ログインLembayung senja mulai merambat masuk melalui jendela kaca patri di Kediaman Bintang Utara, membiaskan warna jingga yang hangat sekaligus pilu di atas lantai marmer.Eleanora de Villon masih terpaku di kursi jatinya, jemarinya yang ramping gemetar halus saat ia meletakkan kembali pulpen bulu angsa yang tadi diambil paksa oleh kehangatan tangan Zepyr.Ruangan itu kini sunyi, namun aroma kayu cendana milik sang Putra Mahkota seolah tertinggal di udara, mencekik setiap sel saraf Eleanora dengan sisa-sisa ketegangan yang belum tuntas.Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan debar jantungnya yang masih memukul dinding dada dengan ritme yang berantakan. Setiap detik yang ia habiskan bersama Zepyr di kehidupan kali ini terasa seperti berjalan di atas hamparan duri yang dibalut sutra.Indah, memabukkan, namun penuh dengan ancaman luka yang bisa menganga kapan saja.Malam di Kediaman Bintang Utara tidak pernah benar-benar sunyi sejak Zepyr menetapkan langkahnya di sana. Udara dingin yang me
Matahari merayap naik, menyentuh tepian meja jati yang dipenuhi tumpukan dokumen perkamen. Eleanora de Villon masih terpaku di kursinya, jemarinya yang ramping mencengkeram pulpen bulu angsa hingga ujungnya sedikit melengkung. Di depannya, Zepyr tidak lagi berpura-pura membaca. Pria itu telah meletakkan bukunya, membiarkan punggungnya bersandar pada sandaran kursi yang berat, sementara matanya yang tajam tidak pernah lepas dari sosok Eleanora.Keheningan di ruangan itu begitu tebal, hingga suara detak jam di dinding terdengar seperti hantaman palu. Eleanora bisa merasakan tatapan itu—sebuah tatapan yang tidak hanya melihat, tapi seolah menguliti setiap lapisan pertahanannya. Ia tahu Zepyr sedang memperhatikannya, menghitung setiap helaan napasnya, dan itu membuatnya merasa sesak."Kau terlalu tegang, Eleanora," suara Zepyr memecah kesunyian, rendah dan bergetar, mengirimkan gelombang asing ke tulang belakang Eleanora.Eleanora tidak mengangkat kepalanya. Ia tetap menunduk, memfokuskan
Eleanora de Villon menarik napas pendek, mencoba mengisi paru-parunya dengan udara yang tidak terkontaminasi oleh aroma kayu cendana milik Zepyr. Jantungnya masih memukul dinding dada dengan ritme yang berantakan—sebuah pemberontakan organ tubuh yang tidak bisa ia kendalikan. Sentuhan bibir Zepyr di pelipisnya tadi bukan sekadar kontak fisik; itu adalah sebuah segel yang membakar harga dirinya.Ia memaksakan jemarinya yang ramping untuk kembali menggenggam pulpen bulu angsa. Ujung logam pulpen itu mencium permukaan kertas perkamen dengan suara goresan yang kaku. Eleanora sedang menuliskan angka-angka alokasi batu bara untuk wilayah Barat, namun matanya terus-menerus melirik ke arah Zepyr yang kini kembali duduk di singgasana sementaranya di sudut ruangan.Zepyr tidak memandangnya. Pria itu tampak sibuk dengan buku tebal di tangannya, namun Eleanora bisa melihat bagaimana rahang Zepyr mengatup begitu rapat hingga otot-otot di sekitar wajahnya menegang. Zepyr seolah sedang berperang den
Pukul setengah dua belas siang. Matahari kini berada di titik tertinggi, sinarnya yang hangat membuat ruangan kerja itu terasa lebih nyaman daripada seharusnya. Eleanora de Villon sudah selesai minum teh, ia kembali duduk di mejanya. Zepyr masih tersembunyi di balik bukunya, membaca dengan keheningan seorang pemburu yang mengintai.Eleanora merasakan sudah cukup. Rasa malu yang menyenangkan itu mulai berubah menjadi rasa bersalah dan ketakutan akan kembali terlibat secara emosional. Bisikan trauma dari masa lalu terlalu kuat.Ini harus berakhir. Dia harus kembali ke Lyceum. Ia menarik napas dalam, memegang pulpennya erat-erat, seolah itu adalah satu-satunya jangkar logika yang tersisa."Yang Mulia, saya telah memikirkan hal ini dengan cermat," ujar Eleanora, suaranya kini kembali tegas, suara seorang Duchess yang memegang kendali. "Saya menghargai perhatian Anda, tetapi situasi ini harus diakhiri."Zepyr tidak bereaksi. Ia tidak menggerakkan kepalanya. Ia hanya menarik napas melalui h
Matahari terus bergerak, sangat lambat, seolah waktu sendiri telah memutuskan untuk berpihak pada momen ini. Cahaya sore di taman berubah warna menjadi jingga tua, membuat mawar itu terlihat seperti darah yang mengering.Eleanora merasakan ketenangan yang aneh menyelinap ke dalam hatinya. Mengapa begitu mudah bersamanya? Ia tidak perlu mempertahankan tembok sekuat saat ia berhadapan dengan bangsawan lain. Zepyr hanya duduk di sana, kehadirannya adalah sebuah beban dan sekaligus sebuah perlindungan.Eleanora mengangkat cangkir tehnya lagi. Ia menyesapnya. Aku tidak perlu berjuang melawan keheningan ini, batinnya. Ia merasakan sebuah kenyamanan yang tidak diundang, sebuah kenyamanan yang datang dari kehadiran Zepyr yang tidak menuntut, tetapi yang keberadaannya sangat dirasakan.Setelah sebuah keheningan yang terasa seperti keabadian, yang hanya dipecah oleh desir angin sore yang membawa aroma tanah basah, Zepyr kembali berbicara."Besok, aku akan membawa pekerjaan ke ruanganmu lagi," u
Zepyr tersenyum lembut, tiba-tiba, dan tanpa peringatan. Senyum yang lembut namun penuh kemenangan terselubung. Ia mengabaikan protes Eleanora yang tersisa."Aku tahu," ujar Zepyr. Nada suaranya kini kembali ke kekakuan yang ia gunakan untuk menyembunyikan kekacauan emosionalnya. Ia beranjak dari duduknya, ia mengambil cangkir teh Eleanora yang sudah dingin, ia menggesernya ke samping.Tiba-tiba, ia berbalik ke arah Eleanora, gerakannya cepat seperti kilat. Ia mengulurkan tangannya ke belakang kursi Eleanora. Eleanora merasakan sentuhan dingin dari cincin kekaisaran yang dipakai Zepyr menyentuh bagian tengkuknya, ringan, hanya sepersekian detik. Bukan sebuah sentuhan bermakna, tetapi cukup untuk membuat Eleanora terkesiap."Minumlah. Aku ingin melihatmu rileks sekarang," perintah Zepyr, ia menarik tangannya dan kembali ke kursinya. Suaranya kini kembali dingin, seolah kejadian sentuhan itu tidak pernah terjadi.Eleanora menelan ludah. Kenapa dia selalu begitu mendadak? batinnya. Jantu







