Home / Horor / Tilasmat / Obat Penangkal Sihir

Share

Obat Penangkal Sihir

last update Last Updated: 2022-04-18 11:41:12

"Teh," sapa seseorang dari belakang saat aku hendak kembali dari masjid. Sore itu hanya aku seorang yang pergi salat berjamaah karena Ranti tengah berhalangan dan Mamah ada urusan di rumah salah satu warga.

Aku menoleh ke belakang, di mana pemuda yang tadi bertamu ke rumah Abah berdiri beberapa meter di depanku.

"Saya?" tunjukku pada diri sendiri. Dia menatapku sekilas dan mengangguk. Setelah itu pandangannya kembali turun ke tanah.

"Ini." Dia memberikan sebuah bingkisan yang entah apa isinya.

"Untuk saya?" tanyaku memastikan.

"Iya! Saya dengar kaki Teteh sakit setelah bermimpi aneh kemarin malam, itu sebabnya saya memberikan ini sebagai obat sekaligus penangkal sihir," serunya seraya menundukkan pandangan.

"Nuhun, Kang." Aku tersenyum dan sedikit mengangguk. Meski mungkin dia tidak akan melihatnya, tetapi tidak jadi masalah. Yang terpenting aku menghargai usahanya yang memberi obat.

"Cara penggunaannya tinggal diseduh dengan air hangat dan bacakan surah tiga qul serta ayat kursi, masing-masing tujuh kali sebelum diminum dan oleskan pada kaki yang sakit," serunya sebelum pamit undur diri.

Sesampai di rumah, aku langsung membuka bingkisan yang diberikan pemuda tadi. "Cie yang dapat bingkisan, dari siapa tuh?" ledek Ranti yang keluar dari kamarnya seraya terkekeh.

"Naon atuh? pira ning ubar," sahutku memutar mata melihat ekspresi jahil Ranti yang tidak ada ubahnya sejak dulu.

(Apaan, orang cuma obat)

"Yang ngasih, siapa, Teh? Kok senyum-senyum sih Ranti lihat tadi," selidiknya dengan mata yang memicing.

"Siapa yang senyum-senyum? Mungkin kamu salah lihat, atau minus kamu bertambah, tuh," elakku.

"Iyakah?" Dia beberapa kali memeriksa kaca matanya untuk memastikan jika minusnya tidak bertambah.

"Pulang nanti minta ganti lensa deh sama Bapak," serunya seraya kembali ke kamar. Syukurlah dia tidak bertanya yang macam-macam.

Kembali kulanjutkan membuka bingkisan tadi. Isinya daun kering mirip daun teh, tetapi bukan daun teh. Sepertinya daun bidara yang dikeringkan. Aku sempat baca di internet kalau daun bidara memang memiliki khasiat untuk penangkal ilmu sihir dan baik juga untuk kesehatan.

Kucoba merebusnya dengan air panas sesuai yang dianjurkan Akang-akang tadi. Setelah jadi, kubacakan surah tiga qul dan ayat kursi dan meminumnya. Rasanya asing di lidah. Namun sebagai ikhtiar untuk kesembuhan, aku pun meminumnya sebagian dan mengulaskan sebagian lainnya ke pergelangan kaki.

"Bismillah! Nyungkeun jalan sareatna, Gusti!" gumamku dalam hati sambil mengusapkan air rebusan itu ke sekitar kaki yang sakit.

(Semoga sembuh, Ya Allah)

***

Selama satu minggu aku rutin meminum air rebusan daun bidara pemberian pemuda itu dan hasilnya alhamdulillah sudah terlihat. Kakiku sudah tidak terasa sakit lagi sekarang. Pak Ahmad yang tidak jadi pulang satu minggu lalu karena kondisiku akhirnya kembali ke Jakarta setelah subuh tadi.

Ranti juga sudah kembali ke pondoknya. Dia berjanji kalau libur nanti akan berkunjung lagi ke sini. Sekarang aku pun mulai ikut mengaji di pondok. Ternyata pelajaran agama itu susah-susah gampang, ya. Apa lagi ilmu Nahwu, aku harus berpikir ekstra karenanya.

Aku yang tertinggal jauh harus belajar lebih giat mulai sekarang. Beruntung Ayu dan Silfi mau membantuku memahami pelajaran dan meminjamkan catatan mereka.

"Gimana ngajinya, Neng?" tanya Abah.

"Lieur, Bah!" sahutku tersenyum kecil sambil kembali mengulas pelajaran kemarin malam.

"Nanti juga paham, jalani saja." Abah beranjak dari tempat duduknya untuk mengajar di kelas ulya, atau kelas santri yang sudah dewasa.

Malam harinya aku kembali mengaji, tetapi kali ini bukan pelajaran Nahwu seperti kemarin, katanya sekarang itu jadwalnya pelajaran Tauhid oleh ustaz Idrus. Setengah jam kami semua menunggu sang ustaz yang tak kunjung mengisi kelas malam ini.

"Tidak biasanya ustaz telat masuk. Kalaupun ada keperluan, biasanya ada santri senior yang menggantikannya," ujar Ayu yang duduk di sampingku.

Tak lama kemudian, seorang pria duduk di bangku tempat pengajar. Aku tidak tahu siapa karena posisinya sedang menunduk membenarkan alat pengeras yang ada di bawah meja. Setelah dia kembali duduk dengan tegak, barulah aku tahu siapa guru pengganti itu.

"Kang Fakhri itu emang ganteng dari segala sudut," celetuk Silfi yang cengengesan sambil memperhatikan pemuda di depan yang mulai menerangkan isi materi. Dia juga memberitahu kalau ustaz Idrus berhalangan hadir karena urusan mendadak.

Jadi nama pria itu Fakhri. Kami semua kembali fokus mendengarkan penjelasan kang Fakhri sambil sesekali menuliskan materi penting di buku masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan itu artinya kelas berakhir.

Aku yang tengah menyalin tulisan Ayu tidak sadar kalau semua santri sudah keluar dari kelas. Tinggal aku seorang diri di sana. Aku pun bergegas keluar dari kelas karena perasaan tak enak yang tiba-tiba muncul.

"Astagfirullah." Aku terkejut saat membuka pintu keluar berbarengan dengan Kang Fakhri yang juga membuka pintu khusus santri putra. Rupanya sejak tadi kami berada dalam satu ruangan yang sama.

"Acan mulih, Teh?" sapanya ramah.

(Belum pulang?)

"Iya, Kang. Keasyikan nulis tadi,” sahutku.

"Ya sudah, mari." Kami berjalan dengan Kang Fakhri di depan dan aku beberapa langkah di belakangnya.

"Kang?" panggilku ragu.

"Terima kasih untuk daun bidaranya. Alhamdulillah kaki saya sudah tidak sakit lagi berkat Akang," ujarku.

Dia pun menghentikan langkahnya dan aku yang berjalan menunduk di belakangnya hampir saja menabrak tubuh jangkung itu. "Tidak perlu berterima kasih, saya hanya perantara saja. Teteh sembuh atas izin Allah," sahutnya merendah.

Kami pun berpisah di sebuah perempatan. Aku menuju rumah Abah dan Fakhri menuju asrama putra yang berada 10 meter dari rumah Abah.

Bulu kudukku tiba-tiba saja berdiri saat melewati kebun yang terletak di samping masjid. Sekelebat bayangan putih tampak bertengger di atas pohon nangka yang ada di sana.

"Awas!" Sebuah suara mengejutkanku yang langsung terduduk karena dorongan seseorang.

Sebuah benda mirip bola yang dilapisi api tampak berputar-putar di atas kepala dan hendak menabrak tubuh ini. Beruntung seseorang mendorongku tadi.

Mendengar ada keributan, Abah dan Mamah langsung berlari menghampiriku yang masih terduduk di tanah. "Aya naon, Ri?" tanya Abah menghampiri Fakhri yang baru selesai membaca ayat ruqyah untuk mengusir benda tadi.

(Ada apa, Ri?)

"Ada yang berniat jahil sama Teteh," jawabnya seraya menatapku sekilas.

"Alhamdulillah Neng, untung teu 'ku nanaon." Mamah langsung membantuku berdiri dan segera membawaku masuk ke rumah.

(Untung tidak kenapa-napa)

Abah dan Fakhri masih berbincang di luar. Entah apa yang mereka bicarakan dengan tampang serius seperti itu.

"Kumaha bu, si Neng teh anger bahaya calik didieu teh. Loba anu nginceurna!" ujar Abah menghela nafas berat sambil menatapku.

(Bagaimana bu, si Neng tetap bahaya tinggal di sini teh. Banyak yang mengincarnya).

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tilasmat   105. Akhir Kisah

    Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa

  • Tilasmat   104. Fakta Menyakitkan

    Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng

  • Tilasmat   103. Firasat Buruk

    “Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa

  • Tilasmat   102. Rencana Jahat Pak Muh

    “Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru

  • Tilasmat   101. Pertolongan

    “Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang

  • Tilasmat   100. Keistimewaan Darah Anak Ketujuh

    Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status