Share

Keturunan Siliwangi

Pikiranku masih dipenuhi kejadian beberapa hari yang lalu saat sebuah benda mirip bola api hendak menyerangku. Siapa yang dimaksud Abah orang yang mengincarku itu dan apa alasannya dia mengincarku. Apa mereka saingan bisnis ayah? Tapi tidak ada yang tahu aku pergi ke Garut, bagaimana bisa mereka mengirim benda seperti itu ke sini.

Ayu berjalan ke arahku. "Sri, bantu ngajar di kelas diniyah, yuk," ajaknya, menghampiriku yang duduk melamun di anak tangga kelas Sanawi.

"Iya, sebentar." Aku segera mengekor di belakang Ayu menuju kelas diniyah. Anak-anak usia SD itu tampak bingung menatapku yang mungkin terlihat asing di mata mereka.

"Kenalkeun, ieu namina Teh Sri, cucuna Ceng Ilham." Ayu memperkenalkanku di depan anak-anak didiknya.

(Kenalkan, namanya kak Sri, cucu Ustaz Ilham)

Anak-anak itu tersenyum ramah dan menyalamiku satu persatu. Ternyata asyik juga menemani Ayu mengajar di sana. Anak-anaknya pada pintar, meski ada sebagian yang belum lancar tapi mereka berusaha dengan giat.

Pelajaran dasar yang diajarkan Ayu pada anak-anak rata-rata sudah aku pelajari saat di Jakarta dulu. Jadi, aku pun tidak merasa kaku. 

Selesai mengajar di kelas diniyah, kami pun lanjut menuju kelas di lantai dua untuk mengikuti pelajaran kang Fakhri. Suara gaduh dari lantai atas membuat kami bergegas naik dan melihat apa yang terjadi.

Salah satu santri putri tampak mengamuk dan dipegang oleh beberapa teman kami. "Sauran Euceu," teriak seorang santri seraya berlari keluar dari kelas.

(Panggil Euceu)

Aku dan Ayu langsung masuk dan membantu santri lain yang memegangi Risma yang kerasukan itu. Tenaganya begitu besar hingga kami berenam pun kesusahan memeganginya.

"Turunan Siliwangi!" Suaranya terdengar menggeram menakutkan.

(Keturunan Siliwangi)

Tak lama berselang, Mamah datang dan langsung membacakan ayat ruqyah sambil memegangi kepala santriah itu. Cukup lama kami berusaha menahan Risma yang terus memberontak, hingga akhirnya kami berenam terpental ke belakang.

"Astagfirullah!" pekik kami berbarengan saat mata Risma berubah hitam sepenuhnya. Urat-urat hitam memenuhi wajah putihnya yang sekarang berubah memerah. Jin yang merasukinya sepertinya dari kalangan atas.

Tubuh Risma menempel ke dinding seperti cicak. Tatapannya tajam mengarah ke Mamah yang terus melafalkan ayat ruqyah yang dibantu dua orang santri putra yang sudah senior.  Aku merinding melihatnya. Merasa dejavu. Entah di mana aku melihat adegan seperti ini. Mungkin di dalam film yang pernah kutonton.

Jin yang merasuki Risma bergerak dan mulai menyerang para santri yang ada di ruangan itu. Beruntung kami semua bisa menghindarinya.

"Buyut Siliwangi." Suaranya kembali terdengar mengerikan dan mendekat ke arahku.

Tangannya terjulur hendak mencekikku. Namun, entah kekuatan dari mana aku berhasil menangkis tangan itu dan memukul tepat di dadanya hingga dia terhuyung ke belakang. Kami kembali terlibat perkelahian kecil saat Jin itu kembali hendak menyerangku.

Aku sendiri merasa bingung dengan yang kulakukan. Aku merasa tidak pernah berlatih ilmu bela diri, tetapi aku bisa menangkis setiap serangan yang diarahkan Jin itu padaku.

Mulutku tiba-tiba melafalkan sebuah doa dengan sendirinya. Tanganku mengusap wajah Risma ke arah atas, dan seketika gadis itu terjatuh tak sadarkan diri. Semua mata tertuju padaku yang masih tertegun dengan semua kejadian tadi.

Tanpa mengatakan apa pun, aku segera meninggalkan kelas menuju taman yang ada di bawah. Masih bingung dengan apa yang terjadi tadi, akhirnya kuputuskan untuk masuk ke masjid dan melaksanakan salat sunah. Setelah salat, barulah hatiku merasa tenang kembali.

"Saya baru tahu kalau Teteh bisa meruqyah." Sebuah suara membuatku berjengit kaget.

Sebuah siluet seseorang tampak duduk membelakangiku dibalik hijab yang menghalangi antara tempat wanita dan pria. Dia adalah Fakhri, yang entah sejak kapan ada di dalam masjid.

"Saya tidak paham apa yang kamu maksud. Saya tidak merasa meruqyah Risma. Jadi, jangan sembarangan berasumsi," tegasku seraya merapikan mukena yang tadi aku gunakan. Entah kenapa aku merasa tidak suka dengan kata-katanya barusan.

Aku saja tidak tahu apa yang kulakukan tadi, tapi dia bertingkah seolah aku melakukan sesuatu yang besar dan dia memujinya.

Abah dan Mamah tampak khawatir menungguku di depan rumah. Begitu aku sampai dan mengucap salam, keduanya beranjak mendekat dan menarikku untuk segera masuk ke dalam rumah.

"Neng gak pa-pa, kan? Gak ada yang terluka?" tanya Mamah khawatir.

"Tidak, Mah, Bah," seruku tersenyum untuk menenangkan keduanya.

"Tapi Bah, Neng gak paham sama ucapan Jin tadi. Kenapa dia bilang Buyut Siliwangi? Apa maksudnya?" tanyaku dengan tingkat penasaran di atas rata-rata.

Abah mengelus puncak kepalaku dengan tatapan teduhnya. "Tidur, sudah malam," perintahnya.

Aku tidak bisa berharap lebih dan memilih beranjak ke arah kamar. Untungnya aku masih memiliki wudhu hingga tak perlu mengambil wudhu lagi sebelum tidur. Sebelum tidur, seperti kebiasaanku selama di Jakarta aku membacakan surah tiga qul dan ayat kursi dan meniupkannya ke telapak tangan lalu mengusapkannya ke seluruh tubuhku untuk benteng saat aku tidur.

Sejak aku sering bermimpi aneh beberapa bulan lalu, kakek memberiku amalan yang harus aku baca setiap akan pergi tidur. Katanya sebagai pelindung dari sihir-sihir orang yang syirik dan dengki. Dan alhamdulillah setelah itu mimpi itu tidak pernah muncul lagi, kecuali saat pertama kali aku datang ke sini waktu itu hingga berakibat kakiku sakit. 

Katanya sih itu juga merupakan bentuk sihir yang dikirim orang yang tak suka dengan keluargaku lewat mimpi, tetapi beruntung karena Allah masih memberiku kesehatan dan keselamatan.

"Buyut Siliwangi? Apa maksudnya adalah aku? Itu tidak masuk akal." Kucoba memejamkan mata, tetapi entah kenapa tidak bisa. Hingga jam menunjukkan pukul tiga malam, dan aku memilih untuk keluar dan mengambil air wudhu.

Semoga setelah melaksanakan salat, hatiku kembali tenang. Batinku bergumam. Lagi-agi aku dibuat kesal dengan kemunculan bayangan hitam yang bertengger di atas pohon besar di seberang rumah Abah. Apa itu ilmu hitam yang dikirim seseorang untuk menggangguku? Apa mau mereka sebenarnya?

Kuhiraukan makhluk itu dan masuk kembali ke dalam rumah untuk menunaikan salat malam. Tak terasa air mataku luruh saat memanjatkan doa dan harapan pada sang pemilik kehidupan. Tanpa terasa aku pun tertidur dengan posisi bersandar di samping tempat tidur.

Entah mimpi atau apa, tetapi aku melihat seorang kakek berpakaian putih tersenyum ke arahku. Yang menjadi perhatianku bukan dia, tetapi harimau putih yang mengelilinginya. Nampaknya mereka terbiasa dengan kehadiran sang kakek. Terbukti harimau-harimau itu tidak terlihat buas dan terkesan nyaman berada di sekitar kakek itu.

Kumandang adzan subuh membangunkanku dari mimpi aneh itu. Tak menunggu waktu lama aku pun segera beranjak mengambil wudhu dan pergi ke masjid. Para santri sibuk membicarakan kejadian kemarin malam saat aku menyelamatkan Risma.

"Berhenti berbicara dan cepat rapatkan shaf," tegurku dengan suara yang tegas.

"Baik, Teh." Mereka langsung diam dan segera berdiri untuk melaksanakan shalat subuh berjamah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status