisahkan roh dan raga Bi Tinah yang mesti ia lakukan.
Teriakkan Ria menggema, memekakkan telinga siapa saja jika mendengar. Ria pun berlari menghampiri tubuh Bi Tinah yang terhuyung-huyung. Wanita berwajah ayu itu tak diberi kesempatan untuk bisa menghindar lagi. Matanya terpejam sepertinya pasrah pada kematian. Akhirnya, tubuh Ria berhasil berada diatasnya lalu mencekik leher. Mengakibatkan mata terbeliak dan lidah bibinya terjulur.
Belum selesai tugas Ria, ia sedang menikmati detik-detik maut ajal akan dirasakan oleh wanita berjilbab lebar itu. Tujuan tuan jin yang masuk ke tubuh Ria akan tercapai. Sekelebat bayangan muncul mendorong Ria dengan kekuatan yang dahsyat. Hingga tubuh Ria terpelanting jauh.
Ria memperhatikan dengan pandangan tajam. Sesosok pria bersorban memiliki kumis serta rambut halus memutih di sekitaran rahang hingga dagunya. Sangat kharismatik serta terlihat jelas memiliki ilmu yang mumpuni.
Ria mengalihkan pandangan menuju Bi Tinah yang telah duduk. Memegangi lehernya sambil terbatuk-batuk. Padahal Ria hampir saja tadi berhasil mengakhiri hidupnya.
Bi Tinah mencoba mengembalikan pernapasannya agar kembali teratur, memposisikan dirinya agar nyaman. Mengumpulkan energi kekuatanya kembali, kedua tangannya bersedekap.
Tanpa Ria sadari gulungan cahaya putih panas secepat kilat menyambar ke arahnya. Membuat Ria meraung keras. Aliran panas menjalari setiap urat dalam tubuhnya. Merasakan ada yang tertarik dari ubun- ubun terasa nyeri hingga tujuh kali. Setelah itu gadis itu rubuh tersandar di dinding rumah, tak sadarkan diri.
***
Berlahan Ria membuka mata. Pertama yang terlihat adalah langit- langit kamar berupa papan triplek berwarna coklat, sebuah bola lampu kecil mengantung di sana. Mencoba mengumpulkan kesadaran penuh sambil berpikir. "Ria!Ria! Syukurlah kamu sudah sadar, Nak!" Terdengar suara maknya, membuat Ria mengalihkan pandangan cepat. Mak tersenyum mengapai tangan Ria. Raut wajah bahagia semringah terpancar dari wanita yang melahirkannya tersebut. "Aduh!" keluh Ria sembari meringis. "Kenapa, Nak. Apa ada yang sakit?" tanya Mak khawatir. "Badanku sakit-sakit semua, tenggorokan kering," Ria mencoba mengangkat tangan menuju lehernya. "Memang seperti itu jika setelah kesurupan, itu untung pingsanmu tak kelamaan." Tiba-tiba Bi Tinah muncul di ambang pintu kamar menyahut. Melangkah ke arah mereka, menyerahkan segelas air putih. Secara cepat disambut Mak dan ikut menolong Ria untuk duduk bersandar. Mak menopang dan tangan sebelahnya menuntun cangkir k
Cahaya mentari pagi masuk melalui kisi-kisi jendela, Ria menggerjab sesaat. Mengeliatkan badan, lalu duduk di atas ranjang yang hanya muat untuk sendiri. Alhamdulillah tubuhnya sudah tidak begitu merasakan linu lagi. Hanya kepala terasa sedikit berat. Memperhatikan sekeliling, Bi Laila masih lelap tertidur dengan baju tidurnya berlengan panjang dan celana panjang terbuat dari kain lembut serta berenda. Mak dan Bi Tinah tidak terlihat, mungkin sudah bangun. Hanya meninggalkan jejak selimut yang sudah berlipat di samping Bi Laila.Ria beranjak berdiri menuju dua jendela kayu besar yang berada beberapa langkah darinya. Udara segar begitu terasa ketika jendela itu terdorong oleh Ria.“Hmm … sudah bangun, jam berapa ini?”“Pukul 08.00, Bi. Bi Laila dari kota mana ? Apa sudah berkeluarga atau belum seperti Bi Tinah?” serbu Ria dengan pertanyaan.“Ini anak, pagi-pagi kita di recoki ama pertanyaan bukan
Terdenggar suara deru mobil berhenti di halaman rumah. Mereka berdua pun bergegas ke depan. Sebelumnya memakai jilbab sarung mereka. Sebuah mobil hitam L300 datang, bak di belakangnya telah tersusun barang-barang. Ada lemari, kasur, kursi tamu lapuk, alat-alat dapur. Supir dan keneknya membantu menurunkan barang berat. Mereka akan menatanya nanti, kamar belakang yang biasanya kosong telah dibersihkan sehingga tinggal meletakkan serta menyusunnya.Ria yang tak melihat Mak dan Bi Tinah yang tadinya memakai sepeda motor tak kunjung menyusul tiba. Ria mencoba menelepon Mak.“Assalamualaikum, Mak. Mak di mana?” tanya Ria cepat ketika ponselnya diangkat.“Waalaikumsalam, Mak sama Bibimu mau berpamitan dengan tetangga, serta nanti sekalian ke pasar, ada yang mau dibeli. Di susun itu barang-barang. Uang mobil udah di bayar itu. Cobalah mandiri lagi udah mau kuliah lagi pun, sedikit-sedikit Mak,” sahut Mak panjang lebar.“Iya, y
Sesampainya mereka di rumah sakit, disambutlah dengan kesibukan tim dokter dan juru rawat yang luar biasa. Hasil CT-Scan menyatakan Mak mengalami memar otak, karena benturan keras di kepalanya. Ruang ICU lah akhirnya Mak di tempatkan.Ria mengamati wajah Mak yang kian pucat. Mengingatkan percakapan telepon yang mereka lakukan tadi. Apakah bertanda? Ah, segera Ria tepis. Menggelengkan kepala, menjauhkan pikiran andai itu adalah pesan terakhir. Ya Allah, Ria takut hal itu terjadi. Air matanya kembali tumpah.Bi Laila datang dengan tergesa-gesa, setelah menggunakan lapisan baju khusus masuk ruangan ini. Sebelum jam besuk habis. Karena ruangan ICU menetapkan jadwal untuk membesuk. Pelukkan hangat langsung diberikan Bi Laila pada Ria. Berusaha mentransfer kekuatan agar Ria tabah.Ria melonggarkan pelukkan, menarik hidung yang meler, seraya bertanya,"Bi, gimana adm-nya nanti ni, Bi?" Membayangkan Ia tak punya sesenpun tabungan."Sudah, jangan kau pikirk
Langit tampak berselimutkan mendung, ketika pemakaman Mak yang dilangsungkan esok harinya.Tetes demi tetes air hujan mulai turun seakan bersaing dengan mata Ria yang juga semakin lebat menjatuhkan air mata. Ah, rasanya ini seperti mimpi baginya, terhempas seakan tidak menerima kenyataan. Akhirnya Ria resmi yatim piatu. Bibinya--dari pihak Mak pun tak tahu rimbanya. Seperti tertelan bumi.Bi Laila, setia berada disisi Ria. Tetangga dan keluarga dari pihak bapak yang datang dari provinsi berangsur bubar sejak gerimis tadi.Tanah gundukan baru itu basah, menguarkan aroma tanah kuning. Ria ingin rasanya terus memeluk nisan kayu baru itu. Walau sebenarnya satu pelukan nyata lebih berarti dibanding seribu pelukan ke batu nisan yang hanya bisa dilakukannya saat ini. Bi Laila seakan dengan tenaga penuh mendirikan tubuh Ria yang bersimpuh. Berusaha untuk memapahnya untuk beranjak pulang ke rumah. Dingin merasuk, kuyup tak mereka pedulikan. Langkah Ria lemah, karena tak
Ria duduk di depan cermin, menyisir rambut lurus yang sebahu. Pantulan wajah itu terlihat kuyu, mata bengkak, menampilkan pipi yang agak cekung, dengan bibir pucat. Ria memang tak ada menimbang badan, tetapi dapat diketahuinya pasti berat badan turun, dari banyaknya baju yang dipakai terasa longgar. Kilatan masa lalu, kebersamaan Mak selalu hadir kembali. Kenangan, harapan serta hal-hal indah membersamai hidup bersama Mak bermunculan."Kuliahmu nanti mau ambil apa, Nak?" tanya Mak waktu itu."Ria, tertarik mau jadi guru, Mak." Dengan mata berbinar Ria menjawabnya."Mantap tu, Ria cocok jadi guru. Itu kerjaan mulia, nanti Mak usahakan biayanya, Bibikmu pun akan membantu," terang Mak.Seminggu telah berlalu, selama itu tahlilan dilakukan oleh keluarga. Hari ini rumah kembali sepi karena para tetangga serta kerabat tidak ada lagi berkumpul.Ria harus terbiasa, hidup tanpa Mak. Begitu banyak perhatian dari kedua Bibinya di rumah ini. Nasihat,
“Pekanbaru, I am coming!” seru Ria berteriak gembira. Meghadapkan badan ke kiri kanan jalan. Jalanan aspal yang di penuhi kuda besi yang lalu lalang. Bi Laila yang duduk di depan kemudi, terlihat tersenyum melihat tingkahnya dari cermin di atas kepalanya. Bi Tinah memalingkan wajah ke belakang dengan raut wajah datar. Ibukota provinsi memang jarang sepi. Seakan aktivitas tiada henti. Langit senja akan mengawali langkah Ria yang akan menapaki kehidupan di kota yang dulunya disebut kota bertuah, tetapi kini telah berganti menjadi julukan kota madani ini. Perjalanan yang hampir mereka tempuh selama tiga jam lebih dari Pelalawan ke Pekanbaru.Tak henti Ria bercerita dengan Bi Laila, Bi Tinah sesekali menimpali. Pembicaraan yang paling berat adalah banyaknya pesan dari kedua Bibinya. Agar Ria harus pandai-pandai menumpang di rumah orang. Harus rajin, apa yang bisa dibantu dikerjakan, jangan pelit tenaga, harus sadar diri. Ria pun mencoba memahami apa yang mereka
Ria mencoba untuk bersikap santai. Karena Ria tak ingin bereaksi berlebihan, takut nantinya akan heboh. Gadis berjilbab petak itu juga tidak mau jika orang lain tahu akan kemampuannya. Mengekori Nisa yang berjalan di depannya, Nisa berhenti di meja paling ujung yang tersandar di dinding kantin. Artinya posisi duduk mereka akan membelakangi pohon ara tersebut. Ria pikir itu lebih baik. Abid mengambil duduk di sebelah Ria. Wajah Ria mendadak berubah ketika mendapati menu pesanan mereka yang telah diantar oleh pegawai kantin tersebut. Dalam pandangan Ria mie goreng yang terhidang di meja. Berupa tumpukkan cacing yang bergerak-gerak. Sungguh menjijikan, Ria refleks menaikkan bahunya.“Jangan dimakan, ayo kita pergi dari sini,” ajak Ria pada Nisa dan Abid dengan suara pelan.Nisa bengong dengan matanya yang membulat serta wajah heran. Dia sudah mengaduk mie, siap untuk menyuapkan ke mulutnya.Abid baru saja membuka kerupuk dan menaburkan pada mie goreng i