Author povadzan subuh berkumandang dipagi yang damai, Ahmad pergi ke masjid dengan papa mertuanya. Kedua Istri Ahmad, Zia dan Cassandra tengah dalam suasana hati yang baik. Zia sedang merapikan kamar selepas melaksakan ibadah subuh dikamarnya, sedangkan Cassandra sedang bercengkrama dengan bi Ijah di dapur dalam rangka menyajikan sarapan pagi ini.tepat pukul delapan pagi semua orang berkumpul di meja makan untuk sarapan."Zia, namamu Zia kan nak?" tanya papa mertua Ahmad pada Zia setelah mengelap mulutnya. Ia menyudahi makan paginya yang terasa begitu nikmat."I..iya Pak." jawab Zia tergagap karena tak menyangka ia diseret dalam sebuah obrolan canggung antara dia dan keluarga madunya."Bagaimana kondisi kehamilanmu?" Tanya papa Cassandra lagi."Alhamdulillah Pak baik, bapak sendiri bagaimana kabarnya? maaf tiba-tiba harus bertemu dalam kondisi yang kurang nyaman." Ujar Zia kikuk."Apa yang kurang nyaman? apa karena kamu adalah istri kedua Ahmad?" Papa Cassandra kembali melayangkan p
"Mungkin kak Sandra sedang ditahap lelah jiwa dan raga. Aku tidak ingin bersu'udzon, tapi apa kak Sandra sebenarnya tidak ikhlas atas kehadiranku di tengah-tengah kalian?" Tanya Zia pada Ahmad.Ahmad cukup terkejut dengan pertanyaan Zia yang memang pantas ditanyakan. "Entahlah Zi, mungkin dia cemburu dengan kedekatan kita, apalagi kondisinya dia baru saja melahirkan, tapi aku bukan melupakan Cassandra. Bukankah aku tidak pernah mencurangi jatah malam kalian?" Ahmad menjawab dengan pertanyaan balik.Zia menghela nafas, berusaha berpikir jernih dan mencari jalan keluar agar situasinya membaik. Ia mengajak Ahmad naik keatas untuk mendiskusikan beberapa hal tentang pernikahan mereka. Sedangkan dikamar Cassandra, papa Cassandra masih memeluk anaknya yang rapuh. Ibu Cassandra mengelus dan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan suara merdu berharap anak semata wayangnya bisa tenang dan kembali ceria seperti biasanya. Papa Cassandra tak henti membisiki Cassandra agar mengucap Istighfar.
Selepas sholat di masjid, Ahmad berniat berjalan-jalan pagi ke arah taman dimana sering ada penjual bubur ayam dan aneka jajanan Ahmad ingin membeli bubur untuk sarapan orang rumah sekaligus mencari keringat agar segera datang rasa kantuk."Pa, Ahmad mau cari bubur dulu. Buat sarapan orang serumah. Papa balik aja duluan." Ijin Ahmad pada mertuanya."Ya sudah Papa duluan ya." Jawab papa Cassandra.Sembari berjalan Ahmad mengambil jalan memutar mengitari area tepian perumahan di bagian belakang. Pemandangan danau yang indah dan pepohonan yang rindang menyejukkan mata membuat bibir tak hentinya mengucap masyaAllah. Ahmad terus berjalan hingga keluar gerbang perumahan bagian belakang berbelok kearah perumahan cluster yang masih satu pengembang dengan perumahan tempat rumah Cassandra dibangun. Bentuk rumah-rumah di cluster itu lebih kecil, berlantai satu dengan halaman yang tidak terlalu besar namun tertata dengan baik sehingga nampak cantik dan nyaman dipandang mata. Untuk port mobil kira
"Sayang, jangan sia-siakan kesempatan ini karena kali ini aku sangat bersemangat untuk menyambutmu." Ucap Zia dengan nada menggoda membuat Ahmad semakin tak sabar untuk segera memulai serangan cintanya."Jangan salahkan aku kalau aku hilang kendali, kamu yang memancingku Zia." Racau Ahmad dengan mata sayu.Mereka berdua pun memadu kasih dalam indahnya ibadah. "Kak sudah mau magrib, ayo bangun kita belum sholat ashar." Ucap Zia sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk selepas mandi junub."Iya Sayang." Ahmad segera beranjak dan mandi dengan cepat.Ahmad mengimami Zia untuk shalat ashar kemudian disambung dengan shalat magrib saat adzan selesai berkumandang tak lama setelah mereka menyelesaikan sholat ashar."Tumben kak Ahmad nggak ke masjid? Bukannya wajib ya Kak untuk laki-laki sholat berjamaah di masjid?" Tanya Zia sambil melipat mukenanya."Diluar sedang hujan gerimis, Sunnahnya jika hujan turun kita melaksanakan shalat di rumah saja, dan tidak perlu ke masjid." Jelas Ahmad pada
Zia povAzizah satu kata yang melekat pada diriku, ia adalah namaku. Satu-satunya hadiah terindah dari almarhumah ibuku. Beberapa hari setelah melahirkanku ia meninggal dunia karena komplikasi pasca melahirkan. Setelah kepergian ibuku, Ayah dan kakak-kakakku lah yang memberiku kasih sayang dan kehangatan sebuah keluarga. Aku tak pernah merasa kekurangan sedikitpun selama ini. Aku tumbuh menjadi seorang gadis periang karena begitulah karakter yang dibangun oleh keempat kakakku.Dibesarkan oleh seorang ayah pekerja keras membuatku menjadi seorang gadis mandiri dan cukup cakap dalam mengatasi masalah. Semua sifat dan kepribadianku tak lain adalah didikan ayahku yang keras dan tegas namun juga penyayang. Ayah seorang pengusaha kecil dibidang travel umroh. Ia membangun usahanya dari bantuan modal seorang temannya. Ayahku sempat mengalami kolaps ketika itu aku baru saja lulus sekolah menengah atas. Aku terancam tidak kuliah, padahal aku sangat ingin menjadi seorang bidan. Pekerjaan yang ku
Malam menjelang, kini tinggallah aku dan suamiku di ruang rawat inap ini. Masih dalam suasana yang sulit digambarkan, antara sedih, senang, dan khawatir. Namun satu hal pasti yang aku berusaha yakini, bahwa segala sesuatu yang terjadi padaku kini ialah kehendak Allah. Qodarullahu wa masya'afala, maka aku hanya berusaha menerima apapun yang akan terjadi padaku maupun pada bayiku. Meskipun kondisi bayiku tak banyak perkembangan namun aku masih sangat berharap ia bisa bertahan dan hidup menjadi anak yang shaleh. Tak banyak harapan yang aku inginkan untuk bayi kecilku itu. Cukup hidup dengan keimanan yang teguh, sehingga bisa menentukan langkah yang benar dalam hidup ini. Tahu batas halal dan haram sehingga tidak mengambil jalan yang salah bahkan menerjang yang haram demi mengejar sesuatu yang melekat sifat dunia padanya."Sayang, tidurlah. Jangan terlalu lelah nanti asi kamu sulit keluar, katamu ingin membuat stok asi untuk bayi kita." Ujar kak Ahmad mengelus kepalaku yg terbungkus bergo
Ahmad povAku melangkah lebar menjauh dari ruang inap Zia. Setengah berlari kulangkahkan kaki keluar rumah sakit, berjalan terus menjauh sambil terus beristighfar dalam hati. Mungkin setengah jam sudah aku terus berjalan tak tau arah hingga sampai di alun-alun kota. Aku melamban menyadari telah cukup jauh berjalan, aku putuskan masuk ke masjid di sebrang alun-alun. Menapaki tangga sambil mengamati sekitar.Nampak keluarga kecil bahagia, sang ibu memegang sekantung jajanan yang disuapkan bergantian kemulut anak-anaknya. Sedangkan si bapak duduk sambil berceloteh menceritakan sesuatu yang diperhatikan sangat oleh istri dan kedua anaknya. Bahagia, diiringi tawa disela cerita si bapak. Pemandangan yang syahdu dikala hati ini tengah remuk redam mendapati berita yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.Kotolehkan pandanganku kearah lain, nampak gadis-gadis muda bercengkrama sesamanya. Disudut lain, sepasang pasangan tua yang tengah saling menopang menaiki tangga bersama dengan senyum mengemb
Author POVSemenjak kepergian buah hatinya, Zia memutuskan untuk pulang kerumah almarhum orang tuanya. Ia menempati kamar lamanya, dan tinggal bersama kakaknya, Bilqis. Seluruh barang di apartemen juga diangkut kerumah itu. Hari demi hari, bulan demi bulan Zia mulai bangkit dari keterpurukannya dan berusaha menata hidupnya saya hampir berantakan semenjak kehilangan bayi laki-lakinya itu. Bilqis terus menguatkan sang adik agar bisa kembali menghadapi hidupnya dan mengikhlaskan kepergian Hamzah. Meski berat namun usaha dan do'a Bilqis membuahkan hasil."Zi, yuk sarapan terus siap-siap karena kita sekeluarga mau ngumpul disini buat diskusi. Kita harus belanja buat bikin makanan dan cemilan yang banyak. Soalnya pasukan kita kan banyak hehehe." Ajak Bilqis pada Zia."Iya Kak." Jawab Zia singkat dengan senyuman merekah. Tentu Zia sangat senang menyambut kakak-kakak yang sangat menyayanginya dan para keponakannya yang lucu-lucu. Zia dan Bilqis cukup sibuk hari itu membuat beraneka ragam kuda