Share

Obat Penangkal Sihir

"Teh," sapa seseorang dari belakang saat aku hendak kembali dari masjid. Sore itu hanya aku seorang yang pergi salat berjamaah karena Ranti tengah berhalangan dan Mamah ada urusan di rumah salah satu warga.

Aku menoleh ke belakang, di mana pemuda yang tadi bertamu ke rumah Abah berdiri beberapa meter di depanku.

"Saya?" tunjukku pada diri sendiri. Dia menatapku sekilas dan mengangguk. Setelah itu pandangannya kembali turun ke tanah.

"Ini." Dia memberikan sebuah bingkisan yang entah apa isinya.

"Untuk saya?" tanyaku memastikan.

"Iya! Saya dengar kaki Teteh sakit setelah bermimpi aneh kemarin malam, itu sebabnya saya memberikan ini sebagai obat sekaligus penangkal sihir," serunya seraya menundukkan pandangan.

"Nuhun, Kang." Aku tersenyum dan sedikit mengangguk. Meski mungkin dia tidak akan melihatnya, tetapi tidak jadi masalah. Yang terpenting aku menghargai usahanya yang memberi obat.

"Cara penggunaannya tinggal diseduh dengan air hangat dan bacakan surah tiga qul serta ayat kursi, masing-masing tujuh kali sebelum diminum dan oleskan pada kaki yang sakit," serunya sebelum pamit undur diri.

Sesampai di rumah, aku langsung membuka bingkisan yang diberikan pemuda tadi. "Cie yang dapat bingkisan, dari siapa tuh?" ledek Ranti yang keluar dari kamarnya seraya terkekeh.

"Naon atuh? pira ning ubar," sahutku memutar mata melihat ekspresi jahil Ranti yang tidak ada ubahnya sejak dulu.

(Apaan, orang cuma obat)

"Yang ngasih, siapa, Teh? Kok senyum-senyum sih Ranti lihat tadi," selidiknya dengan mata yang memicing.

"Siapa yang senyum-senyum? Mungkin kamu salah lihat, atau minus kamu bertambah, tuh," elakku.

"Iyakah?" Dia beberapa kali memeriksa kaca matanya untuk memastikan jika minusnya tidak bertambah.

"Pulang nanti minta ganti lensa deh sama Bapak," serunya seraya kembali ke kamar. Syukurlah dia tidak bertanya yang macam-macam.

Kembali kulanjutkan membuka bingkisan tadi. Isinya daun kering mirip daun teh, tetapi bukan daun teh. Sepertinya daun bidara yang dikeringkan. Aku sempat baca di internet kalau daun bidara memang memiliki khasiat untuk penangkal ilmu sihir dan baik juga untuk kesehatan.

Kucoba merebusnya dengan air panas sesuai yang dianjurkan Akang-akang tadi. Setelah jadi, kubacakan surah tiga qul dan ayat kursi dan meminumnya. Rasanya asing di lidah. Namun sebagai ikhtiar untuk kesembuhan, aku pun meminumnya sebagian dan mengulaskan sebagian lainnya ke pergelangan kaki.

"Bismillah! Nyungkeun jalan sareatna, Gusti!" gumamku dalam hati sambil mengusapkan air rebusan itu ke sekitar kaki yang sakit.

(Semoga sembuh, Ya Allah)

***

Selama satu minggu aku rutin meminum air rebusan daun bidara pemberian pemuda itu dan hasilnya alhamdulillah sudah terlihat. Kakiku sudah tidak terasa sakit lagi sekarang. Pak Ahmad yang tidak jadi pulang satu minggu lalu karena kondisiku akhirnya kembali ke Jakarta setelah subuh tadi.

Ranti juga sudah kembali ke pondoknya. Dia berjanji kalau libur nanti akan berkunjung lagi ke sini. Sekarang aku pun mulai ikut mengaji di pondok. Ternyata pelajaran agama itu susah-susah gampang, ya. Apa lagi ilmu Nahwu, aku harus berpikir ekstra karenanya.

Aku yang tertinggal jauh harus belajar lebih giat mulai sekarang. Beruntung Ayu dan Silfi mau membantuku memahami pelajaran dan meminjamkan catatan mereka.

"Gimana ngajinya, Neng?" tanya Abah.

"Lieur, Bah!" sahutku tersenyum kecil sambil kembali mengulas pelajaran kemarin malam.

"Nanti juga paham, jalani saja." Abah beranjak dari tempat duduknya untuk mengajar di kelas ulya, atau kelas santri yang sudah dewasa.

Malam harinya aku kembali mengaji, tetapi kali ini bukan pelajaran Nahwu seperti kemarin, katanya sekarang itu jadwalnya pelajaran Tauhid oleh ustaz Idrus. Setengah jam kami semua menunggu sang ustaz yang tak kunjung mengisi kelas malam ini.

"Tidak biasanya ustaz telat masuk. Kalaupun ada keperluan, biasanya ada santri senior yang menggantikannya," ujar Ayu yang duduk di sampingku.

Tak lama kemudian, seorang pria duduk di bangku tempat pengajar. Aku tidak tahu siapa karena posisinya sedang menunduk membenarkan alat pengeras yang ada di bawah meja. Setelah dia kembali duduk dengan tegak, barulah aku tahu siapa guru pengganti itu.

"Kang Fakhri itu emang ganteng dari segala sudut," celetuk Silfi yang cengengesan sambil memperhatikan pemuda di depan yang mulai menerangkan isi materi. Dia juga memberitahu kalau ustaz Idrus berhalangan hadir karena urusan mendadak.

Jadi nama pria itu Fakhri. Kami semua kembali fokus mendengarkan penjelasan kang Fakhri sambil sesekali menuliskan materi penting di buku masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan itu artinya kelas berakhir.

Aku yang tengah menyalin tulisan Ayu tidak sadar kalau semua santri sudah keluar dari kelas. Tinggal aku seorang diri di sana. Aku pun bergegas keluar dari kelas karena perasaan tak enak yang tiba-tiba muncul.

"Astagfirullah." Aku terkejut saat membuka pintu keluar berbarengan dengan Kang Fakhri yang juga membuka pintu khusus santri putra. Rupanya sejak tadi kami berada dalam satu ruangan yang sama.

"Acan mulih, Teh?" sapanya ramah.

(Belum pulang?)

"Iya, Kang. Keasyikan nulis tadi,” sahutku.

"Ya sudah, mari." Kami berjalan dengan Kang Fakhri di depan dan aku beberapa langkah di belakangnya.

"Kang?" panggilku ragu.

"Terima kasih untuk daun bidaranya. Alhamdulillah kaki saya sudah tidak sakit lagi berkat Akang," ujarku.

Dia pun menghentikan langkahnya dan aku yang berjalan menunduk di belakangnya hampir saja menabrak tubuh jangkung itu. "Tidak perlu berterima kasih, saya hanya perantara saja. Teteh sembuh atas izin Allah," sahutnya merendah.

Kami pun berpisah di sebuah perempatan. Aku menuju rumah Abah dan Fakhri menuju asrama putra yang berada 10 meter dari rumah Abah.

Bulu kudukku tiba-tiba saja berdiri saat melewati kebun yang terletak di samping masjid. Sekelebat bayangan putih tampak bertengger di atas pohon nangka yang ada di sana.

"Awas!" Sebuah suara mengejutkanku yang langsung terduduk karena dorongan seseorang.

Sebuah benda mirip bola yang dilapisi api tampak berputar-putar di atas kepala dan hendak menabrak tubuh ini. Beruntung seseorang mendorongku tadi.

Mendengar ada keributan, Abah dan Mamah langsung berlari menghampiriku yang masih terduduk di tanah. "Aya naon, Ri?" tanya Abah menghampiri Fakhri yang baru selesai membaca ayat ruqyah untuk mengusir benda tadi.

(Ada apa, Ri?)

"Ada yang berniat jahil sama Teteh," jawabnya seraya menatapku sekilas.

"Alhamdulillah Neng, untung teu 'ku nanaon." Mamah langsung membantuku berdiri dan segera membawaku masuk ke rumah.

(Untung tidak kenapa-napa)

Abah dan Fakhri masih berbincang di luar. Entah apa yang mereka bicarakan dengan tampang serius seperti itu.

"Kumaha bu, si Neng teh anger bahaya calik didieu teh. Loba anu nginceurna!" ujar Abah menghela nafas berat sambil menatapku.

(Bagaimana bu, si Neng tetap bahaya tinggal di sini teh. Banyak yang mengincarnya).

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status