Beberapa saat telah berlalu, kini Cyra serta suaminya sudah berada di dalam kamar. Selepas ijab kabul, mereka tidak mengadakan resepsi. Semua sudah di atur sedemikian rupa oleh kedua orang tua Cyra, mereka enggan mengeluarkan uang lebih banyak untuk biaya pernikahan putri sulungnya.
Cyra sedang sibuk melepas satu persatu kancing di kebaya miliknya, hingga kesibukan gadis itu terhenti saat ia mendengar suara panggilan dari Nevalion. "Cyra." Suara berat mendayu di telinga gadis itu. Cyra menoleh, "Ada apa, Mas?" "Kamu tahu, kan ini hanya pernikahan atas dasar balas budi?" cetus Nevalion. "Ya, aku tahu. Memangnya kenapa?" Cyra bertanya seperti itu karena ia memang tak paham maksud Nevalion, pemuda itu tidak secara langsung mengutarakan keinginannya. "Kamu jangan mengharapkan apa pun dariku, apa lagi menginginkan cinta di dalam pernikahan kita. Hal itu tidak mungkin terjadi," Nevalion menghela nafas berat, ia kembali melanjutkan perkataannya. "Satu lagi, jangan mengasihani ku yang saat ini tidak bisa berjalan. Aku tidak butuh belas kasih darimu!" imbuh Nevalion. Cyra mengangguk patuh, "Baiklah, aku akan mengingatnya. Terima kasih sudah memberitahukan hal ini padaku, Mas." Nevalion tercengang mendengar jawaban santai, dari gadis yang baru saja menyandang status menjadi istrinya. Entah mengapa Nevalion tidak merasakan aura permusuhan dari Cyra, nada bicara dan tatapan gadis itu nampak biasa-biasa saja. Ia terlalu fokus pada pemikirannya sendiri, hingga Cyra menyentuh lengan Nevalion dan membuat pemuda itu terkejut. "Astaga." Ucap Nevalion sembari mengelus dadanya. Cyra merasa tak enak, ia menggaruk pipinya yang tak gatal. "Maaf, aku membuatmu terkejut, Mas. Tapi aku ingin minta tolong lepaskan ikatan di bagian belakang korsetku." Pinta Cyra kikuk. "Berbalik lah, aku akan membantumu." Sahut pemuda itu. Cyra menurut, ia berbalik dan membiarkan Nevalion melepas tali korset di punggungnya. Cyra merasakan tindakan Nevalion cukup kasar, seolah ia sedang melepas tali pada benda keras. Setelah semua talinya lepas, Cyra mengucapkan terima kasih. Ia memegang bagian depan korsetnya dan berlalu menuju kamar mandi, tubuhnya sangat tidak nyaman setelah berkeringat seharian. Kepergian Cyra di perhatikan oleh sang suami tanpa gadis itu sadari, terbesit di benak Nevalion sebuah pertanyaan mengapa gadis itu tidak menunjukan rasa jengkel atau pun sedih atas pernikahan paksa ini. Seolah gadis itu sudah pasrah, ia heran meski kondisinya lumpuh. Tapi Cyra tidak memperlihatkan jarak di antara mereka berdua, ia tak pernah menduga bahwa Cyra adalah pengganti Nera. Gadis yang bulan lalu di nyatakan akan menikah dengannya. "Mungkinkah, dia mencoba menyembunyikan perasaan tidak sukanya dariku?" gumam Nevalion curiga. Sementara itu di dalam kamar mandi, Cyra baru saja membasuh wajahnya. Make up yang tadi bertengger di wajah gadis itu sudah hilang, Cyra menatap pantulan dirinya di cermin. "Sekarang semua baru di mulai, apa aku bisa berperan sebagai istri yang baik?" ujarnya pada diri sendiri. Tetesan air keran masih membasahi wajah gadis tersebut, sesaat Cyra termenung ia mengingat kembali rangkaian situasi yang membuatnya berada di posisi sekarang. "Lucu, aku sempat berharap papah dan mamah akan menggandengku menuju pelaminan haha. Ternyata itu hanya impian kosong, harusnya aku tidak perlu merasa sedih seperti sekarang, kan?" Ia menyeka kedua matanya yang basah, Cyra mendongak ke atas, ia menarik nafas panjang lalu kembali membasuh wajahnya. Setelah itu ia bergegas mandi, sebab malam semakin larut. Dan besok ia harus pindah ke rumah sang suami, rumah yang akan ia tinggali selama menjadi istri dari Nevalion Azegara. Beberapa saat kemudian, Cyra keluar dari kamar mandi. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan piyama berwarna biru. Rambut hitam gadis itu masih terlilit handuk. "Mas, kamu mau mandi sekarang?" tanya Cyra sopan. Nevalion mengangguk, ia melepas kemeja yang sejak tadi melekat di tubuhnya. Sontak pemuda itu tercengang ketika mendapati sang istri tengah menatap lekat, pada tubuhnya. "Kenapa kamu menatapku sampai seperti itu, Ra?" "Ah, maaf kalo kamu tidak nyaman. Soalnya aku baru pertama kali melihat otot di perutmu. Ternyata jauh berbeda dengan yang aku lihat di vidio tok tok." Sahut Cyra polos. Nevalion menggeleng pelan, "Kamu mesum juga rupanya." "Bukan mesum, hanya saja sayang kalau aku melewatkan kesempatan seperti ini, kan." Jawab gadis itu pede. Jawaban Cyra, membuat pemuda itu tersenyum simpul. Ia mendorong kursi roda menuju pintu kamar mandi, saat ia hendak masuk ia kesulitan mengangkat kursi rodanya. Melihat hal itu, Cyra segera membantunya. Ia mendorong kursi roda tersebut hingga masuk ke dalam kamar mandi itu. "Mau aku bantu mandi sekalian, Mas?" tawar Cyra. Sontak Nevalion langsung menggeleng, "Aku bisa sendiri, tapi tolong ambilkan aku kursi." "Baiklah, jika butuh sesuatu yang lain panggil saja. Aku ada di luar." Ujar Cyra, ia membawakan kursi plastik lalu membantu Nevalion duduk di sana. Setelahnya ia bergegas pergi tak lupa menutup pintu. "Bisa-bisanya dia menawarkan hal seperti itu, dia sangat tidak waspada." Gumam Nevalion tak habis pikir.Sekembalinya Cyra ke meja kerjanya, dia langsung di cecar pertanyaan oleh rekan kerjanya yang duduk di meja sebelahnya. Dari ekspresi wajah wanita itu, terlihat jelas bahwa Livia sangat penasaran apa yang terjadi di antara Cyra dan juga atasan mereka yang belakangan ini sering sekali merepotkan Cyra. "Ra, apa Pak Raizan menggodamu kali ini?" Tanya Livia. Cyra langsung menggeleng. "Tidak, dia hanya menyuruhku untuk membantunya memeriksa pekerjaan.""Apa?" Livia menggeser kursinya sedikit agar lebih dekat ke arah Cyra. "Kok bisa? Kamu bukan asistennya loh, kenapa Pak Raizan justru memintamu melakukan tugas asistennya?""Aku tidak tahu. Aku sendiri bingung dengan tingkah atasan kita."Livia tersenyum tipis, dia menyenggol lengan Cyra. "Jangan-jangan Pak Raizan suka sama kamu, Ra."Sontak Cyra langsung melotot. "Mana mungkin, jangan ngaco deh.""Bisa aja, kan? Toh kamu cantik, cerdas, manis. Cowok mana yang tidak suka sama kamu, Ra."Ocehan Livia membuat Cyra geleng-geleng kepala, dia
Nevalion baru saja tiba di lobi perusahaannya ketika seorang wanita yang menjabat sebagai karyawan perusahaan itu muncul menghampirinya, Nina selaku ketua dari divisi pemasaran tampak cantik dengan pakaian kantornya yang membentuk lekukan tubuhnya. "Tuan Nevalion." Panggil Nina. Nevalion yang sedang duduk di kursi roda seketika menghentikan langkah, dia menaikan sebelah alisnya saat menyadari keberadaan wanita itu. "Ada apa?" Tanya Nevalion. "Emm ... Tidak ada, hanya ingin menyapa saja." Nevalion mengangguk. "Baik, saya permisi dulu." Nina menahan langkah Nevalion dengan senyum menggoda yang terselubung di balik profesionalitasnya. "Tuan Nevalion, sebentar," katanya lembut, tubuhnya sedikit condong ke depan, aroma parfum mahal yang dia gunakan langsung menyeruak di udara. "Ya?" Nevalion menatap datar, suaranya rendah namun tegas. Wanita itu memainkan ujung rambutnya sambil melangkah mendekat, sepatu hak tingginya beradu lembut dengan lantai marmer lobi. "Saya hanya i
Sinar matahari menyusup melalui tirai jendela kamar milik Cyra dan juga Nevalion, perlahan Cyra membuka kelopak matanya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk menjernihkan penglihatannya, tatapan wanita itu tertuju pada langit-langit kamar tersebut. Cyra memiringkan kepalanya ke samping kanan, di sana Nevalion masih tertidur pulas. Kedua matanya memerah menahan tangis, sesak di dadanya semakin menghimpit setiap kali dia menatap wajah suaminya. "Kenapa kamu melakukannya, Mas. Aku pikir kamu berbeda, ternyata aku salah." Kata Cyra sendu. Hatinya pedih, masa depan yang dia rencanakan dengan Nevalion kini terasa samar dalam ingatannya. Dia tidak tahu mengapa saat ini perasaannya sangat kacau, sulit sekali untuknya menata kembali kepingan perasaan yang di hancurkan oleh Nevalion. Perlahan, Cyra beranjak dari ranjang kemudian menyingkirkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Cyra beranjak menuju kamar mandi untuk membasuh tubuhnya, hari ini dia berniat berangkat kerja lebih aw
Nevalion merapikan pakaiannya ketika mendengar pintu rumah utama di buka, hari sudah menjelang malam ketika Cyra tiba di rumahnya. Pria itu kembali duduk di kursi roda layaknya orang lumpuh, dia membalikan arah kursi rodanya menuju ruang tamu. Saat pintu utama sudah tertutup rapat, Nevalion menunggu suara istrinya memanggil namanya. Namun, hingga beberapa menit berlalu tidak ada suara istrinya yang memanggil namanya seperti biasanya. Begitu Cyra melewati ruang tamu, wanita itu melihat ke arah Nevalion yang sedang menatapnya dengan tatapan bertanya-tanya. "Hay, Mas." Sapa Cyra. Senyum terpaksa muncul di bibir wanita itu, dia berusaha mati-matian untuk tidak terlihat sedih saat bertatapan dengan wajah suaminya. "Kamu baru pulang? apa tadi lembur?" tanya Nevalion. Cyra mengangguk. "Iya, tadi banyak kerjaan sedikit." "Sudah makan?" "Sudah, aku makan di kantor tadi sama teman-teman." Cyra mengeratkan genggaman tangannya di tas selempangnya. "Aku cape, aku ke kama
Cyra memandangi ponselnya untuk beberapa saat, meski dia memang ingin pulang dulu ke rumah tapi melihat isi pesan dari nomor tak di kenal membuatnya ragu dan bingung."Apa mungkin, Mas Neva kenapa-napa?" pikirnya.Mengenyahkan pikiran negatif itu, Cyra kembali melajukan mobilnya dalam kecepatan sedang. Jarak rumahnya dari toko bunga cukup jauh, bisa memakan waktu sekitar setengah jam.Dalam perjalanan itu, pikirannya tak pernah lepas dari Nevalion. Tak bisa dia pungkiri, ada perasaan waspada dan takut jika firasatnya benar dan dia akan melihat sesuatu yang membuatnya kecewa.Mobil Cyra mulai memasuki komplek perumahan miliknya, dia menambah sedikit kecepatan mobilnya agar cepat sampai di depan rumahnya.Beberapa saat kemudian, dia tiba di depan rumahnya. Fokusnya langsung tertuju pada mobil BMW berwarna hitam yang ada di halaman rumahnya, mobil itu tampak tidak asing tapi Cyra belum bisa mengenalinya."Apa mungkin sedang ada tamu?" ujarnya seraya melepas sabuk pengaman dari tubuhnya.
Cyra termenung di dalam mobilnya, keraguan perlahan muncul dalam hatinya terlebih saat dia mengingat kembali ucapan Katty tadi. Sebelumnya, tidak pernah terlintas di benaknya kalau Nevalion memiliki masa lalu sekelam itu. "Apa mungkin, alasan Mas Neva meninggalkan Katty karena dia lumpuh?" kata Cyra. Pertanyaan itu mendadak muncul, selama ini Nevalion jarang sekali menunjukan perasaannya. Bahkan dia sendiri tidak tahu apakah sekarang Nevalion memiliki perasaan padanya, atau tidak. Saat dia ingin berbicara dari hati ke hati, Nevalion selalu menghindar seakan dia enggan membahasa masalah tersebut. Cyra sadar hubungan mereka hanyalah sebatas pernikahan di atas kertas, tapi sejujurnya dia tidak ingin memiliki kegagalan dalam pernikahannya kali ini. Cyra menarik napas panjang, " Sebaiknya aku tidak perlu memikirkan hal ini, toh Mas Neva tidak berubah. Mingkin saja Katty mencoba membuatku meragukan suamiku sendiri." Dia melihat kondisi wajahnya dan membenarkan make up yang sedik